Oleh : Komandan Gubrak
Geram hati Prabu Suyudana mendengar
laporan Bambang Aswatama. Apa yang selama ini ia khawatirkan bahwa ada pihak
lain yang sengaja ingin mengacaukan rencananya mengawini putri Salya seakan
menemui titik terang. Keberadaan Permadi di Mandaraka dan usahanya untuk
membawa lari Banowati seperti yang di ceritakan Aswatama makin menegaskan
kecurigaan Suyudana. Bisa jadi bukan hanya Banowati, tapi hilangnya
Herawati dari istana Mandaraka kemungkinan juga karena ulah panengah Pandawa
itu.
“Ini tak bisa di diamkan!” dengus
Suyudana di depan para pejabat negara di Sitihinggil Hastinapura.
“Sudah jelas” lanjutnya,”Pandawa
berusaha menghalangi kita membangun kerjasama dengan Mandaraka”.
Beberapa pejabat tinggi Hastina
tampak saling pandang satu sama lain. Kendati semua orang tahu bahwa Pandawa
selama ini menaruh rasa dendam pada Kurawa terutama setelah insiden adu judi
yang mengakibatkan mereka harus mendapatkan hukuman pembuangan dan juga kasus
Balai Sagala Gala, tapi keberanian Permadi mencampuri urusan Hastinapura dan
Mandaraka adalah satu berita yang cukup mengejutkan. Tindakan ini seolah
mengkonfirmasikan pada segenap keluarga Kurawa bahwa kubu Pandawa telah berada
dalam kondisi siap untuk kembali menggugat dominasi putra putra Destaratra.
“Paman juga berpikiran demikian nanda prabu”
seorang pria berbadan sedang, bermuka bopeng dan duduk persis di samping
kiri Prabu Suyudana membuka suara.
Dialah Harya Sengkuni, di sebut
juga Harya Suman. Perdana Menteri Hastinapura bergelar Patih. Sosok yang
memiliki pengaruh sangat besar di kerajaan Hastina, salah satu penasehat
terkemuka Prabu Suyudana sekaligus paman dari para Kurawa. Politisi senior yang
di kenal cerdik dan piawai dalam strategi. Kemampuan olah kanuragannya juga tak
bisa di anggap enteng. Dia ahli bermain aneka senjata, dan di percaya kebal
terhadap senjata apapun.
“Siapa lagi yang punya kemampuan
dan nyali besar menerobos istana Mandaraka yang penjagaannya sangat ketat
selain orang orang Amarta” tukas Patih Sengkuni meyakinkan.
“Pantas saja kita tak menemukan
sedikitpun jejak Herawati, rupanya Permadi yang cari masalah!” Suyudana
mengepalkan tangan kanannya.
“Lalu apa yang akan kita lakukan
?” tanya Suyudana seraya menyapu pandangan ke seluruh pejabat yang hadir di
situ. Ada Resi Krepa, guru pemerintahan sekaligus penasehat keluarga Kurawa.
Kemudian penguasa Awangga yang tersohor, Adipati Karna. Beberapa anggota Kurawa
seperti Raden Dursasana, Kartamarma, Durmagati dan lain sebagainya dan juga
Aswatama tentunya.
“Eyang Krepa, apa pendapat eyang
?” Suyudana menoleh ke sosok tua bertubuh kurus dan memakai baju kebesaran
seorang resi berwarna kuning yang berada di samping kanannya.
Lelaki tua yang sudah sejak jaman
Prabu Sentanu (leluhur Pandawa dan Kurawa) telah mengabdi di Hastina ini
menarik nafas panjang. Dan dengan suara tenang berkata,
“Sangat mudah bagi ksatria
semacam Permadi melakukan apa yang anak prabu tuduhkan”
“Akan tetapi” imbuhnya, “di jagat
ini bukan hanya Permadi yang memiliki kemampuan lebih dan bisa menerobos
Mandaraka. Tentu, di sana memang ada Prabu Salya yang di kenal sakti
mandraguna. Tapi seperti yang kita tahu, dia bukan orang yang cukup telaten
mendidik para pengawalnya. Maka kalau tak ada yang menonjol di Mandaraka, itu
wajar. Dan kalaulah ada yang lolos dari pengamatan dan berhasil membawa lari
keluarga Salya, itu bukan berita yang mengejutkan”.
“Artinya ?” desak Suyudana.
“Artinya, Permadi bukan satu
satunya orang yang layak di tuduh melarikan anak Salya. Bisa jadi orang lain”
terang Resi Krepa.
“Bahkan kalaupun Basukarna mau,
dia juga dengan mudah masuk ke istana Mandaraka”.
Suyudana mengangguk, tapi apa
yang di sampaikan oleh penasehatnya, Resi Krepa belum cukup untuk menghilangkan
kecurigaannya pada Permadi.
“Sebaiknya anak prabu selidiki
dulu. Jangan sampai kita mendapat malu di hari kemudian” saran Krepa.
“Eyang Krepa ini tahu apa ?” tiba
tiba Patih Sengkuni menyela. Sudut bibirnya terlihat melempar senyum sinis ke
arah Resi Krepa.
“Orang yang hanya berkutat di
seputar istana, mana paham urusan dengan pihak luar” sindir Patih Sengkuni
tanpa basa basi.
Resi Krepa yang merasa di
remehkan sontak merah padam dan berdiri dengan telunjuk menuding ke arah
Patih Sengkuni,
“Jaga kesopananmu, Suman !’
gertaknya marah.
“Paman patih, eyang Krepa !”
potong Suyudana berdiri menengahi, “mohon untuk menahan diri”.
Keduanya terdiam.
“Aswatama!” panggil Suyudana.
“Saya, gusti” pemuda berumur dua
puluhan tahun yang beberapa hari lalu sempat bentrok dengan Permadi ini
menyahut.
Suyudana menatap sejenak pada
putra Guru Durna, “ menurutmu, mungkinkan ada orang lain selain Permadi yang
pantas di curigai ?”.
“Tidak ada, gusti!” jawab
Aswatama tegas.
“Saya sudah melakukan
penyelidikan di seluruh istana Mandaraka, tapi tak menemukan jejak lain selain
Permadi yang berduaan dengan Banowati di pantai Mandaraka”.
“Hemm…” Suyudana mendehem. Makin
yakin hatinya bahwa Permadilah biang keladi semuanya. Tidak salah lagi.
“Bagaimana, paman ?” kali ini
Suyudana meminta pendapat Patih Sengkuni.
Patih Harya Sengkuni mengangkat
bahu, sudut matanya sejenak melirik ke arah Resi Krepa yang masih bermuka masam
akibat ucapan pedas Sengkuni.
“Sudah saatnya kita bersikap
tegas !” kata Sengkuni seperti tak mempedulikan tatapan dongkol Resi Krepa,
“cepat atau lambat kita tetap akan berhadapan dengan anak anak Pandu”
“Jangan memperkeruh keadaan,
Suman !” Resi Krepa yang sepertinya tahu kemana jalan pikiran Sengkuni
memperingatkan.
“Sebentar eyang” Suyudana
mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Resi Krepa memberi kesempatan pada
Patih Sengkuni mengutarakan pendapatnya.
“Paman berencana menghukum
Pandawa ?” tanya Suyudana serius. Bola matanya tak lepas menatap ke arah adik
dari ibunya itu.
“Jika perlu” Sengkuni enteng.
Seketika semua yang hadir
terkejut. Ada rona khawatir, penasaran bercampur antusias di benak beberapa
punggawa Hastina, kecuali Resi Krepa yang terlihat semakin jengkel melihat ulah
Sengkuni. Semua orang Hastina paham betul dengan kecerdikan Patih Sengkuni.
Pria asal Plasajenar yang menjadi petinggi Hastina setelah mengkudeta patih
sebelumnya, Gandamana, ini seperti tak pernah kekurangan ide.
“Ha ha ha ha “.
Tiba tiba dari arah belakang
terdengar suara tawa parau yang sangat akrab di telinga para hadirin. Dialah
Raden Dursasana, orang kedua Kurawa. Bertubuh gempal, bermuka lebar, berambut
gimbal dan bermata bulat kemerahan. Putra Destaratra yang berdiam di ksatrian
Banjarjungut ini di kenal sombong, berbicara kasar dan suka menggoda wanita.
Dalam kasus adu judi dengan Pandawa dulu, dialah orang yang sempat
mempermalukan Drupadi dengan cara menelanjangi istri sulung Pandawa, Puntadewa
di depan umum.
“Dursasana mendukung semua
rencana paman Sengkuni !“ teriak Dursasana dengan lantang.
“Yang penting, Bima jangan di
serahkan ke siapa siapa. Biar orang Banjarjungut yang menghabisi srigala Amarta
itu” lanjutnya dengan nada sombong.
Patih Sengkuni hanya tersenyum
melihat tingkah keponakannya itu. Selama ini Dursasana memang menyimpan rasa
iri terhadap kekuatan yang di miliki Bima. Dulu ketika masih bersama Pandawa di
bawah asuhan Guru Durna, Dursasana seringkali bersengketa dengan Bima hanya
untuk menentukan siapa yang paling kuat. Keduanya sama sama berbadan besar,
bertenaga kuat, ahli gulat dan hoby berkelahi. Ketika keduanya bertemu dalam
arena pertandingan, sudah pasti menyajikan tontonan yang sangat menarik.
Keduanya boleh di bilang seimbang dan tak ada satupun yang sanggup mengalahkan
yang lain. Hal inilah yang seringkali membuat Dursasana penasaran hingga sekarang.
Ambisinya untuk mengalahkan Bima dan menjadi pegulat terbaik begitu besar. Maka
tak heran, begitu Sengkuni mengutarakan idenya memberi pelajaran pada Pandawa,
Dursasana langsung antusias menyambut. Saat saat yang selalu ia tunggu
sepanjang karir keprajuritannya. Menakhlukkan Bima.
“Jika demikian, berarti kita akan
mengerahkan seluruh kekuatan Hastina untuk menggempur Amarta, paman ?” tanya
Suyudana serius.
Patih Sengkuni lagi lagi
menyunggingkan senyum khasnya.
“Tidak perlu” menggelengkan
kepala.
“Lantas ?” makin penasaran
Suyudana. Perhatiannya kini hanya tertuju pada Patih Sengkuni.
Sengkuni tidak segera menjawab,
seolah ingin mempermainkan rasa penasaran Prabu Suyudana. Di betulkannya letak
ikat kepala bertahtakan emas di kepalanya, menghela nafas beberapa kali lalu
berkata,
“Kalau untuk menghabisi Pandawa,
atau setidaknya Permadi bisa memakai tangan orang lain, kenapa harus tangan
kita yang berlumuran”.
“Maksud, paman ?”.
“Menghabisi Pandawa tidak bisa
hanya mengandalkan kekuatan fisik. Harus pakai ini” kata Patih Sengkuni sambil
mengarahkan telunjuknya ke kening.
“Paman lihat kekuatan Amarta
akhir akhir ini mengalami peningkatan yang cukup pesat. Itu kenapa mereka
sangat percaya diri mengirim Permadi ke Mandaraka untuk menggagalkan perkawinan
Hastina dan Mandaraka. Dan sudah pasti itu melalui perencanaan yang matang.
Makanya mereka mengirim Permadi. Karena hanya panengah Pandawa ini yang di
kenal mahir menggoda perempuan”
“Kurang ajar !!!” Suyudana gusar.
“Mereka menggunakan cara cara
kotor, maka tidak boleh kita berdiam diri. Kita gunakan cara yang lebih cerdas
lagi”.
“Apa itu ?”.
“Gunakan Prabu Salya untuk
menghabisi Pandawa” jawab Patih Sengkuni mengejutkan.
Semua hadirin terdiam. Seolah
menunggu instruksi lebih lanjut dari patih Hastina itu. Hanya Resi Krepa yang
terlihat tidak menyetujui ide Sengkuni. Mata penasehat dalam Hastinapura ini
terlihat tak mau lepas memelototi Harya Sengkuni. Ingin rasanya ia melabrak
adik ibu suri Gendari ini, akan tetapi rasa segannya pada momongannya Suyudana
ia mencoba untuk tetap bersabar.
“Jelasnya seperti apa, paman ?”
Suyudana bertanya. Di gesernya letak duduknya lebih dekat pada Patih Sengkuni.
“Begini” terang Sengkuni,”
pertama kita harus meyakinkan pada Prabu Salya bahwa Permadilah dalang di balik
hilangnya Herawati. Urusan ini biar paman yang tangani” mata Sengkuni berpindah
ke Aswatama.
“Aswatama jangan pulang dulu ke
Sokalima. Kamu ikut paman ke Mandaraka sebagai saksi” perintahnya pada
Aswatama.
Aswatama mendongak.
“Paman yakin itu berhasil ?”
Suyudana ragu.
“Pamanmu ini kapan pernah gagal
?” sahut Sengkuni sembari merentangkan kedua tangannya.
“Asal tidak ada penghianat dari
dalam Hastinapura, kita tidak akan gagal”.
“Aahh….saya belum yakin, paman “
bantah Suyudana serius.
Patih Sengkuni menyunggingkan
senyum, sudut matanya melirik ke arah Adipati Karna.
“Perintahkan Basukarna untuk
menyusup ke keputren Mandaraka dengan menyamar sebagai Permadi, lalu culik
salah satu dari dua putri Salya” berhenti sejenak,” tentu usaha ini tidak
mudah. Sudah pasti prajurit Mandaraka akan menghadang Basukarna. Oleh sebab itu
untuk lebih meyakinkan bahwa Permadilah yang menculik anak Prabu Salya, Karna
harus menggunakan jurus jurus yang biasa di pakai Permadi”.
Secara fisik maupun keahlian,
Adipati Karna memang sangat mirip dengan Permadi. Keduanya pernah saling
berbagi ilmu dan berlatih bersama, terutama dalam hal seni memanah. Bahkan
boleh jadi kemampuan Karna malah melebihi Permadi. Itu pernah di buktikan Karna
ketika dulu Guru Durna menggelar lomba adu panah di alun alun Hastinapura.
Adipati Awangga ini tidak saja mampu mengimbangi Permadi dalam hal ketepatan
dalam memanah, akan tetapi tembakan Karna setingkat lebih kuat dan mematikan di
banding Permadi. Belum lagi dalam lomba memanah dengan mengendarai kuda, Karna
masih lebih baik daripada Permadi.
“Jejak jejak yang di tinggalkan
Basukarna ini nanti yang akan kita pakai untuk meyakinkan Prabu Salya. Selain
juga kesaksian Aswatama”.
“Luar biasa….” sambut suyudana
dengan air muka sumringah.
“Tunggu….tunggu…!” dari belakang
Dursasana tiba tiba menyela.
Semua mata menoleh ke arah
Dursasana.
“Kalau Prabu Salya yang di adu
dengan Pandawa, Dursasana nggak bisa bertemu Bima, paman?” protesnya.
Patih Sengkuni menggelengkan
kepala,”tenangkan dirimu Dursasana”.
“Prabu Salya tidak mungkin mampu
mengalahkan Pandawa sendirian. Menjadi tugasmu dan seluruh awak Kurawa
mempersiapkan seluruh kekuatan untuk berjaga jaga jika nanti Prabu Salya
gagal”.
Prabu Suyudana mengangguk tanda
setuju dengan ide Patih Sengkuni.
“Adi Karna!”.
“Saya kanda Kurupati!”.
“Lakukan apa yang di perintahkan
paman Sengkuni!”.
“Siap!!” sahut Adipati Karna
sigap.
“Dursasana, siapkan semua adik
adikmu dan seluruh prajurit Hastina” Suyudana bertitah.
“Eyang Krepa bertugas menjaga
istana Hastinapura dari gangguan pihak musuh”.
Perintah sudah di turunkan.
Segenap punggawa Hastina bergegas mempersiapkan diri. Harapan untuk mengakhiri
hidup Pandawa kembali menyeruak ke permukaan setelah sekian cara yang pernah di
tempuh Kurawa beberapa tahun silam belum mampu menghabisi anak anak Prabu
Pandudewanata. Jika kali ini berhasil, maka bukan saja Kurawa terbebas dari
ancaman Pandawa yang tak pernah berhenti menginginkan tahta Hastina, akan
tetapi akan menjadi jalan lapang bagi Kurawa untuk menguasai mayapada.
***********************************
Sebenarnya berat bagi Bambang Aswatama untuk
kembali lagi ke Mandaraka. Sebuah tempat yang pada awalnya memberikan harapan
nan membuncah bagi seorang Aswatama, namun akhirnya luka menganga yang ia
dapat. Penghinaan, pelecehan dan kata kata menyakitkan dari orang yang
sebenarnya sempat mencuri hati Aswatama.
Ya. Sejak mendapatkan tugas membantu
pengamanan istana Mandaraka, satu hal yang membuat Aswatama senantiasa
bersemangat. Yaitu keberadaan Banowati sebagai salah satu keluarga kerajaan
yang harus ia lindungi. Asal muasal Aswatama
mengenal Banowati sebenarnya dari sebuah lukisan yang di berikan oleh seorang
juru tulis kraton sesaat setelah ia mendapat tugas mengamankan istana.
Ada tiga lukisan yang di serahkan kepada
Aswatama. Pertama gambar peta kota Mandaraka, dan sisanya adalah dua buah
lukisan bergambar wanita cantik yang konon adalah dua putri Prabu Salya. Di
antara kedua lukisan wanita itu, satu lukisan yang membuat Aswatama merasa
sangat tertarik. Yaitu lukisan Banowati.
Aswatama sendiri tidak habis pikir, kenapa
tiba tiba ia begitu suka dengan pemilik wajah dalam lukisan itu. Padahal selama
ini Aswatama di kenal sebagai sosok pria yang cukup lugu terutama jika
menghadapi perempuan. Jangankan bergaul dengan wanita, bahkan berniat mendekati
wanitapun rasanya belum pernah.
Adalah
kondisi fisik Aswatama yang beda dengan kebanyakan orang, yang kemudian membuat
putra Begawan Durna ini seringkali merasa minder dan takut berhadapan dengan
perempuan. Wajah yang buruk, suara tawa yang tidak enak di dengar dan bentuk
kaki yang menyerupai kaki kuda. Sebuah cacat fisik yang ia derita bahkan sejak
ia terlahir ke dunia.
Di ceritakan, dahulu kala Durna muda atau
lebih sering di sebut Kumbayana berniat pergi ke Kerajaan Pancala untuk menemui
salah satu sahabatnya, yaitu Drupada. Dalam perjalanan menuju Pancala,
Kumbayana mendapati sebuah sungai besar dengan arus deras yang tak mungkin bisa
ia lewati bahkan jika membuat perahu sekalipun. Akhirnya Kumbayana berdoa kepada
para dewa guna meminta pertolongan. Doa Kumbayana di dengar, dewa kahyangan
kemudian mengirim seekor kuda terbang berjenis kelamin betina untuk mengantar
Kumbayana menyeberangi sungai. Kuda itu adalah penjelmaan seorang bidadari
surga yang di kutuk dewa karena telah berbuat salah. Bernama Dewi Wilatama.
Kuda betina Dewi Wilatama setuju mengantarkan Kumbayana ke seberang sungai
dengan meminta sebuah syarat. Kumbayana harus mau bercinta dengan dirinya. Demi
ingin menemui sahabatnya, Drupada, Kumbayana akhirnya memenuhi keinginan Dewi
Wilatama. Kedua makhluk beda jenis ini akhirnya melakukan pergumulan layaknya
suami istri yang menyebabkan Wilatama hamil dan melahirkan seorang anak yang di
beri nama Aswatama. Yang artinya Kuda yang hebat. Karena ibunya adalah seekor
kuda penjelmaan Dewi Wilutama dan bapaknya adalah seorang manusia, maka tak
heran jika bentuk fisik Aswatama adalah paduan antara manusia dan kuda. Mukanya
buruk, kakinya menyerupai kaki kuda. Bahkan jika tertawa, suara tawa Aswatama
lebih mirip ringkikan kuda.
Mulanya
Aswatama terlihat begitu bersemangat dengan tugas yang baru saja ia emban.
Begitu memulai tugas, yang Aswatama kerjakan adalah mengirim orang untuk
memantau keadaan keputren. Dia ingin tahu seperti apa sosok yang bernama
Banowati itu dan apa saja yang menjadi kebiasaan dia setiap hari. Tidak lupa ia
juga berpesan kepada anak buahnya untuk melapor kepadanya jika sang putri cantik itu keluar dari
kediamannya. Tujuannya agar Aswatama bisa melihat lebih dekat gadis idamannya
itu dan kalau perlu ia bisa mencuri curi kesempatan untuk berkenalan.
Maka,
tak heran jika kepergian Banowati ke pantai Mandaraka di ketahui oleh Aswatama.
Pendekar Sokalima itu diam diam memerintahkan anak buahnya untuk membuntuti
kemana perginya Banowati. Dan begitu mendapatkan laporan bahwa Banowati berada
di pantai Mandaraka, Aswatama seolah mendapatkan kesempatan yang selama ini
sangat ia tunggu tunggu. Yaitu bertemu langsung dengan gadis pujaannya. Namun
di luar dugaan, sesampainya di tempat tujuan, Aswatama menyaksikan anak buahnya
di hajar oleh seorang berilmu tinggi yang akhirnya ia ketahui sebagai Permadi.
Begitu
mengetahui tujuan Banowati ke pantai Mandaraka adalah untuk menemui Permadi,
hancur sudah perasaan Aswatama. Bagaimanapun, ia sangat mengenal lelaki yang
sempat bertarung dengannya kala itu. Dan ia bisa menebak, kalau di antara kedua
insan itu tentu ada hubungan yang istimewa. Rasa sakit hati Aswatama makin
menjadi manakala ia kemudian mendapat cacian penuh kebencian dari orang yang
selama ini ia kagumi. Banowati.
“Tuan Aswatama
sedang memikirkan apa ?” entah kapan datangnya, tiba tiba ksatria Awangga,
Adipati Karna telah berada di
sampingnya. Menunggangi seekor kuda putih andalan sang Basukarna.
“Ah, tidak
memikirkan apa apa gusti” jawabnya sedikit grogi. Perlahan ia tarik tali
kudanya untuk memperlambat perjalanan.
Basukarna
tersenyum.
“Terus terang aku
sangat buta dengan situasi istana Mandaraka. Tapi tugas dari gusti Suyudana dan
paman patih tak pantas aku tolak” terang Karna.
“Sebagai orang
yang pernah bertugas di sana, tentu tuan Aswatama tahu lebih banyak kondisi
istana Mandaraka. Terutama keputren Mandaraka. Mohon bantuannya, tuan” pinta
Basukarna.
Aswatama terdiam.
Dia baru ingat bahwa kawan seperjalanannya ini mendapat satu tugas penting dari
Prabu Suyudana. Menculik salah satu putri Salya yang kini tinggal tersisa 2
orang. Surtikanthi dan Banowati. Tugas yang tak mudah. Tapi bagi Basukarna, tak
ada yang tak bisa di selesaikan. Dan Aswatama tahu itu. Akan tetapi
persoalannya sekarang bukan berhasil atau tidak Basukarna menjalankan tugasnya,
akan tetapi siapa di antara dua putri Salya yang akan dia culik. Banowati atau
kakaknya ?. Kalau bukan karena ia mendapatkan tugas lain, Aswatama sesungguhnya
akan merasa sangat senang jika tugas itu di limpahkan kepadanya. Dan siapa lagi
yang akan ia eksekusi selain Banowati. Kapan lagi punya kesempatan membuat
wanita yang kini begitu ia benci menderita. Tapi berhubung Basukarna yang
mendapat tugas, maka ia harus mengalah. Yang terpenting sekarang bagaimana
mendorong Basukarna untuk membidik sasaran yang tepat. Banowati.
“Senang bisa
membantu gusti Karna” Aswatama mengeluarkan selembar kulit binatang berisi gambar peta istana Mandaraka.
“Peta itu berisi
letak letak bangunan di mana keluarga Raja berdiam. Bangunan paling besar itu
kediaman Prabu Salya beserta ratu. Di jaga 150 pasukan khusus dengan sistem
penjagaan berlapis” terang Aswatama.
“Di dekat
kediaman Prabu Salya tepatnya di blok sebelah timur terdapat barak prajurit.
Berisi sekitar 250an prajurit terlatih. Ini pasukan inti Mandaraka yang bisa di
gerakkan kapan saja jika terdapat ancaman. Salah satu putra Prabu Salya tinggal
di situ. Namanya, Rukmarata”.
Basukarna memelototi
dengan serius peta pemberian Aswatama.
“Kemudian di
sisi barat kediaman raja, adalah area keputren. Ketiga putri Prabu Salya
tinggal di blok ini”.
“Rumah paling
besar ini” menunjuk sebuah bangunan yang berada sisi selatan, “adalah kediaman
putri pertama, Herawati. Yang kemarin hilang dari keputren”.
“Bagian paling
tengah adalah kediaman Dewi Surtikanthi. Anak kedua Prabu Salya”.
“Tapi saya
sarankan gusti Karna tidak membidik dia” buru buru Aswatama mencegah.
“Loh kenapa tuan
Aswatama ?” Basukarna heran.
“Selain posisinya
di tengah tengah, kebiasaan putri kedua Prabu Salya ini adalah menempatkan
banyak prajurit untuk menjaga rumahnya”.
Basukarna
mengangguk paham.
“Saya menyarankan
gusti Karna memilih bangunan di ujung utara. Di situ tinggal Dewi Banowati. Selain
di situ sangat minim penjagaan, juga kondisi di sekitarnya cukup mendukung. Di
sana terdapat taman bunga yang cukup luas. Tempat yang tepat untuk melakukan
pengintaian. Rute pelarian bisa ke arah barat. Memang, di sebelah barat ada
satu barak prajurit. Tapi menurut informasi terakhir, barak ini di kosongkan.
Penghuninya di tarik ke tengah kota untuk mengamankan istana dan sekitarnya.
Jadi gusti tetap bisa dengan mudah meloloskan diri ke arah barat. Apalagi di
luar benteng terdapat perbukitan. Gusti bisa beristirahat di sana tanpa ada
gangguan.” Aswatama menerangkan.
Adipati Awangga
itu tak banyak bertanya lagi. Apa yang di terangkan oleh Aswatama sudah cukup
jelas baginya.
“Terima kasih
tuan Aswatama” kata Karna sembari melipat lembaran peta dari kulit
binatang pemberian Aswatama itu lalu
mengelus leher kuda tunggangannya.
“Baiklah, saya
harus mendahului tuan Aswatama dan paman Sengkuni” Basukarna berpamitan.
“Hati hati
gusti…!” pesan Aswatama mengiringi.
Dengan sekali
hentak, kuda hitam milik adipati Karna itu meluncur bak panah yang lepas dari
busurnya. Dalam keadaan normal butuh waktu 3 hari untuk sampai di Mandaraka.
Tapi bagi Basukarna kemungkinan besar dalam tempo 1 hari ia bisa sampai di
Mandaraka. Maklum, selain di kenal sebagai penunggang kuda terbaik, hewan
tunggangan Karna juga bukan kendaraan biasa. Kuda itu pemberian Dewa Surya. Berjuluk
Kyai Gagak Rimang. Di kenal kuat dalam berlari dan tahan lapar. Walaupun
Aswatama sendiri juga jago berlari, tapi kemampuan larinya masih kalah dengan
tunggangan Basukarna.
*********************************
“Darimana ?”.
Entah sejak kapan
datangnya, begitu Banowati membuka pintu rumah dan hendak menutupnya kembali,
sesosok wanita yang sangat di kenalnya telah berada di ruang tamu. Raut mukanya
kaku, matanya melotot tajam penuh selidik.
Surtikanthi.
“Darimana ???”.
Kali ini suaranya
jauh lebih keras dan tidak sabar menunggu jawaban.
“Keluar sebentar”
jawab Banowati seraya menjatuhkan bokongnya di sebuah kursi kayu bermotif
ukiran bunga tepat di depan Surtikanthi dan hanya terpisah oleh sebuah meja
berbentuk persegi panjang.
“Keluar malam
malam ?”.
“Sudah pagi kali,
kak” kelit Banowati.
“Jangan
bohong!!!” hardik Surtikanthi emosi.
Banowati menelan
ludah. Sepertinya sang kakak sudah mengetahui kepergiannya malam tadi. Mata
Banowati terantuk pada sebuah gelas dan teko terbuat dari tanah liat yang ada di atas meja.
Air minuman di atas meja itu terlihat sudah dingin. Sepertinya Surtikanthi
sudah lama menunggu dirinya sejak pagi.
“Kakak kenapa sih
?” Banowati memberanikan diri.
“Kenapa sih ?”
ulang Surtikanthi, “heh…! apa kamu nggak punya otak ?. Seharusnya kamu mikir,
Bano!!” dengan suara tinggi.
“Apa hak kakak
mencampuri urusanku?” Banowati ketus.
Brak!!!
Surtikanthi
menggebrak meja. Matanya makin liar menatap Banowati, wajahnya memerah pertanda
marah bukan main. Dan sekonyong konyong wanita yang tinggalnya tak jauh dari
kediaman Banowati ini berdiri dengan posisi menantang. Telunjuk kanannya
terarah ke muka Banowati.
“Kamu masih saja
pura pura tidak bersalah. Kamu tahu, tindakan kamu ini sudah melanggar aturan yang
sudah di tetapkan ayahanda. Kalau sampai tindakanmu ini di ketahui ayah, ayah
pasti akan menghukummu” cerocos Surtikanthi dengan nafas memburu.
Sementara
Banowati yang tak punya cara lain untuk membela diri hanya terdiam dengan muka
tertekuk tidak terima.
“Kamu itu nggak
jauh beda dengan kakakmu Herawati. Semaunya sendiri”.
“Sekarang aku mau
tanya, Herawati kemana ?”cecarnya.
Kali ini Banowati
sedikit terkejut. Bola matanya menatap Surtikanthi dengan penuh selidik.
“Kok nanya ke aku
sih, kak ?” pura pura tak mengerti.
“Ya
iyalah….”tegas Surtikanthi, “bukankah sebelum ia pergi, dia menemuimu ?. Jangan
pura pura deh…”.
“Iya…tapi….”.
“Tapi apa ?”
makin kalap, “kamu sengaja melindunginya ?. Kamu sadar nggak, ulahmu ini telah
membuat orang lain harus menanggung akibatnya ?.
“Pasti ini karena
Narotama” pikir Banowati tanggap.
Ya, hukuman yang
di terima Narotama akibat kasus hilangnya Herawati sepertinya tidak bisa di
terima oleh Surtikanthi. Sang kakak
pasti sedih. Bukan hanya karena akibat kejadian itu keduanya tidak lagi bisa
bebas bertemu dan memadu kasih, akan tetapi lebih parahnya lagi, kabar yang
Banowati dengar, Narotama di tahan di sebuah tempat tersembunyi dan tidak boleh
di temui oleh siapapun. Barangkali ini yang membuat kakaknya terlihat berubah
sikap. Menjadi lebih pemarah, sensitif dan curiga.
“Maafkan Bano,
kak” ucap Banowati tertunduk.
“Maaf ?”
Surtikanthi mendekatkan mukanya pada Banowati.
“Hanya maaf ?”.
“Tapi aku benar
benar tidak tahu”.
“Bohong!”.
“Apa untungnya
sih, kak?” Banowati masih berusaha berkelit. Bagaimanapun ia tak mungkin berani
membocorkan rahasia Herawati pada Surtikanthi. Selain ia akan makin di
salahkan, Banowati masih belum mengerti rencana apa yang sebenarnya hendak di
jalankan ayahnya.
“Nggak ada
untungnya buat kamu ?” ucap Surtikanthi bengis.
“Kamu sengaja
menyingkirkan Narotama, agar ayah memilih aku menjadi pengganti Herawati. Dan
kamu bisa dengan leluasa melanjutkan kisah asmaramu dengan lelaki simpananmu
?”.
Banowati
terhenyak. Ucapan Surtikanthi benar benar menyengat perasaannya.
“Jangan asal
tuduh!” Banowati melawan.
“Kenyataannya
begitu”.
“Itu fitnah!”.
“Fitnah darimana
?. Heh ?. Memangnya keluar malam malam mau apa kalau bukan ketemu sama kekasih
simpananmu ?. Jangan berlagak dungu deh…” Surtikanthi sinis.
“Tutup mulut
kakak!” Banowati bangkit.
“Kamu yang diam!”
Surtikanthi menyongsong.
“Kakak yang
ngomong sembarangan!”.
Plak!!!
Sebuah tamparan
keras menghantam pipi Banowati. Gadis belia dengan lesung pipit indah ini
meringis kesakitan.
“Dengar!!!” ancam
Surtikanthi, “kalau sampai besok Narotama tidak di bebaskan, kamu tahu
akibatnya”.
Setelah berkata
begitu, Surtikanthi melangkah pergi. Meninggalkan Banowati yang masih merintih
kesakitan akibat tamparan di mukanya.
Sakit hati
Banowati menerima tuduhan tak berdasar dari kakaknya. Dia memang menemui
seseorang sejak pagi buta tadi, tapi bukan lelaki simpanan. Dia memang tahu
persis kemana perginya Herawati, tapi sikap diamnya bukan karena sengaja ingin
mencelakakan Narotama dan membiarkan ayahnya memilih Surtikanthi sebagai
pengganti Herawati.
“Brengsek semua!”
maki Banowati menghentakkan kaki emosi.
Kalau begini
terus, sepertinya dirinya yang bakal menjadi tertuduh atas silang sengkarut
yang terjadi.
“Aku harus menemui
ayah. Ya, aku harus meminta penjelasan pada ayahanda, apa yang sebenarnya ayah
rencanakan”.
“Sekarang juga”
tekad Banowati.
Pagi itu juga
dengan di antar dua pelayan setia dan di kawan empat orang prajurit, Banowati
bergegas menuju kediaman orang tuanya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
tempat tinggalnya. Ancaman Surtikanthi sepertinya bukan omong kosong. Kakaknya
yang satu itu memang di kenal ceroboh dan tak bisa menahan diri. Kalau urusan
ini tidak cepat di selesaikan, bisa jadi Surtikanthi akan menebar fitnah ke
semua orang bahwa dirinya menjalin hubungan gelap dengan seorang pria. Padahal
selama ini semua orang tahu kalau dirinya tak pernah dekat dengan lelaki
manapun. Dan jika ayah ibunya sampai mendengar cerita itu, kemudian di tambahi
dengan bumbu bumbu lain yang tidak sedap di dengar, entah apa masalah yang akan ia hadapi nanti.
Tidak sulit bagi
Banowati untuk menemui sang ayah. Biasanya setiap pagi, prabu berada di halaman
belakang. Berlatih ilmu kanuragan dengan beberapa pengawal pribadinya atau
sekedar berolah raga menunggang kuda mengelilingi lapangan. Walaupun usia
ayahnya sudah cukup tua, tapi untuk urusan menjaga kesehatan dan melatih
kemampuan, semangatnya boleh di adu dengan yang muda muda. Rutinitas itu telah
lama di jalankan ayahnya bahkan sejak sebelum Banowati terlahir di dunia. Maka
tak heran jika sang ayah di kenal memiliki kemampuan seni beladiri tingkat
tinggi yang jarang sekali di tandingi oleh siapapun. Selain di percaya sakti
mandraguna, ayahnya juga seorang penunggang kuda yang mahir.
“Banowati…”
teriak ayahnya seraya melambaikan tangan begitu melihat Banowati mendatanginya.
Dan dengan sekali hentak, kuda tunggangan ayahnya segera melesat mendekati
Banowati.
“Sepertinya kamu
tertarik untuk berlatih menunggang kuda bersama ayah, anakku” sambut Prabu
Salya dari atas kuda.
“Sini…melompatlah
kemari” Salyapati memberi isyarat dengan tangannya agar Banowati menaikki kuda
tunggangannya.
“Loh…kenapa ?”
tanya Salya terheran melihat wajah Banowati yang tampak murung dengan wajah tertekuk.
“Bano mau bicara
sama ayah”.
“Oh ya ?” jawab
Salyapati seolah tak peduli, “ke sini dululah, ayah mau ajarkan kamu bagaimana
menjadi penunggang kuda yang handal. Agar kalau kemana mana, kamu bisa jalan
sendiri. Ha ha ha ha…”.
“Iiiihhh…..ayah.
Bano serius…” rengek Banowati.
“Sapta…!!!”
Salyapati memanggil seseorang.
Seorang pria
bertubuh kurus berlarian mendekat.
“Hamba gusti”.
“Sediakan gusti
putrimu kuda yang paling kuat” perintah Salya.
Dongkol hati
Banowati. Niatnya untuk mengutarakan semua persoalan yang mengganggu pikirannya
malah di sambut dengan ajakan sang ayah untuk berlatih mengendarai kuda. Makin
heran sang Banowati dengan tingkah sang ayah yang tidak biasa.
“Ini gusti putri”.
Lelaki kurus yang
di panggil Sapta itu menyerahkan seekor kuda berwarna putih dengan poni lebat
di kepalanya. Bulu bulu di tengkuknya berwarna keperakkan, lurus sepanjang satu
jengkal dan terlihat menari nari manakala di terpa angin. Di punggungnya
terpasang sebuah pelana terbuat dari kulit menjangan berwarna keemasan. Indah
sekali kuda itu.
“Kuda itu aku
beri nama Mharyapati” kata Salyapati menerangkan, “betina jenis kelaminnya,
kecil badannya, indah bulunya, tapi dia dalam hal kecepatan, dia lebih cepat
dari halilintar”.
“Ayah serius ?”
Banowati masih ragu ragu, apakah ayahnya hanya bercanda atau memang betulan
ingin mengajarinya menunggang kuda.
“Sapta!”.
“Iya gusti…”.
“Ajari gusti
putrimu menaikki Mharyapati” perintah Salya seolah tak peduli dengan
kedongkolan anaknya.
Sapta segera
mendekati Banowati.
“Maaf gusti” lelaki
kurus itu menyerahkan tali kendali sang Mharyapati pada Banowati.
“Sebelum gusti
menaikki kuda ini, gusti mesti kenalan dulu sama dia ?”.
“Kenalan ?”
Banowati melongo.
“Mmmm maksud saya
bukan kenalan seperti layaknya manusia” buru buru Sapta menerangkan.
“Trus ?”.
“Pertama gusti pegang
sebelah sini” menempelkan tangannya pada tengkuknya, “trus di elus elus begini”
lanjutnya mempraktekkan.
“Tujuannya untuk
memberitahukan pada Mharyapati bahwa kita sahabatnya…”.
Banowati tertegun
memperhatikan. Sejak kecil hingga dewasa, ia memang belum pernah sekalipun
mengenal lebih dekat binatang ini. Kalaupun ia bepergian jauh, dia selalu
menggunakan kereta yang di kusiri oleh kusir istana. Untuk sementara, apa yang
menjadi tujuan Banowati menghadap ayahnya sedikit terlupakan. Matanya kini
tertuju pada binatang berkaki empat dengan bulu putih di depannya.
“Pastikan dia
merasa nyaman bersama kita, baru kita boleh naik”.
Banowati menatap
sang ayah. Pria tua yang tubuhnya masih terlihat kekar itu tersenyum.
“Ayo…lakukan apa
yang di terangkan Sapta” ucap ayahnya tak sabar melihat anaknya berlatih
menaikki kuda.
Tanpa banyak
bicara, Banowati kemudian mempraktekkan apa yang di katakana Sapta. Mengelus
elus tengkuk sang Mharyapati dan memastikan kuda putih itu tidak memberontak.
Pada usapan pertama, Mharyapati terlihat sedikit terkejut dan mengeluarkan
ringkikan yang khas. Banowati melangkah mundur, khawatir kalau binatang itu
mengamuk. Tapi buru buru Sapta mengambil alih kendali dan berusaha menenangkan
Mharyapati.
“Jangan takut
gusti” Sapta menasehati.
Untuk kedua
kalinya Banowati mendekati kuda berponi lebat itu, mengelus elus tengkuknya dan
berbisik,
“Jangan lari
ya…”.
“Ha ha ha…”
kontan saja tingkah lucu ini mengundang tawa Salyapati. Raja Mandaraka itu
tampak puas dengan sikap anaknya yang mulai mengerti apa yang ia perintahkan.
“Sekarang Bano
naikkan kaki kirimu memanjat pedalnya, lalu ayunkan kaki kananmu melompat ke
punggungnya” kata Salya.
“Ayah ??”
Banowati gugup.
“Kalau kamu nggak
yakin, sampai kapanpun nggak akan bisa” Salya mengingatkan.
Banowati memompa
nafasnya, menata keberanian, lalu menginjakkan kaki kirinya pada pedal. Dan
dengan sekali ayun, tubuh ramping Banowati telah bertengger di atas pelana
kuda.
“Trus gimana ini
ayah ?” tanya Banowati mulai bisa menikmati kegiatan barunya itu.
“Pegang
kendalinya, jangan lupa cara duduk kamu harus seimbang dan seirama dengan gerak
tubuhnya. Jangan gugup, anggap saja itu ibumu”.
“Oh gitu ya ?”
ucap Banowati paham.
Latihanpun di
mulai. Awalnya memang susah, bahkan tak jarang Banowati harus tersungkur jatuh
dari atas kuda. Tapi rupanya itu tak membuat Banowati menyerah. Gadis belia ini
tak bosan bosannya terus mencoba. Dan lama kelamaan putri ketiga Prabu Salya
ini akhirnya mulai bisa menguasai keadaan. Rasa lelah akibat dari semalam belum
beristirahat seolah terbayar sudah. Perasaan kalut yang mengganggu pikirannya
perlahan terlupakan. Tergantikan dengan kepuasan tiada kira. Bagaimanapun, itu
adalah pengalaman yang sama sekali baru. Mendebarkan sekaligus menyenangkan.
Membayangkan dirinya berada di atas pelana kuda dan berkeliling ke tempat
tempat yang ia suka tentu adalah pengalaman yang luar biasa.
Pagi mulai
menapak menuju siang. Cahaya matahari terasa mulai menyengat kulit. Peluh
berjatuhan laksana air menyiram tubuh. Kedua manusia beda umur ini tampak belum
merasa bosan berada di atas tunggangannya. Entah berapa kali Banowati
mengelilingi lapangan kuda di belakang kediaman ayahnya.
“Bagaimana ayah
??” tanya Banowati berharap pujian dari ayahnya.
“Ha ha ha….!.
Kamu memang anak yang cerdas Bano…” Salyapati memuji.
“Sekarang kita
istirahat, besok mulai latihan lagi…”.
Salyapati
mengarahkan kudanya menuju sebuah balai balai kayu yang terletak di bawah pohon
trembesi di pojok lapangan. Di belakangnya menguntit Banowati yang walaupun
terlihat kelelahan, tapi cukup merasa senang.
“Dari dulu ayah
selalu yakin, kalau kamu menyimpan bakat yang sangat besar” ujar Salyapati
melompat dari atas kudanya dan menaikki balai.
“Bahkan kalaupun
ayah mengajarkanmu ilmu kanuragan, ayah yakin kamu bisa lebih hebat dari
adikmu, Rukmarata”.
“Ahh…ayah
berlebihan” sahut Banowati mengikuti dari belakang.
Lelaki tua itu
mengambil dua cangkir minuman yang terisi penuh air putih, lalu menyerahkan
salah satunya kepada Banowati. Dan dengan malu malu Banowati menerima minuman
itu. Ada perasaan bahagia terpancar dari raut muka Banowati. Bukan karena ia
sekarang punya kemampuan menunggang kuda, tapi sikap ayahnya. Tak biasanya sang
ayah begitu baik, ramah dan penuh perhatian.
“Bano…” kata
Salyapati pelan.
“Iya ayah…”.
“Pemimpin hebat
bukanlah pemimpin yang ilmu kanuragannya tiada tanding. Bukan juga penunggang
kuda yang hebat atau pemanah ulung”.
“Tapi kenapa ayah
selalu giat berlatih ?” tanya Banowati.
“Ha ha ha….!”
tertawa terbahak bahak.
“Kenapa kamu giat
melatih kemampuan olah suaramu ?”.
“Ah…itu
kesenangan saja ayah”.
“Begitu juga
beladiri dan menunggang kuda. Itu seni yang sama menyenangkannya dengan bermain
kecapi sepertimu”.
“Trus, pemimpin
yang hebat itu seperti apa ayah ?” Banowati penasaran.
“Mereka yang
mampu mengolah setiap kekurangan menjadi kelebihan, itulah pemimpin sejati” jawab
Prabu Salya seraya menyandarkan tubuhnya di dinding untuk melepas lelah.
“Bagaimana
caranya ayah ?” belum begitu paham.
“Seperti kamu
memainkan kecapimu”.
“Kok ?”.
“Kecapimu terdiri
dari banyak senar. Yang semuanya tidak ada yang sama, baik besar kecilnya atau
tinggi rendah suara yang di hasilkan. Seseorang yang tidak memahami kecapi,
tentu akan merasa kesulitan untuk memainkannya. Iramanya tidak sesuai,
petikannya kurang sempurna dan akhirnya menghasilkan sesuatu yang buruk. Tapi
di tangan orang yang memahami kecapi, dawai yang berbeda beda itu bisa
menghasilkan bunyi yang indah di telinga”.
“Memang, ada
kalanya sebuah senar kita biarkan tanpa tersentuh. Padahal yang lain tidak
hanya sekali dua kali kita petik. Bahkan berkali kali. Bukan berarti senar yang
kita diamkan itu tidak penting. Akan tetapi lebih pada tujuan yang akan kita
capai dalam menyajikan sebuah irama. Kalau semua kita perlakukan dengan sama,
menjadi rusaklah itu irama”.
“Demikian juga
seorang pemimpin. Dia tak ubahnya seorang pemain kecapi. Untuk menghasilkan
sebuah irama yang indah, ada kalanya ia harus mengorbankan yang satu untuk
kepentingan yang lain”.
“Artinya pemimpin
boleh berlaku tidak adil ya ayah ?” tanya Banowati memotong.
“Oh tidak…”
sanggah Salya.
“Keadilan itu
bukan berarti semua di beri dengan takaran yang sama. Tidak. Adil itu
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Masalah jabatan misalnya, tidak semua orang
harus kita angkat menjadi prajurit, menjadi senapati, menjadi menteri. Tidak. Ada
kalanya ada yang menjadi pejabat, ada kalanya mesti ada yag jadi rakyat,
pedagang atau apa saja. Nah di situ kekuatan seorang pemimpin di nilai.
Bagaimana dia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar