Oleh : Komandan Gubrak
Ketika ia tahu ayahnya berencana
untuk menukar Herawati dengan dirinya atau Banowati, di lubuk hati yang paling
dalam sebenarnya Surtikanthi tak keberatan. Dari segi apapun, Narotama bukan
tandingan Prabu Suyudana. Materi, kekuasaan dan kehormatan. Sesuatu yang tak di
miliki oleh Narotama yang hanya seorang kepala bayangkara keputren Mandaraka.
Soal apakah ia mencintai Suyudana atau tidak, itu bisa sambil belajar seiring
waktu. Janji Suyudana untuk menjadikan putri Prabu Salya sebagai istri
permaisuri lebih penting dari semuanya.
Namun, harapan Surtikanthi seolah
tertunda manakala penguasa Hastina itu lebih memilih menunggu di temukannya
Herawati daripada menerima tawaran ayahnya.
Memang, harapan itu tidak sepenuhnya pupus. Prabu Suyudana meminta waktu
satu bulan untuk upaya pencarian Herawati, dan jika dalam tenggat itu ternyata
Herawati tidak juga di temukan, maka dia akan mempertimbangkan tawaran Prabu
Salya. Dan diam diam Surtikanthi berharap agar Herawati tidak segera di temukan
hingga tenggat waktu yang telah di tetapkan. Atau, kalaupun di temukan, mudah
mudahan itu terjadi setelah ia berhasil merebut hati Prabu Suyudana dan di
nobatkan sebagai istri permaisuri.
Lantas, kenapa Surtikanthi
bernafsu sekali membebaskan Narotama jika memang pemuda itu tidak akan menjadi
pilihannya ?. Jawabannya adalah memanfaatkan Narotama untuk mengulur waktu atau
setidaknya mencegah pihak pihak yang berkepentingan agar tidak cepat cepat
menemukan Herawati. Jika Narotama tidak di tahan oleh ayahnya, kemungkinan
besar ia akan di sertakan dalam tim yang akan mencari keberadaan Herawati.
Karena, mau tidak mau dia harus bertanggung jawab atas kasus itu. Dari sini
Surtikanthi akan memainkan rencananya. Dia bisa mempengaruhi Narotama dengan
berbagai cara untuk membuat upaya pencarian itu tidak maksimal. Kalaupun dalam
tempo kurang dari sebulan Herawati ternyata bisa di temukan, Surtikanthi punya
cara lain, yaitu meminta Narotama dengan alasan yang cukup masuk akal untuk
menyembunyikan Herawati hingga lewat batas waktu yang di minta Suyudana habis.
Kartu lain yang tak kalah penting
bagi Surtikanthi adalah Rukmarata. Ya. Adik bungsunya ini kemungkinan besar
tidak akan terlalu rewel untuk di ajak kerjasama. Dan sebagai imbalannya,
Surtikanthi berjanji untuk membantu memuluskan niat Rukmarata merebut posisi
putra mahkota dari tangan Burisrawa. Dengan posisi sebagai istri permaisuri
Suyudana, suara Surtikanthi tentu akan lebih di dengar oleh ayahnya dalam
menentukan siapa yang layak di tabalkan sebagai putra mahkota yang akan
menggantikan kedudukan ayahnya di Mandaraka.
Tapi selain soal mengulur waktu
pencarian Herawati, ada satu hal lagi yang masih mengganjal pikiran
Surtikanthi. Siapa lagi kalau bukan Banowati. Walaupun nantinya ia berhasil
menyingkirkan Herawati, tentu akan terasa sia sia jika ternyata Suyudana lebih
memilih Banowati. Maka, tak ada jalan lain yang paling tepat selain juga
menyingkirkan Banowati. Masalahnya, selain adiknya ini mendapat penjagaan ketat
dari orang orang Burisrawa, Surtikanthi juga merasa kesulitan untuk mencari
cari kesalahan Banowati. Adiknya ini di kenal tidak terlalu banyak tingkah. Tidak
ada isu yang bisa di pakai untuk menjatuhkan Banowati. Di tambah lagi, selama
ini Banowati di ketahui belum memiliki pria idaman. Sesuatu yang bisa dia
jadikan alasan untuk membuat Banowati tidak di pilih oleh Suyudana.
Maka, ketika Surtikanthi
mendengar kabar bahwa Banowati keluar diam diam dari keputren, otaknya langsung
jalan. Inilah kesempatan yang tepat untuk menelanjangi Banowati. Sayangnya,
Rukmarata yang sangat ia andalkan tak berhasil mengendus kemana perginya
Banowati dan apa tujuannya.
“Bagaimana Rukma, ada kabar dari
Banowati ?” tanya Surtikanthi sore itu di kediamannya.
“Kemarin siang kak Bano memang
menghadap ayahanda. Tapi hingga hari ini tak kelihatan batang hidungnya” jawab
Rukmarata.
“Loh, kemana ?”.
“Rukma tidak tahu, kak”.
“Di rumahnya ?”.
“Aku belum selidiki”.
“Kamu ini gimana sih ?”
Surtikanthi menyalahkan.
“Ya mana berani aku masuk
kesana…” elak Rukmarata.
“Hemmm…” Surtikanthi mendehem.
Walaupun Rukmarata memiliki kewenangan menggeledah rumah siapa saja, tapi untuk
berurusan dengan kakak kakaknya, Rukmarata masih belum punya cukup nyali.
“Begini saja, nanti malam kita
datangi Banowati. Aku curiga, jangan jangan Banowati bukan membicarakan
pembebasan Narotama”.
“Trus apa, kak ?” Rukmarata
mengernyitkan dahinya.
“Bisa aja dia malah ngomongin
soal kedudukan pangeran pati ?” pancing Surtikanthi.
“Ahh, mana mungkin ?” Rukmarata
sangsi.
“Bukankah negara baru berduka
atas hilangnya kak Herawati ?”.
“Justru itu Rukma” kata
Surtikanthi setengah menakut nakuti.
“Justru dengan mengangkat seorang
pangeran pati, ayah ingin masalah Herawati tidak terus menerus membuat seisi
kerajaan bersedih”.
“Nggak masuk akal” tukas
Rukmarata.
“Ya sudah kalau nggak percaya”
tak mau berdebat lama lama.
“Sekarang kamu mau ikut nggak ?”
Surtikanthi menawarkan.
“Kemana ?”.
“Ya melabrak Banowati laah!”.
Rukmarata berpikir sejenak.
“Tapi kakak yang memulai” pinta
Rukmarata.
“Iya….tenang aja” Surtikanthi
meyakinkan.
“Bawa orang orangmu. Malam ini
juga kita berangkat!”.
Rukmarata mengangguk. Malam itu
juga keduanya bergerak menuju kediaman Banowati dengan di kawal sepuluh
prajurit. Tidak terlalu jauh, mungkin hanya selemparan batu. Tapi untuk masuk
ke tempat itu tidaklah mudah. Setidaknya ada lima hingga sepuluh prajurit yang
menjaga rumah Banowati dengan sistem berlapis. Tiga orang di pintu gerbang, dua
di pos dekat teras rumah, tiga di belakang dan dua lagi berpatroli di sekitar lingkungan.
Semuanya berasal dari kesatuan yang di pimpin Burisrawa.
“Bereskan mereka” bisik
Surtikanthi begitu tiba di pintu gerbang kediaman Banowati.
Dan tanpa banyak bicara,
Rukmarata melangkah maju mendekati tiga penjaga yang tampak terkaget kaget
melihat kedatangan Rukmarata.
“Buka pintu!!!” perintah
Rukmarata dengan suara tegas.
Ketiganya terlihat saling
pandang. Ada raut wajah ragu, tapi juga segan. Karena yang datang adalah dua
putra putri Prabu Salya.
“Apa yang kalian pikirkan ?.
Heh…???!!!” hardik Rukmarata lebih keras lagi.
“Maaf gusti Rukma, kami tidak
berani” salah satu di antara mereka berusaha mencegah.
“Kalian mau melawan perintah ?”.
“Tidak gusti. Kami hanya
menjalankan perintah gusti Buris” masih belum bersedia memberi jalan.
“Oh, kalian mau aku menggunakan
kekerasan ?” ancam Rukmarata kesal.
Lagi lagi mereka saling pandang.
Berbisik satu sama lain. Tak lama kemudian dua orang dari mereka bergegas
membukakan pintu gerbang. Rukmarata kemudian mempersilahkan Surtikanthi untuk masuk
duluan, sementara dia dan ke sepuluh pengawalnya menguntit dari belakang.
“Banowati!!” teriak Surtikanthi
begitu sampai di depan rumah Banowati.
Dua orang prajurit penjaga yang
bertugas mengamankan kediaman Banowati bergegas menghampiri rombongan
Surtikanthi.
“Kemana majikanmu ?” labrak
Surtikanthi tak sabaran.
“Gusti Banowati sedang keluar,
gusti Surti” jawab salah seorang di antaranya gemetaran.
“Bohong!!!”.
“Benar gusti. Hamba tidak
bohong”.
Surtikanthi melirik ke arah
Rukmarata. Seperti sudah mengerti apa yang di inginkan kakaknya, Rukmarata maju
mendekati penjaga kediaman Banowati itu. Dengan sekali tarik, leher prajurit
itu sudah berada di genggaman Rukmarata.
“Pergi kemana gustimu Banowati?”
desak bungsu Salya itu dengan sorot mata tajam mengancam.
“Ampun gusti…! Ampun!.
Uhhukk…uhhhuk..”cekikan Rukmarata kontan saja membuat sang prajurit tersedak
dan kesakitan.
“Katakan terus terang!” Rukmarata
melepaskan cekikannya.
Dengan nafas yang masih tersengal
sengal, penjaga ini berkat, “gusti Bano sejak tadi sore keluar keputren dengan
di sertai Raden Burisrawa, gusti Rukma!”.
“Kemana ?”
“Hamba kurang tahu”.
Mendengar jawaban yang tidak
memuaskan, Rukmarata naik darah.
“Bangsat!!”.
Dukk!!!!
Sebuah bogem mentah melayang
menghajar penjaga itu, seketika penjaga rumah Banowati itu terpental dan ambruk
mencium tanah.
“Tahan amarahmu, Rukma!”
Surtikanthi meredam emosi adiknya.
Putri kedua prabu Salya itu
berjalan ke arah penjaga yang lain dengan wajah tak kalah bengisnya.
“Mana kunci rumah gustimu ?”
tanya Surtikanthi setengah memaksa.
Takut akan mengalami nasib yang
sama dengan kawannya, dengan tubuh gemetar penjaga ini segera merogoh saku dan
menyerahkan sebuah anak kunci pada Surtikanthi.
“Rukmarata!”
“Iya kak”.
“Bawa 5 orangmu mencari kemana
larinya Banowati. Yang lain tinggal di sini bersamaku menggeledah rumah
Banowati!” perintah Surtikanthi.
“Siap, kak!” sambut Rukmarata
yang kemudian segera bergerak cepat mencari jejak Banowati.
“Kurang ajar sekali Banowati.
Berani beraninya dia mengulang perbuatannya” pikir Surtikanthi murka. Di
bukanya pintu rumah Banowati, lima pengawalnya segera menghambur masuk untuk
menggeledah seisi ruangan. Sementara Surtikanthi dengan langkah tergesa
memasuki kamar Banowati yang terletak di sudut ruangan.
“Anjing!!!” maki Surtikanthi
ketika menyadari tak di temuinya Banowati di kamar.
Kemana perginya Banowati ?.
Merasa tak mendapatkan buruannya,
Surtikanthi bergerak ke ruangan lain. Dapur, kamar mandi hingga kebun kelapa
yang terletak di belakang rumah Banowati.
“Semua ruangan sudah kami
geledah, tapi tidak kami temukan gusti!” lapor salah satu pengawalnya pada
Surtikanthi.
Belum sempat Surtikanthi
mengatakan sepatah katapun, tiba tiba sebuah bayangan hitam meluncur cepat
menuruni pohon kelapa yang berada tak jauh dari tempat dimana putri Salya itu
berdiri. Gerakannya sangat cepat, hingga tak di sadari telah berada di depan
Surtikanthi.
“Awas gusti!!!”.
Menyadari majikannya dalam
bahaya, pengawal Surtikanthi yang berdiri tepat di belakang sosok misterius itu
segera mencabut senjata dan merangsek maju guna melindungi Surtikanthi. Tapi
nahas, belum sempat ia mengayunkan pedangnya, sebuah tendangan keras menghajar
dadanya.
Brukk!!!
Tubuh anak buah Rukmarata itu
melayang bak kapas dan mendarat menghantam batang pohon kelapa.
“Siapa kamu!” bentak Surtikanthi
keras pada sosok berpakaian serba hitam, bertubuh gagah, membawa busur panah
dengan muka tertutup yang berdiri dengan tatapan mengancam ke arah Surtikanthi.
“Aku Permadi, panengah Pandawa”
jawab lelaki misterius itu berjalan mendekati Surtikanthi.
“Mau apa kamu ?”
“Prajurit!!!” teriak Surtikanthi
panik.
Empat prajurit dengan senjata
lengkap keluar satu persatu dari pintu belakang rumah Banowati. Terkejut bukan
main ke empat pengawal Surtikanthi itu melihat kehadiran manusia asing
berpakaian serba hitam itu. Dan tanpa di komando secara bersamaan mereka
menghunus senjata lalu menyerang sosok misterius yang berusaha mengganggu
majikannya.
Trang!!!.
Benturan antar senjata tak
terhindarkan. Sabetan, tusukan dan pukulan bertubi tubi mengarah ke tubuh sosok
asing itu. Namun dengan sikap tenang dan terukur lelaki asing itu mengibas
kibaskan busur panahnya menahan gempuran empat pengawal Surtikanthi. Kendati di
keroyok oleh empat prajurit terlatih, sama sekali tak membuat sosok hitam itu
kewalahan.
Surtikanthi yang menyadari bahwa
empat pengawalnya justru semakin di buat keteteran, segera memutar otak.
“Penculik…! Ada penculik!!!”
teriaknya berusaha memancing perhatian seisi penghuni keputren.
Dan tak berapa lama belasan
prajurit Mandaraka telah hadir di tempat itu. Mereka sebagian adalah penjaga
kediaman Banowati, sebagian lagi adalah prajurit patroli yang kebetulan
mendengar teriakan Surtikanthi.
“Tangkap penjahat itu!!!”
perintah Surtikanthi pada belasan prajurit yang baru tiba.
Seketika mereka segera melompat
membantu empat prajurit yang sudah lebih dulu menyerang sosok hitam itu.
Suasana kini makin gaduh. Teriakan kemarahan dan kesakitan susul menyusul
membahana membelah sang malam. Denting senjata beradu di iringi kilatan kembang
api tampak semakin banyak terlihat. Tapi hingga sekian jurus, tak ada tanda
tanda sosok hitam itu bisa di takhlukkan. Yang terjadi malah satu persatu
pengeroyoknya terpental keluar dari arena dengan luka pukul yang cukup serius.
“Ayo hajar!!!” teriak Surtikanthi
memberi semangat. Tapi lagi lagi ia harus kecewa, karena bukan sosok hitam itu
yang terjepit, justru yang terjadi semakin banyak prajurit Mandaraka yang
tersungkur kesakitan.
Menyadari situasinya tidak
menguntungkan, Surtikanthi segera berpikir cepat untuk kabur. Tapi sial bagi
Surtikanthi, belum ia melangkah lebih jauh, sebuah tangan kekar menangkap
bahunya. Surtikanthi berbalik dan berusaha melawan dengan mengirimkan pukulan
yang tak seberapa kuat ke arah sosok hitam itu.
Dukk!!!
Sebuah totokan di tengkuk
Surtikanthi seketika menghilangkan kesadaran putri Salya itu. Dan dengan
gerakan cepat lelaki misterius itu memanggul tubuh Surtikanthi.
“Lepaskan gusti Surtikanthi!!!”.
Lima orang prajurit tersisa
berlari mengejar, tapi apes buat mereka, lima mata panah meluncur deras
menembus kaki dan membuat tubuh mereka limbung lalu ambruk dengan luka parah di
bagian kaki.
Tanpa menunggu lama, sosok hitam
itu segera berkelebat di antara pepohonan kelapa lalu menghilang dengan membawa
lari Surtikanthi. Sementara yang tersisa di belakang hanya suara teriakan dan
tabuhan kentungan tanda bahaya dari para prajurit Mandaraka.
Lalu, siapakah sosok hitam yang
berani menyusup ke keputren Mandaraka dan membawa lari putri Salya ?. Dia tak
lain dan tak bukan adalah penguasa Awangga, adipati Karna. Anak angkat seorang
kusir di Hastinapura bernama Adirata. Sejak kecil Adiratalah yang mengasuh dan
membesarkan Basukarna. Walaupun ia hanya anak angkat seorang kusir, akan tetapi
bakat yang di miliki Basukarna sungguh luar biasa. Pada umur 10 tahun,
Basukarna sudah menjadi penunggang kuda handal. Kemampuannya menunggang kuda
inilah yang kemudian menarik perhatian Permadi kecil yang ketika itu masih
dalam rangka berguru di Sokalima. Permadi yang kagum melihat bagaimana Karna
mengendarai kuda kemudian meminta untuk di ajari cara menunggang kuda oleh anak
Adirata itu. Dengan senang hati Basukarna mengajari Permadi. Di sisi lain,
Karna sendiri walaupun anak angkat seorang pegawai rendahan, akan tetapi
minatnya untuk belajar ilmu kanuragan sangat besar. Tak jarang ia sengaja
menonton bagaimana Permadi berlatih ilmu kedigdayaan. Dari hasil menyaksikan Permadi berlatih itu, Karna
kemudian menirunya. Mempraktekkannya ketika sedang senggang. Tidak itu saja,
Basukarna juga giat berlatih memanah dengan cara menirukan gaya panahan
Permadi. Dan itu ia lakukan secara diam diam tanpa di ketahui oleh siapapun.
Walaupun berlatih dengan cara meniru Permadi, bukan berarti kemampuan Basukarna
bisa di katakan jauh di bawah Permadi. Justru bakat luar biasa yang di miliki
Basukarna di padu dengan kesungguhan dan tekadnya untuk menjadi seorang
pendekar pilih tanding, membuat anak angkat Adirata ini tanpa sadar telah
mencapai titik di mana ia mencapai level pendekar sejati. Kemampuan memanahnya
setara dengan Permadi, bahkan lebih tinggi. Yang membedakan barangkali hanya
soal koleksi senjata. Sebagai seorang ksatria agung bangsa Kuru, Permadi banyak
di anugerahi oleh guru dan juga para dewa, senjata senjata ampuh dan sakti.
Sementara Basukarna hanyalah seorang anak angkat kusir keraton berpangkat
rendah dan tidak pernah di didik secara ksatria oleh guru manapun.
Tapi ibarat pepatah, di manapun
mutiara itu di sembunyikan, suatu saat pasti akan terlihat. Adalah Suyudana
yang pertama kali mengetahui bakat Basukarna. Raja muda Hastinapura ini
kemudian berkenan mengangkat Basukarna sebagai pegawai di lingkaran dalam
istana. Tugasnya adalah menyiapkan segala perlengkapan, jika Suyudana keluar
berburu atau dalam rangka tugas negara. Meliputi menyiapkan pakaian
keprajuritan, membawa peralatan seperti panah, tombak, pedang dan sebagainya.
Tugas ini di berikan Suyudana, semata mata raja Hastina ini ingin tahu lebih
banyak tentang keistimewaan yang di miliki Basukarna. Seringkali dalam berburu
Suyudana meminta Basukarna untuk menggunakan kemampuannya untuk membidik
buruannya. Dan hasilnya luar biasa, tidak ada satupun binatang yang sanggup lolos
dari Basukarna. Semua bisa di takhlukkan oleh anak angkat Adirata ini.
Setelah yakin akan kemampuan
Basukarna, Suyudana mempromosikannya sebagai kepala regu prajurit pengawal raja
dengan membawahi sekitar limapuluhan pasukan. Selanjutnya karir Basukarna melejit
bak meteor. Dari kepala regu menjadi kepala pasukan pengamanan raja, lalu
puncaknya ketika kerajaan Hastina mengadakan perlombaan adu ilmu kanuragan di
alun alun istana. Di situ segenap ksatria baik dari klan Pandawa maupun Kurawa
berkumpul untuk unjuk kebolehan. Di ajang inilah Bima bertarung dengan
Dursasana, Kartamarma adu kesaktian dengan Permadi, sementara Nakula dan Sadewa
unjuk kekuatan melawan Citraksa dan Citraksi. Siapa yang kalah harus mundur
dari arena untuk digantikan dengan yang lain. Perlombaanpun di bagi dalam
beberapa kategori, seperti gulat, bermain pedang, memanah dan lain sebagainya.
Untuk kategori gulat, Bima dan Dursasana keluar sebagai juara bersama. Ini di
sebabkan keduanya tidak ada yang bisa mengalahkan yang lain. Dalam adu pedang,
Nakula dan Sadewa unggul atas semua wakil kurawa. Begitu juga dengan adu panah,
Permadi tak terkalahkan oleh semua jagoan kurawa.
Suyudana yang tidak ingin di
permalukan akibat kekalahan kurawa di hampir semua bidang yang di perlombakan
segera mencari akal. Ingat akan keistimewaan yang di miliki Basukarna, Suyudana
mengusulkannya untuk maju mewakili Kurawa dalam perlombaan. Ide ini kemudian di
tentang oleh Resi Krepa dengan alasan bahwa perlombaan hanya boleh di ikuti
oleh kasta ksatria, bukan oleh orang biasa. Maka secara otomatis, keikutsertaan
Basukarna tidak sah secara hukum. Mendapat tentangan dari penasehatnya,
Suyudana tak kurang akal. Demi memenuhi persyaratan agar Basukarna bisa ikut
perlombaan, maka raja Hastina itu memutuskan untuk mengangkat Basukarna sebagai
adipati di Awangga.
Keputusan ini di setujui oleh
semua keluarga Kurawa, termasuk oleh Krepa sendiri walaupun dengan berat hati.
Akan tetapi keputusan ini oleh Pandawa di anggap berlebihan. Maka sepanjang
pertandingan, kubu Pandawa terutama Bima, tak henti hentinya mengejek Basukarna
ketika sedang bertanding dengan Permadi. Namun itu semua tak membuat Basukarna
ciut nyali. Ia tetap bertanding dengan sepenuh hati melawan Permadi. Justru
ejekan itu malah menjadi energi tambahan bagi Basukarna. Tekadnya untuk
mengalahkan Permadi makin menggumpal. Dia sama sekali tak peduli kalau lawan
tanding di depannya secara tidak langsung adalah gurunya , dia juga tak peduli
dengan nama besar Permadi yang oleh banyak orang di sanjung sanjung sebagai pemanah
terbaik di dunia.
Situasi yang berbeda justru di
alami oleh Permadi. Walaupun itu untuk membela dirinya, tapi ejekan ejekan yang
di lontarkan saudara saudaranya pada Basukarna, justru membuat panengah Pandawa
ini merasa risih. Tanpa bantuan sorak sorai saudara saudaranya, Permadi
sebetulnya sangat yakin bisa mengalahkan Basukarna yang ia ketahui hanya ahli
dalam menunggang kuda. Rasa risih, kurangnya konsentrasi dan keyakinan yang
berlebihan bisa mengalahkan Basukarna inilah yang akhirnya justru membuat
Permadi menelan rasa malu. Di kalahkan untuk pertama kalinya oleh anak seorang
kusir.
Sejak peristiwa itu, nama
Basukarna sang adipati Awangga begitu dikenal seantero jagat raya. Semua orang
memuji kemampuan Karna, semua keluarga Hastina menghormati Basukarna. Bahkan
oleh Suyudana, Karna di anggap sebagai adiknya sendiri. Segala permintaan
Basukarna di turuti, segala kemewahan duniawi tak segan segan di berikan oleh
Suyudana pada pengikutnya ini. Kemuliaan, kemewahan dan pembelaan Suyudana, di
balas oleh Basukarna dengan kesetiaan, dedikasi dan kerja sempurna. Apapun yang
di perintahkan Suyudana, dia akan lakukan. Bahkan jika Suyudana memerintahkan
dia terjun ke lautpun, ia akan lakukan.
Ksatria Awangga yang di percaya
sebagai titisan Dewa Surya itu terus melaju bersama kyai Gagak Rimang menembus
pekatnya malam. Hatinya lega, karena telah melakukan tugas yang di berikan
Prabu Suyudana dengan sukses. Akan tetapi dalam benaknya masih ada pertanyaan
yang sulit ia jawab. Mau di apakan tawanannya ini ?. Di buang di tengah jalan,
di bawa serta kemana ia pergi, di tahan di Kadipaten Awangga atau di serahkan
pada Prabu Suyudana ?. Atau apa ?.
Mata tajam Basukarna menatap pada
tubuh molek yang tertelungkup lemas di punggung kudanya. Perasaan aneh merasuk
ke dalam pikiran sang adipati Awangga. Tubuh sintal dengan balutan busana putri
raja berwarna kuning terbuat dari tenunan sutra itu tampak jelas di mata
Basukarna. Rambutnya yang terjurai hitam berkibar menerpa wajah anak angkat
Adirata itu. Begitu harum dan menggoda kelelakian sang Basukarna. Pria lajang
kepercayaan raja Hastina ini melambatkan kudanya, mengarahkan tali kekangnya
pada gubug kecil yang tampak kosong tak berpenghuni di pinggiran jalan. Dengan
hati hati ia menurunkan tubuh Surtikanthi dan memanggulnya menuju gubuk kosong
itu.
Jantungnya mendadak berdebar
debar ketika tangan Basukarna bersentuhan
dengan kulit Surtikanthi. Sejenak mata tajamnya menatap ke wajah Surtikanthi.
Walaupun suasana begitu gelap, tapi bagi Basukarna yang telah di karuniai ilmu
penglihatan tingkat tinggi tetap bisa
melihat dengan jelas seperti apa wajah gadis Mandaraka itu.
“Pantas saja banyak pria yang
berlomba lomba merebut hati anak anak prabu Salya” guman Basukarna sembari
meletakkan tubuh Surtikanthi ke atas anyaman bambu yang ada di dalam gubuk itu.
Inikah Banowati ?. Yang membuat
Permadi tergila gila ?.
“Benar benar cantik” Basukarna takjub menyaksikan pemandangan yang
tersai di depan matanya.
Kalau dia tidak sadar bahwa
keadaan belumlah terlalu aman dari kejaran para prajurit Mandaraka, tentu ia
ingin sekali lebih lama memandangi tubuh indah dan wajah cantik tawanannya. Tapi
berhubung situasinya tidak mendukung, sang Basukarna berusaha menekan goncangan
yang kini melanda perasaannya. Ia kemudian bergegas keluar. Berjalan mondar
mandir di sekitar gubuk untuk memantau keadaan. Sesekali ia melongok ke dalam guna memastikan anak Salya yang ia anggap
sebagai Banowati itu masih ada di tempat.
Di sisi lain, otaknya berpikir keras.
Memang, tugas yang di berikan kepadanya hanya menculik putri Prabu Salya dan
memastikan Permadi menjadi pihak yang paling di curigai. Basukarna tidak punya
kewajiban untuk menahan lebih lama Surtikanthi, bahkan tak harus mempedulikan
keselamatan wanita itu. Bisa saja ia meninggalkan tawanannya di suatu tempat,
membiarkannya terbebas dan kembali ke Mandaraka, lalu melaporkan kejadian yang
menimpa dirinya pada ayahnya. Tugas yang sangat sederhana dan tak perlu bertele
tele.
Tapi ada hal lain yang membuat
putra Adirata itu merasa sedikit galau. Yaitu perasaan aneh yang sedikit demi
sedikit menggerogoti keteguhannya, melarutkan kesadarannya dan meletupkan
syaraf syaraf kelelakiannya. Sebagai seorang lelaki normal yang memiliki
ketertarikan pada lawan jenis, tidak bisa di pungkiri, Basukarna mulai memendam
rasa suka terhadap tawanannya. Sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan
sebelumnya.
“Tapi persoalannya, bagaimana
menghadapi putri Salya itu ketika telah tersadar ?” Basukarna ragu ragu.
Posisinya sebagai orang yang
telah melarikan wanita itu dengan paksa tentu akan menyulitkan Basukarna untuk
mendekati wanita itu. Mustahil wanita itu akan bersikap simpatik terhadap orang
yang telah mencelakakan dirinya.
“Pikirkan masak masak Karna” kata
Basukarna menasehati diri sendiri.
Langit di ufuk timur terlihat
merekah, mengiringi bertahtanya sang mentari yang perlahan keluar dari
sarangnya. Basukarna melangkah kakinya ke dalam gubuk. Dimana Surtikanthi masih
tergolek lemas di atas pembaringan. Di pandanginya tubuh berbalut pakaian
berwarna kuning keemasan itu dengan nafas tertahan. Untuk kesekian kalinya
jantung Basukarna berdetak kencang manakala matanya menumbuk pada wajah ayu Surtikanthi.
Ada rasa aneh yang terus menerus menggugah hatinya. Berkali kali ia berusaha
menepis dan membuangnya jauh jauh, tapi berkali kali pula ia gagal meredam
gemuruh perasaannya.
Tanpa sadar Basukarna beringsut
mendekat pada Surtikanthi. Di sentuhnya perlahan tubuh montok di hadapannya.
Debar jantungnya tak henti hentinya berpacu manakala jari jemari Basukarna
menyentuh setiap lekuk tubuh Surtikanthi. Dan ketika pandangannya tertuju pada
wajah cantik Surtikanthi, semakin tak terbendung keinginan adipati Awangga itu
untuk menyentuh wajah nan ayu Surtikanthi.
“Bangun Banowati…” ucap Basukarna
lirih.
Dan entah sadar atau tidak,
tangan Basukarna tiba tiba bergerak mengetuk beberapa saraf Surtikanthi yang
pada akhirnya membuka kesadarannya.
Perlahan tubuh yang tadinya lemah
mulai menunjukkan tanda tanda kesadaran. Di awali dengan gerakan jari jemarinya,
merembet ke tangan, lalu sekujur tubuhnya dan kemudian matanya yang tertutup
rapat perlahan terbuka. Tak ada reaksi dari sang Basukarna. Justru sepertinya
pemuda Awangga ini malah menunggu tawanannya tersadar.
“Di mana aku ?” ucap Surtikanthi
begitu tersadar. Beberapa kali ia mengucek ucek matanya, lalu menatap liar ke
sekeliling. Dan begitu mendapati sosok asing di dekatnya, sontak ia bangkit dan
beringsut menjauh.
“Siapa kamu ?” tanya Surtikanthi
gelagapan. Tangannya refleks meraba raba pinggang. Berharap ada senjata yang
terselip di sana. Tapi nihil.
“Tenang nona…tenang!” Basukarna
bangkit dan berusaha mendekat.
“Jangan mendekat….jangan
mendekat!” ancam Surtikanthi dengan tubuh menggigil ketakutan.
“Aku tidak bermaksud jahat,
nona…”.
“Jangan bohong!” Surtikanthi tak
percaya.
“Kamu yang menculikku dari
keputren Mandaraka, bukan ?”.
“Oohh…” Basukarna tampak sedikit
kebingungan.
“Bukan…bukan…!”.
“Bohong!” bantah Surtikanthi,
“kembalikan aku ke Mandaraka…kembalikan!” lengkingnya marah. Di raihnya
sebatang bambu sepanjang setengah meter yang berada di pojok ruangan. Serta
merta ia menyerbu ke arah Basukarna, dan…
Brakk!!!
Batang bambu itu di hantamkannya
ke dada Basukarna. Tak ada perlawanan sedikitpun bahkan tak terdengar teriakan
kesakitan dari mulut Basukarna. Dan sepertinya Basukarna sengaja memberikan tubuhnya
untuk jadi bahan pelampiasan kemarahan Surtikanthi. Makin jengkel Surtikanthi
melihat keangkuhan pria di hadapannya, makin keras ia hantamkan bambu itu ke
tubuh Basukarna. Namun bukan luka yang ia lihat, tapi batang bambu di tangannya
justru hancur berkeping keping setelah berkali kali menghantam tubuh pria di
depannya.
“Tenang nona, aku bukan penculik
yang kamu maksud” ucap Basukarna berbohong.
“Aku…aku….Karna!”.
Surtikanthi melongo mendengar
jawaban itu. Dia ingat betul bahwa penculiknya mengaku bernama Permadi, yang ia
tahu nama itu adalah nama dari salah satu anggota Pandawa. Tapi pria di
hadapannya ini mengaku bernama Karna.
“Bohong!. Penculiknya berbaju
hitam seperti yang kamu pakai. Ayo ngaku !” todong Surtikanthi mulai berani.
Mati aku!. Gerutu Basukarna dalam
hati. Kenapa ia lupa mengganti pakaiannya ?.
“Oh…ini kebetulan saja” jawab
Basukarna sekenanya.
“Nggak percaya!. Kamu pasti
Permadi !”.
“Bukan…bukan..!. Aku Basukarna.
Adipati Awangga. Orang kepercayaan Prabu Suyudana”.
Mendengar nama Suyudana di sebut,
Surtikanthi mendadak berubah. Walaupun belum pernah berbicara langsung, tapi
Surtikanthi telah mengenal raja Hastina itu ketika keluarganya menerima
rombongan Hastinapura di istana Mandaraka dalam rangka melamar kakaknya
Herawati.
“Kalau nona tidak percaya, aku
bisa bawa nona ke Hastina untuk menghadap gusti Suyudana” Basukarna meyakinkan.
Surtikanthi menatap dalam dalam
ke wajah Basukarna. Sepertinya pria ini jujur. Pikir Surtikanthi.
“Trus yang menculikku…?”.
“Iya..iya…!. Ketika aku sedang
menuju Mandaraka menyusul paman patih Sengkuni, aku mendapati Permadi sedang
berlari membawamu. Aku lalu menghadangnya. Kami bertarung dan akhirnya aku bisa
kalahkan dia” Basukarna mengarang cerita.
“Jadi….” Surtikanthi mulai
percaya,” jadi tuan yang menyelamatkan Surtikanthi…?”.
Surtikanthi ?.
“Jadi namamu Surtikanthi ?. Bukan
Banowati ?” Basukarna penasaran.
“Iya. Aku Surtikanthi. Banowati
itu adikku. Kamu kenal dia ?”.
Ya Tuhan. Jadi selama ini aku
salah orang. Dia bukan Banowati yang kata Aswatama sempat hendak di culik
Permadi.
“Tidak. Aku tidak kenal Banowati.
Hanya saja…”.
“Kenapa ?”.
“Hanya saja aku sempat mendengar
cerita bahwa Permadi pernah hendak membawa lari adikmu Banowati. Untunglah tuan
Aswatama berhasil menggagalkannya”.
“Apa ?. Kapan ?” Surtikanthi
penasaran dengan cerita Basukarna.
“Loh…bukannya nona sudah tahu ?”.
Surtikanthi menggeleng. Pikiranya
kini kembali mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu ketika ketika dua kali
ia tidak menemukan Banowati di kediamannya. Entah peristiwa itu terjadi yang
pertama atau yang kedua, yang jelas keterangan lelaki di depannya ini sungguh
membuatnya mulai mengerti masalah yang sebenarnya.
“Oh..pantas saja Banowati sering
tidak ada di tempat…”.
“Bisa jadi “potong Basukarna
makin percaya diri.
“Bisa jadi itu ulah panengah
Pandawa itu. Buktinya, nona juga hendak di bawanya lari ?”.
Surtikanthi menganggukkan kepala.
“Kita harus segera laporkan ini
kepada ayahanda…” kata Surtikanthi seraya mengajak Basukarna keluar dari gubuk
itu.
“Tunggu dulu nona!” Basukarna
menahan.
“Kenapa ?”.
“Biar aku yang menghadap
ayahandamu” saran Karna.
Bagaimanapun untuk sementara
waktu ia harus menahan Surtikanthi agar tidak kembali ke Mandaraka sebelum
usaha patih Sengkuni dan Aswatama membujuk Prabu Salya guna menghukum Permadi
berhasil.
“Sangat berbahaya jika nona
kembali ke Mandaraka”.
Surtikanthi tertegun tak mengerti
maksud Basukarna.
“Permadi begitu berhasrat
menculik nona, aku takut ia akan kembali menyakiti nona kalau tahu nona ada di
Mandaraka”.
“Hemm…” dehem Surtikanthi. “Masuk
akal. Tapi kalau tuan ke sana, bagaimana denganku ?”.
“Itu gampang. Nona bisa istirahat
di Awangga. Biar orang orangku nanti yang menjaga nona. Aku jamin Permadi tidak
akan berani menginjakkan kaki di Awangga”.
“Benarkah ?”.
Basukarna mengangguk.
Akhirnya dengan mengendarai kuda
sakti kyai Gagak Rimang pemberian Dewa Surya, Basukarna membawa Surtikanthi
pergi ke Awangga. Sesampai di Awangga, Surtikanthi di tempatkan di kediaman
Basukarna dengan mendapatkan pelayanan istimewa. Basukarna yang mulai tertarik
dengan Surtikanthi sepertinya tak mau kehilangan kesempatan untuk menjerat hati
Surtikanthi. Segala fasilitas mewah di berikan pada tamu istimewanya ini.
Makanan yang melimpah, pelayan yang ramah dan beraneka hiburan yang membuat
Surtikanthi makin merasa betah di Awangga.
*******************************
“Di
mana aku ?”.
Permadi
menyapu pandangan ke sekeliling. Sebuah ruangan sempit dengan atap terbuat dari
anyaman dedaunan kelapa dan di topang oleh empat batang kayu kusam di setiap
sudutnya. Dindingnya hanya terbuat dari papan papan kayu bekas yang di
tempelkan secara tidak teratur. Bangunan yang sangat sederhana, atau mungkin
bisa di bilang darurat. Dan sepertinya memang baru di dirikan, kalau di lihat
dari tali tali pengikatnya yang masih tampak baru.
“Oh
iya, Kawah Geni” serunya mulai ingat kejadian terakhir sebelum ia jatuh
pingsan.
Tapi
kemana ketiga pelayan setianya ?. Permadi menoleh ke kiri dan kanan. Tapi tak
ia temukan sosok yang di carinya. Hingga matanya tertumbuk pada sebuah meja
kecil yang terletak di sudut ruangan. Di atas meja kecil itu terdapat mangkuk
berukuran sedang berisi satu porsi bubur sumsum dengan lauk paha ayam bakar di
atasnya.
“Masih
hangat” pikir Permadi memegangi mangkuk itu.
Aroma
makanan yang menggugah selera. Dan tanpa mencari tahu siapa pemilik makanan
itu, Permadi melahap habis bubur yang masih dalam keadaan panas tersebut. Dalam
tempo singkat, mangkuk itu telah kosong.
“Aneh”
Permadi memegangi perutnya, “kenapa aku masih merasa lapar ?”.
Bingung
hati Permadi. Padahal yang ia makan porsinya lebih banyak dari biasanya. Tapi
entah kenapa perutnya masih belum merasa kenyang?.
Kali
ini mata Permadi tertuju pada kantung air berukuran besar yang tergantung di
dinding ruangan. Segera ia raih benda itu, lalu menuangkan isinya ke mulut
hingga habis tanpa menyisakan setetespun. Namun lagi lagi Permadi merasa aneh.
Air sebanyak itu sama sekali tak membuatnya merasa kenyang. Ia tetap merasa
haus dan kering kerongkongannya.
Mata
Permadi kini memandang liar, mencari cari kalau kalau masih ada makanan maupun
minuman yang bisa menanggulangi rasa laparnya. Dengan agak tergesa gesa, ia
bongkar semua benda yang ada di ruangan itu. Keranjang, kotak barang, karung
dan perkakas lainnya. Tapi tak ia temukan makanan yang tersisa. Hingga yang ke
terakhir, dengan rasa jengkel ia banting sebuah kuali yang terbuat dari tanah
liat di tangannya.
Brakk!!!!
Permadi
duduk menyandarkan tubuhnya ke tiang bangunan. Dia masih tidak mengerti kenapa
ada keanehan dalam dirinya. Ini jelas tidak biasanya. Pikir Permadi heran. Dia
terbiasa lapar, bahkan berhari hari, tapi tidak seperti yang ia rasakan kali
ini. Apa gerangan yang terjadi ?.
“Begitulah
kalau manusia tidak pandai bersyukur. Tak pernah merasa puas dengan apa yang
telah di karuniakan Tuhan kepadanya”.
Tiba
tiba sesosok manusia yang mengenakan pakaian serba putih muncul dari pintu.
“Siapa
kamu ?” tanya Permadi agak terkejut.
Pria
berpakaian putih dengan tongkat rotan itu tidak segera menjawab. Dia berjalan
menuju sebuah tikar anyaman tempat di mana tadi Permadi tertidur dan duduk
bersila dengan tenangnya.
“Memiliki
pasangan yang sangat setia rupanya belum cukup untuk membuat seorang pendekar
terkenal Madukara terpuaskan”.
Kali
ini Permadi mengernyitkan dahi. Di tatapnya dalam dalam lelaki berpakaian brahmana
yang duduk di atas tikar tempat tidurnya. Kelihatannya masih sangat muda.
Mungkin sedikit lebih tua dari Permadi. Berkulit putih, berambut hitam sebahu
dengan ikat kepala resi di kepalanya. Janggutnya terlihat lebat memanjang
hingga menutupi leher.
“Siapa
dirimu, wahai resi ?” tanya Permadi penasaran. Pendeta muda ini sepertinya tahu
banyak tentang dirinya.
“Kasihan
sekali dirimu” kata sang Resi seolah tak peduli dengan pertanyaan Permadi,
“bagaimana bisa, mencari kebahagiaan
dengan mengorbankan kebahagiaan yang lain ?. Bagaimana mungkin menggapai
kebahagiaan dengan cara tidak membahagiakan ?”.
Ucapan
itu terdengar datar. Tapi terasa begitu tajam menusuk perasaan Permadi.
“Mohon
jangan mempermainkan, Resi !” mulai hilang kesabaran Permadi.
“Wanita….oohh…wanita…”
setengah berpuisi, “ lembut tapi melumpuhkan, diam tapi menghanyutkan, gemulai
tapi menipu….”.
“Cukup!!!”
bentak Permadi keras.
Seperti
tak terpengaruh dengan gertakan Permadi, Resi muda itu tetap menyunggingkan
senyum dan mengeluarkan kata kata sindirannya.
“Berapa
banyak ksatria yang jatuh hanya karena perempuan ?” sang Resi seolah bertanya.
“Banyak”
di jawabnya sendiri pertanyaan itu.
“Rahwana,
Raja agung Alengka. Maharaja kuat dan tak terkalahkan. Tapi birahinya pada
perempuan telah menjerumuskannya pada kekalahan. Siapa lagi ?. Ohhh…, leluhur
bangsa Kuru. Ya…!. Hanya karena seorang perempuan, Prabu Sentanu menelan
ludahnya sendiri dengan membatalkan posisi Dewa Brata sebagai calon pewaris
tahtanya. Dan sekarang anak turun Sentanu harus menanggung karma permusuhan
yang berlarut larut”.
Sindiran
sang Resi kali ini tak pelak membuat Permadi tak bisa lagi menahan diri.
Pendeta muda itu sudah keterlaluan dengan membuka luka lama trah Kuru.
“Tutup
mulutmu, resi tengik!!”.
Bersamaan
dengan makian itu, Permadi bergerak cepat dengan mengirimkan pukulan telak ke
dada sang resi.
Wussss!!!
Sayang
sekali lengan Permadi hanya mengenai ruang kosong. Resi muda itu entah
bagaimana caranya sudah tidak ada di tempat.
“Ho
ho ho…”
Suara
itu terdengar dari arah belakang. Persis di belakang Permadi. Lirih tapi
seperti sengaja mengejek kemampuan ksatria Madukara itu. Putra Pandu itu segera
membalikkan badan sembari memutar kakinya, dan..
Wusss!!!
Hanya
suara desiran angin yang di hasilkan dari gerakan kaki Permadi tanpa sedikitpun
mengenai sasarannya.
“Begini
kemampuan jawara kebanggaan Pandawa ?” lagi lagi terdengar kata kata ejekan
pada Permadi. Makin marah sang Dananjaya, makin beringas terjangan panengah
Pandawa itu.
“Jumawa
!” teriak Permadi kemudian di iringi pukulan, tendangan, sikut dan bahkan
tandukan bertubi tubi ke arah pendeta misterius itu. Suasana berubah menjadi
gaduh. Serangan serangan Permadi yang tak mengenai sasaran, beberapa di
antaranya malah menghantam benda apa saja di ruangan itu. Hingga nyaris tak
tersisa satu bendapun yang utuh, Permadi masih saja belum mampu melumpuhkan
musuhnya. Jangankan melumpuhkan, bahkan menyentuhnyapun tidak. Resi muda itu
tetap bergerak lincah dan terus mengucapkan kata kata bernada mengejek.
“Ilmu
silat seperti ini mau mengalahkan Kurawa ?” ledeknya, “memalukan…!”.
Mendidih
darah Permadi, belum pernah ia mendapat ejekan menyakitkan seperti ini. Belum
pernah ia begitu di permainkan dalam adu kedigdayaan kecuali kali ini.
“Jangan
salahkan Permadi kalau berbuat kasar” gertak Permadi seraya beringsut mundur.
Tangan kirinya bergerak meraih busur panah yang terselip di pinggang, sementara
tangan kanannya meraih anak panah dari kantong di punggungnya.
“Ha
ha ha….”.
“Lucu
sekali tingkahmu, Permadi. Untuk menghadapi musuh yang tak bersenjatapun, harus
mengeluarkan senjata andalan…”.
“Tutup
mulutmu!” teriak Permadi segera menarik busur panahnya.
Suiiiittttt……!!!!
Suara
desiran panah segera menyalak. Belasan anak panah berhamburan dari busur kyai
Gendewa laksana lebah yang keluar dari sarangnya. Suara ledakan terjadi di sana
sini manakala mata panah itu menghantam dinding gubuk, atap, pintu, jendela dan
sebagainya. Dan seperti yang sudah sudah, resi muda itu hanya melompat kesana
kemari. Bedanya, kali ini gerakan sang resi jauh lebih cepat dan gesit. Hingga yang tampak
hanyalah banyangan putih yang melayang ke sana kemari menghindari amukan panah
pusaka Permadi.
“Bedebah!”
Permadi mengeluh dalam hati. Entah sudah berapa banyak anak panah yang ia
muntahkan dari busur kyai Gendewa. Tak satupun yang mengenai sasaran. Bahkan
yang terjadi malah kerusakan yang sangat parah di setiap sudut bangunan tempat
ia berdiri. Dan jika ini terus berlanjut, gubuk itu bakal roboh berkeping
keping.
“Bagaimana
kamu bisa menang jika kamu bertarung dengan emosi, dan bukan menggunakan rasa
…?”.
Permadi
terkejut, apa yang di ucapkan resi muda itu seolah hendak mengajarinya
bagaimana bertarung dengan baik.
“Fokuskan
pikiranmu jika kamu ingin menang, adikku..”.
Belum
sempat Permadi menarik kembali busur panahnya, resi muda itu tiba tiba sudah
berada di sampingnya dengan senyum tersungging dari bibirnya.
“Simpan
senjatamu dan perhatikan siapa aku…” ucap sang resi seraya menepuk pundak
Permadi.
Dan
seperti terhipnotis, Permadi perlahan menurunkan busur panah dan menyimpannya
kembali di pinggang. Matanya kini tertuju pada sosok berpakaian putih di
sampingnya. Siapa gerangan pria hebat dengan ilmu meringankan tubuh mendekati
sempurna yang memanggilkan dengan sebutan dik ini ?. Pasti dia bukan orang
lain. Oooo…
“Kakang….Kakrasana…?”
Permadi setengah tidak percaya.
Sang
resi itu tersenyum lalu mengangguk.
“Panggil
aku Wasi Jaladara” sahut resi muda itu.
Nama asli dari Wasi Jaladara memang
Kakrasana. Dia adalah putra sulung Prabu Basudewa dari pernikahannya dengan
Dewi Mahindra. Konon Prabu Basudewa memiliki 3 orang istri, yaitu Dewi
Mahindra, Dewi Badrahini dan Dewi Mahira. Dari Mahindra terlahir Kakrasana dan
Narayana, dari Badrahini melahirkan Rara Ireng, kemudian dari Mahira lahirlah
Kangsa. Tapi jika di runut dari sejarah, Kangsa sebenarnya bukanlah anak dari
Basudewa. Adalah ulah Prabu Gorawangsa dari Kerajaan Goagra yang membuat Mahira
melahirkan Kangsa. Di ceritakan ketika itu Prabu Basudewa sedang berburu di
hutan bersama pengikutnya dengan meninggalkan istri istrinya di istana. Prabu
Gorawangsa yang mengetahui Basudewa sedang berburu di hutan dan telah lama
memendam rasa cinta terhadap Mahira kemudian menyusup ke istana Mandura dengan
menyamar sebagai Basudewa. Gorawangsa yang menyamar sebagai Basudewa ini kemudian
meniduri Mahira hingga hamil dan nantinya melahirkan Kangsa. Sepulang dari
berburu dan mengetahui bahwa istrinya telah hamil, marahlah Basudewa. Mahira
kemudian di hukum dengan cara di buang ke hutan. Di hutan, Dewi Mahira bertemu
dengan Suratimantra yang menjaganya hingga ia melahirkan anak berwujud raksasa
dan di beri nama Kangsa. Kangsa kemudian di asuh oleh Suratimantra hingga
dewasa. Setelah dewasa, Suratimantra mengajak Kangsa ke Mandura demi menemui
Basudewa. Prabu Basudewa yang merasa bersalah telah membuang Mahira kemudian
berkenan menganugerahi Kangsa sebuah tanah perdikan bernama Sengkapura. Sejak
itu Kangsa di angkat sebagai Prabu Anom di Sengkapura.
Dari sinilah kemudian timbul masalah.
Kangsa yang merasa paling hebat di antara putra putri Basudewa berhasrat untuk
merebut tahta Mandura yang sebenarnya menjadi hak Kakrasana. Tidak hanya itu,
Kangsa yang mendapat bujukan dari Suratimantra mengancam akan membunuh semua
anak Basudewa jika ia tidak di angkat sebagai putra mahkota Mandura. Mendapat
ancaman dari Kangsa dan merasa khawatir akan keselamatan putra putrinya,
Basudewa kemudian meminta kepada abdi dalemnya Kyai Antagopa dan Nyai Sagopi
untuk menyembunyikan anak anaknya dari incaran Kangsa. Ketiga anak Basudewa
kemudian di bawa ke Widarakandang dan di didik oleh Kyai Antagopa bersama
dengan kedua anak Kyai Antagopa sendiri yaitu Udawa dan Larasati (istri pertama
Permadi). Peristiwa ini terjadi hanya berselang satu bulan setelah Permadi
meninggalkan Widarakandang.
“Maafkan
kecerobohan saya, kakang…” Permadi segera bersimpuh di kaki Wasi Jaladara.
“Sudahlah”
Wasi Jaladara mengangkat pundak Permadi.
“Jadi
yang menyelamatkan saya…”.
“Sudah…sudah…!.
Duduk dulu saja” potong Wasi Jaladara sambil mempersilahkan Permadi duduk di
atas anyaman daun kelapa yang tampak kusut akibat pertempuran tadi.
“Bagaimana
kabar uwa Basudewa, kakang ?” Permadi basa basi.
Antara
keluarga Pandawa dan keluarga Mandura memang sudah lama saling kenal. Bahkan
mereka masih terhitung kerabat. Ibu Pandawa, Dewi Kunti adalah adik dari Prabu
Basudewa, ayah Kakrasana. Dulu sewaktu kecil, Permadi dan saudara saudaranya
sering di ajak oleh ibu mereka bertandang ke Mandura. Tak jarang keluarga
Mandura yang mengunjungi mereka ketika dulu masih tinggal di Hastina bersama
keluarga Kurawa. Dengan adik Kakrasana, yaitu Narayana, Permadi malah lebih
akrab. Bahkan ketika dulu ia mengalahkan raja Paranggelung, juga berkat bantuan
Narayana.
Wasi
Jaladara tampak menghela nafas. Seperti ada beban di pikirannya. Tapi cepat
cepat ia bisa menguasai diri.
“Kenapa
kakang memilih menjadi resi seperti ini, bukankah kakang adalah pewaris uwa
Basudewa ?”.
“Apakah
seorang pangeran tidak boleh menjalani hidup sebagai seorang resi ?” Wasi
Jaladara balik bertanya.
“Bu..bukan
itu maksudku, kakang…” gugup.
“Ha
ha ha ha…” tawa renyah keluar dari bibir Jaladara.
“Kekuasaan
tak perlu di cari. Buat apa ?. Toh kalaupun sudah menjadi takdir kita, dia
tidak akan kemana mana” ucap Jaladara santai.
“Kamu
sendiri kenapa sampai di sini ?” Wasi Jaladara bertanya.
“Mau
ke Widarakandang”
“Menemui
Larasati ?” Jaladara memicingkan
matanya.
“Kakang
tahu darimana ?”.
Wasi
Jaladara mengelus janggutnya yang lebat.
“Paman
Antagopa itu salahsatu orang kepercayaan ayahanda yang di angkat sebagai kepala
desa di Widarakandang. Tentu saja aku tahu cerita keluarganya”.
“Pantas…”
desis Permadi. Pantas saja putra uwaknya ini paham betul tentang dirinya. Kali
ini Permadi jadi malu sendiri.
“Aku
rindu dengan Larasati, kakang” Permadi beralasan.
“Hanya
itu ?” pancing Jaladara.
“Mmmmm….”
Permadi memandang ke arah Jaladara. Kakak dari Narayana ini sepertinya tidak
mau mempercayai begitu saja omongannya.
“Urusan
perempuan lagi ?” tebaknya yang di sambut muka merah Permadi.
“Anak
Prabu Salya telah memikat hatimu ?. Dan kamu mau pulang ke Widarakandang untuk
memberitahu Larasati ?” imbuh Jaladara.
Permadi
benar benar tak bisa berkutik. Batinnya menggerutu, darimana kakak sepupunya
itu tahu kalau ia sedang jatuh hati kepada salah satu putri Prabu Salya ?.
“Kamu
kira, aku tidak tahu kelakuanmu, Permadi ?” tohok Jaladara.
Pasti
ketiga pembantunya yang memberitahu. Pikir Permadi kesal.
“Kalian
yang di luar, masuklah!!!” tiba tiba Jaladara berteriak memanggil.
Pasti
ketiga pelayannya.
Perlahan
pintu terbuka, satu persatu sosok manusia memasuki pintu kecil yang sudah rusak
akibat terjangan anak panahnya tadi.
“Banowati
!” Permadi terkejut bukan main melihat siapa yang hadir di hadapannya.
Banowati
dengan di iring tiga pelayannya dan satu orang pria bertubuh besar dan berwajah
buruk yang belum pernah ia kenal.
“Salam
sembah saya, Resi…” Banowati memberi hormat pada Wasi Jaladara kemudian di
ikuti pria bertubuh besar yang ternyata adalah adiknya, Burisrawa.
“Duduk…duduk”
perintah Jaladara yang segera di kelilingi oleh tamu tamu istimewanya itu.
“Pantas
saja kakak sepupunya tahu banyak masalah pribadinya. Banowati juga ada di sini
ternyata” pikir sang Permadi seraya melirik pada Banowati.
Perempuan
cantik yang ia kenal di pantai Mandaraka itu terlihat menundukkan wajah.
Seperti tak ingin membalas tatapan Permadi. Entah apa yang sedang terjadi.
“Apa
kabar, Bano?” bisik Permadi memberanikan diri untuk menyapa.
“Kabar
buruk” jawab Banowati terdengar ketus.
“Soal
kakakmu ?”.
“Siapa
lagi…”.
Permadi
menggaruk garuk kepala. Dia tak habis pikir, kenapa tiba tiba Banowati yang
biasanya sangat ramah dan ceria, kini berubah ketus bukan main ?.
“Ya
sudah, mungkin kalian ingin berbicara berdua saja”.
Sadar
antara Banowati dan Permadi sama sama tak ingin melibatkan dirinya, Jaladara
berdiri dan hendak meninggalkan tempat.
“Mohon
tidak meninggalkan kami, Resi…” pinta Banowati menahan langkah Jaladara.
Sejak
tadi, walaupun tidak melihat langsung jalannya pertarungan, Banowati bisa
menebak bahwa pria berjubah putih ini bukan orang yang lemah. Apalagi dari
kejauhan dia melihat dengan jelas panah panah Permadi melesat keluar gubuk
dengan jumlah tak terhingga, tapi sama sekali tak membuat sang Jaladara
terluka. Jadi apa salahnya ia juga menceritakan persoalan yang menimpa dirinya
dan keluarganya pada resi sakti ini.
“Bener,
kalian tidak masalah kalau aku mengganggu ?” Jaladara meminta kejelasan.
Banowati
melirik ke arah Permadi.
“Mohon
ijin, Resi..”.
“Silahkan…”.
“Sebenarnya
kami malu menceritakan masalah keluarga kami pada orang lain. Tapi kami juga
merasa kebingungan bagaimana memecahkan masalah ini”.
“Lanjutkan…”
Jaladara mempersilahkan.
“Kakak
kami, Herawati beberapa waktu lalu hilang di culik dari istana. Kami sudah
berusaha mencari. Bahkan ayahanda juga meminta bantuan pada gusti Suyudana
untuk membantu mencari keberadaan Herawati.
Tapi hingga saat ini tak ada hasil yang menggembirakan” Banowati mulai
memainkan ceritanya.
“Dan
kamu mau meminta Permadi untuk membantu mencarikan kakakmu ?” terka Jaladara.
Banowati
mengangguk.
“Jika
Raden Permadi tidak keberatan” jawab Banowati dingin.
“Ya
kamu nanyanya ke dia….”sindir Jaladara
mengarahkan telunjuknya pada Permadi.
“Resi memiliki wawasan yang sangat luas” Banowati mencoba
mengalihkan pembicaraan, “seandainya resi bersedia meluangkan waktu untuk
membantu kami mengatasi segala keruwetan negeri kami, sungguh kami akan sangat
berterima kasih” lanjutnya berharap.
Walaupun
tidak melihat langsung jalannya pertempuran antara Permadi dan sosok begawan di
depannya itu, tapi Banowati meyakini bahwa resi muda ini bukanlah orang
sembarangan. Bahkan mungkin kemampuannya di atas Permadi, itu terbukti dari
banyaknya mata panah yang di tembakkan Permadi, tapi pria ini masih terlihat
segar bugar tanpa menderita luka sedikitpun.
“Ha
ha ha ha….” tawa khas Jaladara kembali meledak.
“Maafkan saya, resi…” Banowati.
Wasi
Jaladara mengibaskan tangan kanannya.
“Permadi!”
panggil Jaladara.
“Saya
kakang..”.
“Apa
kamu nggak malu dengan musibah yang menimpa keluarga Mandaraka?” tanya Jaladara pada adik sepupunya.
“Mandaraka baru saja mendapat musibah, tapi kamu
malah memikirkan kepentinganmu sendiri”.
“Maafkan
kekhilafan saya, kakang..” sahut Permadi. Pikiran ksatria Madukara ini masih
belum keluar dari rasa heran atas sikap dingin Banowati.
Banowati
seolah tak lagi mengenalinya. Sorot matanya yang biasanya nakal dan penuh
pesona, kini tak ubahnya sinar mentari yang redup tertutup awan. Ucapan ucapan
yang meluncur dari bibir mungil yang biasanya menggoda telinganya, kini terasa
dingin dan hambar.
“Sebentar…”
ucap Permadi tiba tiba.
Ksatria
Madukara ini lantas bangkit dari duduknya, menggamit tangan Banowati lalu
membawanya keluar dari gubuk kecil itu. Burisrawa yang tidak mau terjadi apa
apa dengan kakaknya, berusaha menguntit dari belakang. Tapi sebuah isyarat dari
Banowati memaksanya untuk duduk kembali dan membiarkan Permadi membawa keluar
sang kakak.
“Kamu
kenapa sih ?” tanya Permadi begitu telah berada agak jauh dari gubuk. Bola
matanya tertuju pada wajah Banowati. Seperti hendak memaksa gadis cantik di
depannya untuk bicara jujur tentang apa gerangan kesalahan yang pernah Permadi
lakukan. Sementara kedua tangannya mencengkeram kedua sisi pundak Banowati.
“Nggak
ada apa apa” jawab Banowati memalingkan wajah.
“Aku
bisa jelaskan semua, asal kamu mau jujur….” kata Permadi kehilangan akal.
“Apanya
yang di jelaskan ?” ketus.
“Tapi
sikap kamu ?”
“Ada
yang salah ?” Banowati cuek.
“Nggak
seperti biasanya, Bano….”.
“Itu
khan perasaan raden aja” Banowati makin acuh.
“Aku
mau bantu mencari…”.
“Nggak
perlu!” potong Banowati seraya menepis kedua tangan Permadi dari pundaknya.
“Tapi
kenapa kamu mencariku ?” desak Permadi mencoba meraih kembali pundak gadis yang
telah menjatuhkan hatinya itu. Namun buru buru Banowati berkelit.
“Iiihh…siapa
lagi yang nyari. Wong aku cumin mau jalan jalan”.
“Jalan
jalan ke tempat begini ?”.
“Suka
suka aku!” sambut Banowati sengit.
“Sudah,
aku mau bicara lagi sama Resi”.
Gadis
bermata terang dengan tubuh beraroma melati itu bergegas meninggalkan Permadi.
“Eeeh….tunggu
Bano….!” panggil Permadi. Tapi Banowati seolah tak mempedulikan panggilannya.
Langkah perempuan Mandaraka itu justru makin cepat.
“Kamu
menguping pembicaraanku dengan Resi Jaladara ya ?” teriak Permadi dari
kejauhan.
Kali
ini Banowati menghentikan langkah. Menoleh sebentar, tapi buru buru melanjutkan
langkahnya. Meninggalkan Permadi yang berdiri mematung di tengah hamparan
padang pasir nan luas.
>>>Selanjutnya
>>>Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar