Rabu, 21 Desember 2011

Kumbakarna



Kumbakarna
कुम्भकर्ण
Kumbakarna versi pewayangan Jawa
Kumbakarna versi pewayangan Jawa
Tokoh dalam mitologi Hindu
Nama: Kumbakarna
Aksara Dewanagari: कुम्भकर्ण
Ejaan Sanskerta: Kumbhakarṇa

Golongan: rakshasa
Asal: Kerajaan Alengka
Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna (Sansekerta: कुम्भकर्ण; Kumbhakarṇa) adalah saudara kandung Rahwana, raja rakshasa dari Alengka. Kumbakarna merupakan seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan, tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah. Ia memiliki suatu kelemahan, yaitu tidur selama enam bulan, dan selama ia menjalani masa tidur, ia tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.


Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, secara harafiah nama Kumbhakarna berarti "bertelinga kendi".

Keluarga

Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Wisrawa, dan ibunya adalah Kekasi, puteri seorang Raja Detya bernama Sumali. Rahwana, Wibisana dan Surpanaka adalah saudara kandungnya, sementara Kubera, Kara, Dusana, Kumbini, adalah saudara tirinya. Marica adalah pamannya, putera Tataka, saudara Sumali. Kumbakarna memiliki putera bernama Kumba dan Nikumba. Kedua puteranya itu gugur dalam pertempuran di Alengka. Kumba menemui ajalnya di tangan Sugriwa, sedangkan Nikumba gugur di tangan Hanoman.

Anugerah Brahma

Saat Rahwana dan Kumbakrana mengadakan tapa, Dewa Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Brahma memberi kesempatan bagi mereka untuk mengajukan permohonan. Saat tiba giliran Kumbakarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan" (Indrāsan – tahta Dewa Indra), ia mengucapkan "Neendrasan" (Nīndrasan – tidur abadi). Brahma mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Rahwana meminta Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan untuk membatalkan anugrahnya, namun ia meringankan anugrah tersebut agar Kumbakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan. Pada saat ia menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.

Peran di Alengka

Kumbakarna sering memberikan nasihat kepada Rahwana, menyadarkan bahwa tindakanya keliru. Ketika Rahwana kewalahan menghadapi Sri Rama, maka ia menyuruh Kumbakarna menghadapinya. Kumbakarna sebenarnya tahu bahwa kakaknya salah, tetapi demi membela Alengka tanah tumpah darahnya dia pun maju sebagai prajurit melawan serbuan Rama. Kumbakarna sering dilambangkan sebagai perwira pembela tanah tumpah darahnya, karena ia membela Alengka untuk segala kaumnya, bukan untuk Rahwana saja, dan ia berperang melawan Rama tanpa rasa permusuhan, hanya semata-mata menjalankan kewajiban.

Pertempuran dan kematian

Saat Kerajaan Alengka diserbu oleh Rama dan sekutunya, Rahwana memerintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna yang sedang tertidur. Utusan Rahwana membangunkan Kumbakarna dengan menggiring gajah agar menginjak-injak badannya serta menusuk badannya dengan tombak, kemudian saat mata Kumbakarna mulai terbuka, utusannya segera mendekatkan makanan ke hidung Kumbakarna. Setelah menyantap makanan yang dihidangkan, Kumbakarna benar-benar terbangun dari tidurnya.
Setelah bangun, Kumbakarna menghadap Rahwana. Ia mencoba menasihati Rahwana agar mengembalikan Sita dan menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan kakaknya itu adalah salah. Rahwana sedih mendengar nasihat tersebut sehingga membuat Kumbakarna tersentuh. Tanpa sikap bermusuhan dengan Rama, Kumbakarna maju ke medan perang untuk menunaikan kewajiban sebagai pembela negara. Sebelum bertarung Kumbakarna berbincang-bincang dengan Wibisana, adiknya, setelah itu ia berperang dengan pasukan wanara.
Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara dan banyak melukai prajurit pilihan seperti Anggada, Sugriwa, Hanoman, Nila, dan lain-lain. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Kemudian Rama memotong kedua kaki Kumbakarna dengan panahnya. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka.

 http://id.wikipedia.org/wiki/Kumbakarna

Kamis, 08 September 2011

Wayang Wahyu Wayang Serani



Romo Yustinus Slamet Riyadi sedang memainkan gunungan wayang wahyu.


Saya sering bertanya kepada rekan-rekan serani (umur 18-40 tahun) di Kota Surabaya. Tahu nggak wayang wahyu? Pernah lihatkah? Jawabannya: nol koma nol persen. Tak satu pun yang tahu.

Wayang wahyu yang nota bene wayang serani malah asing di Jawa. Bagaimana pula dengan orang Flores macam saya? Lha, jangankan wayang wahyu, wayang kulit biasa saja, teman-teman Jawa ini banyak yang asing. Sebagian besar tidak suka.

Yah, budaya Jawa (Nusantara umumnya) memang di ambang kepunahan. Orang sekarang lebih suka lihat hiburan di televisi, kagumi artis, ngecat rambut, mata biru, dan seterusnya. Niat Bung Karno agar kita ‘berkepribadian di bidan budaya’ benar-benar meleset.

Kembali ke wayang wahyu.

Saya menemukan sedikit informasi dari buku bekas PRATIWIMBA ADHILUHUNG karya S HARYANTO (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988). Buku ini saya beli di Jalan Semarang, pusat buku-buku bekas di Kota Surabaya. Puji Tuhan, ada sedikit informasi tentang wayang wahyu. Saya pakai ini sebagai rujukan untuk menjawab pertanyaan beberapa rekan yang tinggal di luar Indonesia.

Menurut Haryanto, wayang wahyu mula pertama diciptakan oleh Bruder TIMOTIUS MARJI SUBROTO (wafat 17 Juli 1976) di Solo. Bruder (biarawan Katolik) sengaja menciptakan wayang wahyu pada Desember 1960 untuk pekabaran Injil. Evangelisasi. Memberitakan kabar baik kepada masyarakat Jawa, dalam bahasa dan budaya lokal. Karena itu, wayang modern ini dibuat semirip mungkin dengan wayang kulit biasa.

Bruder Timotius menggunakan 225 tokoh pria dan wanita dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jajaran sebelah kanan tokoh-tokoh berbudi luhur (baik), sedangkan sebelah kiri tokoh-tokoh berwatak jahat. Raksasa Goliat termasuk tokoh jahat yang berada di sebelah kiri. Di tengah ada gunungan yang menggambarkan Yerusalem Baru (Wahyu 22), 10 Perintah Allah (Keluaran), serta Yesus sebagai Jalan-Kebenaran-Hidup (Yohanes 14:6).

Pengaturan wayang mirip wayang kulit purwa. Berjajar tokoh-tokoh berbadan kecil hingga besar. Tokoh-tokohnya lebih sedikit daripada wayang biasa. Di tengah-tengah bala kiwa (kiri) dan bala tengen (kanan), terdapat Yesus Kristus (Isa Almasih). Posisi Yesus lebih tinggi. Yesus bisa ditampilkan dalam beberapa adegan: saat berdoa di taman Getsemani, saat perjamuan akhir, bermakhota duri.

Iringan musik pakai gamelan biasa. Tembang-tembang pentatonik pelog, slendro, dan sejenisnya. Tapi juga ada upaya mengadopsi kidung-kidung gerejawi yang pentatonis ke karawitan ala lagu-lagu campursari. “Bahasanya biasa Jawa bisa bahasa Indonesia, tergantung penonton,” ujar Romo YUSTINUS SLAMET RIYADI, O.Carm., dalang wahyu yang juga pastor.

Sejak November 2006 lalu, Romo Yustinus bertugas di Malang, tepatnya pelayanan di Paroki Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Kota Malang.

Kepada saya, Romo Yustinus alias Ki Bodronoyo, mengatakan pergelaran wayang wahyu jauh lebih mudah ketimbang wayang purwa. Durasinya paling lama tiga jam. Tidak perlu semalam suntuk. “Kalau mau efisien, bisa diringkas lagi menjadi dua jam tanpa mengurangi inti cerita,” jelas Romo Yustinus, bekas pastor paroki Jember dan paroki Curahjati (Banyuwangi).

Kenapa wayang wahyu kurang dikenal di Jawa Timur, termasuk di kalangan serani? Ini karena sosialisasi sangat kurang. Gelar wayang wahyu hampir tak pernah ada. Selama empat tahun terakhir di Surabaya dan Sidoarjo tak ada satu pun gelar wayang wahyu.

Alih-alih wayang wahyu, wayang kulit biasa pun jarang, kecuali di pinggiran kota. Jangan heran, Romo Yustinus lebih dikenal sebagai dalang biasa, bukan dalang wayang wahyu. Padahal, Yustinus ini merupakan salah satu dari sangat sedikit dalang wayang wahyu yang masih aktif di Jawa Timur.

Surutnya wayang wahyu, menurut saya, tak lepas dari konstelasi jemaat serani di Jawa mutakhir. Warga serani umumnya tinggal di kota-kota. Sedikit sekali yang bermukim di desa. Etnisnya macam-macam pula: Jawa, Flores, Tionghoa, Batak, Papua. Orang Jawa tokh hampir tidak ada.

Sebagai gereja multikultur, tentu sulit menggelar wayang wahyu di lingkungan Gereja Katolik yang hanya bisa dipahami jemaat berlatar Jawa. Toh orang Jawa sendiri pun mulai kurang paham bahasanya sendiri, bukan?

Lagi pula, sebagai sarana evangelisasi, wayang wahyu sudah lama digantikan oleh program rutin dewan paroki macam pendalaman iman, doa lingkungan/wilayah, bulan kitab suci, aksi puasa pembangunan, atau komunitas basis gerejawi. Tapi, apa pun juga, wayang wahyu pernah tercatat sebagai sebuah terobosan dalam reksa pastoral di kalangan serani di Tanah Jawa.

http://hurek.blogspot.com/2007/02/wayang-wahyu-wayang-serani.html

Kisah Drupadi, Istri yang Menggugat Hak

Suasana di Karang Tumaritis, atau sering disebut Karang Kadempel, tempat Semar dan anak-anaknya tinggal, adem ayem. Waktu seakan berhenti berputar disana. Siang itu Petruk, putra kedua Semar sedang santai gak ada kerjaan. Tiduran di amben bambu di bawah pohon, masih sempat-sempatnya rengeng-rengeng (nyanyi buat diri sendiri) tembang macapat  ala mas Didi Kempot “Racing Solo” (alias “Solo Balapan”),
Neng setasiun sarapan
Kota Solo sing dadi kenangan
Kowe karo asuuuuuu…..
“Beh!….” Ujug-ujug alias sekonyong-konyong anak Petruk si Lengkung Kusuma yang mbedhis (=nakalnya gak ketulungan) teriak di sisi kuping Bapaknya,  sekaligus motong lagu Bapaknya yang ngawur itu.
Gombale Mukiyo! Koen iku gak lihat Bapakmu lagi nglamun tah? Ngageti orang aja. Dasar anak Celeng!” Petruk seketika bangun, kaget. (Koen=Kamu, cara Suroboyo)
“Yang Celeng itu Lik Bagong , beh! (Bagong, Sunda=Babi Hutan=Celeng). Ane kan anaknya Jerapah!” Lengkung Kusuma tangkas menyahut ” Bukan begitu….dulu itu katanya ndoro putri Drupadi marah-marah di Pertemuan Agung di Wiratha, adapa sih Beh?”
Gak ah, gak katene aku crita nang arek cilik koyok koen!” (=gak akan saya crita ke anak kecil macam kamu)” Tensi Petruk masih tinggi.
“Babeh ini sudah belasan tahun tinggal di Tangerang, sisa logat main Ludruknya di mBalong Panggang masih kebawa terus yak. Lagian yang minta juga bukan cuma ane. Ndoro Putri yang satu itu juga minta kan?” Lengkung mengingatkan.
Dengkulmu amoh, yak, Bapakmu lupa jeee
Dan berceritalah Petruk sebab takut sama Ndoro Putri yang seleb itu ……..
Dewi Drupadi adalah putri Prabu Drupada, raja kerajaan Pancala. Kecantikannya terkenal sampai kemana-mana.Tak heran ketika ayahnya mengumumkan akan memcari calon suami bagi putrinya, banyak ksatria dan brahmana rela antri untuk dapat mempersunting sang Putri. Namun sang Calon harus mengikuti sayembara yang ditetapkan oleh sang Raja. Sayembara itu berupa mengangkat busur wasiat peninggalan leluhur Pancala serta melepaskan panah dari busur tersebut, dan mengalahkan patih sekaligus benteng kerajaan Pancala, Gandamana.
Pandawa yang sedang dalam pengembaraan karena terusir dari Astina, negara yang seharusnya mereka warisi dari ayahnya Pandu Dewanata, mengikuti sayembara itu, untuk dan atas nama Yudistira, sang sulung. Singkat cerita, busur itu dapat diangkat dan dipergunakan oleh wakil Pandawa, Arjuna dan wakil Negara Astina, Adipati Karna. Tapi Karna tidak dapat mengalahkan Gandamana, dan wakil Yudistira, sang Bimasena sukses mengalahkan patih yang sakti itu. Drupadi diboyong dan diperistri oleh Yudistira….
Hlealaaaaah, Beh!. Sing iki wis diajarno Bu Guru. Kapanane wis ulangan. gak usah dicritakno maneh! (Yang ini sudah diajarkan Bu Guru, dulu sudah ulangan, gak usah dicritain lagi!)” Lengkung Kusuma memotong crita Bokapnya.
“Et dah, lo jangan sembarangan aja motong cerita Babeh dong.!” Petruk sewot sebab ceritanya dipotong.
Sssst, ppsssst, Cut! Cut! (yang nulis interupsi) Salah tuh! Castingnya Petruk yang harus pake bahasa Suroboyo-an, anaknya pake bahasa Betawi Pinggiran. Bisa kebalik-balik gitu gimana sih! Konsen dong! Konsen! Gendheng kabeh!
“Yang gendheng itu sapa sih ini?” Petruk mbatin. Gak berani ngomong, takut sama yang nulis.
Dalam lakon Pandawa Dadu, Kurawa yang sirik atas keberhasilan Pandawa membangun Negara Amarta, mengundang Pandawa untuk bertemu. Alasannya, bergembira bersama atas keberhasilan Pandawa membangun Amarta. Pandawa yang tidak curiga tentu saja bersedia datang.
Dalam kegembiraan pesta, Sangkuni, mahapatih Astina yang julig itu mengusulkan untuk bermain dadu. Karena rayuan maut Sangkuni, Pandawa yang sebenarnya ogah bermain akhirnya bersedia dan larut dalam permainan itu. Permainan yang tadinya hanya sekadar main-main, akhirnya benar-benar menjadi judi. Judi yang tadinya kecil-kecilan makin lama makin menjadi besar-besaran.
Semua harta Pandawa pelan-pelan lenyap di meja judi. Emas-berlian, kuda-kuda dan kereta perang, sampai akhirnya negara baru yang dibangun Pandawa dengan cucuran keringat, Amarta alias Indraprastha harus diserahkan kepada Kurawa,
Prabu Drestarata, ayah Kurawa, pengemban amanah Negara Astina hadir dalam acara itu. Demikian juga Yamawidura, adik Drestarata dan paman Kurawa serta Pandawa. Penasehat Pandawa, kakak sepupu para Pandawa, Sri Batara Kresna juga hadir di sana. Tapi semuanya tidak mampu menghentikan acara judi yang berlangsung antara kedua pihak yang sudah sampai pada taraf kesetanan itu.
(backsound: Aku Melarat Karena Judi, Muchsin Alatas)
Ketika harta Pandawa sudah habis semua, Dursasana (si nomer 2 Kurawa) yang sudah sejak lama nepsong sama Drupadi, mengusulkan agar Pandawa mempertaruhkan Drupadi di meja judi untuk setengah wilayah kerajaan Astina ditambah seluruh wilayah Amarta yang sudah jadi milik Kurawa itu.  Melihat besarnya taruhan yang dipasang Kurawa, dengan sikap apa boleh buat Pandawa meladeninya. Mereka berpikir, masa sih mau kalah lagi?. Dan ternyata…….memang kalah lagi!
1311476827676616549
karya arioandito@evianart dari wayang.wordpress.com
Dursasana meloncat kegirangan karena kemenangan itu, dan segera memeluk dan menarik Drupadi. Drupadi tentu saja berontak, sehingga sanggul rambutnya terlepas. Dursasana menarik rambut Drupadi yang panjang itu dan menyeretnya kearah para Kurawa. Dursasana yang kalap kerasukan setan segera menarik kain pinjung Drupadi berniat untuk menelanjanginya di depan umum.
Atas pertolongan Sri Kresna yang titisan Dewa Wisnu itu,, upaya itu tidak berhasil. Meskipun Dursasana sudah menarik kainnya habis-habisan, Drupadi juga sudah berputar-putar dan kain yang ditarik sudah teronggok meninggi, tapi kain Drupadi tetap utuh.
Kemudian atas prakarsa Sri Kresna, Drestarata dan Yama Widura, Drupadi dikembalikan kepada Pandawa, dan status Amarta hanyalah dipinjam oleh Kurawa selama 12 tahun.
Tapi Drupadi yang malu, belum mau sudah. Sambil berteriak, sehingga didengar semua orang, dia mengucapkan sumpahnya bahwa tidak akan menyanggul rambutnya lagi sebelum keramas dengan shampo…..eh salah, keramas dengan darah sang Dursasana.
Dursasana yang ngakak saja mendengar sumpah Drupadi amat menjengkelkan Bimasena. Berniat untuk menghajar Dursasana, Bima alias Werkudara itu terhenti langkahnya mendengar perkataan Sri Kresna:
Jagad Dewa Bathara, yo Jagad Mangestungkara, Eeee….. yayi…,yayi Werkudara!
“Sssst, Beh. Salah tuh!” Lengkung Kusuma ng-interupsi lagi “Itu kan omongannya ndoro Sinuwun Prabu Kresna? Gak layak kan seorang Petruk omong seperti itu?”
Lambemu! Bapakmu ini sedang niru omongannya Sinuwun itu. Dengerin dulu tah, jangan motong crita orang aja dong!” (sorry, makian Petruk tidak diterjemahkan! Dasar Petruk memang suka memaki!…..)
“Ooo, gitu yak, okeh, okeh deh, Beh” Anaknya cengengesan “lanjutin critanya….”
“Lanjutin dengkulmu ambleg! Sampai mana tadi?” Petruk pikun beneran, bukan bo’ongan.
“Sampai mBantul, Beh. mBandung, mBogor, mBerlin, mBashington DC! Eh…..”
Malam itu usai acara kawinannya Abimanyu yang putra Arjuna dengan Dewi Utari yang putri Prabu Matsyapati dari Wiratha, persidangan agung yang diprakarsai Prabu Matsyapati sebagai tuan rumah, dihadiri Sri Kresna, Prabu Baladewa, dan para raja sekutu Pandawa.
Para pendukung dan sekutu meminta Pandawa untuk tegas meminta kembali haknya atas Indraprastha usai masa pengasingan yang 12 tahun itu. Pembahasan lalu berkembang tentang kemungkinan akan terjadi perang besar apabila Kurawa mengingkari janjinya.
13115596991758230004
Dian Sastro sebagai Drupadi (sumber: hot.detik.com)
Tapi Pandawa sendiri terkesan ogah-ogahan, terutama karena di Astina berkumpul orang-orang tua yang dihormati Pandawa, Resi Bisma yang kakek Pandawa, Resi Durna yang guru Pandawa, Prabu Salya yang paman Nakula dan Sadewa. Lagipula Pandawa tidak yakin akan mampu mengalahkan kesaktian para tetua itu.
Pertemuan itu jadi stagnan, sampai ada suara kecil melengking dari sudut “Bolehkah saya bicara?” Ternyata Drupadi yang interupsi.
Atas ijin Sri Kresna yang memimpin sidang, Drupadi pun maju ketengah ruang dan seperti seorang orator, dia mengajukan pendapatnya:
“Belum puaskah kalian, suamiku tersayang Yudistira dan para saudaranya menganggapku sebagai seonggok barang atau segumpal daging sehingga tega dipertaruhkan di meja judi? Aku, Drupadi, isterimu yang setia sehingga rela ikut terlunta-lunta dalam pengembaraan kalian selama 12 tahun! Masih ingatkah kalian akan rasa malu dan sumpahku yang tak akan menyanggul rambutku sebelum keramas dengan darah Dursasana? Akankah kalian membiarkan rambutku terurai selamanya? Engkau, suamiku, begitu sayangmu akan Suyudana dan Dursasana sehingga melupakan aku? Aku, Drupadi, menuntut hak-ku sebagai isteri yang dipermalukan!…………..”
“Beh, jangan ikutan esmosi gitu laaaah. Babeh kan cuma cerita seh?” Lengkung Kusuma interupsi lagi.
Hajindul……..”
“Esh, salah lagi kan karena esmosi. Hajindul itu makian asal Solo, Beh! Nanti Yang Nulis ke-ge er-an dan interupsi lagi, katanya salah casting lagi. Biar cuma makian harus tetap jaga casting, Beh!”
Akhirnya perang besar Bharata Yudha meletus juga karena Kurawa mengingkari janjinya. Dan Drupadi bisa memenuhi sumpahnya, dan menyanggul rambutnya kembali.
Tapi itu tidaklah berlangsung lama. Mendekati akhir perang, Aswatama yang dendam atas gugurnya ayahandanya Resi Durna, berhasil menyusup ke garis belakang pertahanan Pandawa dan membunuh semua isteri para Pandawa, termasuk Drupadi.
Haaaaaaah! Jlitheng kakangku piye ikiiii…..”
“Hayoh! Koen katene ng-interupsi Bapak lagi kaaan?” Petruk memotong critanya sendiri sembari mengacungkan tinjunya.
“Gak, Beh, enggaklah! Ane juga tahu kalo itu omongnya ndoro Bimasena ke ndoro Prabu Kresna. Cemen lah itu, Bokap juga jangan “over confidence” gitu…..” Lengkung Kusuma sotoy “Lagian ane juga tahu kalo ceritanya udah selesai. Iya kan? Weeeekkk!”
___________________________________________________________________________________
catatan penulis :
  • Cerita ini adalah bagian dari Mahabharata. Bukan cerita carangan seperti biasanya. Di cerita aslinya, Dewi Drupadi, atau Draupadi bersuamikan 5 orang Pandawa. Penulis merasa tidak berkompeten walau sekadar berkomen, karena Mahabharata bagi saudara-saudara saya umat Hindu adalah bagian dari kitab suci Weda. Karena itu penulis dengan sengaja mengambil setting Mahabharata yang telah dimodifikasi oleh orang Jawa. Sebuah setting budaya yang sudah akrab dengan penulis sejak kecil. Jadi, Dewi Drupadi hanya bersuamikan seorang Yudistira, atau Puntadewa, si sulung dari Pandawa itu.
  • Mengingat cerita ini serius, dan mengingat film Drupadi karya sutradara Riri Reza yang menampilkan Dian Sastrowardoyo sebagai Drupadi, yang menuai kontroversi itu (di sini), maka penulis tidak berani cengengesan di cerita utamanya. Tapi karena dasarnya penulisnya memang cengengesan, maka ada tokoh Petruk dan anaknya di sana untuk menyalurkan hobby cengengesan itu, disamping untuk menegaskan bahwa cerita ini mengambil setting di Jawa. (Tokoh Punakawan kan tidak dikenal di versi aslinya).
Postingan lain yang berkaitan dengan Drupadi, yang ditulis teman Kompasioner Mas Edi Siswoyo secara lebih serius: Balas Budi Kresna Pada Drupadi , Akhir Kisah Tikus, Aswatama

http://filsafat.kompasiana.com/2011/07/25/kisah-drupadi-istri-yang-menggugat-hak/

Korawa


Korawa atau Kaurawa (Dewanagari: कौरवIASTkaurava) adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti "keturunan (raja) Kuru." Dalam budaya pewayangan Jawa, istilah ini merujuk kepada kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata, sehingga Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa.

Pengertian

Istilah Korawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian:
  • Arti luas: Korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Kuru adalah nama seorang maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Korawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal.
  • Arti sempit: Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra sulung Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru), yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran namun digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa.

Riwayat singkat

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri Dretarastra, menginginkan putra. Kemudian Gandari memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah lama ia mengandung, putranya belum juga lahir. Ia menjadi cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga orang putera. Gandari menjadi frustasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain.
Seluruh putra-putra Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah. Mereka memiliki saudara bernama Pandawa, yaitu kelima putra Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun mereka bersaudara, Duryodana yang merupakan saudara tertua para Korawa, selalu merasa cemburu terhadap Pandawa, terutama Yudistira yang hendak dicalonkan menjadi raja di Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan memuncak pada sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra.
Setelah pertarungan sengit berlangsung selama delapan belas hari, seratus putera Dretarastra gugur, termasuk cucu-cucunya, kecuali Yuyutsu, putra Dretarastra yang lahir dari seorang dayang-dayang. Yang terakhir gugur dalam pertempuran tersebut adalah Duryodana, saudara tertua para Korawa. Sebelumnya, adiknya yang bernama Dursasana yang gugur di tangan Bima. Yuyutsu adalah satu-satunya putra Dretarastra yang selamat dari pertarungan ganas di Kurukshetra karena memihak para Pandawa dan ia melanjutkan garis keturunan ayahnya, serta membuatkan upacara bagi para leluhurnya.

Para Korawa

Berikut ini nama-nama seratus Korawa yang dibedakan menjadi dua versi, versi India dan versi Indonesia. Dalam versi Indonesia, kedua Korawa utama yaitu Suyodana alias Duryodana dan Dursasana disebut lebih dahulu, kemudian yang lain disebut menurut urutan abjad.

Versi India

Ke-↓ Nama↓
1 Duryodana
2 Dursasana
3 Dursaha
4 Dursala
5 Jalaganda
6 Sama
7 Saha
8 Winda
9 Anuwinda
10 Durdarsa
11 Subahu
12 Duspradarsa
13 Durmarsana
14 Durmuka
15 Duskarna
16 Karna
17 Wikarna
18 Sala
19 Satwa
20 Sulocana
21 Citra
22 Upacitra
23 Citraksa
24 Carucitra
25 Sarasana
26 Durmada
27 Durwigaha
28 Wiwitsu
29 Wikatinanda
30 Urnanaba
31 Sunaba
32 Nanda
33 Upananda
34 Citrabana
35 Citrawarma
36 Suwarma
37 Durwimoca
38 Ayobahu
39 Mahabahu
40 Citrangga
41 Citrakundala
42 Bimawiga
43 Bimabela
44 Walaki
45 Belawardana
46 Ugrayuda
47 Susena
48 Kundadara
49 Mahodara
50 Citrayuda
51 Nisanggi
52 Pasa
53 Wrendaraka
54 Dredawarma
55 Dredaksatra
56 Somakirti
57 Antudara
58 Dredasanda
59 Jarasanda
60 Satyasanda
61 Sadasuwaka
62 Ugrasrawa
63 Ugrasena
64 Senani
65 Dusparaja
66 Aparajita
67 Kundase
68 Wisalaksa
69 Duradara
70 Dredahasta
71 Suhasta
72 Watawiga
73 Suwarca
74 Adityaketu
75 Bahwasa
76 Nagadata
77 Ugrasai
78 Kawaci
79 Kradana
80 Kundi
81 Bimawikra
82 Danurdara
83 Wirabahu
84 Alolupa
85 Abaya
86 Dredakarma
87 Dredaratasraya
88 Anadrusya
89 Kundabedi
90 Wirawi
91 Citrakundala
92 Pramada
93 Amapramadi
94 Dirgaroma
95 Suwirya
96 Dirgabahu
97 Sujata
98 Kencanadwaja
99 Kundasi
100 Wirajasa
101 Yuyutsu
102 Dursala

Versi Indonesia

  1. Duryodana (Suyodana)
  2. Dursasana (Duhsasana)
  3. Abaswa
  4. Adityaketu
  5. Alobha
  6. Anadhresya (Hanyadresya)
  7. Anudhara (Hanudhara)
  8. Anuradha
  9. Anuwinda (Anuwenda)
  10. Aparajita
  11. Aswaketu
  12. Bahwasi (Balaki)
  13. Balawardana
  14. Bhagadatta (Bogadenta)
  15. Bima
  16. Bimabala
  17. Bimadewa
  18. Bimarata (Bimaratha)
  19. Carucitra
  20. Citradharma
  21. Citrakala
  22. Citraksa
  23. Citrakunda
  24. Citralaksya
  25. Citrangga
  26. Citrasanda
  27. Citrasraya
  28. Citrawarman
  29. Dharpasandha
  30. Dhreksetra
  31. Dirgaroma
  32. Dirghabahu
  33. Dirghacitra
  34. Dredhahasta
  35. Dredhawarman
  36. Dredhayuda
  37. Dretapara
  38. Duhpradharsana
  39. Duhsa
  40. Duhsah
  41. Durbalaki
  42. Durbharata
  43. Durdharsa
  44. Durmada
  45. Durmarsana
  46. Durmukha
  47. Durwimocana
  48. Duskarna
  49. Dusparajaya
  50. Duspramana
  51. Hayabahu
  52. Jalasandha
  53. Jarasanda
  54. Jayawikata
  55. Kanakadhwaja
  56. Kanakayu
  57. Karna
  58. Kawacin
  59. Krathana (Kratana)
  60. Kundabhedi
  61. Kundadhara
  62. Mahabahu
  63. Mahacitra
  64. Nandaka
  65. Pandikunda
  66. Prabhata
  67. Pramathi
  68. Rodrakarma (Rudrakarman)
  69. Sala
  70. Sama
  71. Satwa
  72. Satyasanda
  73. Senani
  74. Sokarti
  75. Subahu
  76. Sudatra
  77. Suddha (Korawa)
  78. Sugrama
  79. Suhasta
  80. Sukasananda
  81. Sulokacitra
  82. Surasakti
  83. Tandasraya
  84. Ugra
  85. Ugrasena
  86. Ugrasrayi
  87. Ugrayudha
  88. Upacitra
  89. Upanandaka
  90. Urnanaba
  91. Wedha
  92. Wicitrihatana
  93. Wikala
  94. Wikatanana
  95. Winda
  96. Wirabahu
  97. Wirada
  98. Wisakti
  99. Wiwitsu (Yuyutsu)
  100. Wyudoru (Wiyudarus)

Korawa lainnya

Para Korawa (putra Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai saudara dan saudari pula. Yaitu Yuyutsu, anak Dretarastra tetapi lain ibu, ibunya seorang wanita waisya. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putri bernama Dursala.

http://id.wikipedia.org/wiki/Korawa

Rabu, 06 Juli 2011

Bhagawadgita

































Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna; ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi,kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang di miliki sekaligus secara bersamaan).
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.

Penulis

Penulis Bhagawadgita adalah Sri Krishna Dvipayana Vyasa atau Resi Byasa. Bhagawadgita merupakan ajaran universal yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, sepanjang masa. Untuk mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan dari kesengsaraan dunia dan akhirat . Umat Hindu meyakini, Bhagawadgita merupakan ilmu pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.

[sunting] Daftar isi

Kitab ini terdiri dari 18 bab, yaitu:
  • BAB 1 Arjuna Wisada Yoga (Meninjau tentara-tentara di medan perang Kurukshetra). Tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur. Arjuna, seorang ksatria yang perkasa, melihat sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-kawannya dalam tentara-tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah kenestapaan dan rasa kasih sayang, sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung, dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur.
  • BAB II Ringkasan isi Bhagavad-gita, menguraikan tentang Arjuna menyerahkan diri sebagai murid kepada Sri Kresna, kemudian Kresna memulai pelajaran-Nya kepada Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani yanag bersifat sementara dan sang roh yang bersifat kekal. Kresna menjelaskan proses perpindahan sang roh, sifat pengabdian kepada Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri dan ciri-ciri orang yang sudah insaf akan dirinya.
  • BAB III Karma Yoga, menguraikan mengenai semua orang harus melakukan kegiatan di dunia ini. Tetapi perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat dibebaskan dari hukum karma (perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan sejati tentang sang diri dan Yang Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Tuhan, tanpa mementingkan diri sendiri.
  • BAB IV Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga melalui pengetahuan rohani-pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara sang roh dan Tuhan-menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti itu adalah hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri disebut karma yoga. Krishna menjelaskan sejarah Bhagavad-gita sejak zaman purbakala, tujuan dan makna Beliau sewaktu-waktu menurun ke dunia ini, serta pentingnya mendekati seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya.
  • BAB V Karma Yoga, Perbuatan dalam kesadaran Krishna, orang yang bijaksana yang sudah disucikan oelha api pengetahuan rohani, secara lahiriah melakukan segala kegiatan tetapi melapaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya. Dengan cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidakterikatan, kesabaran, pengelihatan rohani dan kebahagiaan.
  • BAB VI Dhyana Yoga, menguraikan tentang astanga yoga, sejenis latian meditasi lahiriah, mengendalikan pikiran dan indria-indria dan memusatkan perhatian kepada Paramatma (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati). Puncak latihan ini adalah samadhi. samadhi artinya sadar sepenuhnya terhadap Yang Maha Kuasa.
  • BAB VII Pengetahuan tentang Yang Mutlak, Sri Krishna adalah Kebenaran Yang Paling Utama, Penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala sesuatu, baik yang material maupun rohani. Roh-roh yang sudah maju menyerahkan diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang tidak saleh mengalihkan obyek-obyek sembahyang kepada yang lain.
  • BAB VIII Cara Mencapai Kepada Yang Mahakuasa, Seseorang dapat mencapai tempat tinggal Krishna Yang Paling Utama, di luar dunia material, dengan cara ingat kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.
  • BAB IX Raja Widya Rajaguhya Yoga (Pengetahuan Yang Paling Rahasia), hakikat Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya), Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang, sang roh mempunyai hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali kepada Krishna di alam rohani.
  • BAB X Wibhuti Yoga, Kehebatan Tuhan Yang Mutlak, menguraikan mengenai sifat hakikat Tuhan yang absolut/mutlak. Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain daripada perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakekat segala sesuatu. Krishna,Tuhan Yang Maha Esa adalah tujuan sembahyang tertinggi bagi para mahluk.
  • BAB XI Wiswarupa Darsana Yoga, Bentuk Semesta, menguraikan tentang Sri Krishna menganugrahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna. Ia memperlihatkan bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagian alam semesta. Dengan cara demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai Yang Mahakuasa. Krishna menjelaskan bahwa bentuk-Nya Sendiri serba tampan dan dekat dengan bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat melihat bentuk ini hanya dengan bhakti yang murni
  • BAB XII Bhakti Yoga, Pengabdian Suci Bhakti, menguraikan tentang cara yoga dengan bhakti, bhakti-yoga, pengabdia suci yang murni kebada Sri Krishna, adalah cara tertinggi dan paling manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada Krishna, tujuan tertinggi kehidupan rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini dapat mengembangkan sifat-sifat suci.
  • BAB XIII Ksetra Ksetradnya Yoga, Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan Kesadaran, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan prakrti, ORang yang mengerti perbedaan antara badan, dengan sang roh dan Roh Yang Utama yang melampaui badan dan roh, akan mencapai pembebasan dari dunia material.
  • BAB XIV Guna Traya Wibhaga Yoga, Tiga Sifat Alam Material, membahas Triguna (tiga sifat alam material) - Sattvam, Rajas dan Tamas, semua roh terkurung dalam badan di bawah pengendalian tiga sifat alam material; kebaikan (sattvam), nafsu (rajas) dan kebodohan (tamas). Sri Krishna menjelaskan arit sifat-sifat tersebut dalam bab ini, bagaimana sifat-sifat tersebut memengaruhi diri kita, bagaimana cara melampaui sifat-sifat tersebut serta ciri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan rohani (orang yang sudah lepas dari tiga sifat alam).
  • BAB XV Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat Ketuhanan, Tujuan utama pengetahuan veda adalah melepaskan diri dari ikatan terhadap dunia material dan mengerti Krishna sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mengerti identitas Krishna yang paling utama menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni pengbdian suci kepada Krishna.
  • BAB XVI Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas mengenai hakikat tingkah-laku manusia, sifat rohani dan sifat jahat. Orang yang memiliki sifat-sifat jahat dan hidup sesuka hatinya, tanpa mengikuti aturan Kitab Suci, dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara material, tetapi orang yang memiliki sifat-sifat suci dan hidup secara teratur dengan mematuhi kekuasaan Kitab Suci, berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.
  • BAB XVII Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan mengenai golongan-golongan keyakinan. Ada tiga jenis keyakinan, yang masing-masing berkembang dari salah satu di antara tiga sifat alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan hanya membuahkan hasil material yang sifatnya sementara, sedangkan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebaikan, menurut Kitab Suci, menyucikan hati dan membawa seseorang sampai pada tingkat keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Krishna.
  • BAB XVIII Moksa Samnyasa Yoga, Kesempurnaan pelepasan ikatan, merupakan kesimpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi. Dalam bab ini Krishna menjelaskan arti dari pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam terhadap kesadaran dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman, kemuliaan Bhagawadgita, dan kesimpulan Bhagavad-gita; jalan kerohaniantertinggi berarti menyerahkan diri sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta-bhakti kepada Sri Krishna. Jalan ini membebaskan seseorang dari segala dosa, membawa dirinya sampai pembebasan sepenuhnya dari kebodohan dan memungkinkan ia kembali ke tempat tinggal rohani Sri Krishna yang kekal.

Bhagawadgita dalam budaya Jawa Kuna dan Bali

Cuplikan adegan Arjuna yang menghadap Bhatara Wisnu dalam komik Mahabharata oleh R.A. Kosasih.
Orang Jawa Kuna dan Bali sudah mengenal Bhagavad-gita karena kontak dengan India dan pengaruh agama Hindu pada masa dahulu.

Bhismaparwa

Dalam buku keenam Mahabharata yaitu Bhismaparwa yang disalin ke dalam bahasa Jawa Kuna, sebuah ringkasan Bhagavad-gita ada pula. Tetapi menurut banyak pakar, penerjemah Jawa Kuna kurang paham akan bahasa Sanskerta, sehingga terjemahannya kurang sempurna. Bhagawadgita dalam Bhismaparwa ini terdiri dari sloka-sloka dalam bahasa Sanskerta yang diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuna setelah setiap sloka.

Bharatayuddha

Dalam kakawin Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuna, yang konon digubah dari aslinya dalam bentuk prosa, Bhagawadgita tidaklah didapati. Hanya dua bait saja ditulis untuk menguraikan wejangan-wejangan Kresna kepada Arjuna. Bait-bait ini berasal dari pupuh 10, bait 12 dan 13:
(12)
mulat mara sang Arjunâsemu kamânuṣan kasrepan
ri tingkah i musuhnira n paḍa kadang taya wwang waneh
hana wwang anaking yayah mwang ibu len uwânggeh paman
makâdi Krpa Salya Bhiṣma sira sang dwijânggeh guru
(13)
ya kâraṇaniran pasabda ri narârya Krṣṇâteher
aminta wurunga ng lagâpan awelas tumon Korawa
kuneng sira Janârdanâsekung akon sarṣâpranga
apan hila-hila ng kṣinatriya surud yan ing paprangan
Terjemahan
(12)
Maka melihat merekalah sang Arjuna dan iapun terliputi rasa kasihan
sebab musuh-musuhnya bukanlah orang asing
ada sanak saudara dari pihak ayah maupun ibu, dan juga paman-paman
seperti Krepa, Salya, Bisma dan gurunya (Bhagawan Drona).
(13)
Oleh sebab itu, ia lalu berbicara kepada prabu Kresna,
meminta supaya ia menghentikan peperangan, karena kasihan melihat para Korawa.
Akan tetapi sang Janardana (Kresna) menyuruhnya tetap berperang
sebab seseorang yang dianggap sebagai ksatria tidaklah diperbolehkan mengundurkan diri dari peperangan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhagawadgita

Baladewa

Dalam mitologi Hindu, Baladewa (Sanskerta: बलदोव) atau Balarama (Sanskerta: बलराम; Balarāma), disebut juga Balabhadra dan Halayudha, adalah kakak dari Kresna, putera Basudewa dan Dewaki. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India selatan, ia dipuja sebagai awatara keenam dari Maha Awatara dan termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana. Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupakan manifestasi dari Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu.

Kemunculan Baladewa

Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai putera Wasudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin.
Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti "pemindahan janin".
Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Reawati, puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana.

Ciri-ciri fisik

Lukisan India modern, yang menggambarkan Baladewa berdiri di dekat sungai Yamuna.
Balarama seringkali digambarkan berkulit putih, khususnya jika dibandingkan dengan saudaranya, yaitu Kresna, yang dilukiskan berkulit biru gelap atau bercorak hitam. Senjatanya adalah bajak dan gada. Secara tradisional, Baladewa memakai pakaian biru dan kalung dari rangkaian bunga hutan. Rambutnya diikat pada jambul dan ia memakai giwang dan gelang. Baladewa digambarkan memiliki fisik yang sangat kuat, dan kenyataannya, bala dalam bahasa Sanskerta berarti "kuat". Baladewa merupakan teman kesayangan Kresna yang terkenal.

Baladewa dalam susastra Hindu

Bhagawatapurana

Pada suatu hari, Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni, pendeta keluarga, untuk mengunjungi rumah mereka dalam rangka memberikan nama kepada Kresna dan Baladewa. Ketika Gargamuni tiba di rumahnya, Nanda Maharaja menyambutnya dengan ramah dan kemudian menyuruh agar upacara pemberian nama segera dilaksanakan. Gargamuni memperingatkan Nanda Maharaja bahwa Kamsa mencari putera Dewaki dan jika upacara dilaksanakan secara mewah maka akan menarik perhatian Kamsa, dan ia akan mencurigai Kresna sebagai putera Dewaki. Maka Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni untuk melangsungkan upacara secara rahasia, dan Gargamuni memberi alasan mengenai pemberian nama Balarama sebagai berikut:
Karena Balarama, putera Rohini, mampu menambah pelbagai berkah, namanya Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu menarik Wangsa Yadu untuk mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya Sankarshana.
(Bhagawatapurana, 10.8.12)

Mahabharata

Baladewa terkenal sebagai pengajar Duryodana dari Korawa dan Bima dari Pandawa seni bertarung menggunakan gada. Ketika perang meletus antara pihak Korawa dan Pandawa, Baladewa memiliki rasa sayang yang sama terhadap kedua pihak dan memutuskan untuk menjadi pihak netral. Dan akhirnya ketika Bima (yang lebih kuat) mengalahkan Duryodana (yang lebih pintar) dengan memberikan pukulan di bawah perutnya dengan gada, Baladewa mengancam akan membunuh Bima. Hal ini dicegah oleh Kresna yang mengingatkan Baladewa atas sumpah Bima untuk membunuh Duryodana dengan menghancurkan paha yang pernah ia singkapkan kepada Dropadi.

Akhir riwayat hidup

Arca Krishna-Balarama dari Krishna-Balarama Mandir, Vrindavan, India.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu, dan setelah ia menyaksikan Kresna yang menghilang, ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Tradisi dan pemujaan

Dalam tradisi Waisnawa dan beberapa sekte Hindu di India, Baladewa dipuja bersama Sri Kresna sebagai kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa dan dalam pemujaan mereka sering disebut "Krishna-Balarama". Mereka memiliki hubungan yang dekat dan selalu terlihat bersama-sama. Jika diibaratkan, Kresna merupakan pencipta sedangkan Baladewa merupakan potensi kreativitasnya. Baladewa merupakan saudara Kresna, dan kadang-kadang dilukiskan sebagai adik, kadang-kadang dilukiskan sebagai kakaknya. Baladewa juga merupakan Laksmana pada kehidupan Wisnu sebelum menitis pada Kresna, dan pada zaman Kali, beliau menitis sebagai Nityananda, sahabat Sri Caitanya.
Dalam Bhagawatapurana diceritakan, setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran antara wangsa Yadu dan Wresni, dan setelah ia menyaksikan Kresna mencapai moksa, ia duduk untuk bermeditasi agar mampu meninggalkan dunia fana lalu mengeluarkan ular putih dari dalam mulutnya. Setelah itu ia diangkut oleh Sesa dalam wujud ular.

Baladewa dalam Pewayangan Jawa

Prabu Baladewa atau Balarama dalam bentuk wayang kulit versi Jawa.
Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Pada perang Bharatayuddha sebenarnya prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau tidak ikut namun sebaliknya bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuddha, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Bharatayuddha terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Bharatayuddha. Jika Baladewa turut serta, pasti para Pandawa kalah, karena Baladewa sangatlah sakti.
Baladewa ada yang mengatakan sebgai titisan daripada naga sementara yang lainya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.

[sunting] Silsilah

 
 
Ahuka
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
Ugrasena
 
Dewaka
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Surasena
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Raja Cedi

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kamsa
 
Dewaki
 
Basudewa
 
9 putera
 
 
 
 
 
 
3 puteri
 
Srutasrawa
 
Damagosa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
Kresna
 
 
 
 
 
 
 
 
Kunti
 
Pandu
 
 
 
Sisupala
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Baladewa
 
Subadra
 
Yudistira
 
Bima
 
Arjuna
 

http://id.wikipedia.org/wiki/Baladewa