Sabtu, 21 Mei 2011

KAKAWIN BHARATAYUDHA


Kakawin ini diterbitkan oleh J. G. H Gunning pada tahun 1903. cara penerbitannya dicetak dengan huruf jawa baru dengan beberapa perubahan karena penyesuaian penulisan ejaan.penertibatan naskah ini didasarkan pada beberapa naskah, diantaranya yang telah diperiksa Raffles pada tahun 1817 seperti yang disebutkan dalam karangan nya : Histori of Java yang terbit pada tahun 1830.
Kakawin Barathayudha ini pernah diterjemahkan dan dimuat dalam majalah Djawa no 14 tahun 1934, sebagai hasil karya Prof RM.NG. Poerbacaraka bersama Dr. C Hooykaas.
RINGKASAN CERITA :
Pada hakikatnya isi cerita kakaein Barathayudha ini menceritakan tentang peperangan antara keluarga pandawa melaean keluarga kurawa. Sebenarnya kedua duanya ( pandawa dan kurawa ) adalah satu keluarga yaitu keluarga Bharata, maka peperangan diantara mereka itu dinamakan perang Bharatayudha. Dua keluarga tersebut dikatakan “ keluarga Bharata” karena berdasarkan pada garis keturunan sampai pada Bhisma yang menjadi Brahmacarin.
Sumber cerita Bharatayuudha ini kemungkinan besar tidak langsung dari sloka Mahabarta Sansekerta. , tetapi kemungkinan besar justru mengambil dari kitab kitab parwa dalam bahasa Jawa Kuna sebelumnya, salinan yang berbahasa prosa dari Jaman Dharmawangsa Teguh. Mahabharata terkenal pula dengan nama Astadasaparwa. Oleh karena kitab itu terbagi atas 18 parwa.
Adapun isi kakawin Bharatayudha ada hubunganya dengan kitab kita parwa yang diambil sebagai sumbernya adalah sebagai berikut :
Pupuh 1 – 8 : dimulai dengan cerita kunjungan Kresna kepada Kurawa di hastina untuk mengadakan perundingan ;kemungkinan ada perdamaian atau terpaksa berperang, cerita ini dapat kita cari sumbernya di dalam Udyogaparwa.
Pupuh 9 : melukiskan persiapan perang .
Pupuh 10 : penggangkatan Bhisma menjadi panglima Kurawa yang pertama. Didalam pupuh ini terdapat 1 bait lukisan tentang saran Kresna terhadap rasa terharunya Arjuna ini biasanya dihubungkan dengan Bhagawagita. Kemudian dilanjutkan dengan lukisan pertempuran yang pertama tama.
Pupuh 11 – 12 : cerita tentang Bhisma jatuh terbaring di medan perang terkena anak panah Srikandi.
Pupuh 13 cerita tentang gugurnya Abhimanyu , diteruskan dengan lukisan berkabungnya para Pandawa.
Pupuh 9 -13 : ini isinya dapat dikembalikan kepada isi Bhismaparwa, meskipun banyak cerita dari Bhismaparwa tersebut tidak terdapat dalam pupuh pupuh tersebut.
Pupuh 14 : ratap tangis keluarga pandawa karena gugurnya Abhianyu
Pupuh 15 – 17 : lukisan tentang gugurnya Bhurisrawa
Pupuh 18 : perkelahian antara Karna dengan Ghatotkaca
Pupuh 19 : Ghatitkkaca gugur
Pupuh 20 : cerita gugurnya Drona oleh Dhrstadyuma, setelahh diipu Kresna bahwa Aswattama mati , padahal yang bernama Aswattama itu seekor gajah , oleh Drona dikira anaknya.
Dari pupuh 14 – 20 ini isi ceritanya dapat dikembalikan kepada Dronaparwa.
Pupuh 21 : pelantikkan Karna menjadi senopati
Pupuh 22 : pandawa berkabung atas gugurnya Drona
Pupuh 23 : pandawa mengunjungi Bhisma
Pupuh 24 : Bhisma menghibur Pandawa dengan nasihat nasihat
Pupuh 25 : Salya menjadi sais Karna
Pupuh 26 – 29 : lukisan tentang keberanian Karna
Pupuh 30 : lukisan peperangan Karna melawan Arjuna
Pupuh 31 : Karna gugur
Pupuh 32, 33 : kurawa berkabung atau gugurnya Karna.
Dari pupuh 21 – 33 ini isinya dapat diruntu kembali dalam Karnaparwa.
Dalam Karnaparwa
Pupuh 34 – 36 : Salya dilantik senapati
Puuh 37 – 39 : lukisan romantisme Salya Satyawati
Pupuh 40 : Salya berangkat ke medan perang
Pupuh 41 : lukisan di peperangan
Pupuh 42 : Salya gugur setelah berhadapan dengan Yudhistira.
Pupuh 43 : peperangan Sakuni melawan Bhima
Pupuh 44 , 45 : ratap tangis Satyawati mencari Salya di medan perang
Pupuh 46 – 48 : lukisan pertempuran Bhima melawan Duryudhana
Pupuh 49 : Duryodhana gugur
Dari pupuh 34 – 49 ini isinya sejalan dengan Salyaparwa
Pupuh 50 : cerita ketika para pandawa berziarah ke petirtaan – petirtaan. Pada saat ini para keluarga Pandawa yang tinggal di pesanggrahan dibunuh oleh Aswattama yang mengamuk di waktu malam hari.
Pupuh 51 : Aswattama gugur
Kedua pupuh ini ( 50 , 51 ) isiya sejalan dengan Sauptikaparwa.
Pupuh 52 : merupakan pupuh tersendiri , karena ada hubungannya dnegan Bhatara Haji Jayabhaya.
Dengan demikian dari sejumlah 18 parwa ” Astadasaparwa ” yang dipergunakan sebagai sumber kakawin Bharatayudha hanyalah 6 parwa, ialah : 1 ) udyogaparwa 2 ) Bhismaparwa 3 ) Dronaparwa 4 ) Karnaparwa 5) Salyaparwa dan 6) Suptikaparwa.
Penulis dan masa Penulisannya
Kitab kakawin Bharatayudda ini ditulis oleh 2 orang Mpu yaitu : Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Bagian pada permulaan sampai pada munculnya Prabu Salya ke medan perang adalah karya Mpu Sedah, sedangkan lanjutanya Mpu Panuluh.
Kitab Ini ditulis pada jaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kadiri dengan ciri tahun ” sanga kuda suddha candrama ” = 1079 saka atau 1157 M
.
( dikutip dari buku Sejarah Sastra Jawa karya Dra. Endang Siti Saparinah dan Dra. Sundari ) 

http://ninkwidya.blogspot.com/2010/03/kakawin-bharatayudha.html

Batara Semar


Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi. (herjaka)
1 Suro, Kamis Pahing 10 Januari 2008.

oleh Suryo Tanggono

Rabu, 11 Mei 2011

Pandawa


Para Pandawa dan istri mereka dalam lukisan India. Keterangan: Nakula dan Sadewa (kiri-kanan atas), Arjuna (kanan bawah), Bima (kiri bawah), Yudistira dan Dropadi (tengah).
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Dewanagari: पाण्डुIASTPāṇḍu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.
Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu.

Silsilah

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putra kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.


Wangsa
Yadawa
Dinasti
Kuru
Raja
Madra


Surasena
Byasa
Ambalika
Salya


Kunti
Pandu
Madri

Yudistira
Bima
Arjuna
Nakula
Sadewa


Penitisan

Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing Dewa. Hal tersebut diterangkan sebagai berikut:

Anggota


Figur yang di tengah adalah Yudistira. Dua orang di sebelah kirinya adalah Bima dan Arjuna. Si kembar Nakula dan Sadewa berada di sebelah kirinya. Istri mereka, yang paling kiri, adalah Dropadi. Ukiran di Kuil Dasavatar, Deogarh, India.

Pandawa dan sepupu mereka, Kresna. Lukisan dalam Razm Nama, Mahabharata berbahasa Parsi, abad ke-16.

Yudistira

Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.

Bima

Bima merupakan putra kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Dalam pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.

Arjuna

Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putra Perta alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga.

Nakula

Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Sadewa

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Riwayat singkat


Para Pandawa Lima menurut tradisi pewayangan Jawa. Dari Kiri ke kanan: Werkodara, Arjuna, Yudistira, Nakula dan Sadewa.

Masa kanak-kanak

Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara yang bernama Duryodana dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka suka bermain bersama, tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun Duryodana merasa jengkel karena menjadi korban dan gangguan dari ejekan Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.

Usaha pertama untuk menyingkirkan Pandawa

Dretarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu dengan raksasa Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa lama, Hidimbi dan Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para pangeran tersebut harus melanjutkan perjalanannya.

Pandawa lima yang melarikan diri ke rimba mengetahui akan diadakan sayembara di Kerajaan Panchala dengan syarat, barang siapa yang dapat membidik sasaran dengan tepat boleh menikahkan putri Raja Panchala (Drupada) yang bernama Panchali atau Dropadi. Arjuna pun mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti, menjawab, "Bagi saja secara rata apa yang kalian dapat". Karena perkataan ibunya. Pancali pun bersuamikan lima orang.

Perselisihan antar keluarga


Bima merobek dada Dursasana dan meminum darahnya di medan perang Kurukshetra. Lukisan dari Lahore, th. 1930-an.
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha. Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha iri melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan yang telah dilakukan Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu terjadinya perang besar antara Pandawa dan Korawa serta sekutu-sekutunya.

Pertempuran besar di Kurukshetra

Pertempuran besar di Kurukshetra (atau lebih dikenal dengan istilah Bharatayuddha di Indonesia) merupakan pertempuran sengit yang berlangsung selama delapan belas hari. Pihak Pandawa maupun pihak Korawa sama-sama memiliki ksatria-ksatria besar dan angkatan perang yang kuat. Pasukan kedua belah pihak hampir gugur semuanya, dan kemenangan berada di pihak Pandawa karena mereka berhasil bertahan hidup dari pertempuran sengit tersebut. Semua Korawa gugur di tangan mereka, kecuali Yuyutsu, satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa sesaat sebelum pertempuran berlangsung.

Akhir riwayat

Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup sebagai pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan perjalanan terakhir mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak, satu persatu dari mereka meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor anjing yang setia. Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus meninggalkan anjingnya. Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.
Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak melihat saudara-saudaranya, sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya di surga. Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di neraka. Mendengar hal itu, Yudistira lebih memilih tinggal di neraka bersama saudara-saudaranya daripada tinggal di surga. Pada saat itu, pemandangan tiba-tiba berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut merupakan salah satu ujian yang diberikan kepadanya, dan sebenarnya saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan surga.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa

Jenis Wayang


WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. G.A.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur-nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi In-dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 11160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan ‘aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K. A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata ‘wayang’ diduga berasal dari kata ‘wewayangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjurnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem, yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar teijadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di Pulau Jawa.
Menurut Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Inggris yang pernah berkuasa atas Pulau Jawa pada abad ke-17, dalam bukunya History of Java, nama-nama kerajaan dalam pewayangan terletak di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah.
Mandura, terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Dwarawati, terletak di daerah Pati, Jawa Tengah.
Mandraka, terletak di sekitar Tegal dan Pekalongan.
Banjarjunut, terletak di sekitar Kebumen.
Talkanda, terletak di daerah Banjarnegara.
Indrakila, terletak di sekitar Jepara.
Pringgadani, terletak di utara Pegunungan Dieng.
Amarta, terletak di daerah Tanah Tinggi Dieng.
Astina terletak di barat laut kota Yogyakarta sekarang.

Jenis-jenis wayang
Selama berabad-abad, budaya wayang berkembang menjadi beragam jenis. Kebanyakan jenis-jenis wayang itu tetap menggunakan Mahabarata dan Ramayana sebagai induk ceritanya. Sedangkan alat peraganya pun berkembang menjadi beberapa macam, antara lain yang terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga Wayang Orang.
Perkembangan jenis wayang ini juga dipengaruhi oleh keadaan budaya daerah setempat. Misalnya Wayang Kulit Purwa, yang berkembang pula pada ragam kedaerahan menjadi Wayang Kulit Purwa khas daerah, seperti Wayang Cirebon, Wayang Bali, Wayang Betawi, Wayang Banjar, dll.
Jenis-jenis wayang yang ada di Indonesia ada puluhan jumlahnya. Namun, yang terpenting di antaranya adalah:
a. Wayang Beber berupa selembar kertas atau kain yang berukuran sekitar 80 cm X 12 meter, yang digambari dengan beberapa adegan lakon wayang tertentu.

Satu gulung wayang beber biasanya terdiri atas 16 adegan. Pada saat pergelaran bagian gambar yang menampilkan adegan lakon itu dibuka dari gulungannya, dan sang Dalang menceritakan kisah yang terlukis dalam setiap adegan itu. Wayang Beber pada umumnya menceritakan kisah Panji.
Jenis wayang ini oleh sebagian orang dianggap yang paling tua, tetapi sebagian lainnya mengatakan Wayang kulitlah yang paling mula diciptakan orang di Pulau Jawa.
Sampai tahun 1986, masih ada dua orang juru sungging (pelukis) Wayang beber. Yang satu tinggal di Surakarta, di kampung Kadipiro, namanya Hadisuwamo. Sedangkan yang seorang lagi bernama Musyafiq, tinggal di Surabaya.
b. Wayang Kulit Purwa merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang Kulit Purwa mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Peraga wayang yang dimainkan oleh seorang dalang terbuat dari lembaran kulit kerbau (atau sapi) yang dipahat menurut bentuk tokoh wayang dan kemudian disungging dengan warna warni yang mencerminkan perlambang karakter dari sang Tokoh.
Agar lembaran wayang itu tidak lemas, digunakan “kerangka penguat” yang membuatnya kaku. Kerangka itu disebut cempurit, terbuat dari tanduk kerbau atau kulit penyu.
Jenis wayang ini tersebar hampir di seluruh Jawa dan daerah transmigrasi, bahkan juga di Suriname—di benua Amerika bagian seeiatan.
Pergelaran Wayang Kulit Purwa diiringi dengan seperangkat gamelan sedangkan penyanyi wanita yang menyanyikan gending-gending tertentu, disebut pesinden atau waranggana.
Antara dalang, pesinden, gamelan di satu sisi dan penonton di sisi lain dibatasi oleh sebuah layar kain berukuran sekitar 125 cm X 600 cm, yang disebut kelir. Di atas dalang dipasang lampu yang disebut blencong. Dengan memainkan wayang di sinar blencong, penonton di balik kelir dapat menyaksikan gerak bayangan wayang itu. Dalam bahasa Jawa, wayang atau wewayangan memang berarti bayangan.
Semula pergelaran Wayang Kulit selalu dilakukan pada malam hari, semalam suntuk. Karena itulah diperlukan alat penerangan, semacam lampu minyak yang disebut blencong. Baru mulai tahun 1930-an beberapa dalang mulai mempergelarkan Wayang Kulit Purwa pada siang hari. Kemudian, sejak tahun 1955-an beberapa orang dalang muda memprakarsai pemampatan waktu pergelaran menjadi hanya sekitar empat jam.Upaya memampatkan pergelaran wayang menjadi empat jam atau kurang ini, terutama hanya untuk melayani para wisatawan manca negara yang umumnya tidak betah menonton pertunjukan seni yang berlama-lama.
Usaha beberapa orang dalang untuk memasyarakatkan Wayang Kulit Purwa dengan mengindonesiakan bahasa pengantarnya pernah dicoba, tetapi gagal.
c. Wayang Golek Sunda menggunakan peraga wayang berbentuk boneka-boneka kecil, dengan semacam cempurit untuk pegangan tangan Ki Dalang. Sama dengan Wayang Kulit Purwa, Wayang Golek Sunda pun menggunakan induk cerita dari serial Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran Wayang Golek Sunda juga diiringi oleh seperangkat gamelan, lengkap dengan pesindennya. Bedanya, Wayang Golek Sunda tidak menggunakan kelir sehingga penonton dapat langsung melihat para tokoh wayang yang diperagakan ki dalang, bukan hanya bayangannya. Jenis wayang ini tersebar hampir di seluruh Jawa Barat.
Selain Wayang Golek Purwa Sunda, masyarakat Jawa Barat juga mengenal Wayang Golek Pakuan yang menceritakan berbagai legenda dan sejarah Tanah Pasundan.
d. Wayang Golek Menak, yang juga disebut Wayang Tengul, juga menggunakan peraga wayang berbentuk boneka kecil. Selain berupa golek, Wayang Menak juga ada yang dirupakan dalam bentuk kulit. Wayang ini diciptakan oleh Ki Trunadipa, seorang dalang dari Baturetno, Surakarta, pada zaman pemerintahan Mangkunegoro VII. Induk ceritanya bukan diambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata, melainkan dari Kitab Menak. Latar belakang cerita Menak adalah negeri Arab, pada masa perjuangan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.
Walaupun tokoh ceritanya sebenarnya orang Arab, peraga Wayang Golek Menak diberi pakaian mirip dengan Wayang Kulit Purwa, antara lain dengan memberinya kuluk, sumping, jamang, dsb, walaupun jubah dan sorban Arab juga digunakan.
e. Wayang Klitik terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai Wayang Kulit Purwa. Hanya bagian tangan peraga wayang itu bukan dari kayu pipih melainkan terbuat dari kulit, agar lebih awet dan ringan menggerakkannya. Pada Wayang Klitik, cempuritnya merupakan kelanjutan dari bahan kayu pembuatan wayangnya. Wayang ini diciptakan orang pada tahun 1648.
Pementasan Wayang Klitik juga diiringi oleh gamelan dan pesinden, tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga penonton dapat melihat secara langsung.
f. Wayang Krucil sering dianggap sama dengan Wayang Klitik. Anggapan itu disebabkan karena Wayang Krucil juga terbuat dari kayu pipih. Yang berbeda benar adalah induk cerita yang diambil untuk lakon-lakonnya. Wayang Krucil mengambil lakon dari cerita Damarwulan, bukan dari Ramayana atau Mahabarata.
Baik Wayang Krucil maupun Wayang Klitik, saat ini sudah hampir punah.
g. Wayang Orang adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai induk ceritanya. Dari segi cerita. Wayang Orang adalah perwujudan drama tari dari Wayang Kulit Purwa. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini.
Dalam berbagai buku mengenai budaya wayang disebutkan. Wayang Orang diciptakan oleh Kangjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (1757 -1795). Para pemainnya waktu itu terdiri atas abdi dalem istana. Pertama kali Wayang Orang itu dipentaskan secara terbatas pada tahun 1760. Namun, baru pada pemerintahan Mangkunegara V pertunjukan Wayang Orang itu lebih memasyarakat, walaupun masih tetap terbatas dinikmati oleh kerabat keraton dan para pegawainya. Pemasyarakatan seni Wayang Orang hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya drama tari Langendriyan.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916 -1944) kesenian Wayang Orang mulai diperkenalkan pada masyarakat di luar tembok keraton. Usaha memasyarakatkan kesenian ini makin pesat ketika Sunan Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai pertunjukan Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang, Taman Sri Wedari, dan di Pasar Malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para pemainnya pun, bukan lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga orang-orang di luar keraton yang berbakat menari.
Penyelenggaraan pertunjukan Wayang Orang secara komersial baru dimulai pada tahun 1922. Mulanya, dengan tujuan mengumpulkan dana- bagi kongres kebudayaan. Kemudian pada tahun 1932, pertama kali Wayang Orang masuk dalam siaran radio, yaitu Solosche Radio Vereeniging, yang mendapat sambutan hebat dari masyarakat.
Wayang Orang juga menyebar ke Yogyakarta. Pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877 -1921) keraton Yogyakarta dua kali mempergelarkan pementasan Wayang Orang untuk tontonan kerabat keraton. Waktu itu lakonnya adalah Sri Suwela dan Pregiwa – Pregiwati. Wayang Orang di Yogyakarta ini disebut Wayang Wong Matarama, Pakaian para penari Wayang Orang pada awalnya masih amat sederhana, tidak jauh berbeda dengan pakaian adat keraton sehari-hari, hanya ditambah dengan selendang tari. Baru pada zaman Mangkunegara VI (1881-1896), penari Wayang Orang mengenakan irah-irahan terbuat dari kulit ditatah apik, kemudian disungging dengan perada.
Sejalan dengan perkembangan Wayang Orang, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan oleh para seniman pakar tari keraton. Gerak tari baru itu antara lain adalah sembahan, sabetan, lumaksono, ngombak banyu, dan srisig.
Karena ternyata kesenian Wayang Orang mendapat sambutan hangat dari masyarakat, bermunculanlah berbagai perkumpulan Wayang Orang; mula-mula dengan status amatir, kemudian menjadi profesional. Perkumpulan Wayang orang yang cukup tua dan terkenal, di antaranya Wayang Orang (WO) Sriwedari di Surakarta dan WO Ngesti Pandawa di Semarang. Wayang Orang Sriwedari merupakan kelompok budaya komersial yang pertama dalam bidang seni Wayang Orang. Didirikan tahun 1911, perkumpulan Wayang Orang ini mengadakan pentas secara tetap di ‘kebon raja’ yakni taman hiburan umum milik Keraton Kasunanan Surakarta.
Patut juga dicatat peranan masyarakat keturunan Cina di Surakarta dan Malang, yang aktif mengembangkan kesenian Wayang Orang. Mereka tergabung dalam perkumpulan kesenian PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta) yang secara berkala mengadakan latihan tari dan pada waktu-waktu tertentu mengadakan pementasan untuk pengumpulan dana dan amal.
Perkembangan seni Wayang Orang di Surakarta lebih bersifat populer dibandingkan di Yogyakarta. Kreasi seniman Surakarta untuk melengkapi pakaian tari Wayang Orang. mengarah pada ‘glamour’ dengan kemewahan tata panggung. Untuk pemeran tokoh wayang bambangan seperti Aijuna, Abimanyu, dan sejenisnya, digunakan penari wanita. Sedangkan di Yogyakarta tetap mempertahankan penari pria.
Di Jakarta, pada tahun 1960 – 1990, pernah pula berdiri beberapa perkumpulan Wayang Orang, di antaranya Sri Sabda Utama, Ngesti Budaya, Ngesti Wandawa, Cahya Kawedar, Adi Luhung, Ngesti Widada, Panca Murti, dan yang paling lama bertahan Bharata.
Pentas seni Wayang Orang juga melahirkan seniman-seniman tari yang menonjol, antara lain Sastradirun, Rusman, Darsi, dan Surana dari Surakarta; Sastrasabda dan Nartasabda dari Semarang; Samsu dan Kies Slamet dari Jakarta.
Masa suram
Pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia sejak Maret 1942, telah mencompang campingkan berbagai jenis kesenian, termasuk wayang. Kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap para dalang dan pergelarannya oleh Keimin Bunka Sidosho, Badan Urusan Kebudayaan Pemerintah Pendudukan Jepang. Pejabat-pejabat Jepang sering mengumpulkan para dalang untuk ‘dibina’ tentang cita-cita Asia Timur Raya. Selain itu, setiap pementasan selalu akan ada intel Jepang yang mengawasi. Namun yang menjadi penyebab utama merosotnya budaya wayang adalah keadaan ekonomi yang hancur, menyebabkan tidak ada orang yang mempunyai dana untuk menyelenggarakan pergelaran wayang. Akibatnya, sebagian dalang terpaksa beralih profesi.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, tidak otomatis dapat mengubah keadaan. Perang Kemerdekaan I dan II, serta suasana revolusi menyebabkan sebagian dalang memilih memegang bedil dan ikut berjuang melawan serdadu Belanda secara fisik daripada memegang cempurit untuk berjuang di bidang seni.
Masuknya teknologi hiburan ternyata cukup banyak berpengaruh pada minat orang untuk menikmati kesenian Wayang Orang di Indonesia. Hadirnya media televisi tahun 1962, pertunjukan film, bisnis penyewaan video kaset, serta drama modern yang tumbuh cukup pesat di masyarakat, telah mendesak perhatian masyarakat terhadap banyak budaya tradisional, termasuk juga kesenian Wayang Orang.
Mulai awal tahun 1980-an berbagai kelompok Perkumpulan Wayang Orang, mulai ditinggalkan penggemarnya. Hanya Sri Wedari di Surakarta, Ngesti Pandawa di Semarang, dan Bharata di Jakarta saja yang masih mencoba bertahan dalam keadaan sulit itu. Yang lain, satu persatu berguguran.
Di gedung pertunjukan Wayang Orang Sri Wedari, misalnya, pada tahun 1989 — dari sekitar 600 kursi penonton yang tersedia, seringkah hanya terisi belasan orang penonton. Begitu pula halnya dengan W.O. Ngesti Pandawa di Semarang. Terakhir perkumpulan Wayang Orang itu pun terancam bubar. Bantuan tambal sulam dari beberapa pemerintah daerah, tidak banyak menolong.
Di tahun 1992, hanya W.O. Bharata di Jakarta saja yang masih tetap dikunjungi penonton dalam jumlah yang lumayan. Pada malam Minggu, gedung pertunjukan Bharata hampir selalu full-house. Selain karena sebagai tontonan dan hiburan tradisional Jawa Bharata tidak lagi punya saingan, Pemerintah DKI Jakarta Raya masih tetap memberikan subsidi. Selama ini penghasilan dari penjualan karcis penonton belum dapat menjamin kehidupan layak bagi para seniman Wayang Orang.
Tercatat beberapa nama perkumpulan Wayang Orang yang pernah ada, tetapi kemudian ambruk, tidak sanggup bertahan. Di antaranya, Sri Sabda Utama, Ngesti Budaya, Cipta Kawedar, Cahya Kawedar, Panca Murti, Adi Luhung dan Ngesti Wandawa
h. Wayang Suluh tergolong wayang modern, karena baru tercipta setelah zaman kemerdekaan. Wayang ini dimaksudkan sebagai media penerangan mengenai sejarah perjuangan bangsa. Karena itu, di antara tokoh peraganya, antara lain terdapat Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, Syahrir, dan Jenderal Sudirman. Penggambaran tokoh Wayang Suluh dibuat realistik.
Diduga, karena “beban” misi penerangan yang terlampau berat dan bahan cerita yang terlalu bersifat sejarah, membuat Wayang Suluh tidak dapat berkembang seperti diharapkan.
I. Wayang Wahyu mempunyai bentuk peraga wayang terbuat dari kulit, tetapi corak tatahan dan sung-gingannya agak naturalistik. Wayang ini mengambil lakon dari cerita Injil, baik Peijanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bahasa pengantarnya, bahasa Jawa. Di antara lakonnya, antara lain adalah Samson lan Delilah, dan David lan Goliat.
Pergelaran Wayang wahyu hampir serupa dengan Wayang Kulit Purwa, diiring oleh seperangkat gamelan dan pesinden, kelir dan gedebog. Para dalangnya pun pada umumnya juga merangkap sebagai dalang Wayang Kulit Purwa.
Perkembangan Wayang Wahyu amat terbatas pada lingkungan masyarakat beragama Katolik, itu pun yang berasal dari suku bangsa Jawa. Padahal, tidak semua orang Jawa menyukai wayang. Dengan demikian Wayang Wahyu praktis tidak berkembang.

j. Wayang Gedog yang dicipta oleh Sunan Giri di tandai candra sengkala Gegamaning Naga Kinaryeng Bathara: 1485 caka (1568 M). Wayang ini amat mirip dengan Wayang Kulit Purwa, tetapi mengambil lakon dari cerita-cerita Panji. Itulah sebabnya, sebagian orang menamakan Wayang Gedog ini Wayang Panji. Di antara tokoh-tokoh ceritanya, antara lain adalah Prabu Lembu Hamiluhur, Prabu Klana Madukusuma, dan Raden Gunungsari.
Wayang ini, boleh dibilang sudah punah. Hanya sisa-sisa peraganya saja yang masih bisa dilihat di beberapa museum dan Keraton Surakarta.
k. Wayang Kancil, termasuk wayang moderen, diciptakan tahun 1925 oleh seorang keturunan Cina bernama Bo Liem. Wayang yang juga terbuat dari kulit itu, menggunakan tokoh peraga binatang, dibuat dan disungging oleh Lie To Hien.
Cerila untuk lakon-lakon para Wayang Kancil diambil dari Kitab Serat Kancil Kridamartana karangan Raden Panji Natarata.
Wayang Kancil termasuk di antara jenis wayang yang tidak berkembang, meskipun seorang seniman, yakni Ledjar Subroto tetap berusaha mempopulerkannya.
l. Wayang Potehi menceritakan kisah-kisah dari negeri Cina, di antaranya Si Jin Kui, Sam Pek Eng Thay. Pertunjukan Wayang Potehi tidak diiringi oleh gamelan, melainkan sejenis musik yang disebut gubar-gubar, biola, dan tik-tok.
m. Wayang Kedek adalah nama Wayang Kelantan, Malaysia. Menurut J. Cuisinier Wayang Kelantan (Malaysia) berasal dari Jawa, dengan alasan bahwa repertoarnya dari Mahabarata versi Jawa dan siklus Panji. Menurut Van Stein Callenfels bahwa Wayang Kelantan berasal dari Jawa, lalu dibawa ke Thailand dan Kamboja. Wayang Kulit Thailand dibawa ke Kelantan sehingga keduanya memiliki bentuk wayang yang serupa.
Wayang Kelantan terbuat dari kulit sapi, dipahat dan disungging. Bentuk figurnya dilengkapi dengan pakaian, mahkota, senjata dan lain sebagainya. Bentuk figur Wayang Kedek pada umumnya tangan kiri menjadi satu dengan badannya, kecuali tokoh Pak Dogah (Semar) kedua tangannya dibuat bergerak (terlepas dari badannya). Di daerah Kelantan terdapat dua jenis wayang yakni: Wayang Melayu dan Nang Siam. Nang Siam juga disebut Wayang Kedek yang bentuk figurnya kena pengaruh dari Siam. Sedangkan Wayang Melayu teknis pertunjukannya, figurnya repertoar mengikuti tradisi Wayang Kulit Jawa maka disebut Wayang Jawa.
Repertoar Wayang Kedek mengambil dari serat Ramayana dan yang paling populer Hikayat Seri Rama versi Malaysia. Sedangkan wayang Jawa mengambil cerita dari Mahabarata, dan bagi orang melayu menyebut Hikayat Pendawa dan dari sikulus Panji. Perlengkapan pertunjukan hampir sama dengan Wayang Kulit Purwa Jawa yaitu menggunakan kele {kelir), lampu pelita (blencong Jawa), kepyak, kothak 1cempala Jawa). Penyajian Wayang Kedek diiringi ansambel musik yang instrumennya terdiri dari: seruni (suling), gedombak dan geduk (tambur), Lukmong (gong kecil) kecing/canang (gong). Sedangkan Wayang Melayu (Jawa) diiringi musik yang ricikkannya terdiri dari: satu rancak bonang horizontal, dua gendang, satu simbal, canang dan rebab.
Pertunjukan Wayang Kedek diselenggarakan untuk menyertai upacara lingkaran hidup manusia, dan penyajiannya dibuatkan tempat tersendiri yang disebut panggong. Sedangkan penontonnya di luar panggung, serta sebelum pertunjukan dimulai selalui diawali dengan upacara pembukaan yang disebut buka panggong, yaitu dalang melakukan penghormatan terhadap tanah, air dan api yang memiliki kekuatan gaib agar memberikan bantuan kepada dalang selama pementasan berlangsung. Pertunjukan Wayang Kedek yang menyertai upacara perkawinan, khitanan, kelahiran, panenan berlangsung selama 3 – 5 hari dimulai dari jam 21.00 dan berakhir pada jam 24.00. Pada malam akhir pertunjukan dilakukan upacara penutupan yang disebut Lepas Permainan.
Para penonton Wayang Kedek di Kelantan laki-laki dan perempuan selalu terpisah. Apakah itu suatu naluri kultus matahari dan bulan yang kuna atau hanya adat sopan santun yang lahir dari pengaruh Islam. Laki-laki di sisi kiri dan perempuan di sisi kanan, dan mereka duduk di luar panggung. Sebelum pertunjukan wayang di mulai, boneka wayang dijajar (di simping), di sebelah kanan di tancapkan boneka wayang dari kelompok dunia atas seperti para dewa Hindu beserta pengikutnya. Sedangkan di tengah layar ditancapkan tokoh To’ Mahasiku (dukun), Pohon Beringin (gunungan), Pa’ Dogah (Semar) dan raja Seri Rama.
Ragam dan Perkembangan Cerita Wayang
Secara umum orang menganggap cerita wayang identik dengan cerita Ramayana atau Mahabarata dan cerita-cerita yang berinduk pada kedua cerita itu Namun, sebenarnya, masih ada cerita-cerita dari sumber lain yang juga dipergelarkan dalam bentuk seni wayang. Di antara cerita wayang yang menonjol selain Ramayana dan Mahabarata, adalah cerita Panji, cerita Menak, dan juga cerita yang bersumber pada babad.
Cerita Panji walaupun sudah ada sejak zaman Demak, baru mulai dikenal luas sejak zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820). Wayang yang kemudian diciptakan untuk mempergelarkan cerita Panji itu sering disebut Wayang Gedog. Tokoh peraga Wayang Gedog tidak ada yang memakai gelung capit urang seperti Arjuna, Bima, tetapi semua rambutnya diurai di punggung. Latar belakang cerita Panji adalah zaman Jenggala, Kediri dan Ngurawan.
Cerita Menak berdasarkan Serat Menak yang bersumber dari Kitab Qissai Emr Hamza dari kesusasteraan Persia pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu Riau, kitab itu diteijemahkan dan diberi judul Hikayat Amir Hamzah. Pada Serat Menak, beberapa bagian dari cerita itu pun mengalami penyesuaian dengan alam Indonesia, terutama nama dan gelar tokoh-tokohnya. Misalnya, tokoh cerita yang aslinya bernama Badi’ul Zaman, diubah menjadi Imam Suwangsa; Unekir menjadi Dewi Adaninggar. Pengubahan nama-nama tokoh ini terutama dimaksudkan untuk penyusaian pada pengucapan lidah orang Jawa dan juga kenyamanan telinga yang mendengarnya.
Cerita Babad yang diambil sebagai sumber cerita wayang antara lain adalah Babad Demak, Babad Pajang, hingga Babad Mataram. Dari sumber cerita babad itu terciptalah jenis-jenis wayang baru, antara lain Wayang Kuluk, Wayang Dupara, Wayang Jawa, dll. Namun jenis-jenis wayang, yang disponsori pihak keraton, itu akhirnya tidak dapat memasyarakat.
Wayang Thailand
Selain merupakan bentuk pergelaran dan tontonan, sejak dulu wayang juga digemari sebagai suatu karya sastra. Pada zaman Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Kediri, dan Majapahit, karya sastra wayang masih terbatas penggemarnya di lingkungan kerabat keraton. Namun, sejak zaman Kerajaan Demak, sastra wayang mulai diperkenalkan pada masyarakat luas di luar tembok keraton. Sesuai dengan jiwa kerakyatan yang dimiliki oleh para wali terutama Sunan Kalijaga, sastra wayang pun sedikit demi sedikit dikenal rakyat. Hal ini sejalan dengan usaha para wali, terutama Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang sebagai sarana dakwah agama Islam.
Sastra wayang yang terkenal dari zaman ke zaman antara lain adalah: Yang berinduk pada Kitab Mahabarata dan Ramayana, masing-masing karya sastra Wiyasa dan Walmiki, pujangga India, adalah kitab induk cerita wayang. Dari kedua kitab itulah kemudian digubah puluhan karya sastra lainnya oleh para pujangga Indonesia.
Ramayana Jawa Kuna adalah salah satu gubahan tertua (yang diketahui) cerita wayang yang berujud karya sastra. Pengarangnya, menurut Kitab Saridin adalah Empu Pujwa, ditulis di zaman Kerajaan Mamenang (Kediri) Namun, menurut kitab-kitab di Bali, pengarang buku itu adalah Empu Yogiswara, ditulis tahun 1016 Saka, atau 1094 Masehi. Jadi, menurut sumber Bali ini, gubahan itu dikerjakan beratus tahun sebelum zaman Kediri.
Cerita gubahan tua lainnya adalah Mahabarata Jawa Kawi yang ditulis pada zaman pemerintahan Prabu Dharmawangsa Teguh, Kahuripan, tahun 991 -1016. Penulisnya tidak diketahui.
Empu Prapanca, pada awal abad ke-14 menulis Kunjarakarna Kakawin. Sedangkan Arjuna Wiwaha Jawa Kuna ditulis oleh Empu Kanwa di zaman pemerintahan Prabu Airlangga. Karya sastra lainnya antara lain adalah Kresnayana Kakawin karangan Empu Triguna, Baratayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Gatotkacasraya karya Empu Panuluh, dan Hariwangsa yang juga karangan Empu Panuluh.
Perkembangan Seni Kriya Wayang
Seperti juga cabang seni lainnya, seni wayang pun selalu berkembang dari tahun ke tahun, sesuai tuntutan zaman, dan sesuai pula dengan perkembangan apresiasi masyarakat terhadap seni wayang.
Bentuk peraga tokoh wayang untuk cerita Mahabarata dan Ramayana, berkembang dari bentuk tokoh cerita Ramayana dan Mahabarta pada relief beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada awalnya, bentuk tokoh-tokoh wayang itu masih agak realistik. Sesuai dengan perkembangan tingkat apresiasi seni masyarakat, seniman wayang dari waktu ke waktu berhasil menyempurnakan seni kriya wayang yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 ini.
Pengubahan bentuk tokoh peraga wayang dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, yang mencolok adalah penggambaran Gatotkaca yang dulu berupa raksasa, menjadi ksatria gagah yang mirip dengan Bima. Pengubahan ini terjadi pada masa pemberintahan Sunan Amangkurat III.

Wayang Masa Kini
Di antara jenis-jenis wayang yang ada di Indonesia, yang paling memasyarakat pada zaman Indonesia Merdeka adalah Wayang Kulit Purwa dan Wayang Orang. Di daerah mana pun di Indonesia ini, pergelaran Wayang Kulit Purwa selalu mendapat pengunjung yang melimpah. Selain itu, penjualan kaset Wayang Kulit Purwa yang dibawakan oleh dalang-dalang terkenal, tergolong kaset yang laris. Rata-rata sebuah lakon Wayang Kulit Purwa lengkap dapat direkam dalam enam sampai delapan pita kaset.
Dengan beredarnya pita-pita kaset Wayang Kulit Purwa, maka makin sering orang mendengarkan lakon-lakon wayang. Apalagi sejak tahun 1970-an makin banyak radio swasta niaga yang membuat acara siaran tetap Wayang Kulit semalam suntuk pada hari-hari tertentu setiap minggunya.
Kesenian wayang mengalami masa surut yang parah pada masa pendudukan tentara Jepang tahun 1942 sampai 1945. Saat itu budaya wayang seolah tidur. Pada masa awal zaman kemerdekaan, kesenian ini pun belum dapat bangkit dengan cepat karena situasi negeri yang masih belum stabil. Perang kemerdekaan melawan Belanda, disusul dengan berbagai macam pemberontakan, membuat kebangkitan seni wayang jadi tertunda.
Sejak sekitar tahun 1955-an Presiden Sukarno membuat tradisi yang membawa angin segar bagi budaya wayang. Secara berkala ia menyelenggarakan pertunjukan Wayang Kulit Purwa di Istana Negara, mengundang penari-penari wayang terkenal seperti Rusman, Darsi. dan Surana dari Surakarta datang ke Jakarta untuk menari di Istana di hadapan tamu agung.
Bung Kamo bahkan pernah meminjam seperangkat wayang pusaka Keraton Kasunanan Surakarta untuk dimainkan di Istana Bogor selama beberapa tahun. Namun, kondisi seperti itu belum cukup untuk membuat budaya wayang kembali memasyarakat. Kesulitan ekonomi yang secara merata dirasakan rakyat, membuat kesenian dan kebudayaan seolah dalam posisi mandeg, termasuk kesenian wayang.
Hanya di Taman Sriwedari, Solo, dan Ngesti Pandawa di Semarang, pentas Wayang Orang masih tetap memiliki penggemarnya walaupun jumlahnya makin sedikit jua.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 sempat pula membuat kesenian Wayang Kulit Purwa menjadi makin surut lagi. Sebagian dalang tidak lagi boleh mendalang, karena mereka tersangkut dalam organisasi terlarang, baik Lekra, Pemuda Rakyat, maupun PKI. Di beberapa daerah, selama beberapa tahun, dengan berbagai alasan izin menyelenggarakan pergelaran Wayang sulit didapatkan.
Usaha pelestarian kesenian wayang dilakukan antara lain dengan pembentukan organisasi-organisasi pewayangan dan pedalangan, serta berbagai usaha lain. Pekan Wayang Wong pernah diadakan di Jakarta pada akhir tahun 1971. Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) dibentuk untuk menghimpun para dalang sehingga mereka dapat saling bertukar pengalaman.
Ada lagi organisasi dalang lainnya, yaitu Gunanidi
Sebuah yayasan kemudian dibentuk untuk usaha pelestarian budaya wayang itu, namanya Yayasan Pembinaan Pewayangan Indonesia disingkat Nawangi. Bekerja sama dengan Pemerintah DKI Jakarta Raya, yayasan itu mengelola sebuah Museum Wayang di Taman Fatahillah, Jakarta Utara.Kemudian pada tahun 1975 telah berdiri Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) yakni sebuah organisasi sosial budaya yang bergerak dalam pelestarian dan pengembangan wayang. Sena Wangi bertujuan untuk mengkoordinasikan semua kegiatan pewayangan oleh organisasi, yayasan, maupun llembaga yang bergerak dalam bidang pewayangan dan seni pedalangan.
Selain itu, setiap lima tahun sekali menyelenggarakan Pekan Wayang Indonesia, dengan kegiatan utama Konggres Sena Wangi, pagelaran wayang, pameran dan sarasehan wayang.
Wayang di Mata Orang Barat
Sebagai salah satu produk budaya, dan kebudayaan itu bersifat universal, seni wayang bukan hanya menarik dan diminati oleh bangsa Indonesia, juga oleh bangsa asing. Cukup banyak peneliti bangsa Barat, terutama Belanda, yang menulis buku mengenai wayang dan dunia pewayangan.
Namun, sebagian buku yang ditulis orang Barat, umumnya membahas seni wayang dari segi eksoterinya saja, hanya berdasarkan pengamatan seni wayang dari “luar” atau lahiriahnya.
Banyak orang, terutama bangsa Barat, menginterpretasikan sebuah pertunjukan Wayang Kulit sebagai shadow play, atau schduwenspel (permainan bayang-bayang). Interpretasi demikian bertolak dari penglihatan indera mata adanya sebuah layar (kelir) yang permukaannya diterangi sebuah blencong, dan dengan demikian timbul bayang-bayang hitam bilamana di depan kelir itu dimainkan boneka wayang (sudah barang tentu yang terlihat di balik kelir). Anggapan demikian terlalu naif, dangkal.
‘Wayang’ mengandung arti jauh lebih dalam. Ia mengungkap gambaran hidup semesta (Jawa: wewayanganing ngaurip) yang tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang berupa siluet hitam pada kelir yang ditimbulkan oleh sesuatu benda yang diterangi sebuah blencong. Wayang memberikan gambaran lakon peri kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya, Dalam wayang tersimpan nilai-nilai pandangan hidup masyarakat Jawa dalam menghadapi
dan mengatasi segala tantangan dan kesulitannya.
Sementara itu, guna lebih memperkenalkan seni wayang, termasuk segi isoterinya. yakni makna dan filsafatnya, sejak tahun 1970-an budayawan Pandam Guritno, banyak menulis artikel dan buku untuk konsumsi orang asing.
Walaupun demikian, yang paling mengenal seni wayang, bagaimana pun, tetap orang Indonesia, terutama dari suku bangsa Jawa.
Wayang di Negara Lain
Karena pergaulan antar bangsa sejak berabad-abad lalu, budaya wayang sudah pula dikenal dan menyebar ke luar Indonesia. Beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Kamboja, dan Thailand juga sudah memiliki budaya wayang. Bahkan Cina dan India pun, meskipun dalam format kecil, punya budaya wayang. Bentuk peraga tokoh-tokoh wayang di berbagai negara itu beda dengan wayang yang dikenal di Indonesia. Kegandrungan masyarakat di negara-negara itu juga tidak sebesar di Indonesia.
Itulah sebabnya para ahli budaya dari negara barat, Amerika Serikat maupun Eropa, lebih banyak melakukan penelitian dan pengamatan budaya wayang dari Indonesia. East & West University di Honolulu, Hawaii, AS, adalah lembaga pendidikan yang paling menaruh minat pada budaya wayang di Pulau Jawa. Beberapa universitas di daratan Amerika Serikat pada tahun 1990-an juga sudah memiliki kelompok-kelompok pergelaran Wayang Kulit sendiri. Mereka punya perangkat gamelan sendiri, punya kelompok karawitan lengkap yang secara berkala berlatih, bahkan juga memiliki beberapa dalang yang sanggup menampilkan pergelaran seterampil dalang-dalang Jawa
Di Jepang, seni wayang juga cukup populer. Di Negeri Matahari Terbit itu, sejak tahun 1980-an berdiri Nippon Wayang Kyookai, organisasi pecinta wayang di Jepang. Organisasi ini didirikan oleh Matsumoto, yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan. Kegiatan Nippon Wayang Kyookai, antara lain mengadakan pergelaran wayang, bukan hanya dilakukan di Tokyo, juga di kota-kota lain di Jepang.
Wayang Cina
Cina kaya akan seni pertunjukan wayang yang sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Asal mula Wayang Cina pada mulanya merupakan bagian upacara kematian, kemudian baru pada dinasti Han (23-330 M) pertunjukkan wayang menjadi suatu bentuk tontonan (hiburan).
Di Cina ada beberapa jenis wayang, antara lain wayang dengan teknik bayang-bayang (theater d’ombres), wayang dengan tongkat (Marionettes a tige), dan wayang dengan benang tali (Marionnettes a fils). Asal mula Wayang Cina menurut legenda adalah sebagai berikut: ada seorang raja Wudi (140 – 87 sebelum masehi), sangat sedih karena selirnya yang bernama Dame Li meninggal, tidak ada orang yang mengibur Raja itu. Ada seorang yang dapat menampilkan mayat Dame Li di atas layar, hal ini membuat senang hati sang raja. Maka peristiwa itu kemudian menjadi asal mula pertunjukkan wayang dengan teknik bayangan. Sedangkan asal mula wayang boneka Cina, menurut legenda pada zaman dinasti Tang, ada seorang raja Goa Zu (206 – 195 sebelum masehi) yang berkuasa di kota Ping Cheng. Namun, kota itu terancam musuh yang dipimpin pembantu Goa Zu yang bernama Chen Pin membuat boneka dari kayu yang menggambarkan gadis cantik yang dapat bergerak dan berjalan di atas tembok.
Istri Moa Dun melihat boneka itu dan ia mengira bahwa itu manusia dan ia kuatir bilamana kota Ping Cheng jatuh ke tangan musuh, pasti suaminya (Moa Dun) akan mengawini gadis itu, akhirnya istri Moa Dun mundur dengan bala tentaranya dan kota Ping Cheng bebas dari kepungan musuh, akibat tipu muslihat Chen Pin. Kemudian permainan itulah menjadi pertunjukkan teater boneka Cina (orang Jawa menyebut Wayang Potehi).
Pertunjukkan Wayang Cina disempurnakan teknik permainannya pada zaman itu pertunjukkan wayang menjadi termasyur sebagai seni pertunjukan keraton. Pada dinasti Song (960 – 1279) teater boneka wayang mengalami perkembangan yang pesat, maka muncul jenis-jenis pertunjukkan Wayang Cina yakni: Theatre d’ombres (wayang dari kulit), marionnettes a tige (boneka dari tongkat), marionnettes a fils (wayang dengan benang), marionnettes a eau (wayang dengan air), marionnettes a poudre (wayang dengan petasan) dan marionnettes a en chair (wayang dengan daging/ jari-jari).
Cerita yung ditampilkan dengan latoft ferii^gSl bertema tradisional atau dari tradisi oral dan jllg mitologi. Misalnya cerita: Pendeta Budha\ Snrfia Hilang, Titi Mau, Sungai U), Jendral Yang, Jendral m dan sebagainya. Pementasannya diiringi dengan Qfat musik yang instrumennya terdiri dari : terompet yang disebut Jinzihili. seruling pendek, seruling normal, instrumen perkusi yang disebut Fanxing dan tambur kecil yang digantung. Seorang dalang wayang Cina dalam penyajiannya dibantu dengan asisten, dua, tiga, sampai empat pembantu. Sedangkan perlengkapan yang dekat dalang adalah kotak kecil berisi peluit dan lampu, disekeliling panggung (podium) duduk para pemain musik dengan instrumen seperti: gong, simbal, terompet, seruling, viol Cina dan tambur.
Wayang Cina dengan teknik bayangan dibuat dari kulit keledai, kambing, kerbau dan sapi yang dipahat dan disungging dengan warna yang komplek dan dibagi menjadi empat type yaitu peranan jahat, wanita tokoh bengis dan dagelan. Fungsi teater boneka Cina pertama untuk upacara ritual, dipentaskan pada hari besar keagamaan, upacara di candi dan persembahan kepada dewa. Kedua dipentaskan untuk tontonan, misalnya pada hari ulang tahun perkawinan dan kelahiran.
Wayang India
Wayang Malabar adalah nama salah satu wayang di India yang teknis pertunjukannya dengan permainan bayang-buyang. seperti juga wayang kulit purwa Indonesia. Di India wayang dengan teknis bayang-bayang berkembang di berbagai daerah yakni di bagian selatan, di timur kerala, di Karnatak, di Andra Pradesh dan di Orissa. Menurut gaya dan jenisnya terdapat empat gaya yang bentuk dan fungsinya berbeda-beda yakni: Waxang Malabar, Wayang Orissa, Wayang Kartanak dan Wayang Andra Pradesh.
Wayang Malabar, figur wayangnya terbuat dari kulit rusa, dipahat dan diberi warna menurut karakter tokohnya, misalnya tokoh Rama dengan warna biru, dan tokoh Sinta dengan warna kuning mas. Pementasannya menggunakan layar putih panjang sebelas meter, tinggi satu setengah meter dengan penerangan lampu dari minyak kelapa. Wayang Malabar itu bersifat ritual keagamaan yang dipentaskan pada waktu festival keagamaan di candi pada bulan Februari, Maret, April. Cerita yang ditampilkan mengambil dari cerita Ramayana Tamil di Kembar, dan sebelum pertunjukan dimulai diawali dengan upacara, yakni dalang meminta restu kepada dua orang guru yang bernama Arathu Ramanarul Singi Palaver dan Charbara Pulaver.
Pertunjukan wayang berlangsung selama 14 malam ilu khusus dipentaskan di luar candi Shiva, serta lampu dari jam 20.00-23.00, tetapi sekarang telah ada pemadatan cerita sehingga pertunjukan wayang semula berlangsung selama 21 atau 14 malam saja. Wayang Malabar pementasannya diiringi musik yang instrumennya terdiri dari tambur (chenda), dan cymbal (kecer), dan akhir pertunjukan semua boneka wayang dibersihkan, layar dicuci dan tanah tempat pertunjukan disiram dengan air.
Wayang Orissa, dibuat dari kulit kambing. yang bentuknya sangat sederhana dan diberi warna hitam saja dan putih dengan ukuran 60 cm tinggi. Pementasannya menggunakan layar putih dan dimainkan oleh beberapa orang dalang yakni dua orang melakukan dialog (narator), dan dua orang sebagai penyanyi dan yang lain menggerakan wayang. Sedangkan teks dibacakan oleh dalang yang khusus yang disebut sutradhar (artinya memegang tali) dalam arti dalang sebagai pemimpin pertunjukan wayang. Sutradhar itu duduk di depan penonton dan diiringi dengan instrumen tambur kecil (daphi). Cerita yang ditampilkan yang menyinari diatur oleh dalang sendiri atau dengan teknisi lampu. Sedangkan wayang Pavai Kuthu pertunjukan terus menerus disinari lampu tanpa ada teknik permainan lampu.
Wayang Andra Pradesh, adalah merupakan figur wayang yang terbesar di dunia dengan nama Tholu Boma Latta. Keberadaannya menurut Yatakas dan teks-teks kuno, wayang itu telah ada sejak tahun 200 sebelum masehi. Setelah mengalami kemerosotan wayang itu dihidupkan kembali pada abad XVI zaman pemerintahan raja Kona Buddha Reddy. Boneka wayang itu dibuat dari kulit kambing, kerbau atau sapi, dipahat dan diberi warna bolak-balik seperti wayang Jawa. Tokoh dewa dan pahlawan dibuat dengan ukuran lebih besar kurang lebih 1,5 meter. Beberapa figur wayang itu ada yang dibuat artikulasi pada tangannya. Lutut, dan kadang-kadang pada pangkal paha. Boneka itu ditahan dengan tangkai dari bambu untuk menggerakan semua anggota badan. Pementasannya menggunakan layar putih panjang 6 meter dan tinggi 3 meter serta menggunakan penerangan dari minyak. Cerita yang dipentaskan mengambil dari Ramayana atau Mahabarata, tetapi pementasannya masih terkait dengan keagamaan yakni pada hari Mahashivratri yaitu hari ulang tahun Shiva. Para penonton hanya melihat dari belakang layar saja. Teknis pertunjukan wayang Andra Paradesh dilakukan oleh beberapa dalang dan cara menggerakan boneka dengan menari dan berdiri yang disesuaikan dengan karakter tokoh masing-masing. Pementasannya mengambil tempat di candi berlangsung selama 9 (sembilan) malam suntuk dari matahari terbenam sampai matahari terbit. Wayang itu dewasa ini merupakan wayang yang sangat populer di India.
Kepustakaan Modern tentang Wayang
Pelestarian budaya wayang pada zaman Indonesia Merdeka juga dimudahkan dengan terbitnya beberapa buku tentang wayang. Penulis buku wayang paling produktif adalah Ir. Sri Mulyono. Ia seorang perwira tinggi TNI-AU, sarjana teknik sipil, peminat ilmu filsafat, yang sekaligus juga seorang dalang dan penulis yang baik.
Buku wayang karyanya antara lain, Wayang dan Filsafat Nusantara; Wayang dan Karakter Manusia; Wayang & Wanita; Tripama, Watak Satria d Sastrajendra; Apa & Siapa Semar, dll.
Selain itu, S. Padmosoekotjo menulis buka wayang berbahasa Jawa, dengan judul Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, yang terdiri atas tujuh jilid. Kelebihan buku karya Padmosoekotjo ini adalah adanya pembandingan yang jelas antara sumber cerita wayang di pedalangan dengan Kitab Mahabarata.
Buku yang membahas budaya wayang secara umum dan luas ditulis dalam bahasa Indonesia oleh S. Haryanto. Buku itu diberi judul Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, dan Bayang-bayang Adiluhung.
Patut juga dicatat jasa para pelukis komik, yang pada menjelang tahun 1960-an, dipelopori oleh R. A. Kosasih dari Bandung, melahirkan karya-karya komiknya. Pelukis komik lainnya yang patut diingat adalah Oerip dan Jan Mintaraga.
Dalam Angket Wayang 1993 yang diselenggarakan berkenaan dengan berlangsungnya Pekan Wayang Indonesia VI, terbukti bahwa komik memiliki andil besar dalam memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebagian besar dari mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1940 – 1960-an, mengenal wayang pertama kalinya dari buku komik. Bukan dari guru mereka, bukan dari orang tua mereka. Entri Yang berkaitan: BEBER, WAYANG DALANG GAMELAN GOLEK, WAYANG KANCIL, WAYANG KRUCIL, WAYANG KULIT, WAYANG MENAK, WAYANG WAHANA, WAYANG WAHYU, WAYANG
Rujukan:
1. Padmosoekotjo, S., Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, CV. Citrajaya, Surabaya, 1979. 4
2. Haryanto,S., Pratiwimba Adiluhung, Jambatan, Jakarta 1988.
3. Mulyono, Sri, Ir, Wayang dan Filsafat Nusantara, Gunung Agung, Jakarta 1979.
4. van Groenendael, Victoria M. Clara, The Dalang behind the Wayang, Leiden, 1987.
5. Soetarno, Pewayangan di Asia, STSI Surakarta 1995.

http://topmdi.net/republikwayang/?page_id=49