Kamis, 19 Januari 2012

Wayang Animasi

Bima and Wife

Suhu Bhisma
Biang Kisruh

Kumbhakarna
 The King of Astina, Duryudana


Resi Durna Pecinta Lingkungan
 Rahwana Hajar Sang Jatayu


 Dursasana di gebukin Bima


Hanoman
 Petruk Ndeso!!!



 Gatotkaca Ngamuk


Gatotkaca dan Srikandi

 Srikandi




 Arjuna

 
Pandawa Lima

Antasena, Jalan Manusia Sufi





Anda tak akan menemukan tokoh ini pada versi Mahabarata aslinya, versi India. Karena tokoh Antasena hanya ada di kisah wayang gubahan Jawa. Pun hanya ada di Yogyakarta. Pada wayang Surakarta, nama Antasena juga ada, tapi Antasena di sini, hanya nama lain dari tokoh Antareja. Sedang di Yogyakarta, Antasena dan Antareja dikisahkan sebagai dua karakter yang berbeda, walaupun keduanya sepertinya sama-sama diciptakan sebagai sosok 'pencari' makna kehidupan sejati, tapi nuansa tingkah-laku mereka sangat berbeda.

Klik untuk melihat foto lainnya...

Antasena adalah anak bungsu Raden Bima, kedua Pandawa. Lahir dari rahim Dewi Urangayu, putri semata wayang Sang Hyang Baruna. Jalinan kisah itu membuat Antasena menjadi sosok yang unik. Dia adalah bangsa manusia, lahir dari keturunan campuran bangsa Samodra dan bangsa Dewa.

Di dalam pakeliran wayang Jawa, sosok Antasena menyimpan misteri tersendiri, entah karena pengejawantahan karakter Antasena sendiri yang samar, ataupun sengaja dibuat demikian, tak ada yang tahu. Tapi konon kabarnya memang sosok karakter Antasena ini dimunculkan sebagai penggambaran akan sebuah kepribadian sufi. Orang menghubung-hubungkan akan kemunculan tokoh Antasena ini dengan semisal figur ‘nyleneh’ Syeh Siti Jenar ataupun sosok ‘sakral’ Abdul Qadir Jaelani.

Tak banyak dalang yang cukup ‘berani’ melakonkan tokoh Antasena dalam pertunjukannya. Mungkin karena penokohannya sendiri yang misterius, atau kegamangan para dalang itu yang merasa tidak cukup mampu menghidupkan karakter Antasena dari tangan mereka.

Antasena bisa dikesankan orang yang angin-anginan, sudah tidak lagi memandang dunia. Terbebas dari sifat unggah-ungguh kehidupan kerajaan. Dia bebas berkata kepada siapa saja tanpa harus berbahasa halus. Kesaktiannya sulit digambarkan, karena tak pernah diceritakan dia kalah oleh orang lain, bahkan oleh bangsa Dewa sekalipun! Konon untuk membalik dunia wayang pun dia dianggap mampu.

Lalu, kira-kira karakter yang seperti apa yang ada dalam kepribadian seseorang sakti tanpa tanding? Karena toh kemampuan seperti ini tidak mungkin ditempelkan pada tokoh antagonis. Karakter seperti ini pun rasanya akan hambar bila harus ada pada para ‘lakon’. Sehingga karakter ini seolah kemudian dilengkapi dengan sebuah penggambaran akan sifat ketinggian ilmu dan kebijaksanaannya. Ilmu yang secara awam tak akan mampu dibaurkan dengan para tokoh wayang kebanyakan. Ada yang kemudian memunculkan tokoh ini dengan kesan lucu dan selengekan, saya pikir demi sebuah upaya agar tokoh Antasena ini bisa digagas dan diterima secara khalayak. Tapi tetap ada juga yang berusaha menggambarkan tokoh Antasena ini seperti keinginannya, men-tauhid, kesufi-sufian, jauh dari keinginan dunia, dan selalu mengagungkan Sang Pencipta di setiap langkahnya.

Bentuk fisik yang khas adalah kulit sisik kemerahan di sekujur badannya. Digambarkan seperti sisik udang. Dapat hidup di darat dan di dalam air.

Antasena jelas tidak dilibatkan di perang Baratayudha. Gubahan cerita wayang versi Jawa itu tetap menempatkan Antasena seperti apa adanya, samar-samar. Dan karakter seperti Antasena tentunya tidak punya keinginan untuk turut serta pada hingar bingar peperangan. Karena kehidupan dan kematian yang dilihatnya sudah beda sekali dibanding yang dipahami orang kebanyakan.

Ketika banyak orang yang khawatir akan kesaktiannya yang tanpa tanding, akankah dia melibatkan diri pada perang Baratayudha? Cerita itu membawa pengertian bahwa justru Antasena sendiri yang tidak begitu tertarik untuk terlibat Baratayudha. Karena baginya hampir tak ada jarak pemisah antara ‘membunuh’ dan ‘melapangkan jalan kematian’. Satunya akan dihujat dan dikutuk, sementara yang satunya akan mendapat terimakasih dari si mati.

Kematiannya pun penuh misteri. Seakan cerita itu memang sengaja dibuat tidak lengkap demi mempertahankan sosok remang-remang bagi Antasena. Ada yang berkata bahwa dia hidup terus dan tak pernah mati. Ada versi yang mengungkap bahwa Antasena menjadi mengecil dihadapan Sang Hyang Wenang menjelang Baratayudha. Juga ada versi –yang saya pakai dalam novel saya- dimana dia menempuh jalan kematian sebagai tanaman jagung untuk juga menahan keterlibatan Baladewa di Baratayudha. Untuk kemudian kembali merubah dirinya sebagai ikan pari untuk mengantar jasad Bisma bertemu roh Dewi Amba di alam dasar Samodra. Dan jalan kematian itu pun seakan tak pernah selesai, ketika Antasena selalu merubah dirinya ke wujud kehidupan lain setelah kehidupan sebelumnya dianggapnya sudah selesai tugasnya.

Antasena memiliki istri Dewi Jenakawati, putri Arjuna.


Pitoyo Amrih

http://www.pitoyo.com/duniawayang/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=31

Mengenal Sang Penakhluk Tetuko, Adipati Karna








Adipati Karna seorang raja negri Awangga, meskipun raja tetapi raja kecil. Raja yang masih diperintah raja lain (Ratu rehrehan Jawa).

Istrinya Karna itu bernama Dewi Surtikanti, putri Mandaraka, putra Prabu Salyapati. Anak Adipati Karna kalau dalam pewayangan adalah dua orang, lelaki dan perempuan, bernama Warsakusuma dan Dewi Suryawati. Patihnya Karna itu bernama Patih Hadimanggala. Banyak para pejabat atau tokoh masyarakat yang mengagumi tokoh Karna, termasuk guru saya. Ki Narto Sabdo. Bahkan juga Presiden I Bung Karno juga mengagumi tokoh Karna, sebab sejarah serta perjalanan hidup Karna itu agak aneh atau unik.

Klik untuk melihat foto lainnya...

Karna itu anaknya Dewi Kunti Talibrata dengan Bathara Surya, tetapi tidak dengan jalan melalui hubungan badan (bersetubuh), sebab terkena walat atau kutukan disebabkan membaca mantra limu Aji Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan. Dewi Kunti itu sejak muda (perawan) sudah senang mempelajari ilmu, termasuk pula Kunti berguru kepada Brahmana yang bernama Reshi Druwasa, can diberi Ilmu “Aji Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan”, yang memilki daya keampuhan dapat mendatangkan Dewa hanya dengan kekuatan mantra tersebut. Peringatan Guru Druwasa. membaca atau merapal ilmu tersebut tidak boleh dilakukan sambil mandi dan/atau mau tidur.

Tetapi sepertinva Dewi Kunti tidak percaya dengan keampuhan Aji Kunta, karena itu Dewi Kunti mencoba kekuatan mantra Aji Kunta yang ia lakukan saat menjelang matahari terbenam. Dengan demikian Sanghyang Bathara Surya yang seharusnya akan istirahat, karena seharian penuh mengatur jalannya matahari, mendadak tergetar rasa hatinya sepertinya mendapatkan kontak bathin, tetapi Bathara Surya itu adalah Dewa yang ilmu kesaktiannya sangat tinggi, ibaratnya hanya dalam sekejap mata saja sudah sampai di tempat yang dituju, yaitu kamar mandi Dewi Kunti yang saat itu akan mandi. Dewi Kunti begitu mengetahui ada Dewa yang datang di depannya, langsung gugup dan tubuhnya gemetar, dengan cepat tangannya bergerak menyambar pakaiannya yang sudah mulai ia tanggalkan, tetapi yang teraih hanyalah kembennya saja, lalu ia kenakan untuk menutupi sebagian tubuhnya.

Bathara Surya kemu­dian berta­nya kepa da Dewi Kunti, ada maksud apa sampai ia merapal Aji Kunta? Dewi Kunti yang sebe­narnya ha­nya sekadar mencoba, karuan saja menjadi takut dan gugup dalam memberi penjelasan, bahwa apa yang ia lakukan hanyalah sekadar mencoba mantra tersebut

Mendengar pengakuan Dewi Kunti seperti itu, Bathara Surya menjadi marah, sebab mempelajari semua ilmu itu harus percaya dan yakin, tidak boleh hanya untuk main coba-coba. Karena itu Dewi Kunti lalu diberi hukuman, hamil tanpa bersetubuh. Dewi Kunti menangis, memohon pengampunan, tetapi Bathara Surya telah hilang dari pandangan mata.

Beberapa bulan Dewi Kunti tidak berani keluar dari kamar keputrian, yang ia lakukan hanya tidur berselimut rapat untuk menutupi kandungannya yang sudah besar, dan kalau ditanya oleh ayah, ibu dan kakaknya. jawabnya adalah sedang sakit.. Namun sepandai-pandai menyimpan bangke, akhirnya akan tercium juga bahunya. Demikianjuga halnya dengan apa yang terjadi pada Dewi Kunti, kakaknya sendjri Basudewa yang mengetahui pertama kali kalau ia sedang mengandung.

Talk terbayangkan bagaimana kemarahan Raden Basudewa begitu mengetahui dengan penglihatannya sendiri kalau adiknya Dewi Kunti sedang mengandung, padahal belum menikah dengan lelaki siapapun. Niatnya Dewi Kunti akan dihajarnya, namun untunglah Reshi Druwasa guru­nya Dewi Kunti mendadak datang, yang kemudian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Dewi Kunti. Apa yang dijelaskan oleh Resi Druwasa dapat diterima oleh Basudewa.

Untuk menjaga agar aib tersebut tidak tersebar luas, bayi yang ada dalam kandungan Dewi Kunti, lalu dilahirkan dengan kekuatan mantra gaib Resi Druwasa. Bayi lahir melalui lubang telinga Dewi Kunti, karena itu jabang bayi diberi nama Karna.

Bayi Karna kemudian dimasukkan ke dalam kendaga dan dihanyutkan ke sungai Bagi Ratri, selanjutnya bayi yang hanyut di sungai itu ditemukan oleh salah seorang sais kereta Prabu Drestrarasta, yang bernama Adirata, yang kebetulan baru mandi bersama istrinya yang bernama Nyai Nadha, bayi dibawa pulang, dipelihara dan diasuh sampai dewa­sa.

Karna juga punya nama ; Suryaputra, Suryat­maja, Talidarma, Bismantaka, Pritaputra.

Adipati Karna bersatu dengan Prabu Duryudana, sebab Kama berhutang bu­di kepada Prabu Duryudana di Astina, termasuk Surtikanti, istrinya Kama itu sebenamya pacamya (ke­kasihnya) Duryudana, te­tapi direlakan menjadi istri­nya Karna. Intinya, semua kemuliaan yang dimiliki Prabu Karna merupakan pemberian atau anugrah dari Prabu Duryudana. Karena itu walaupun Prabu Karma itu putra Dewi Kunti, dan Pandawa itu saudara satu ibu, akan tetapi Prabu Karna tetap bersatu serta merasa dan mengakui kalau Duryudana yang harus dibela dan dilindungi. Prabu Karna juga mengakui kalau Kunti itu ibu yang melahirkannya, serta Pandawa itu adalah saudaraya. Meski demikian Prabu Karna kukuh dengan sumpahnya membela yang memberi kemuliaan, yaitu Prabu Duryudana.

Disinilah kita dapat mengambil pelajaran, Katresnan atau Kewajiban, tapi kenyataannya Prabu Kama memilih kewajiban. Kenyatannya dalam lakon “Krena Duta”. Kama bertemu dengan Kresna (Sandi Tama Kawedar), Kresna membujuk Karna agar bersatu dengan Pandawa. Karna tidak mau. Dewi Kunti sendiri juga membujuk dan meminta Karna bersatu bersama Pandaiva, Karna juga tidak mau, tetap akan membela Duryudana.

Namun sesungguhnya Karna itu juga sayang terhadap Pandawa, Buktinya? Karna itu memiliki pusaka pembawaan dari lahir yaitu yang berujud anting-anting yang bernama “Pucunggul Maniking Surya”, serta Kawaca (Kere Waja atau Rumpi Baja). Karena kecintaannya terhadap Pandawa, Karna membuang pusaka kadewatan yang dibawanya sejak lahir sambil bekata : Hai, saudaraku para Pandawa. Ini pusaka milikku yang sangat sakti sudah aku lepas, dibuang. Aku tidak butuh kemenangan, Pandawa harus menang. Angkara murka harus lenyap.

Ki. H. Manteb Soedarsono
Dari Majalah WAYANG EDISI ke 2
sumber : www.heritageofjava.com


Lautan Tangis…Lautan Tangis…Lautan Tangis

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
 Image
Teman-teman, jika pun revolusi sudah saatnya harus terjadi, mari kita berdoa agar peristiwa itu berlangsung dengan sangat damai dan indah. Dan sehabis itu kita dapat bersekolah dan kuliah dengan lebih tenang, karena para orangtua lebih leluasa mecari membuat dan mencari lapangan kerja. Anak-anak kecil kembali riang di atas-atas pematang sawah dengan matahari pagi yang syahdu.
     Jika pun harus terjadi, sehabis revolusi yang berlangsung damai dan indah itu kita tak perlu terlalu pusing jika ada sanak-famili yang sakit, karena negara turut menanggung setiap warganya yang menderita. Biaya rumah-rumah sakit tidak semengerikan bagai sekarang. Harga rumah terjangkau karena government akan memperhatikan betul papan sebagai kebutuhan dasar warganya.
     Kesempatan melakukan usaha-usaha kecil makin terbuka, karena bank-bank tak boleh lagi hanya mengucurkan kredit pada pengusaha-pengusaha raksasa. Pasar-pasar tradisional kembali hidup. Spirit dan energi kita kembali berkobar, seiring dengan kembalinya kita kelola secara mandiri batu bara, gas, minyak dan lain-lain.
     Saya undang kalian semua sesama bangsa yang bisa kita sebut keluarga, untuk mengunjungi  lagu “Lautan Tangis” (Klik disini) . Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah turut menyebarkan info ini melalui milis, FB dan lain-lain jejaring internet. Liriknya begini:
 
     Berlayarlah di laut, laut keringat kami
     Tertawalah di laut, laut keringat kami
     Berselancarlah di laut, laut keringat kami
     Berpesiarlah di laut, laut keringat kami…

             Bergerak, bergerak, tetap bergerak
             Menderap langkah, merapat barisan
             Bergerak, bergerak, tetap bergerak
             Berat kita junjung, ringan kita jinjing
             Bergerak, bergerak, tetap bergerak
             Berlumur keringat dan airmata….

     Berlayarlah di lautan airmata kami
     Tertawalah di lautan airmata kami
     Berselancarlah di lautan airmata kami
     Berpesiarlah di lautan airmata kami
           
             Bersabar, bersabar, kita sejak dulu
             Amuk kita timbun, munjung bagai gunung
             Bersabar, bersabar, kita sejak dulu
             Amuk kita tunda, gunung tak meletus
             Bersabar, bersabar, kita sejak dulu
             Sejak dulu nahan, sejuk bagai gunung
           
     Pesta poralah di gunung kesabaran kami
     Dansa dansilah di gunung kesabaran kami
     Injak injakkan kakimu di gunung kesabaran kami
     Buang botol-botol minummu di gunung kesabaran kami
                       
               Bersabar, bersabar, sampai habis sabar
               Sabar jadi riak, riak jadi ombak
               Bersabar, bersabar, sampai habis sabar
               Gunung pun bergetar, laut bergelora
               Bergelora-gelora, bergunung-gunung ombak
               Gulungan gelombang keringat dan airmata

     Hati hati jangan kau terlena di laut keringat kami
     Hati hati jangan kau haha hihi di laut keringat kami
     Awas awas awas di gunung kesabaran kami
     Mawas mawas dirilah di gunung kesabaran kami
    
     (Sujiwo Tejo, Lagu Lautan Tangis, album Presiden Yaiyo, videoclip)

http://sujiwotejo.com/index.php?option=com_content&task=view&id=190&Itemid=41

Sujiwo Tejo

Image 
SUJIWO TEJO dikenal sebagai seorang dalang, yang juga seorang penulis, pelukis, pemusik dan bahkan disebut seorang budayawan. Karya dan pentasnya mengajak kita untuk mengenang masa depan karena masa depan kita ada di belakang, ada pada akar budaya Indonesia yang dibanggakannya. Keinginannya mengangkat akar budaya Indonesia menghasilkan kepeduliannya yang tinggi agar kesenian Indonesia merujuk pada akar budaya tapi diolah dengan metabolisme kreatif sehingga tidak menjadi kuno. Dalam metabolism itu tetap dicerna seluruh hal yang datang dari luar. Dengan pendekatan ini, Indonesia akan dikenali juga sebagai negara yang memiliki seni dan budaya yang modern.

Lahir di Jember, 1962

Pendidikan formal:
Jurusan Matematika ITB (1980-1985)
Jurusan Teknik Sipil ITB (1981-1988)
WAYANG
Image

2004   Mendalang keliling Yunani 
1999    Menggelar wayang acapella dengan lakon “Pembakaran Shinta” di Pekan Budaya VIII Universitas Parahyangan Bandung dan Pusat Kebudayaan Perancis Jakarta
1999    Membentuk Jaringan Dalang, bersama para dalang alternatif
1994   Menyelesaikan 13 episode Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia.
1994    Mendalang wayang kulit sejak anak-anak dan mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul: Semar Mesem
PANGGUNG TEATER

 Image

2009    Dongeng Cinta Kontemporer II – Sujiwo Tejo “Kasmaran Tak Bertanda” (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta, (13 – 14 November)
2009    Pagelaran Loedroek tamatan ITB ''MARCAPRES'' (Sutradara dan Pemain), Gedung Kesenian Jakarta (28 Juni)
2009    Dongeng Cinta Kontemporer I – Sujiwo Tejo “Sastrajendra Hayuningrat Panguwating Diyu” (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta (28 – 29 Mei)
2008    Pementasan Pengakuan Rahwana (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta (6 Desember)
2008    Pementasan ludruk dengan lakon “Déjà vu De Java” di Auditorium Sasana Budaya Ganesa, (30 November )
2007      Pentas Semar Mesem, Gedung Kesenian Jakarta, 2007.
2006      Freaking Crazy You (sutradara) Gedung Kesenian Jakarta, 2006.
2005    Battle of Love (Sutradara), Gedung Kesenian Jakarta, 2005.
2006      Pentas Kolosal Pangeran Pollux  (Sutradara), JHCC, 2006.
2005    Pentas Kolosal Pangeran Katak (Sutradara), JHCC, 2005.
1999    Laki-laki”, Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999; kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata.
1989    Belok Kiri Jalan Terus”, Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, 1989; untuk mas kawin pernikahannya 

MUSIK
 sebagai komponis, arranger, player dan penyanyi:

Image 

2007    Album Presiden Yaiyo
2005    Album Syair Dunia Maya
1999    Album Pada Sebuah Ranjang
1998    Album Pada Suatu Ketika
video klipnya meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia 1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000.
Lain-Lain:
1999    Menjadi nominator Most Wanted Male yang digelar MTV Asia.
1986    - 1991 Mengisi acara Sastra Humor di Radio Sponsor of the literature of humor in Continental FM Radio, Radio Estrelita Radio and Radio Ardan Radio di Bandung
1983    Membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi, 1983
1983    Tinjuan kebudayaan di Iran sambil muter film Kafir
1983    Menata musik untuk berbagai pementasan teater di Bandung, seperti Studi Teater Mahasiswa ITB dan Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film Universitas Padjadjaran, dekade 80-an
1979    Juara I dalam Festival Lagu Rakyat se Karesidenan Besuki di Bondowoso.
1978    Juara II dalam Festival Lagu Rakyat se-Karesidenan Besuki di Jember

FILM

sebagai aktor:
2009    Capres
2008    Kawin Laris
2008    Aborsi,
2006    Malam Jumat Kliwon
2006    Kala
2005    100 Persen Sari
2005    Janji Joni
2003    Sumanto
2001    Kafir
1996    Telegram

Image

sebagai sutradara:
2010    (akan direlease) Bahwa Cinta Itu Ada
2007    Dokumenter Empu Keris di Jalan Padang
2006    Dokumenter Apank Sering Lupa
2005    Dokumenter Kisah dari Mangarai 

BUKU DAN TULISAN

2009    -  sekarang : Kontributor tetap Kolom Mingguan, Wayang Durangpo, Jawa Pos,
2003    The Sax, Penerbit Eksotika Karmawibhangga Indonesia, Jakarta ISBN 9799714826 
2002    Dalang Edan,  Penerbit Aksara Karunia, Jakasampurna, Bekasi, Indonesia, ISBN 9799649641
2001    Kelakar Madura buat Gus Dur, Penerbit Lotus, Yogyakarta, Indonesia
1980    Menulis puisi dan cerita pendek untuk berbagai majalah hiburan, seperti Gadis and Anita pada penghujung
1985    -  sekarang : Menulis laporan-laporan pertunjukan musik, teater, tari dan pameran seni rupa, artikel-artikel  di koran

Image

LUKISAN

Tahun 2008:
Mei      Pameran Tunggal ’Semar Nggambar Semar’, Jogja Gallery, Yogyakarta. (10 – 16 Mei)
Maret  Pameran Tunggal ’Super Semar Mesem’, Galeri Surabaya. (11 Maret)
Juni     Pameran Bersama di Galeri Rumah Jawa, Jakarta, (Juni)
Juli      Pameran Bersama di Café De La Rose, Jakarta (Juli)

Tahun 2007:
1.     Pameran Tunggal ’Hitam Putih Semar Mesem’, Balai Kartini, Jakarta (1 November)
2.     Pameran Tunggal bulanan di Viky Sianipar Music Center, Jakarta.

Image
 
http://sujiwotejo.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5&Itemid=38

Dursasana



Dursasana
Dursasana dalam bentuk wayang Jawa gaya Surakarta
Dursasana dalam bentuk wayang Jawa gaya Surakarta
Tokoh dalam mitologi Hindu
Nama: Dursasana
Nama lain: Duhsasana; Dushasana
Ejaan Sanskerta: Dusśāsana (Dushasana)
Asal: Hastinapura, Kerajaan Kuru
Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sanskerta: Duśśāsana) adalah nama seorang tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik nomor dua dari Duryudana, pemimpin para Kurawa, atau putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gendari. Dursasana memiliki tubuh yang gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain.
Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala.

Arti nama

Nama Duhsasana terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".

Kelahiran

Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam keadaan tidak wajar. Saat itu Gandari iri kepada Kunti istri Pandu yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira. Gandari pun memukul-mukul kandungannya sehingga lahir segumpal daging berwarna keabu-abuan. Daging tersebut kemudian membelah diri sampai berjumlah seratus potongan.
Resi Wyasa datang menolong Gandari. Ia menanam daging-daging tersebut pada sebuah pot di dalam tanah. Setahun kemudian salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama Duryodana, bersamaan waktunya dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama Bimasena.
Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran Arjuna, putra ketiga Kunti.
Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.
Sebanyak 100 orang putra Dretarsatra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pandawa. Meskipun bersaudara sepupu, namun Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat hasutan paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari.

Pelecehan Dropadi

Kecemburuan para Korawa terhadap Pandawa semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama Indraprastha. Berkat bantuan licik Sangkuni, para Korawa berhasil merebut Indraprastha melalui sebuah permainan dadu.
Saat Yudistira dan keempat adiknya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh Duryodana untuk mempertaruhkan Dropadi. Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Setelah Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya.
Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kemudian memerintahkan agar Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam keadaan tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. Sri Kresna pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak ada habisnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Akhirnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan.
Setelah peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga Bimasena (Pandawa nomor dua) bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya.

Kematian

Puncak permusuhan Pandawa dan Korawa meletus dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra. Pada hari keenam belas, Dursasana bertarung melawan Bimasena. Dalam perkelahian tersebut Bimasena berhasil menarik lengan Dursasana sampai putus, kemudian merobek dada dan meminum darah sepupunya itu.
Bimasena kemudian menyisakan segenggam darah Dursasana untuk diusapkannya ke rambut Dropadi yang menunggu di tenda. Dendam istri Pandawa itu pun terbayar sudah.

Versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjunut. Istrinya bernama Dewi Saltani, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.
Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai putra mahkota yang baru. Namun Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke Hastina dengan alasan menjaga Dewi Banowati, istrinya.
Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Dursasana ganti membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Buktinya, Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.
Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial.
Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.
Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga Kurawa nomor dua itu gagal mencapai sungai. Bima pun segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling.
Melihat adiknya tersiksa, Duryudana muncul memohon agar Bima mengampuni Dursasana. Duryudana bahkan menjanjikan perang berakhir hari itu juga dengan Pandawa sebagai pemenang. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dibebaskan.
Bima mulai bimbang. Namun Kresna mendesaknya supaya Dursasana jangan diampuni. Menurutnya, Pandawa sudah jelas menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna mengingatkan kembali kekejaman para Kerawa membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh. Kemudian ia memutus kedua lengan Dursasana secara paksa.
Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil.
Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.
Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Dursasana