Banowati. Begitu putri ketiga
dari penguasa Mandaraka, Prabu Salyapati ini di namakan. Bano berarti matahari,
cahaya atau ia yang bersinar, sementara nama wati menunjukkan bahwa ia berjenis
kelamin perempuan. Perempuan yang bercahaya. Berwajah cantik, berhidung
mancung, bermata bulat tajam dengan kerlingan khas yang sanggup meluluhkan hati
siapa saja yang memandangnya. Bibirnya mungil tipis, sedikit basah dengan
balutan warna dasar merah alamiah. Bila ia tersenyum, terlihat giginya yang
seputih kapas berbaris rapi laksana biji mentimun. Berwajah oval dengan dagu
lancip di hiasi lesung pipit nan elok di kedua sisi pipinya. Bentuk tubuhnya
proporsianal. Tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak terlalu rendah. Berdada
montok, berbokong bulat. Jika ia berjalan, liukan tubuhnya bak seorang penari
yang sedang beraksi di atas panggung. Berkulit kuning langsat, dengan tekstur
lembut laksana sutra. Berambut lurus, hitam berkilau terjurai menutupi punggung
dengan topangan mahkota emas melingkar indah di atas kepalanya.
Tabiatnya riang, murah senyum dan
pandai mengambil hati lawan bicaranya. Pandai memainkan alat musik, merdu dalam
bernyanyi dan mahir merangkai puisi. Sebuah kombinasi antara fisik dan
kepribadian yang unik, menarik dan jarang di miliki perempuan manapun. Maka tak
heran, di manapun Banowati menjejakkan kaki, selalu saja menarik perhatian
banyak orang. Sanjungan dan pujian barangkali bukan sesuatu yang asing di
telinga Banowati. Apalagi jika ada acara acara kenegaraan yang melibatkan
khalayak umum dan tamu asing, dan di situ Banowati di daulat untuk
mempertontonkan kebolehannya bermain musik dan bernyanyi. Tepuk riuh penonton
yang mengapresiasi olah seni Banowati bahkan jauh lebih menggema di bandingkan
dengan pidato politik Raja Mandaraka.
Berusia sekitar tujuh belas
tahun. Sebuah masa di mana seseorang mulai mengenali dirinya, mengenali apa apa
yang di rasakan dan apa apa yang di butuhkan. Belajar menjadi dewasa, belajar
bertanggung jawab dan belajar makna hidup yang sebenar benarnya. Dalam tradisi
Mandaraka, ketika seorang gadis mulai meninggalkan masa remajanya dan memasuki
masa dewasa, para orang tua di tuntut untuk bekerja ekstra keras demi
mendapatkan jodoh bagi anaknya. Mereka menjadi lebih sering berkunjung ke
tetangga kenalan atau mungkin kerabatnya sembari berharap ada pemuda yang
bersedia menikahi anaknya. Bahkan tak jarang para orang tua membuat sayembara
guna mendapatkan jodoh terbaik bagi anaknya. Bisa sayembara adu panah, adu
berkuda atau adu ilmu kanuragan.
Banowati pantas bersyukur dengan
karunia Tuhan yang ada dalam dirinya. Segala syarat yang di perlukan untuk
menjadi sosok perempuan ideal ada pada dirinya. Bentuk fisik sempurna, berdarah
bangsawan, usia yang matang, berbakat dan nyaris tanpa cacat sedikitpun. Tidak
sulit bagi Banowati kalau hanya sekedar untuk mendapatkan pria yang bersedia
menjadi pendamping hidupnya. Apalagi sejak awal Banowati memang figur terkenal
dan menjadi pujaan banyak orang. Artinya, bukan Banowati yang mesti mencari,
tapi para pria yang harus berlomba lomba merebut hatinya.
Akan tetapi, terkadang memang
lain lubuk lain ilalang. Lain hati, lain yang di rasakan. Kendati kecantikan
Banowati begitu di sanjung sanjung seantero jagat, itu tidak serta merta
menjadikan Banowati berada di sebuah posisi yang memuaskan hatinya. Dia banyak
mengenal pria. Dari yang tampan hingga yang buruk rupa. Dari bangsawan sampai
rakyat jelata. Dari Mandaraka hingga mancanegara. Tapi untuk jatuh hati, atau
mungkin sekedar tahap pendekatan, rasanya masih jauh dari pikiran Banowati.
Gadis ayu anak ketiga dari lima bersaudara putri Prabu Salya ini seakan terlalu
larut dalam kehidupannya sendiri. Sehingga hal hal yang sejatinya menjadi
perilaku yang lumrah bagi perempuan yang sudah menginjak dewasa, tidak terjadi
pada diri Banowati.
Jangan katakan aku tidak
menginginkan
Hadirnya dewa asmara swargaloka
Yang sorot matanya menusuk
jantung hatiku
Yang sentuhannya menggetarkan
jiwaku
Jangan katakan aku mati rasa
Sehingga desah nafas para pecinta
tak bisa ku raba
Dan rentangannya hanya menyapu
hampa
Ingin menabur asa
Tapi aku takut berbalut derita
Ingin mengayuh sampan
Dan berlayar menuju lautan lepas
Tapi aku takut gelombang
Ingin aku berlari
Mengitari sudut sudut bumi
Tapi aku takut akan jatuh dan
terkilir
Aku ingin menjadi mutiara
berkilau
Yang pesonanya bisa engkau ukir
dalam jiwamu
Aku ingin menjadi bintang
gemintang
Yang cahayanya mengarungi ragamu
Aku ingin menjadi telaga nan
bening
Yang sejuknya sembuhkan rindumu
Syair syair itu terdengar
mengalun dari bibir Banowati. Kadang melengking dan penuh semangat, kadang
lirih, kadang juga meliuk liuk laksana burung camar yang terbang rendah di atas
pantai Mandaraka. Pada bait pertama, nada suara Banowati terdengar nyaring,
bertempo tinggi, penuh semangat dan mengisyaratkan sebuah protes akan
ketertindasan yang terjadi. Di bait kedua, nada suaranya terdengar berbalik.
Lirih, pelan dan menguras emosi. Berkali kali Banowati mengulang kalimat itu,
seakan ia ingin dunia tahu, apa gerangan yag sedang bergejolak dalam jiwanya.
Senandung terakhir intonasinya lebih tinggi, enak di dengar dan mirip lagu lagu
melayu yang berkarakter mendayu dayu.
Sementara di depan Banowati
bertengger sebuah alat musik berbentuk perahu yang terbuat dari kayu kenanga
sepanjang hampir satu meter dengan belasan senar berbaris rapi di atasnya. Di
sebut kecapi. Alat musik tradisional Mandaraka yang di mainkan dengan cara di
petik. Bagi Banowati, Kecapi perahu hadiah dari ibunya ini bukan saja berfungsi
sebagai pengiring setiap syair yang ia nyanyikan, tapi sudah menjadi teman tak
tergantikan sekaligus penghibur yang paling setia di saat hatinya sedang di
rundung duka.
Begitulah rutinitas Banowati
ketika mendapati waktu senggang. Pergi ke taman bunga yang berada tak jauh dari
kediamannya, berteduh di bawah balai berukuran kecil terbuat dari kayu yang di
kiri kanannya terdapat beberapa pohon palem yang rindang nan hijau. Sebuah
tempat yang pas untuk melatih kemampuan seninya, menggali imajinasi atau kadang
sekedar hanya merenung. Jika ia berkenan, ia mengajak beberapa pelayan keputren
yang juga pandai bermain musik untuk berlatih bersama, tapi ketika suasana
batinnya tidak menentu, Banowati lebih memilih sendiri saja.
Dan sore itu Banowati hanya
terlihat sendirian. Memainkan musik dan bernyanyi, sembari matanya yang bening
laksana bintang tak lekan memandang hamparan tanaman bunga yang hijau dengan
kuncup mekarnya. Ada rasa gundah menyelinap di benak. Yang membutuhkan jawaban
hakiki dari relung hati. Ibunya, Dewi Pujawati pagi tadi selepas sembahyang
mengutarakan sebuah pesan yang tak bisa di tolak olehnya dan kedua kakaknya.
“Anakku, apakah kalian tidak
melihat, ayah ibumu ini sudah menginjak usia senja. Sementara kalian baru saja
menapaki masa dewasa” kata ibunya.
“Apakah kalian tidak pernah
berpikir untuk mencari seorang pendamping setia yang kelak bisa menjaga kalian
jika kami telah tiada ?. Katakan padaku, kapan kalian akan melepas masa lajang
?”.
Bukan sekedar pertanyaan. Tapi
juga harapan dari seorang ibu yang menyayangi putra putrinya.
“Ah ibu…, kenapa ibu berkata
demikian ?. Bukankah kalau kita semua menikah, suami kami akan membawa kami
pergi dari Mandaraka ?. Dan ibu akan kehilangan kami ?” Banowati balik
bertanya.
“Iya ibu…!. Kalau tidak ada kami,
siapa yang akan menemani ibu sembahyang ?” Herawati, menimpali. Gadis cantik
yang wajahnya begitu mirip dengan Banowati dan usianya kurang lebih dua puluhan
tahun ini adalah anak tertua dari pasangan Salyapati dan Pujawati. Perangainya
kalem, irit bicara dan lebih sering menyendiri. Dia jarang bergaul dengan orang
orang di luar lingkup keluarga. Cenderung tertutup dan hanya kepada orang orang
tertentu saja ia bersedia mengutarakan masalah masalah yang di hadapinya.
“Kalian ini ngomongnya kayak
nggak ngerti keinginan ibu saja. Harusnya kita senang dong, bisa menikah,
membangun rumah tangga dan memberi ibu cucu cucu yang lucu. Bukan begitu ibu ?”
Surtikanthi setengah mencibir.
Anak kedua Prabu Salyapati ini
memang terkenal banyak bicara, judes, agak sombong dan mau menang sendiri.
Tabiatnya begitu mirip dengan ayahnya. Kalau punya kemauan, dia akan
memperjuangkannya dengan segala cara. Dalam hal cinta, Surtikanthi punya
kebiasaan buruk yang susah sekali di hilangkan. Dia bukan tipe orang setia yang
hanya menambatkan hatinya pada satu pria. Bagi Surtikanthi, jika ada yang lebih
baik, buat apa mempertahankan yang lama ?.
Maka tak heran jika Surtikanthi di kenal suka gonta ganti pacar. Sudah
tak terhitung berapa banyak pria yang datang lalu di tendang oleh Surtikanthi.
“Mmmm….serius nih, kak Kanthi
siap di lamar Naro ?” ledek Banowati sembari mengedipkan mata kirinya.
Naro adalah salah satu kepala
prajurit keamanan istana Mandaraka, anak seorang pembesar di kerajaan.
“Ho…ho….ho…!. Narotama ?. Masak,
secantik ini suaminya pria lokal ?. Lihat saja, nanti aku minta ke ayah untuk
menggelar sayembara yang mendatangkan para pangeran dari mancanegara” kelit
Surtikanthi sengit.
“Oh, mantab itu kak!. Nanti biar
Bano yang menyanyi di pesta perkawinan kakak…” puji Banowati memberi semangat.
“Ee….ee…ee…” sela Ratu Pujawati
menggoyang goyangkan telunjuk kanannya.
“Tidak ada yang menjadi penyanyi,
tidak ada yang menjadi penari juga. Ayahmu akan menikahkan kalian semua.
Bersama sama ?”.
“Ibu…???” pekik ketiganya hampir
bersamaan. Heran, kaget dan belum sepenuhnya mengerti apa yang ibu mereka
katakan.
Menikahkan bersama sama. Dengan
cara apa ?. Dengan siapa ?. Dengan pria pilihan masing masing atau pilihan ayah
ibunya ?. Atau malah dengan pria yang sama ?.
Bermacam macam pertanyaan
berkecamuk dalam benak ketiga putri Mandaraka itu.
“Dengar kata ibu” Pujawati
menenangkan.
“Ibu hanya menyampaikan apa yang
menjadi keinginan ayahmu. Ibu juga tidak tahu dengan siapa kalian akan di
nikahkan. Yang penting, persiapkan diri kalian masing masing dan nanti ayah
kalian akan memanggilmu satu persatu untuk membicarakan masalah ini”.
“Tapi nggak harus bersama sama
khan ibu ?” Banowati protes.
“Nanti bicarakan saja dengan
ayahmu” tegas Pujawati tak mau kompromi.
Semuanya terdiam, entah setuju
atau tidak. Tapi bagi Banowati, apa yang di kemukakan oleh ibunya benar benar
membuatnya merasa tidak enak hati. Bagaimanapun, dari ketiga putri Salya, hanya
dia yang belum memiliki pandangan sedikitpun mengenai pasangan hidup. Bukan
tidak ingin, tapi hatinya belum terketuk. Belum satupun pria yang pernah ia
kenal, berhasil menakhlukkan hatinya. Entah apa gerangan yang menjadi penyebab
Banowati begitu sulit mencintai seorang laki laki.
Sekarang orang tuanya berencana
menikahkan mereka. Bersama sama pula. Dan seperti yang sudah sudah, bisa di
pastikan sang ayah tidak akan surut dengan keputusannya. Mungkin dia, atau
kakaknya akan melakukan protes, mengemukakan keberatan dengan alasan masing
masing. Tapi barangkali hanya sebatas itu, sebab bagaimanapun ayahnya punya
otoritas penuh dalam mengatur kehidupan anak anaknya. Jika sudah begitu, yang
bisa di lakukan Banowati dan kakak kakaknya tentu hanya berdoa. Berdoa agar
ayah mereka membuat keputusan yang baik dan tidak merugikan perasaan anak
anaknya.
Ingin menabur asa
Tapi aku takut berbalut derita
Ingin mengayuh sampan
Dan berlayar menuju lautan lepas
Tapi aku takut gelombang
Ingin aku berlari
Mengitari sudut sudut bumi
Tapi aku takut akan jatuh dan
terkilir
Banowati kembali melantunkan
syair ini. Kali ini tanpa memetik dawai kecapinya. Seolah ingin menghayati dan
menikmati kata demi kata yang mengalir dari bibirnya. Begitu larut, begitu
terbuai. Hingga tak sadar ada sesosok wanita dengan tatapan sayu, tengah
berdiri termangu memperhatikan setiap gerak gerik Banowati. Lama sekali wanita
itu diam terpaku di belakang Banowati. Sesekali ia menarik nafas, mengatupkan
mata sembari menggigit ujung bibirnya yang tampak bergetar seiring alunan syair
syair syahdu yang di lantunkan Banowati. Tak ada kalimat yang terlontar, tak
pula kakinya berani melangkah lebih dekat. Dia biarkan Banowati terus asyik
bersenandung. Bahkan semakin lama ia mendengar nyanyian Banowati, semakin ia
ikut larut di dalamnya. Dan tanpa sadar butiran butiran bening mulai meleleh
dari telaga matanya. Nyanyian Banowati kini tak ubahnya pisau belati yang
menyayat nyayat hatinya. Pedih, perih dan sakit bukan main. Darahnya bergolak,
emosinya seolah di aduk aduk oleh sebuah kekuatan maha dahsyat yang di
timbulkan oleh syair syair Banowati.
Beruntung Banowati segera
menyelesaikan senandungnya. Sehingga tangisnya yang hampir saja meledak,
mendadak tertahan. Buru buru perempuan itu meraih ujung selendang, mengusap air
matanya dan melangkah menaiki tangga balai.
“Kakak ?” seru Banowati setengah
terkejut dengan kehadiran sesosok wanita yang sangat kenalnya, Herawati.
“Teruskan saja…” kata Herawati
sembari duduk menjajari Banowati.
“Hanya latihan biasa kok”.
Herawati menoleh sebentar.
“Lagumu bagus” pujinya.
“Ah, kakak ini ada ada saja. Cuma
asal menulis aja kok”
“Ehm….”Banowati memperhatikan
raut wajah kakaknya,” kakak abis nangis ya ?”
“Oh….enggak…!” elak Herawati buru
buru, “ tadi abis kena debu di jalan”.
“Bohong…”.
“Iya beneran”.
“Kok sampai sembab begitu ?.
Jangan jangan….?” Banowati menerka nerka.
“Apa ?”.
“Kakak abis di panggil sama ayah
ya ?” Banowati setengah meledek.
“Nggak…” tegas sang kakak.
“Bener ?”.
Herawati terdiam. Seperti ada
sesuatu yang ia sembunyikan.
“Tuh khan ?. Kakak gitu deh…” Banowati pasang muka
cemberut.
Keduanya terdiam.
Angin bertiup sepoi sepoi.
Menggoyangkan kuncup bunga warna warni di taman itu. Dari ujung mahkota bunga
mawar nan merah merekah, seekor kupu kupu berwarna kuning keemasan tampak
kepayahan menahan deru angin. Berkali kali ia berusaha hinggap di atas sang
bunga dan mengincar sarinya, tapi tiupan angin bertubi tubi menggagalkan
usahanya. Cukup lama kupu kupu itu berusaha hinggap. Baru ketika angin mereda,
ia mendarat dengan manis dan menghirup wanginya sang mawar.
Herawati melompat dari balai
balai kayu setinggi tiga jengkal itu, berjalan dengan penuh hati hati ke arah
di mana kupu kupu keemasan itu hinggap. Dan…
Hupp…!.
Di tangkapnya sayap kupu kupu
itu, lalu kembali berjalan menaiki balai balai. Bibirnya menyunggingkan senyum
tipis, sementara kedua mata Herawati mengamati tingkah polah sang kupu kupu
yang berusaha menggeliat melepaskan diri. Sementara adiknya, Banowati, hanya
bisa tertegun dengan ulah kakaknya.
“Enak ya, jadi kupu kupu” kata
Herawati sambil menimang nimang binatang bersayap di tangannya.
“Dia begitu bebas menentukan
pilihan untuk hinggap di bunga mana saja yang hendak ia hinggapi”.
Hanya itu kalimat yang keluar,
tapi bagi Banowati terdengar sangat mencurigakan. Apa yang terjadi dengan
kakaknya ?.
“Kakak ada masalah ya ?” dara
cantik pemilik sepasang lesung pipit itu mendekatkan mukanya pada Herawati.
Kali ini Herawati tertunduk. Raut
mukanya terlihat muram. Sementara dari sudut matanya terlihat buliran buliran
air bening yang siap untuk di tumpahkan.
“Ayah telah mendapatkan jodoh
buatku…”.
“Apa ?. Siapa ?” Banowati
melonjak.
“Tidak buruk. Bahkan mungkin dia
pria terbaik yang ada di muka bumi”.
“Wow…!” seru Banowati.
“Dia orang terkuat di
Hastinapura”.
“Suyudana ?”
Herawati mengangguk.
“Trus ?” penasaran.
“Entahlah…” Herawati gundah.
“Kok ?”.
Banowati makin tak mengerti
dengan sikap kakaknya itu. Setahu Banowati, penguasa Hastinapura itu tidak
buruk buruk amat. Bahkan secara fisik lumayan tampan dan berusia muda. Mungkin
hanya lebih tua sedikit dengan kakaknya. Berkedudukan tinggi dan di hormati
segenap raja raja di daratan Jambudwipa. Seharusnya, siapapun akan merasa
bangga bisa bersanding dengan ksatria agung seperti Suyudana. Tapi kenapa
kakaknya seolah masih gamang ?.
“Ingin menabur asa. Tapi aku
takut berbalut derita. Ingin mengayuh sampan. Dan berlayar menuju lautan lepas.
Tapi aku takut gelombang”.
Kali ini Herawati melantunkan
beberapa syair yang tadi di nyanyikan Banowati. Walaupun suaranya tidak seindah
suara Banowati, tapi tampaknya ia begitu menghayati.
“Adik…” Herawati mendadak serius.
“Kalau kamu di suruh memilih,
mana yang kamu pilih ?. Pria yang kamu cintai, atau pria yang mencintaimu ?”.
Banowati tidak segera menjawab
pertanyaan kakaknya. Pikirannya masih bekerja keras meraba raba apa yang
sebenarnya terjadi pada diri kakaknya. Pasti ada sesuatu yang sengaja di
sembunyikan. Pertanyaan itu sepertinya bukan sekedar pertanyaan biasa, tapi ada
sesuatu yang lain.
“Kakak tidak menyukai Suyudana ?”
selidik Banowati.
“Jawab dulu pertanyaanku!” potong
Herawati.
“Mmmm….dua duanya!”.
“Salah satu!??” paksa Herawati.
“Apa ya ?. Bano belum pernah
mengalami sih, kak…”.
“Hemmm” cemberut.
“Iya…iya aku jawab” akhirnya.
“Apa ?”.
“Pria yang aku cinta..” jawab
Banowati.
“Alasannya ?”.
“Yaaah…buat apa hidup dengan laki
laki yang kita tidak pernah harapkan kehadirannya ?” lanjut Banowati dengan
penuh semangat.
Herawati menarik nafas dalam
dalam, lalu menghembuskannya. Senyum tipis tersungging dari sudut bibirnya.
Jawaban Banowati, walaupun tidak akan merubah keadaan tapi cukuplah membuatnya
merasa tidak sendirian.. Di tatapnya dalam dalam wajah adiknya, kedua tangannya
terentang, dan sebentar kemudian tubuh Banowati telah ada di pelukannya.
“Di dunia ini mungkin hanya kamu
yang mengerti perasaanku, Bano” bisik Herawati berkaca kaca.
Banowati terdiam dalam dekapan
hangat sang kakak. Rona kesedihan tampak jelas tergurat di wajah kakak
sulungnya itu.
“Ceritakan apa yang terjadi.
Kenapa kakak kelihatannya tidak setuju dengan keputusan ayah ?” pinta Banowati
sembari menyeka air mata kakaknya. Keduanya lantas melepaskan pelukan, duduk
berjajar sembari memandang taman bunga nan indah yang terhampar di depan
mereka.
“Baiklah” Herawati buka suara,
“tapi kamu janji tidak akan bercerita kepada siapapun ?”.
“Sumpah!” sambut Banowati sambil
mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Aku sudah punya pilihan sendiri.
Bukan pria termasyhur dan berkedudukan tinggi seperti prabu Suyudana. Dia orang
biasa. Tinggal di negeri seberang. Nun jauh di tengah lautan timur” tutur
Herawati.
“Kartawiyaga ?” Banowati menebak.
Herawati mengangguk.
“Darimana kamu tahu ?” selidik
Herawati.
“Nebak aja” jawab Banowati
menyunggingkan senyum.
“Setahun lalu kami berkenalan. Di
sebuah pesta larung sesaji. Kebetulan kakang Wiyaga menjadi salah satu tamu
penting. Dia datang sendirian, mewakili paman Kurandageni”.
“Dan kemudian kakak jatuh cinta
?” potong Banowati sembari menaikkan alisnya.
“Entahlah. Aku juga tidak habis
pikir kenapa dia begitu memikat hatiku. Padahal orangnya biasa saja. Mungkin
secara fisik masih lebih tampan Suyudana”.
“Namanya juga cinta, kak…”timpal
Banowati.
“Dia sering datang ke rumah.
Biasanya malam hari. Dan tak seorangpun yang tahu”.
“Kakak ???” Banowati tertegun.
“Tenang saja Bano” Herawati
meyakinkan. Adiknya tentu mencurigai dirinya telah berbuat tidak senonoh dengan
Kartawiyaga.
“Kakakmu ini tidak senista yang
kamu kira, Bano” Herawati meyakinkan.
“Kamu tahu, apa yang sering dia lakukan
kalau datang ke rumahku ?”.
Banowati menggeleng.
“Dia hanya duduk di tepi ranjang,
menyanyikan beberapa bait lagu untuk membuatku terlelap”.
“Hanya itu ?” Banowati heran.
“Bahkan sampai sekarang dia belum
pernah menyentuhku”.
“Ah…gimana kalau pas kakak tidur,
dia berbuat yang aneh aneh ?” khawatir.
“Aku percaya dengannya” jawab
Herawati.
“Seringkali aku hanya pura pura
tidur, untuk mengujinya. Dan dia tidak berbuat apapun, kecuali membetulkan
selimutku. Setelah itu pergi”.
“Wah, lucu juga ya…?” komentar
Banowati geli.
“Itu yang membuatku begitu kagum
dengannya” sahut Herawati.
Banowati mengangguk anggukkan
kepala. Cinta memang kadang aneh. Benar apa kata para pujangga. Cinta sejati
tidak membutuhkan hasrat birahi ragawi. Dia hanya butuh sebuah tempat
persemayaman abadi. Tahtanya di relung hati.
“Terus, apa yang akan kakak
lakukan ?” tanya Banowati.
“Entahlah” Herawati mendongakkan
kepalanya. Menatap langit senja nan memerah. Ada kegalauan yang melanda dalam
jiwanya.
“Besok rombongan Hastinapura akan
tiba di Mandaraka untuk memastikan rencana ini” lanjut Herawati lirih.
“Melamar kakak ?” tanya Banowati.
Herawati mengangguk.
“Kakak akan menerima lamaran itu
?”.
“Siapa yang bisa menolak
keinginan ayahanda ?” potong Herawati meninggi.
Serba salah memang. Banowati
paham betul bagaimana karakter ayahnya. Keras kepala, arogan, temperamen dan
ambisius. Tidak ada yang bisa mencegah, bila ayahnya sudah memutuskan suatu
hal. Tidak saja Banowati dan saudara saudaranya, juga ibunya. Semua harus
tunduk dan patuh. Tidak boleh membantah, apalagi melawan. Apalagi posisi
kakaknya yang hanya anak perempuan. Yang dalam tradisi Jambudwipa perannya
hanyalah pelengkap penderita. Tidak ada hak untuk berbicara, mengemukakan
pendapat, apalagi mewarisi tahta. Sehebat apapun perempuan, ia tidak lebih baik
dari laki laki, dalam banyak hal. Memprihatinkan. Tapi mau apalagi ?.
“Kakak sabar aja” hibur Banowati,
“pasti ayah memiliki pertimbangan yang matang dalam memutuskan itu”.
Herawati memejamkan mata.
Mengatur nafas. Mencoba membongkar beban yang selama ini begitu menyesaki
dadanya. Suyudana mungkin bukan pilihan buruk. Raja besar, kuat dan memiliki
pengaruh luas. Menjadi pendampingnya adalah idaman setiap wanita. Tidak saja
kehormatannya akan terangkat, akan tetapi martabat keluarga dan tentu saja
rakyat Mandaraka.
Tapi, ini masalah hati. Seperti
yang Banowati katakan, buat apa hidup bersama lelaki yang tidak pernah kita
kehendaki kehadirannya ?. Sia sia segala kemewahan yang ia terima dari raja
Hastinapura itu, jika hatinya sendiri tidak pernah bisa menikmati. Begitupun
dengan Suyudana, tentu ia akan sangat menyesal telah menikahi seorang perempuan
yang ternyata tak pernah mencintainya. Jika demikian adanya, buat apa rencana
perkawinan itu di teruskan.
“Tidak!!!. Semua ini tak boleh terjadi!”
tekad Herawati membuncah.
“Kakak serius ?” tanya Banowati
heran.
“Ya!”.
“Kakak sudah memikirkan akibatnya
?”
“Hem..” mantab.
“Tapi ayah tak mungkin mau
membatalkan rencananya, kak ?” Banowati memperingatkan.
“Kalau aku lari dari Mandaraka,
apakah perkawinan itu bisa tetap di jalankan ?” kelit Herawati enteng.
Kali ini Banowati terkejut bukan
main. Di tatapnya dalam dalam wajah yang kakak, seolah berharap bahwa ungkapan
itu tidak pernah keluar dari mulut sang kakak. Bagaimanapun, konsekuensi yang bakal
di tanggung keluarganya tidaklah kecil. Apalagi yang melamar kakaknya bukanlah
orang sembarangan. Prabu Suyudana, raja besar yang sangat di segani angkatan
perangnya oleh bangsa bangsa di Jambudwipa. Bukan saja perbuatan kakaknya akan
membuat malu keluarga Mandaraka, akan tetapi tindakan itu oleh Hastina bisa
jadi akan di anggap sebagai sebuah penghinaan. Resiko terkecil, Mandaraka akan
di kucilkan. Dan resiko terbesar, Mandaraka akan di serang.
“Kamu pasti berpikir bahwa
Mandaraka akan menanggung segala hal akibat perbuatanku” kata Herawati seolah
tahu apa yang ada dalam pikiran adiknya.
“Putri prabu Salya bukan aku
seorang. Ada kamu dan kakakmu, Kanthi. Kalian berdua juga sudah cukup dewasa
untuk menjadi seorang ibu” berhenti sebentar, “Prabu Suyudana belum pernah
melihatku. Ayah memilih aku untuknya karena akulah yang paling tua di antara
kita semua. Tapi kalaupun ternyata aku memilih jalan lain, besar kemungkinan
kalian berdua yang akan menggantikan posisiku”.
“Kakak sudah gila ya??!!!”
Banowati meradang. Apa yang di ungkapkan oleh kakaknya kali ini benar benar
membuat Banowati jengkel bukan main. Mengorbankan saudara saudaranya untuk
kepentingan pribadi jelas jelas bukan tindakan bertanggung jawab. Seolah tidak
ada cara lain untuk keluar dari masalah.
“Di mana pikiran waras kakak ?.
Sudah jelas ayah menginginkan kakak bersanding dengan Suyudana. Kenapa mesti
kami yang harus di korbankan ?” protes Banowati keras.
“Terima saja” Herawati tak mau
kalah, “atau kalau kalian tidak setuju, sekalian saja kabur” lanjutnya ketus
bukan main.
“Pikirkan baik baik. Selamat
sore…”.
Seperti tak ingin berlama lama
berdebat kusir dengan sang adik, Herawati lantas mengangkat tubuhnya, berjalan
menuruni tangga balai lalu pergi dengan langkah cepat. Meninggalkan Banowati yang
tampak masih menyimpan rasa kesal tak terkira. Bukan hanya kesal melihat
tingkah Herawati yang sama sekali tidak patut di contoh, akan tetapi kesal
karena dia harus bersiap siap menerima akibat dari perbuatan kakaknya.
Besok, rombongan prabu Suyudana dari
Hastinapura akan tiba di Mandaraka. Menemui ayahnya untuk membicarakan rencana
pernikahan kakaknya dengan prabu Suyudana. Entah apa yang akan terjadi jika
ayahnya mengetahui Herawati telah kabur dari Mandaraka. Marah ?. Itu sudah
pasti. Tapi bagaimana jika ayahnya menanyakan perihal sang kakak ?. Jawaban apa
yang harus ia kemukakan ?. Kedatangan Herawati sore ini mustahil tidak di
ketahui para penjaga keputren. Mereka bisa jadi akan melapor bahwa sebelum
kabur, kakaknya sempat menemui dirinya. Jika demikian, sudah pasti ayahnya akan
berusaha sekuat tenaga mengorek keterangan darinya.
Haruskah ia melindungi Herawati
dengan tidak mengatakan kemana kaburnya sang kakak ?. Ataukah ia harus
mengatakan apa adanya, bahwa kakaknya kabur ke Tirtakandasan demi menemui
kekasih hatinya ?. Dua pilihan yang sama sama sulit. Jika ia mengatakan bahwa
Herawati pergi ke Tirtakandasan, tentu akan ada tindakan keras akibat perbuatan
ini. Bisa jadi ayahnya akan mengirim pasukan dan menyerbu Tirtakandasan untuk
meminta paksa putrinya. Sebaliknya jika ia berbohong, kemungkinan besar ayahnya
akan memilih satu di antara dirinya dan Surtikanthi untuk menutupi rasa malu di
hadapan penguasa Hastina.
Tidak!!. Ini tidak adil…
******************************************************************************
Fajar menyingsing. Rona merah
menyembul di ufuk timur. Terlihat tidak sempurna karena di selimuti awan tipis
berwarna kelabu. Dari kejauhan, lamat lamat kokok ayam jantan menyalak bersahut sahutan, pertanda hari sebentar
lagi terang. Angin bertiup menyibak
kabut putih di jalanan kota Mandaraka. Bergerak pelan, menggoyangkan setiap
dahan dan ranting yang ia lewati. Membawa hawa dingin yang menyengat pori pori.
Di sudut jalan lima prajurit
berlarian tergesa gesa. Menyandang pakaian seadanya dengan menenteng sebilah
golok di pinggang. Di pimpin oleh seorang pria setengah baya, berkepala botak
dengan kumis melintang di atas bibirnya. Raut muka mereka terlihat tegang,
seperti ada masalah besar yang sedang terjadi. Melangkah terburu buru menyusuri
jalanan. Tidak ada kata yang terucap, tapi jelas sekali mereka sudah paham
hendak kemana mereka pergi. Sesampainya di sebuah bangunan besar dengan dua
pohon melinjo menjulang setinggi sepuluh meter, langkah mereka terhenti.
Seorang pelayan perempuan berumur sekitar lima puluh tahun keluar tergopoh
gopoh dari balik pintu menemui kelimanya. Wajahnya terlihat pucat pasi,
sementara kedua matanya tampak sembab seperti habis menangis.
“Tunjukkan di mana kamar gusti
putri Herawati!” tanya pria botak dengan kumis melintang itu setengah
menghardik.
“Mari ikut saya tuan…” kata si
perempuan tua ketakutan.
Tiga orang termasuk si botak
segera berjalan membuntuti wanita tua itu. Sementara dua lainnya berjaga jaga
di depan pintu. Melintasi ruang tengah, menyusuri lorong dan tiba di sebuah
ruangan tempat di mana kamar tidur Herawati berada. Tanpa menunggu waktu lama,
ketiga pria itu segera menyerbu masuk. Memeriksa apa saja yang ada di ruangan
itu. Lemari, tempat tidur, rak buku meja kursi dan semua perabotan yang ada di
dalam kamar itu untuk mendapatkan sesuatu yang bisa di jadikan petunjuk. Tapi
sayang, tak satupun petunjuk yang bisa ia temukan. Salah satu di antaranya
berlari ke arah jendela kamar yang sepertinya sudah terbuka sejak awal. Menoleh
ke kanan dan kiri lalu berteriak kepada kawan kawannya.
“Pasti lewat sini!!!” teriaknya
kepada yang lain.
Lelaki berkumis melintang yang
sibuk memeriksa rak buku milik Herawati bergegas menuju ke tempat yang di
maksud. Melongok keluar lalu memeriksa keadaan jendela.
“Tidak ada yang di rusak” guman
si botak.
“Trus gimana, paman ?”.
Pria berkepala botak berumur
setengah baya itu tidak menjawab. Di raihnya lampu penerang di dekat jendela,
lalu dengan hati hati ia melompat keluar. Matanya yang tajam menyapu ke
sekeliling. Suasana di luar terlihat sunyi, hanya kabut putih yang menari nari
di sela sela pepohonan. Lelaki berkumis melintang itu kemudian mengambil posisi jongkok, mendekatkan lampu
penerang berbahan bakar minyak jarak ke atas tanah.
Ada jejak jejak sepatu berbeda
ukuran yang masih tercetak jelas di atas tanah liat di depan jendela. Tidak
hanya satu, tapi dua. Pertama berukuran kecil dengan ujung lancip. Kemungkinan
besar jejak pertama ini jejak sepatu milik putri Herawati. Yang kedua berukuran
besar dengan bentuk nyaris seperti persegi panjang. Tercetak samar samar bahkan
hampir tak kelihatan. Menilik dari ukuran sepatu kedua yang lebar dan besar,
kemungkinan pemiliknya memiliki ukuran tubuh yang besar pula. Dan logikanya
dengan proporsi tubuh yang besar dan berat, tentu akan menghasilkan cekungan di
permukaan tanah yang lebih dalam dan jelas. Tapi anehnya, bekas tapak sepatu
itu hanya terlihat samar samar. Dan jikalau ada angin yang cukup kuat menyapu
permukaan tanah, bisa di pastikan jejak itu akan hilang seketika.
Lelaki botak berkumis melintang
itu mengerutkan dahi.
“Pasti ini perbuatan orang yang
memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuh di atas rata rata” pikirnya meraba
raba. Tapi siapa ?. Di lingkungan Mandaraka, sedikit sekali orang yang memiliki
kemampuan meringankan tubuh seperti itu. Dan jika di kaitkan dengan ukuran
terompah sepatu yang lebih lebar dari kebanyakan, maka akan lebih sulit lagi
mencari cari siapa gerangan orang Mandaraka dengan bentuk kaki seperti itu.
“Hanya satu orang!” si botak
setengah memekik.
Ya, hanya satu orang yang paling
mungkin memiliki jejak seperti ini. Yaitu putra ke empat prabu Salya. Raden
Burisrawa. Siapa lagi orang Mandaraka yang memiliki tubuh raksasa dengan bentuk
kaki lebar selain Raden Burisrawa ?.
“Tapi…?” kali ini pria berkumis
tebal melintang itu terlihat ragu ragu. Rasanya tidak mungkin kalau sang
penculik putri Herawati adalah Burisrawa. Selain ia adalah adik kandung dari
Herawati yang tentu saja mustahil melakukan itu, kemampuan olah kanuragan sang
Burisrawa tidaklah sehebat itu. Jangankan menguasai ilmu meringankan tubuh yang
mumpuni, bahkan ilmu silatnyapun tidak seberapa. Dia hanya jago bergulat.
Sebuah tehnik membanting lawan yang sama sekali tidak memerlukan keahlian
meringankan tubuh.
“Pasti ada orang luar yang memasuki
keputren Mandaraka!” pria itu mengambil kesimpulan.
“Kejar!!!” perintahnya serta
merta.
Dua orang anak buahnya yang sejak
tadi hanya mengamati gerak gerik atasannya dari mulut jendela lantas melompat
keluar memenuhi perintah. Dengan senjata terhunus mereka berlarian menyusuri
kebun kelapa, menyibak ilalang, meneliti jejak jejak kaki yang mungkin
tertinggal dengan harapan bisa menemukan
apa yang mereka cari. Tapi hingga semua sisi kebun mereka jelajahi, tak juga mendapatkan
buruannya. Akhirnya mereka kembali menghadap si botak dengan tangan hampa.
“Tidak ada siapa siapa !”
lapornya dengan nafas tersengal sengal.
“Keparat!!!” maki si botak marah
bukan main.
“Bunyikan tanda bahaya, dan
lakukan pengejaran hingga ke luar keputren Mandaraka!!!” perintahnya kalap.
“Siap!”.
Dalam sekejap suasana kota
Mandaraka yang sunyi di pagi itu mendadak menjadi riuh. Tabuhan kentungan tanda
bahaya menyalak di sana sini. Para penghuni kota yang masih terlelap dalam
mimpinya, mendadak di bangunkan oleh kabar mengejutkan tentang hilangnya putri
Herawati dari istana keputren. Di setiap sudut kota, puluhan bahkan ratusan
prajurit bergerak menyisir semua tempat yang di curigai. Tidak hanya itu,
mereka juga menutup pintu gerbang masuk kota Mandaraka, menghentikan setiap
orang yang lewat untuk di interogasi dan juga melakukan patroli mengelilingi
tembok istana guna mencegah si penculik Herawati keluar dari istana.
Prabu Salyapati yang mendapat
laporan atas hilangnya Herawati dari keputren segera bergegas menuju kediaman
putri sulungnya dengan di kawal oleh putra bungsunya, Raden Rukmarata, Kepala
Keamanan Keputren Raden Narotama serta beberapa prajurit pilihan untuk
memastikan sendiri kabar buruk yang baru saja ia terima. Marah hati sang raja
Mandaraka ketika mendapati bahwa anak perempuan yang sebentar lagi hendak ia
jodohkan dengan ksatria tersohor Hastinapura justru raib dari istana. Sebagai
seorang raja yang di kenal sakti mandraguna dan di segani banyak orang, apa
yang baru saja terjadi tak ubahnya sebuah penghinaan yang tak bisa di maafkan.
“Apa ini ??. Apa ini ???” Prabu
Salya geram.
“Apa saja kerjaanmu, Narotama ?.
Sehingga dengan mudah pencuri itu memasuki istanaku ?. Hehhh!!!” hardik sang
Salya.
Kepala keamanan istana Mandaraka
yang juga anak dari seorang patih Mandaraka itu dengan muka pucat dan tubuh
gemetaran buru buru menjatuhkan lututnya dan bersimpuh di kaki Prabu Salya
seraya meminta ampun atas segala keteledorannya.
“Ampun gusti prabu…ampun” ucapnya
ketakutan, “semua ini kesalahan hamba…”.
“Kamu tahu, akibat keteledoranmu
ini, Mandaraka berada dalam posisi sulit. Apa yang akan kita katakan kepada
Prabu Suyudana ?. Apa ??”.
“Hamba akan berusaha menemukan
kembali gusti Herawati, gusti prabu!!” janji Narotama sigap.
“Hemm….” Prabu Salya mendengus.
Matanya yang bulat lagi tajam tak juga beranjak memelototi sang Narotama. Apa
yang di ucapkan kepala keamanan keputren Mandaraka tadi sepertinya tak cukup
untuk meredam kemarahannya. Sementara sang Narotama yang mulai menyadari
nasibnya kini berada di ujung tanduk terlihat makin gemetaran melawan rasa
takut.
“Ampuni hamba gusti…hamba mengaku
salah” rengek Narotama seraya mencium kaki Prabu Salyapati dengan harapan raja
Mandaraka itu berkenan mengampuni kesalahan yang telah di perbuatnya.
Namun usaha Narotama sepertinya
tak mampu meluluhkan hati Prabu Salyapati. Raja Mandaraka yang di kenal sakti
mandraguna ini benar benar sudah tak bisa menahan lagi kesabarannya.
“Pengawal!!!” teriaknya sang Raja
Mandaraka keras.
“Hamba gusti!” empat orang
prajurit dengan serempak memenuhi panggilan Salyapati.
“Tangkap Narotama dan jebloskan
dia ke penjara!!!” titah sang prabu tanpa bisa di bantah lagi. Segera ke empat
prajurit itu menarik pundak Narotama, lalu membawanya pergi dari hadapan prabu
Salyapati. Tidak ada perlawanan sedikitpun dari sang Narotama. Kepala keamanan
keputren Mandaraka yang di isukan memiliki hubungan intim dengan Dewi
Surtikanthi putri Prabu Salya ini hanya terlihat pasrah menerima hukuman dari
majikannya.
“Rukmarata” panggil Salyapati
lirih.
“Iya ayah” sahut Rukmarata mendekat
pada ayahnya.
“Panggil kedua kakakmu,
Surtikanthi dan Banowati. Suruh dia menghadap ayah siang ini juga!”.
“Siap ayah…!”.
“Kedua, sampaikan pada pamanmu
patih Singalodra, perintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk
menyambut kedatangan tamu dari Hastina”.
“Ya ayah!”.
“Mengenai Narotama, katakana padanya,
bahwa aku hanya memberi pelajaran pada putranya agar kelak tidak lagi
mengulangi perbuatannya!”.
Rukmarata mengangguk.
Setelah mengatakan itu, Prabu
Salyapati kemudian beranjak keluar dari keputren untuk kembali ke istananya.
>>>Selanjutnya
>>>Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar