Minggu, 11 November 2012

Banowati : Asmara di Mandaraka (4)

Sebelumnya <<<

Oleh : Komandan Gubrak



Geram hati Prabu Suyudana mendengar laporan Bambang Aswatama. Apa yang selama ini ia khawatirkan bahwa ada pihak lain yang sengaja ingin mengacaukan rencananya mengawini putri Salya seakan menemui titik terang. Keberadaan Permadi di Mandaraka dan usahanya untuk membawa lari Banowati seperti yang di ceritakan Aswatama makin menegaskan kecurigaan Suyudana.  Bisa jadi bukan hanya Banowati, tapi hilangnya Herawati dari istana Mandaraka kemungkinan juga karena ulah panengah Pandawa itu.

“Ini tak bisa di diamkan!” dengus Suyudana di depan para pejabat negara di Sitihinggil Hastinapura.

“Sudah jelas” lanjutnya,”Pandawa berusaha menghalangi kita membangun kerjasama dengan Mandaraka”.

Beberapa pejabat tinggi Hastina tampak saling pandang satu sama lain. Kendati semua orang tahu bahwa Pandawa selama ini menaruh rasa dendam pada Kurawa terutama setelah insiden adu judi yang mengakibatkan mereka harus mendapatkan hukuman pembuangan dan juga kasus Balai Sagala Gala, tapi keberanian Permadi mencampuri urusan Hastinapura dan Mandaraka adalah satu berita yang cukup mengejutkan. Tindakan ini seolah mengkonfirmasikan pada segenap keluarga Kurawa bahwa kubu Pandawa telah berada dalam kondisi siap untuk kembali menggugat dominasi putra putra Destaratra.

 “Paman juga berpikiran demikian nanda prabu” seorang pria berbadan sedang, bermuka bopeng dan duduk  persis di samping kiri Prabu Suyudana membuka suara.

Dialah Harya Sengkuni, di sebut juga Harya Suman. Perdana Menteri Hastinapura bergelar Patih. Sosok yang memiliki pengaruh sangat besar di kerajaan Hastina, salah satu penasehat terkemuka Prabu Suyudana sekaligus paman dari para Kurawa. Politisi senior yang di kenal cerdik dan piawai dalam strategi. Kemampuan olah kanuragannya juga tak bisa di anggap enteng. Dia ahli bermain aneka senjata, dan di percaya kebal terhadap senjata apapun.

“Siapa lagi yang punya kemampuan dan nyali besar menerobos istana Mandaraka yang penjagaannya sangat ketat selain orang orang Amarta” tukas Patih Sengkuni meyakinkan.

“Pantas saja kita tak menemukan sedikitpun jejak Herawati, rupanya Permadi yang cari masalah!” Suyudana mengepalkan tangan kanannya. 

“Lalu apa yang akan kita lakukan ?” tanya Suyudana seraya menyapu pandangan ke seluruh pejabat yang hadir di situ. Ada Resi Krepa, guru pemerintahan sekaligus penasehat keluarga Kurawa. Kemudian penguasa Awangga yang tersohor, Adipati Karna. Beberapa anggota Kurawa seperti Raden Dursasana, Kartamarma, Durmagati dan lain sebagainya dan juga Aswatama tentunya. 

“Eyang Krepa, apa pendapat eyang ?” Suyudana menoleh ke sosok tua bertubuh kurus dan memakai baju kebesaran seorang resi berwarna kuning yang berada di samping kanannya.

Lelaki tua yang sudah sejak jaman Prabu Sentanu (leluhur Pandawa dan Kurawa) telah mengabdi di Hastina ini menarik nafas panjang. Dan dengan suara tenang berkata,

“Sangat mudah bagi ksatria semacam Permadi melakukan apa yang anak prabu tuduhkan”

“Akan tetapi” imbuhnya, “di jagat ini bukan hanya Permadi yang memiliki kemampuan lebih dan bisa menerobos Mandaraka. Tentu, di sana memang ada Prabu Salya yang di kenal sakti mandraguna. Tapi seperti yang kita tahu, dia bukan orang yang cukup telaten mendidik para pengawalnya. Maka kalau tak ada yang menonjol di Mandaraka, itu wajar. Dan kalaulah ada yang lolos dari pengamatan dan berhasil membawa lari keluarga Salya, itu bukan berita yang mengejutkan”.

“Artinya ?” desak Suyudana.

“Artinya, Permadi bukan satu satunya orang yang layak di tuduh melarikan anak Salya. Bisa jadi orang lain” terang Resi Krepa.

“Bahkan kalaupun Basukarna mau, dia juga dengan mudah masuk ke istana Mandaraka”.

Suyudana mengangguk, tapi apa yang di sampaikan oleh penasehatnya, Resi Krepa belum cukup untuk menghilangkan kecurigaannya pada Permadi.

“Sebaiknya anak prabu selidiki dulu. Jangan sampai kita mendapat malu di hari kemudian” saran Krepa.

“Eyang Krepa ini tahu apa ?” tiba tiba Patih Sengkuni menyela. Sudut bibirnya terlihat melempar senyum sinis ke arah Resi Krepa.

“Orang yang hanya berkutat di seputar istana, mana paham urusan dengan pihak luar” sindir Patih Sengkuni tanpa basa basi.

Resi Krepa yang merasa di remehkan  sontak merah padam dan berdiri dengan telunjuk menuding ke arah Patih Sengkuni,

“Jaga kesopananmu, Suman !’ gertaknya marah.

“Paman patih, eyang Krepa !” potong Suyudana berdiri  menengahi, “mohon untuk menahan diri”. 

Keduanya terdiam.

“Aswatama!” panggil Suyudana.

“Saya, gusti” pemuda berumur dua puluhan tahun yang beberapa hari lalu sempat bentrok dengan Permadi ini menyahut.

Suyudana menatap sejenak pada putra Guru Durna, “ menurutmu, mungkinkan ada orang lain selain Permadi yang pantas di curigai ?”.

“Tidak ada, gusti!” jawab Aswatama tegas.

“Saya sudah melakukan penyelidikan di seluruh istana Mandaraka, tapi tak menemukan jejak lain selain Permadi yang berduaan dengan Banowati di pantai Mandaraka”.

“Hemm…” Suyudana mendehem. Makin yakin hatinya bahwa Permadilah biang keladi semuanya. Tidak salah lagi.
 
“Bagaimana, paman ?” kali ini Suyudana meminta pendapat Patih Sengkuni.

Patih Harya Sengkuni mengangkat bahu, sudut matanya sejenak melirik ke arah Resi Krepa yang masih bermuka masam akibat ucapan pedas Sengkuni.

“Sudah saatnya kita bersikap tegas !” kata Sengkuni seperti tak mempedulikan tatapan dongkol Resi Krepa, “cepat atau lambat kita tetap akan berhadapan dengan anak anak Pandu”

“Jangan memperkeruh keadaan, Suman !” Resi Krepa yang sepertinya tahu kemana jalan pikiran Sengkuni memperingatkan.

“Sebentar eyang” Suyudana mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Resi Krepa memberi kesempatan pada Patih Sengkuni mengutarakan pendapatnya.

 “Paman berencana menghukum Pandawa ?” tanya Suyudana serius. Bola matanya tak lepas menatap ke arah adik dari ibunya itu.

“Jika perlu” Sengkuni enteng.

Seketika semua yang hadir terkejut. Ada rona khawatir, penasaran bercampur antusias di benak beberapa punggawa Hastina, kecuali Resi Krepa yang terlihat semakin jengkel melihat ulah Sengkuni. Semua orang Hastina paham betul dengan kecerdikan Patih Sengkuni. Pria asal Plasajenar yang menjadi petinggi Hastina setelah mengkudeta patih sebelumnya, Gandamana, ini seperti tak pernah kekurangan ide.

“Ha ha ha ha “.

Tiba tiba dari arah belakang terdengar suara tawa parau yang sangat akrab di telinga para hadirin. Dialah Raden Dursasana, orang kedua Kurawa. Bertubuh gempal, bermuka lebar, berambut gimbal dan bermata bulat kemerahan. Putra Destaratra yang berdiam di ksatrian Banjarjungut ini di kenal sombong, berbicara kasar dan suka menggoda wanita. Dalam kasus adu judi dengan Pandawa dulu, dialah orang yang sempat mempermalukan Drupadi dengan cara menelanjangi istri sulung Pandawa, Puntadewa di depan umum. 

“Dursasana mendukung semua rencana paman Sengkuni !“ teriak Dursasana dengan lantang.

“Yang penting, Bima jangan di serahkan ke siapa siapa. Biar orang Banjarjungut yang menghabisi srigala Amarta itu” lanjutnya dengan nada sombong.

Patih Sengkuni hanya tersenyum melihat tingkah keponakannya itu. Selama ini Dursasana memang menyimpan rasa iri terhadap kekuatan yang di miliki Bima. Dulu ketika masih bersama Pandawa di bawah asuhan Guru Durna, Dursasana seringkali bersengketa dengan Bima hanya untuk menentukan siapa yang paling kuat. Keduanya sama sama berbadan besar, bertenaga kuat, ahli gulat dan hoby berkelahi. Ketika keduanya bertemu dalam arena pertandingan, sudah pasti menyajikan tontonan yang sangat menarik. Keduanya boleh di bilang seimbang dan tak ada satupun yang sanggup mengalahkan yang lain. Hal inilah yang seringkali membuat Dursasana penasaran hingga sekarang. Ambisinya untuk mengalahkan Bima dan menjadi pegulat terbaik begitu besar. Maka tak heran, begitu Sengkuni mengutarakan idenya memberi pelajaran pada Pandawa, Dursasana langsung antusias menyambut. Saat saat yang selalu ia tunggu sepanjang karir keprajuritannya. Menakhlukkan Bima.

“Jika demikian, berarti kita akan mengerahkan seluruh kekuatan Hastina untuk menggempur Amarta, paman ?” tanya Suyudana serius.

Patih Sengkuni lagi lagi menyunggingkan senyum khasnya.

“Tidak perlu” menggelengkan kepala.

“Lantas ?” makin penasaran Suyudana. Perhatiannya kini hanya tertuju pada Patih Sengkuni.

Sengkuni tidak segera menjawab, seolah ingin mempermainkan rasa penasaran Prabu Suyudana. Di betulkannya letak ikat kepala bertahtakan emas di kepalanya, menghela nafas beberapa kali lalu berkata,

“Kalau untuk menghabisi Pandawa, atau setidaknya Permadi bisa memakai tangan orang lain, kenapa harus tangan kita yang berlumuran”. 

“Maksud, paman ?”.

“Menghabisi Pandawa tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik. Harus pakai ini” kata Patih Sengkuni sambil mengarahkan telunjuknya ke kening.

“Paman lihat kekuatan Amarta akhir akhir ini mengalami peningkatan yang cukup pesat. Itu kenapa mereka sangat percaya diri mengirim Permadi ke Mandaraka untuk menggagalkan perkawinan Hastina dan Mandaraka. Dan sudah pasti itu melalui perencanaan yang matang. Makanya mereka mengirim Permadi. Karena hanya panengah Pandawa ini yang di kenal mahir menggoda perempuan”

“Kurang ajar !!!” Suyudana gusar.

“Mereka menggunakan cara cara kotor, maka tidak boleh kita berdiam diri. Kita gunakan cara yang lebih cerdas lagi”.

“Apa itu ?”.

“Gunakan Prabu Salya untuk menghabisi Pandawa” jawab Patih Sengkuni mengejutkan.

Semua hadirin terdiam. Seolah menunggu instruksi lebih lanjut dari patih Hastina itu. Hanya Resi Krepa yang terlihat tidak menyetujui ide Sengkuni. Mata penasehat dalam Hastinapura ini terlihat tak mau lepas memelototi Harya Sengkuni. Ingin rasanya ia melabrak adik ibu suri Gendari ini, akan tetapi rasa segannya pada momongannya Suyudana ia mencoba untuk tetap bersabar.

“Jelasnya seperti apa, paman ?” Suyudana bertanya. Di gesernya letak duduknya lebih dekat pada Patih Sengkuni.

“Begini” terang Sengkuni,” pertama kita harus meyakinkan pada Prabu Salya bahwa Permadilah dalang di balik hilangnya Herawati. Urusan ini biar paman yang tangani” mata Sengkuni berpindah ke Aswatama.

“Aswatama jangan pulang dulu ke Sokalima. Kamu ikut paman ke Mandaraka sebagai saksi” perintahnya pada Aswatama.

Aswatama mendongak.

“Paman yakin itu berhasil ?” Suyudana ragu.

“Pamanmu ini kapan pernah gagal ?” sahut Sengkuni sembari merentangkan kedua tangannya. 

“Asal tidak ada penghianat dari dalam Hastinapura, kita tidak akan gagal”.

“Aahh….saya belum yakin, paman “ bantah Suyudana serius.

Patih Sengkuni menyunggingkan senyum, sudut matanya melirik ke arah Adipati Karna. 

“Perintahkan Basukarna untuk menyusup ke keputren Mandaraka dengan menyamar sebagai Permadi, lalu culik salah satu dari dua putri Salya” berhenti sejenak,” tentu usaha ini tidak mudah. Sudah pasti prajurit Mandaraka akan menghadang Basukarna. Oleh sebab itu untuk lebih meyakinkan bahwa Permadilah yang menculik anak Prabu Salya, Karna harus menggunakan jurus jurus yang biasa di pakai Permadi”.

Secara fisik maupun keahlian, Adipati Karna memang sangat mirip dengan Permadi. Keduanya pernah saling berbagi ilmu dan berlatih bersama, terutama dalam hal seni memanah. Bahkan boleh jadi kemampuan Karna malah melebihi Permadi. Itu pernah di buktikan Karna ketika dulu Guru Durna menggelar lomba adu panah di alun alun Hastinapura. Adipati Awangga ini tidak saja mampu mengimbangi Permadi dalam hal ketepatan dalam memanah, akan tetapi tembakan Karna setingkat lebih kuat dan mematikan di banding Permadi. Belum lagi dalam lomba memanah dengan mengendarai kuda, Karna masih lebih baik daripada Permadi.

“Jejak jejak yang di tinggalkan Basukarna ini nanti yang akan kita pakai untuk meyakinkan Prabu Salya. Selain juga kesaksian Aswatama”.

“Luar biasa….” sambut suyudana dengan air muka sumringah.

“Tunggu….tunggu…!” dari belakang Dursasana tiba tiba menyela.

Semua mata menoleh ke arah Dursasana. 

“Kalau Prabu Salya yang di adu dengan Pandawa, Dursasana nggak bisa bertemu Bima, paman?” protesnya.

Patih Sengkuni menggelengkan kepala,”tenangkan dirimu Dursasana”.

“Prabu Salya tidak mungkin mampu mengalahkan Pandawa sendirian. Menjadi tugasmu dan seluruh awak Kurawa mempersiapkan seluruh kekuatan untuk berjaga jaga jika nanti Prabu Salya gagal”.

Prabu Suyudana mengangguk tanda setuju dengan ide Patih Sengkuni. 

“Adi Karna!”.

“Saya kanda Kurupati!”. 

“Lakukan apa yang di perintahkan paman Sengkuni!”. 
 
“Siap!!” sahut Adipati Karna sigap. 

“Dursasana, siapkan semua adik adikmu dan seluruh prajurit Hastina” Suyudana bertitah.

“Eyang Krepa bertugas menjaga istana Hastinapura dari gangguan pihak musuh”.

Perintah sudah di turunkan. Segenap punggawa Hastina bergegas mempersiapkan diri. Harapan untuk mengakhiri hidup Pandawa kembali menyeruak ke permukaan setelah sekian cara yang pernah di tempuh Kurawa beberapa tahun silam belum mampu menghabisi anak anak Prabu Pandudewanata. Jika kali ini berhasil, maka bukan saja Kurawa terbebas dari ancaman Pandawa yang tak pernah berhenti menginginkan tahta Hastina, akan tetapi akan menjadi jalan lapang bagi Kurawa untuk menguasai mayapada.


***********************************

Sebenarnya berat bagi Bambang Aswatama untuk kembali lagi ke Mandaraka. Sebuah tempat yang pada awalnya memberikan harapan nan membuncah bagi seorang Aswatama, namun akhirnya luka menganga yang ia dapat. Penghinaan, pelecehan dan kata kata menyakitkan dari orang yang sebenarnya sempat mencuri hati Aswatama.

Ya. Sejak mendapatkan tugas membantu pengamanan istana Mandaraka, satu hal yang membuat Aswatama senantiasa bersemangat. Yaitu keberadaan Banowati sebagai salah satu keluarga kerajaan yang harus ia lindungi.  Asal muasal Aswatama mengenal Banowati sebenarnya dari sebuah lukisan yang di berikan oleh seorang juru tulis kraton sesaat setelah ia mendapat tugas mengamankan istana.

Ada tiga lukisan yang di serahkan kepada Aswatama. Pertama gambar peta kota Mandaraka, dan sisanya adalah dua buah lukisan bergambar wanita cantik yang konon adalah dua putri Prabu Salya. Di antara kedua lukisan wanita itu, satu lukisan yang membuat Aswatama merasa sangat tertarik. Yaitu lukisan Banowati. 

Aswatama sendiri tidak habis pikir, kenapa tiba tiba ia begitu suka dengan pemilik wajah dalam lukisan itu. Padahal selama ini Aswatama di kenal sebagai sosok pria yang cukup lugu terutama jika menghadapi perempuan. Jangankan bergaul dengan wanita, bahkan berniat mendekati wanitapun rasanya belum pernah. 

Adalah kondisi fisik Aswatama yang beda dengan kebanyakan orang, yang kemudian membuat putra Begawan Durna ini seringkali merasa minder dan takut berhadapan dengan perempuan. Wajah yang buruk, suara tawa yang tidak enak di dengar dan bentuk kaki yang menyerupai kaki kuda. Sebuah cacat fisik yang ia derita bahkan sejak ia terlahir ke dunia.

Di ceritakan, dahulu kala Durna muda atau lebih sering di sebut Kumbayana berniat pergi ke Kerajaan Pancala untuk menemui salah satu sahabatnya, yaitu Drupada. Dalam perjalanan menuju Pancala, Kumbayana mendapati sebuah sungai besar dengan arus deras yang tak mungkin bisa ia lewati bahkan jika membuat perahu sekalipun. Akhirnya Kumbayana berdoa kepada para dewa guna meminta pertolongan. Doa Kumbayana di dengar, dewa kahyangan kemudian mengirim seekor kuda terbang berjenis kelamin betina untuk mengantar Kumbayana menyeberangi sungai. Kuda itu adalah penjelmaan seorang bidadari surga yang di kutuk dewa karena telah berbuat salah. Bernama Dewi Wilatama. Kuda betina Dewi Wilatama setuju mengantarkan Kumbayana ke seberang sungai dengan meminta sebuah syarat. Kumbayana harus mau bercinta dengan dirinya. Demi ingin menemui sahabatnya, Drupada, Kumbayana akhirnya memenuhi keinginan Dewi Wilatama. Kedua makhluk beda jenis ini akhirnya melakukan pergumulan layaknya suami istri yang menyebabkan Wilatama hamil dan melahirkan seorang anak yang di beri nama Aswatama. Yang artinya Kuda yang hebat. Karena ibunya adalah seekor kuda penjelmaan Dewi Wilutama dan bapaknya adalah seorang manusia, maka tak heran jika bentuk fisik Aswatama adalah paduan antara manusia dan kuda. Mukanya buruk, kakinya menyerupai kaki kuda. Bahkan jika tertawa, suara tawa Aswatama lebih mirip ringkikan kuda. 

Mulanya Aswatama terlihat begitu bersemangat dengan tugas yang baru saja ia emban. Begitu memulai tugas, yang Aswatama kerjakan adalah mengirim orang untuk memantau keadaan keputren. Dia ingin tahu seperti apa sosok yang bernama Banowati itu dan apa saja yang menjadi kebiasaan dia setiap hari. Tidak lupa ia juga berpesan kepada anak buahnya untuk melapor kepadanya  jika sang putri cantik itu keluar dari kediamannya. Tujuannya agar Aswatama bisa melihat lebih dekat gadis idamannya itu dan kalau perlu ia bisa mencuri curi kesempatan untuk berkenalan.

Maka, tak heran jika kepergian Banowati ke pantai Mandaraka di ketahui oleh Aswatama. Pendekar Sokalima itu diam diam memerintahkan anak buahnya untuk membuntuti kemana perginya Banowati. Dan begitu mendapatkan laporan bahwa Banowati berada di pantai Mandaraka, Aswatama seolah mendapatkan kesempatan yang selama ini sangat ia tunggu tunggu. Yaitu bertemu langsung dengan gadis pujaannya. Namun di luar dugaan, sesampainya di tempat tujuan, Aswatama menyaksikan anak buahnya di hajar oleh seorang berilmu tinggi yang akhirnya ia ketahui sebagai Permadi.

Begitu mengetahui tujuan Banowati ke pantai Mandaraka adalah untuk menemui Permadi, hancur sudah perasaan Aswatama. Bagaimanapun, ia sangat mengenal lelaki yang sempat bertarung dengannya kala itu. Dan ia bisa menebak, kalau di antara kedua insan itu tentu ada hubungan yang istimewa. Rasa sakit hati Aswatama makin menjadi manakala ia kemudian mendapat cacian penuh kebencian dari orang yang selama ini ia kagumi. Banowati.

“Tuan Aswatama sedang memikirkan apa ?” entah kapan datangnya, tiba tiba ksatria Awangga, Adipati Karna telah berada di  sampingnya. Menunggangi seekor kuda putih andalan sang Basukarna.

“Ah, tidak memikirkan apa apa gusti” jawabnya sedikit grogi. Perlahan ia tarik tali kudanya untuk memperlambat perjalanan.

Basukarna tersenyum.

“Terus terang aku sangat buta dengan situasi istana Mandaraka. Tapi tugas dari gusti Suyudana dan paman patih tak pantas aku tolak” terang Karna.

“Sebagai orang yang pernah bertugas di sana, tentu tuan Aswatama tahu lebih banyak kondisi istana Mandaraka. Terutama keputren Mandaraka. Mohon bantuannya, tuan” pinta Basukarna.

Aswatama terdiam. Dia baru ingat bahwa kawan seperjalanannya ini mendapat satu tugas penting dari Prabu Suyudana. Menculik salah satu putri Salya yang kini tinggal tersisa 2 orang. Surtikanthi dan Banowati. Tugas yang tak mudah. Tapi bagi Basukarna, tak ada yang tak bisa di selesaikan. Dan Aswatama tahu itu. Akan tetapi persoalannya sekarang bukan berhasil atau tidak Basukarna menjalankan tugasnya, akan tetapi siapa di antara dua putri Salya yang akan dia culik. Banowati atau kakaknya ?. Kalau bukan karena ia mendapatkan tugas lain, Aswatama sesungguhnya akan merasa sangat senang jika tugas itu di limpahkan kepadanya. Dan siapa lagi yang akan ia eksekusi selain Banowati. Kapan lagi punya kesempatan membuat wanita yang kini begitu ia benci menderita. Tapi berhubung Basukarna yang mendapat tugas, maka ia harus mengalah. Yang terpenting sekarang bagaimana mendorong Basukarna untuk membidik sasaran yang tepat. Banowati.

“Senang bisa membantu gusti Karna” Aswatama mengeluarkan selembar kulit binatang  berisi gambar peta istana Mandaraka.

“Peta itu berisi letak letak bangunan di mana keluarga Raja berdiam. Bangunan paling besar itu kediaman Prabu Salya beserta ratu. Di jaga 150 pasukan khusus dengan sistem penjagaan berlapis” terang Aswatama.

“Di dekat kediaman Prabu Salya tepatnya di blok sebelah timur terdapat barak prajurit. Berisi sekitar 250an prajurit terlatih. Ini pasukan inti Mandaraka yang bisa di gerakkan kapan saja jika terdapat ancaman. Salah satu putra Prabu Salya tinggal di situ. Namanya, Rukmarata”.

Basukarna memelototi dengan serius peta pemberian Aswatama.

“Kemudian di sisi  barat kediaman raja,  adalah area keputren. Ketiga putri Prabu Salya tinggal di blok ini”.

“Rumah paling besar ini” menunjuk sebuah bangunan yang berada sisi selatan, “adalah kediaman putri pertama, Herawati. Yang kemarin hilang dari keputren”.

“Bagian paling tengah adalah kediaman Dewi Surtikanthi. Anak kedua Prabu Salya”.

“Tapi saya sarankan gusti Karna tidak membidik dia” buru buru Aswatama mencegah.

“Loh kenapa tuan Aswatama ?” Basukarna heran.

“Selain posisinya di tengah tengah, kebiasaan putri kedua Prabu Salya ini adalah menempatkan banyak prajurit untuk menjaga rumahnya”.

Basukarna mengangguk paham. 

“Saya menyarankan gusti Karna memilih bangunan di ujung utara. Di situ tinggal Dewi Banowati. Selain di situ sangat minim penjagaan, juga kondisi di sekitarnya cukup mendukung. Di sana terdapat taman bunga yang cukup luas. Tempat yang tepat untuk melakukan pengintaian. Rute pelarian bisa ke arah barat. Memang, di sebelah barat ada satu barak prajurit. Tapi menurut informasi terakhir, barak ini di kosongkan. Penghuninya di tarik ke tengah kota untuk mengamankan istana dan sekitarnya. Jadi gusti tetap bisa dengan mudah meloloskan diri ke arah barat. Apalagi di luar benteng terdapat perbukitan. Gusti bisa beristirahat di sana tanpa ada gangguan.” Aswatama menerangkan.

Adipati Awangga itu tak banyak bertanya lagi. Apa yang di terangkan oleh Aswatama sudah cukup jelas baginya.

“Terima kasih tuan Aswatama” kata Karna sembari melipat lembaran peta dari kulit binatang  pemberian Aswatama itu lalu mengelus leher kuda tunggangannya.

“Baiklah, saya harus mendahului tuan Aswatama dan paman Sengkuni” Basukarna berpamitan.
“Hati hati gusti…!” pesan Aswatama mengiringi.

Dengan sekali hentak, kuda hitam milik adipati Karna itu meluncur bak panah yang lepas dari busurnya. Dalam keadaan normal butuh waktu 3 hari untuk sampai di Mandaraka. Tapi bagi Basukarna kemungkinan besar dalam tempo 1 hari ia bisa sampai di Mandaraka. Maklum, selain di kenal sebagai penunggang kuda terbaik, hewan tunggangan Karna juga bukan kendaraan biasa. Kuda itu pemberian Dewa Surya. Berjuluk Kyai Gagak Rimang. Di kenal kuat dalam berlari dan tahan lapar. Walaupun Aswatama sendiri juga jago berlari, tapi kemampuan larinya masih kalah dengan tunggangan Basukarna. 

*********************************

“Darimana ?”.

Entah sejak kapan datangnya, begitu Banowati membuka pintu rumah dan hendak menutupnya kembali, sesosok wanita yang sangat di kenalnya telah berada di ruang tamu. Raut mukanya kaku, matanya melotot tajam penuh selidik.  Surtikanthi.

“Darimana ???”.

Kali ini suaranya jauh lebih keras dan tidak sabar menunggu jawaban. 

“Keluar sebentar” jawab Banowati seraya menjatuhkan bokongnya di sebuah kursi kayu bermotif ukiran bunga tepat di depan Surtikanthi dan hanya terpisah oleh sebuah meja berbentuk persegi panjang.

“Keluar malam malam ?”.

“Sudah pagi kali, kak” kelit Banowati.

“Jangan bohong!!!” hardik Surtikanthi emosi.

Banowati menelan ludah. Sepertinya sang kakak sudah mengetahui kepergiannya malam tadi. Mata Banowati terantuk pada sebuah gelas dan teko  terbuat dari tanah liat yang ada di atas meja. Air minuman di atas meja itu terlihat sudah dingin. Sepertinya Surtikanthi sudah lama menunggu dirinya sejak pagi.

“Kakak kenapa sih ?” Banowati memberanikan diri.

“Kenapa sih ?” ulang Surtikanthi, “heh…! apa kamu nggak punya otak ?. Seharusnya kamu mikir, Bano!!” dengan suara tinggi.

“Apa hak kakak mencampuri urusanku?” Banowati ketus.

Brak!!!

Surtikanthi menggebrak meja. Matanya makin liar menatap Banowati, wajahnya memerah pertanda marah bukan main. Dan sekonyong konyong wanita yang tinggalnya tak jauh dari kediaman Banowati ini berdiri dengan posisi menantang. Telunjuk kanannya terarah ke muka Banowati.

“Kamu masih saja pura pura tidak bersalah. Kamu tahu, tindakan kamu ini sudah melanggar aturan yang sudah di tetapkan ayahanda. Kalau sampai tindakanmu ini di ketahui ayah, ayah pasti akan menghukummu” cerocos Surtikanthi dengan nafas memburu.

Sementara Banowati yang tak punya cara lain untuk membela diri hanya terdiam dengan muka tertekuk tidak terima.

“Kamu itu nggak jauh beda dengan kakakmu Herawati. Semaunya sendiri”.

“Sekarang aku mau tanya, Herawati kemana ?”cecarnya.

Kali ini Banowati sedikit terkejut. Bola matanya menatap Surtikanthi dengan penuh selidik.

“Kok nanya ke aku sih, kak ?” pura pura tak mengerti.

“Ya iyalah….”tegas Surtikanthi, “bukankah sebelum ia pergi, dia menemuimu ?. Jangan pura pura deh…”.

“Iya…tapi….”.

“Tapi apa ?” makin kalap, “kamu sengaja melindunginya ?. Kamu sadar nggak, ulahmu ini telah membuat orang lain harus menanggung akibatnya ?.

“Pasti ini karena Narotama” pikir Banowati tanggap.

Ya, hukuman yang di terima Narotama akibat kasus hilangnya Herawati sepertinya tidak bisa di terima oleh  Surtikanthi. Sang kakak pasti sedih. Bukan hanya karena akibat kejadian itu keduanya tidak lagi bisa bebas bertemu dan memadu kasih, akan tetapi lebih parahnya lagi, kabar yang Banowati dengar, Narotama di tahan di sebuah tempat tersembunyi dan tidak boleh di temui oleh siapapun. Barangkali ini yang membuat kakaknya terlihat berubah sikap. Menjadi lebih pemarah, sensitif dan curiga.

“Maafkan Bano, kak” ucap Banowati tertunduk.

“Maaf ?” Surtikanthi mendekatkan mukanya pada Banowati.

“Hanya maaf ?”.

“Tapi aku benar benar tidak tahu”.

“Bohong!”.

“Apa untungnya sih, kak?” Banowati masih berusaha berkelit. Bagaimanapun ia tak mungkin berani membocorkan rahasia Herawati pada Surtikanthi. Selain ia akan makin di salahkan, Banowati masih belum mengerti rencana apa yang sebenarnya hendak di jalankan ayahnya.

“Nggak ada untungnya buat kamu ?” ucap Surtikanthi bengis.

“Kamu sengaja menyingkirkan Narotama, agar ayah memilih aku menjadi pengganti Herawati. Dan kamu bisa dengan leluasa melanjutkan kisah asmaramu dengan lelaki simpananmu ?”.

Banowati terhenyak. Ucapan Surtikanthi benar benar menyengat perasaannya. 

“Jangan asal tuduh!” Banowati melawan.

“Kenyataannya begitu”.

“Itu fitnah!”.

“Fitnah darimana ?. Heh ?. Memangnya keluar malam malam mau apa kalau bukan ketemu sama kekasih simpananmu ?. Jangan berlagak dungu deh…” Surtikanthi sinis.

“Tutup mulut kakak!” Banowati bangkit.

“Kamu yang diam!” Surtikanthi menyongsong.

“Kakak yang ngomong sembarangan!”.

Plak!!!

Sebuah tamparan keras menghantam pipi Banowati. Gadis belia dengan lesung pipit indah ini meringis kesakitan.

“Dengar!!!” ancam Surtikanthi, “kalau sampai besok Narotama tidak di bebaskan, kamu tahu akibatnya”.

Setelah berkata begitu, Surtikanthi melangkah pergi. Meninggalkan Banowati yang masih merintih kesakitan akibat tamparan di mukanya.

Sakit hati Banowati menerima tuduhan tak berdasar dari kakaknya. Dia memang menemui seseorang sejak pagi buta tadi, tapi bukan lelaki simpanan. Dia memang tahu persis kemana perginya Herawati, tapi sikap diamnya bukan karena sengaja ingin mencelakakan Narotama dan membiarkan ayahnya memilih Surtikanthi sebagai pengganti Herawati.

“Brengsek semua!” maki Banowati menghentakkan kaki emosi.

Kalau begini terus, sepertinya dirinya yang bakal menjadi tertuduh atas silang sengkarut yang terjadi.

“Aku harus menemui ayah. Ya, aku harus meminta penjelasan pada ayahanda, apa yang sebenarnya ayah rencanakan”.

“Sekarang juga” tekad Banowati.

Pagi itu juga dengan di antar dua pelayan setia dan di kawan empat orang prajurit, Banowati bergegas menuju kediaman orang tuanya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Ancaman Surtikanthi sepertinya bukan omong kosong. Kakaknya yang satu itu memang di kenal ceroboh dan tak bisa menahan diri. Kalau urusan ini tidak cepat di selesaikan, bisa jadi Surtikanthi akan menebar fitnah ke semua orang bahwa dirinya menjalin hubungan gelap dengan seorang pria. Padahal selama ini semua orang tahu kalau dirinya tak pernah dekat dengan lelaki manapun. Dan jika ayah ibunya sampai mendengar cerita itu, kemudian di tambahi dengan bumbu bumbu lain yang tidak sedap di dengar,  entah apa masalah yang akan ia hadapi nanti.

Tidak sulit bagi Banowati untuk menemui sang ayah. Biasanya setiap pagi, prabu berada di halaman belakang. Berlatih ilmu kanuragan dengan beberapa pengawal pribadinya atau sekedar berolah raga menunggang kuda mengelilingi lapangan. Walaupun usia ayahnya sudah cukup tua, tapi untuk urusan menjaga kesehatan dan melatih kemampuan, semangatnya boleh di adu dengan yang muda muda. Rutinitas itu telah lama di jalankan ayahnya bahkan sejak sebelum Banowati terlahir di dunia. Maka tak heran jika sang ayah di kenal memiliki kemampuan seni beladiri tingkat tinggi yang jarang sekali di tandingi oleh siapapun. Selain di percaya sakti mandraguna, ayahnya juga seorang penunggang kuda yang mahir.

“Banowati…” teriak ayahnya seraya melambaikan tangan begitu melihat Banowati mendatanginya. Dan dengan sekali hentak, kuda tunggangan ayahnya segera melesat mendekati Banowati.

“Sepertinya kamu tertarik untuk berlatih menunggang kuda bersama ayah, anakku” sambut Prabu Salya dari atas kuda.

“Sini…melompatlah kemari” Salyapati memberi isyarat dengan tangannya agar Banowati menaikki kuda tunggangannya.

“Loh…kenapa ?” tanya Salya terheran melihat wajah Banowati yang tampak murung dengan wajah tertekuk.

“Bano mau bicara sama ayah”.

“Oh ya ?” jawab Salyapati seolah tak peduli, “ke sini dululah, ayah mau ajarkan kamu bagaimana menjadi penunggang kuda yang handal. Agar kalau kemana mana, kamu bisa jalan sendiri. Ha ha ha ha…”.

“Iiiihhh…..ayah. Bano serius…” rengek Banowati.

“Sapta…!!!” Salyapati memanggil seseorang.

Seorang pria bertubuh kurus berlarian mendekat.

“Hamba gusti”.

“Sediakan gusti putrimu kuda yang paling kuat” perintah Salya.

Dongkol hati Banowati. Niatnya untuk mengutarakan semua persoalan yang mengganggu pikirannya malah di sambut dengan ajakan sang ayah untuk berlatih mengendarai kuda. Makin heran sang Banowati dengan tingkah sang ayah yang tidak biasa. 

“Ini gusti putri”.

Lelaki kurus yang di panggil Sapta itu menyerahkan seekor kuda berwarna putih dengan poni lebat di kepalanya. Bulu bulu di tengkuknya berwarna keperakkan, lurus sepanjang satu jengkal dan terlihat menari nari manakala di terpa angin. Di punggungnya terpasang sebuah pelana terbuat dari kulit menjangan berwarna keemasan. Indah sekali kuda itu. 

“Kuda itu aku beri nama Mharyapati” kata Salyapati menerangkan, “betina jenis kelaminnya, kecil badannya, indah bulunya, tapi dia dalam hal kecepatan, dia lebih cepat dari halilintar”.

“Ayah serius ?” Banowati masih ragu ragu, apakah ayahnya hanya bercanda atau memang betulan ingin mengajarinya menunggang kuda.

“Sapta!”.

“Iya gusti…”.

“Ajari gusti putrimu menaikki Mharyapati” perintah Salya seolah tak peduli dengan kedongkolan anaknya.
Sapta segera mendekati Banowati.

“Maaf gusti” lelaki kurus itu menyerahkan tali kendali sang Mharyapati pada Banowati.

“Sebelum gusti menaikki kuda ini, gusti mesti kenalan dulu sama dia ?”.

“Kenalan ?” Banowati melongo.

“Mmmm maksud saya bukan kenalan seperti layaknya manusia” buru buru Sapta menerangkan.

“Trus ?”.

“Pertama gusti pegang sebelah sini” menempelkan tangannya pada tengkuknya, “trus di elus elus begini” lanjutnya mempraktekkan.

“Tujuannya untuk memberitahukan pada Mharyapati bahwa kita sahabatnya…”.

Banowati tertegun memperhatikan. Sejak kecil hingga dewasa, ia memang belum pernah sekalipun mengenal lebih dekat binatang ini. Kalaupun ia bepergian jauh, dia selalu menggunakan kereta yang di kusiri oleh kusir istana. Untuk sementara, apa yang menjadi tujuan Banowati menghadap ayahnya sedikit terlupakan. Matanya kini tertuju pada binatang berkaki empat dengan bulu putih di depannya.

“Pastikan dia merasa nyaman bersama kita, baru kita boleh naik”.

Banowati menatap sang ayah. Pria tua yang tubuhnya masih terlihat kekar itu tersenyum.

“Ayo…lakukan apa yang di terangkan Sapta” ucap ayahnya tak sabar melihat anaknya berlatih menaikki kuda.

Tanpa banyak bicara, Banowati kemudian mempraktekkan apa yang di katakana Sapta. Mengelus elus tengkuk sang Mharyapati dan memastikan kuda putih itu tidak memberontak. Pada usapan pertama, Mharyapati terlihat sedikit terkejut dan mengeluarkan ringkikan yang khas. Banowati melangkah mundur, khawatir kalau binatang itu mengamuk. Tapi buru buru Sapta mengambil alih kendali dan berusaha menenangkan Mharyapati.

“Jangan takut gusti” Sapta menasehati.

Untuk kedua kalinya Banowati mendekati kuda berponi lebat itu, mengelus elus tengkuknya dan berbisik,
“Jangan lari ya…”.

“Ha ha ha…” kontan saja tingkah lucu ini mengundang tawa Salyapati. Raja Mandaraka itu tampak puas dengan sikap anaknya yang mulai mengerti apa yang ia perintahkan.

“Sekarang Bano naikkan kaki kirimu memanjat pedalnya, lalu ayunkan kaki kananmu melompat ke punggungnya” kata Salya.

“Ayah ??” Banowati gugup.

“Kalau kamu nggak yakin, sampai kapanpun nggak akan bisa” Salya mengingatkan.

Banowati memompa nafasnya, menata keberanian, lalu menginjakkan kaki kirinya pada pedal. Dan dengan sekali ayun, tubuh ramping Banowati telah bertengger di atas pelana kuda.

“Trus gimana ini ayah ?” tanya Banowati mulai bisa menikmati kegiatan barunya itu.

“Pegang kendalinya, jangan lupa cara duduk kamu harus seimbang dan seirama dengan gerak tubuhnya. Jangan gugup, anggap saja itu ibumu”.

“Oh gitu ya ?” ucap Banowati paham.

Latihanpun di mulai. Awalnya memang susah, bahkan tak jarang Banowati harus tersungkur jatuh dari atas kuda. Tapi rupanya itu tak membuat Banowati menyerah. Gadis belia ini tak bosan bosannya terus mencoba. Dan lama kelamaan putri ketiga Prabu Salya ini akhirnya mulai bisa menguasai keadaan. Rasa lelah akibat dari semalam belum beristirahat seolah terbayar sudah. Perasaan kalut yang mengganggu pikirannya perlahan terlupakan. Tergantikan dengan kepuasan tiada kira. Bagaimanapun, itu adalah pengalaman yang sama sekali baru. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. Membayangkan dirinya berada di atas pelana kuda dan berkeliling ke tempat tempat yang ia suka tentu adalah pengalaman yang luar biasa.

Pagi mulai menapak menuju siang. Cahaya matahari terasa mulai menyengat kulit. Peluh berjatuhan laksana air menyiram tubuh. Kedua manusia beda umur ini tampak belum merasa bosan berada di atas tunggangannya. Entah berapa kali Banowati mengelilingi lapangan kuda di belakang kediaman ayahnya. 

“Bagaimana ayah ??” tanya Banowati berharap pujian dari ayahnya.

“Ha ha ha….!. Kamu memang anak yang cerdas Bano…” Salyapati memuji.

“Sekarang kita istirahat, besok mulai latihan lagi…”.

Salyapati mengarahkan kudanya menuju sebuah balai balai kayu yang terletak di bawah pohon trembesi di pojok lapangan. Di belakangnya menguntit Banowati yang walaupun terlihat kelelahan, tapi cukup merasa senang.

“Dari dulu ayah selalu yakin, kalau kamu menyimpan bakat yang sangat besar” ujar Salyapati melompat dari atas kudanya dan menaikki balai.

“Bahkan kalaupun ayah mengajarkanmu ilmu kanuragan, ayah yakin kamu bisa lebih hebat dari adikmu, Rukmarata”. 

“Ahh…ayah berlebihan” sahut Banowati mengikuti dari belakang.

Lelaki tua itu mengambil dua cangkir minuman yang terisi penuh air putih, lalu menyerahkan salah satunya kepada Banowati. Dan dengan malu malu Banowati menerima minuman itu. Ada perasaan bahagia terpancar dari raut muka Banowati. Bukan karena ia sekarang punya kemampuan menunggang kuda, tapi sikap ayahnya. Tak biasanya sang ayah begitu baik, ramah dan penuh perhatian. 

“Bano…” kata Salyapati pelan.

“Iya ayah…”.

“Pemimpin hebat bukanlah pemimpin yang ilmu kanuragannya tiada tanding. Bukan juga penunggang kuda yang hebat atau pemanah ulung”.

“Tapi kenapa ayah selalu giat berlatih ?” tanya Banowati.

“Ha ha ha….!” tertawa terbahak bahak.

“Kenapa kamu giat melatih kemampuan olah suaramu ?”.

“Ah…itu kesenangan saja ayah”.

“Begitu juga beladiri dan menunggang kuda. Itu seni yang sama menyenangkannya dengan bermain kecapi sepertimu”.

“Trus, pemimpin yang hebat itu seperti apa ayah ?” Banowati penasaran.

“Mereka yang mampu mengolah setiap kekurangan menjadi kelebihan, itulah pemimpin sejati” jawab Prabu Salya seraya menyandarkan tubuhnya di dinding untuk melepas lelah.

“Bagaimana caranya ayah ?” belum begitu paham.

“Seperti kamu memainkan kecapimu”.

“Kok ?”.

“Kecapimu terdiri dari banyak senar. Yang semuanya tidak ada yang sama, baik besar kecilnya atau tinggi rendah suara yang di hasilkan. Seseorang yang tidak memahami kecapi, tentu akan merasa kesulitan untuk memainkannya. Iramanya tidak sesuai, petikannya kurang sempurna dan akhirnya menghasilkan sesuatu yang buruk. Tapi di tangan orang yang memahami kecapi, dawai yang berbeda beda itu bisa menghasilkan bunyi yang indah di telinga”.

“Memang, ada kalanya sebuah senar kita biarkan tanpa tersentuh. Padahal yang lain tidak hanya sekali dua kali kita petik. Bahkan berkali kali. Bukan berarti senar yang kita diamkan itu tidak penting. Akan tetapi lebih pada tujuan yang akan kita capai dalam menyajikan sebuah irama. Kalau semua kita perlakukan dengan sama, menjadi rusaklah itu irama”.

“Demikian juga seorang pemimpin. Dia tak ubahnya seorang pemain kecapi. Untuk menghasilkan sebuah irama yang indah, ada kalanya ia harus mengorbankan yang satu untuk kepentingan yang lain”.

“Artinya pemimpin boleh berlaku tidak adil ya ayah ?” tanya Banowati memotong.

“Oh tidak…” sanggah Salya.

“Keadilan itu bukan berarti semua di beri dengan takaran yang sama. Tidak. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Masalah jabatan misalnya, tidak semua orang harus kita angkat menjadi prajurit, menjadi senapati, menjadi menteri. Tidak. Ada kalanya ada yang menjadi pejabat, ada kalanya mesti ada yag jadi rakyat, pedagang atau apa saja. Nah di situ kekuatan seorang pemimpin di nilai. Bagaimana dia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar