Kamis, 08 September 2011

Wayang Wahyu Wayang Serani



Romo Yustinus Slamet Riyadi sedang memainkan gunungan wayang wahyu.


Saya sering bertanya kepada rekan-rekan serani (umur 18-40 tahun) di Kota Surabaya. Tahu nggak wayang wahyu? Pernah lihatkah? Jawabannya: nol koma nol persen. Tak satu pun yang tahu.

Wayang wahyu yang nota bene wayang serani malah asing di Jawa. Bagaimana pula dengan orang Flores macam saya? Lha, jangankan wayang wahyu, wayang kulit biasa saja, teman-teman Jawa ini banyak yang asing. Sebagian besar tidak suka.

Yah, budaya Jawa (Nusantara umumnya) memang di ambang kepunahan. Orang sekarang lebih suka lihat hiburan di televisi, kagumi artis, ngecat rambut, mata biru, dan seterusnya. Niat Bung Karno agar kita ‘berkepribadian di bidan budaya’ benar-benar meleset.

Kembali ke wayang wahyu.

Saya menemukan sedikit informasi dari buku bekas PRATIWIMBA ADHILUHUNG karya S HARYANTO (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988). Buku ini saya beli di Jalan Semarang, pusat buku-buku bekas di Kota Surabaya. Puji Tuhan, ada sedikit informasi tentang wayang wahyu. Saya pakai ini sebagai rujukan untuk menjawab pertanyaan beberapa rekan yang tinggal di luar Indonesia.

Menurut Haryanto, wayang wahyu mula pertama diciptakan oleh Bruder TIMOTIUS MARJI SUBROTO (wafat 17 Juli 1976) di Solo. Bruder (biarawan Katolik) sengaja menciptakan wayang wahyu pada Desember 1960 untuk pekabaran Injil. Evangelisasi. Memberitakan kabar baik kepada masyarakat Jawa, dalam bahasa dan budaya lokal. Karena itu, wayang modern ini dibuat semirip mungkin dengan wayang kulit biasa.

Bruder Timotius menggunakan 225 tokoh pria dan wanita dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jajaran sebelah kanan tokoh-tokoh berbudi luhur (baik), sedangkan sebelah kiri tokoh-tokoh berwatak jahat. Raksasa Goliat termasuk tokoh jahat yang berada di sebelah kiri. Di tengah ada gunungan yang menggambarkan Yerusalem Baru (Wahyu 22), 10 Perintah Allah (Keluaran), serta Yesus sebagai Jalan-Kebenaran-Hidup (Yohanes 14:6).

Pengaturan wayang mirip wayang kulit purwa. Berjajar tokoh-tokoh berbadan kecil hingga besar. Tokoh-tokohnya lebih sedikit daripada wayang biasa. Di tengah-tengah bala kiwa (kiri) dan bala tengen (kanan), terdapat Yesus Kristus (Isa Almasih). Posisi Yesus lebih tinggi. Yesus bisa ditampilkan dalam beberapa adegan: saat berdoa di taman Getsemani, saat perjamuan akhir, bermakhota duri.

Iringan musik pakai gamelan biasa. Tembang-tembang pentatonik pelog, slendro, dan sejenisnya. Tapi juga ada upaya mengadopsi kidung-kidung gerejawi yang pentatonis ke karawitan ala lagu-lagu campursari. “Bahasanya biasa Jawa bisa bahasa Indonesia, tergantung penonton,” ujar Romo YUSTINUS SLAMET RIYADI, O.Carm., dalang wahyu yang juga pastor.

Sejak November 2006 lalu, Romo Yustinus bertugas di Malang, tepatnya pelayanan di Paroki Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Kota Malang.

Kepada saya, Romo Yustinus alias Ki Bodronoyo, mengatakan pergelaran wayang wahyu jauh lebih mudah ketimbang wayang purwa. Durasinya paling lama tiga jam. Tidak perlu semalam suntuk. “Kalau mau efisien, bisa diringkas lagi menjadi dua jam tanpa mengurangi inti cerita,” jelas Romo Yustinus, bekas pastor paroki Jember dan paroki Curahjati (Banyuwangi).

Kenapa wayang wahyu kurang dikenal di Jawa Timur, termasuk di kalangan serani? Ini karena sosialisasi sangat kurang. Gelar wayang wahyu hampir tak pernah ada. Selama empat tahun terakhir di Surabaya dan Sidoarjo tak ada satu pun gelar wayang wahyu.

Alih-alih wayang wahyu, wayang kulit biasa pun jarang, kecuali di pinggiran kota. Jangan heran, Romo Yustinus lebih dikenal sebagai dalang biasa, bukan dalang wayang wahyu. Padahal, Yustinus ini merupakan salah satu dari sangat sedikit dalang wayang wahyu yang masih aktif di Jawa Timur.

Surutnya wayang wahyu, menurut saya, tak lepas dari konstelasi jemaat serani di Jawa mutakhir. Warga serani umumnya tinggal di kota-kota. Sedikit sekali yang bermukim di desa. Etnisnya macam-macam pula: Jawa, Flores, Tionghoa, Batak, Papua. Orang Jawa tokh hampir tidak ada.

Sebagai gereja multikultur, tentu sulit menggelar wayang wahyu di lingkungan Gereja Katolik yang hanya bisa dipahami jemaat berlatar Jawa. Toh orang Jawa sendiri pun mulai kurang paham bahasanya sendiri, bukan?

Lagi pula, sebagai sarana evangelisasi, wayang wahyu sudah lama digantikan oleh program rutin dewan paroki macam pendalaman iman, doa lingkungan/wilayah, bulan kitab suci, aksi puasa pembangunan, atau komunitas basis gerejawi. Tapi, apa pun juga, wayang wahyu pernah tercatat sebagai sebuah terobosan dalam reksa pastoral di kalangan serani di Tanah Jawa.

http://hurek.blogspot.com/2007/02/wayang-wahyu-wayang-serani.html

1 komentar:

  1. perlu revitalisasi wayang wahyu sebagai instrumen pengajaran agama di lembaga pendidikan dasar Katolik, mengenal Yesus yang Jawa, dan pesan-pesan budi pekerti Katolik bisa di apresiasikan. ........KWI regio Jawa perlu diskusi......geng Yesuit, Carmalitis, dll perlu bicara

    BalasHapus