Rabu, 30 Januari 2013

Banowati : Asmara di Mandaraka (9)

<<<sebelumnya

Oleh : Komandan Gubrak


Aku tak mengerti,
Apa gerangan sesuatu yang ada di dalam diri ini
Yang telah membutakan hati dan nalar warasku
Sehingga aku nyaris tak mampu mengingat lagi
Seberapa sakit goresan luka yang menyayat tubuhku

Aku jua tak pernah bisa tahu
Dengan tingkah nakalmu menyandera perasaanku
Memasungku dalam sebuah penjara asmara
Menenggelamkanku ke dalam kubangan rawa rawa
Dan mengikatku laksana durjana

Suamiku,
Jika kamu menyangka
Cinta ini akan segera padam di makan usia
Maka aku katakan padamu
Bahwa ia tetap bersemayam di sanubari terdalam
Yang tak mungkin lekang oleh zaman

Suamiku,
Jika kamu mengira
Kepergianmu akan mengubah manis menjadi pahit
Ijinkan aku mengingatkanmu
Bahwa aku mampu mengubah segalanya
Bahkan pahitpun akan berganti gula

Aku ingin terus menjadi bayanganmu
Yang mengawasimu dari sudut gelap cakrawala
Aku ingin terus menjadi udara di pagi buta
Yang akan menelusup dalam rongga nafasmu

Hidup adalah pilihan
Antara mengikuti kata hati atau menyerah pada keadaan
Aku tidak katakan ini sebuah pengorbanan
Bagiku ini adalah jalan yang panjang
Yang tidak pernah aku pedulikan
Dimana ujung dan pangkalnya

“Berapa lama lagi kita sampai Mandaraka, kakang Udawa ?”.

“Setelah kita melewati Padang Pasir ini, kita akan segera sampai, Sati”.

Larasati bernafas lega, menyandarkan tubuhnya di dinding. Mukanya tengadah, matanya tertutup, sementara dari sudut bibirnya tersungging senyum bahagia. Bayangan sang suami yang telah enam bulan pergi meninggalkan Widarakandang perlahan bermain main di pelupuk matanya. Senyumnya yang ranum laksana mangga muda teruntai mekar dari balik bibir sang belahan jiwa. Terasa asam memang, tapi ketika engkau mencicipinya, rasa penasaran menghunjam bukan kepalang. Perangainya yang dingin bagai kabut pagi di musim hujan, bukanlah alasan untuk menjadikan semua menjadi beku. Kehadirannya yang hanya seumur jagung, atau malah seusia bianglala di ufuk timur yang semerah saga, bukanlah sebuah ukuran pasti. Nyatanya, dalam senyap ia tetap hadir melukis guratan guratan tak bertepi di dalam jiwa.

“Kak Lara…”.

Sebuah panggilan lirih menyelinap di telinga Larasati. Suara yang tak asing lagi baginya. Perlahan ia membuka mata, menoleh ke samping kiri seraya mengirim sebaris senyum manis pada gadis remaja di sampingnya. Rara Ireng.

“Kakak memikirkan kakang Permadi ya ?”.

“Hmmm…”.

“Rara heran deh kak” Rara Ireng membuka obrolan, “apa sih hebatnya Permadi itu ?. Sampai kak Lara rela jauh jauh mencarinya ?”.

“Apakah kamu mengira aku sengaja mencarinya agar ia mau membawaku kemana saja ia suka ?” tanya Larasati merentangkan tangan ke pundak Rara Ireng.

“Ya”.

Larasati menggeleng, “salah…”.

“Lalu ?”.

“Aku hanya ingin mengantar hadiah terindah ini” meletakkan telapak tangannya di atas perut, “memintanya untuk mengusap kepalanya dan menganugerahi sebuah nama yang baik untuk anaknya”.

“Setelah itu, aku akan mengemasi semua barang barangku dan kembali bercengkerama bersama alam Widarakandang”.

Rara Ireng tertegun. Keteguhan kakak angkatnya ini benar benar membuatnya sulit mengerti.

“Apakah aku akan bisa seperti kakak ?” Rara Ireng menyusupkan kepalanya ke dalam ketiak Larasati.

“Bisa saja”.

“Caranya ?”.

“Asal kamu bisa berjalan seiring dengan getaran yang ada di hatimu”.

“Ooohh….” Rara Ireng mengangguk.

“Kakang Permadi itu orangnya setampan apa sih, kak ?” penasaran.

Larasati mengerutkan dahi, memiringkan kepala hingga pipinya membelai rambut Rara Ireng.

“Bukan keelokan yang membuat kita menyukai sesuatu, tapi rasa suka itulah yang membuat segala sesuatunya terlihat elok”.

“Kenapa bisa begitu, kakak ?” Rara Ireng masih belum dapat mencerna kata kata Larasati.

“Bukan kenapa bisa begitu, tapi memang seharusnya begitu”.

“Bingung nih, Rara…”.

“Dengar adikku” Larasati menasehati, “sebentar lagi kamu akan tumbuh dewasa. Menjadi wanita dewasa yang cantik jelita tiada tara. Semua pria akan terkesima dan berlomba lomba untuk mendapatkanmu”.

“Kamu senang, kamu bahagia dengan kesempurnaan yang kamu miliki. Tapi, apakah kamu yakin ?. Kamu bisa mempertahankan segala kesempurnaan itu ?. Tidak. Manakala usia menggerogoti tubuhmu, dan sedikit demi sedikit segala hal yang membuatmu merasa bangga itu terkikis,maka semua orang yang mengagumimu karena paras ayumu satu persatu akan pergi dan berpaling darimu. Dan hanya mereka yang teguh dan mencintaimu tanpa alasan, yang akan tetap memandangmu sebagai pribadi yang sempurna”.

“Demikian juga sebaliknya. Jika kita mencintai sesuatu karena keistimewaan atau apapun yang ada padanya, maka cinta itu hanya akan menjadi mainan semu. Sebab ketika keistimewaan itu tergerus oleh waktu, kita tak lagi punya alasan untuk meneruskan cinta kita”.

Rara Ireng mengangguk.

“Menurut kakak, apakah cinta itu harus memiliki ?”.

Larasati menggeleng.

“Kenapa ?.

“Bisa memiliki yang kita cintai itu anugerah. Tapi bisa mencintai tanpa berharap untuk memiliki, itu ketulusan”.

“Tapi khan sedih kalau nggak bisa memiliki, kak ?” rengek Rara Ireng nelangsa.

Larasati tersenyum geli. Bosan juga membicarakan sesuatu yang sudah pasti belum bisa di terima akal sehat seorang remaja seumuran Rara Ireng.

“Kalau sedih, tinggal aduin aja sama kakang Kakrasana. Beres khan ?. Hihihihihi….” goda Larasati seraya tertawa cekikikan.

“Tuh khan, mulai deh mulai….” sungut Rara Ireng.

Entah siapa yang memberi aba aba, kedua perempuan beda umur itu bersamaan tertawa lebar. Suasana bosan karena harus menempuh jarak yang cukup panjang dan melelahkan sejenak mencair. Ada saja yang mereka bicarakan. Mulai dari hal hal kecil dan gampang di mengerti hingga sesuatu yang sulit di cerna pikiran. Kedua wanita ini tak ubahnya pasangan yang saling mengisi. Larasati yang keibuan, matang dalam berpikir dan dewasa, bertemu dengan Rara Ireng yang manja, lucu, nakal tapi pengertian.

“Kakak….” Rara Ireng lirih.

“Hmmm….”.

“Kakak mau janji nggak ?” nada bicara putri Basudewa ini terlihat serius dan berharap sekali.

“Apa ?”.

“Janji dulu, baru aku ngomong” desak Rara Ireng setengah memaksa.

“Penting ya ?” Larasati memperhatikan mimik Rara Ireng yang memelas.

“Banget!!!”.

Larasati tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang di inginkan adik angkatnya itu dari dirinya.

“Katakan saja. Kalau aku bisa, akan aku lakukan” kata Larasati.

“Mmmm…kakak janji ya. Kalau nanti Rara punya suami, trus kami mesti tinggal di tempat yang baru, kakak harus ikut Rara”.

Larasati mengernyitkan keningnya. Permintaan yang aneh dan menggelikan. Mana bisa begitu ?. Iya kalau suaminya mengijinkan Larasati untuk tinggal bersama mereka. Kalau tidak ?. 

“Kamu ini ada ada saja Rara…”seloroh Larasati geleng geleng kepala.

“Aku takut kak…” intonasi suaranya menurun dan tidak bergairah.

“Khan ada suamimu ?” hibur Larasati.

“Tapi aku lebih percaya sama kakak. Janji ya kak ?” desak Rara Ireng.

“Mmmm…” Larasati berpikir sebentar.

Sebenarnya, ia tak merasa keberatan dengan permintaan Rara Ireng. Toh, sudah sejak dulu keluarga Larasati terbiasa mengabdi pada keluarga kerajaan Mandura. Ayah Larasati, Kyai Antagopa adalah kepala rumah tangga di istana Mandura. Hanya karena ada masalah yang melanda Mandura saja akhirnya orang tua Larasati terpaksa harus pindah ke Widarakandang. Kakak Larasati, Udawa juga di kenal setia pada keluarga Mandura. Kakak satu satunya Larasati ini bahkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan salah satu putra Prabu Basudewa, yaitu Narayana. Sama seperti dirinya dan Rara Ireng yang kemanapun seringkali bersama sama baik dalam suka maupun duka, Udawa dan Narayana juga tak ubahnya dua sejoli yang saling membutuhkan. Bahkan waktu yang di miliki Udawa, terutama akhir akhir ini lebih banyak di habiskan bersama Narayana di banding dengan keluarganya sendiri. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi Larasati untuk menolak permintaan Rara Ireng. Apalagi dalam banyak hal, Larasati juga merasa sangat cocok dengan putri bangsawan Mandura ini.

Tapi masalahnya, status Larasati sekarang adalah istri dari ksatria Pandawa. Sudah menjadi jamaknya seorang istri harus patuh dan taat pada suaminya. Memang, sikap Permadi terhadap Larasati dari sejak awal pernikahan hingga sekarang tidak terlalu mengenakkan. Walaupun selalu di bungkus dengan kata kata manis, tapi naluri perempuan Larasati tak bisa di bohongi lagi. Di mata Permadi, ia bukan wanita yang bisa di harapkan apalagi di banggakan. Permintaan Permadi agar dirinya mencari pria lain saja sebagai pendamping, cukup menjelaskan apa yang sebenarnya ada di hati suami tercintanya itu. Namun, seperti yang selama ini menjadi pegangan hidup Larasati, bahwa cinta tak seharusnya di nodai dengan bermacam macam alasan dan keinginan. Termasuk keinginan untuk mendapatkan balasan yang setimpal.

“Sebenarnya kakak nggak keberatan” Larasati menerangkan.

“Trus ?”.

“Kakak berjanji akan memenuhi permintaanmu itu, tapi dengan syarat. Kakang Permadi tidak merasa keberatan. Itu saja…”.

“Yaaaah…..”Rara Ireng menggaruk garuk kepalanya.

“Kamu mesti bisa membujuk dia”.

“Kalau kakang Permadi nggak mau gimana ??” was was.

“Khan Rara punya cara lain ?” kata Larasati sembari mengerlingkan matanya.

“Apa ?” tak mengerti.

“Kakang Kakrasana” sahut Larasati lagi lagi menggoda Rara Ireng.

“Iiiiiihhh….kakak….!!!” Rara Ireng dongkol, “aku cubit nih…aku cubit…” katanya sembari melayangkan cubitan cubitan kecil di tangan Larasati.

Putri Kyai Antagopa ini spontan menghindar, tapi Rara Ireng terus mengejarnya hingga ke pojok bilik. Karena tidak ada lagi cara untuk menghindar, akhirnya Larasati harus merelakan tubuhnya menjadi bahan pelampiasan Rara Ireng. Sesuatu yang sudah biasa bagi keduanya. Bahkan tak ubahnya bumbu penyedap. 

“Sebentar Rara…” Larasati mengangkat jari telunjuk ke atas bibirnya. Ada sesuatu yang sepertinya menarik perhatian istri Permadi ini.

Kereta yang ia tumpangi bersama Rara Ireng mendadak melaju perlahan. Bahkan beberapa saat kemudian terhenti. Lamat lamat dari kejauhan terdengar suara gaduh yang sepertinya datang dari tempat yang cukup dekat. Suara teriakan, benturan benda benda keras di sertai suara gedebag gedebug seperti benda jatuh.

“Ada perkelahian…”guman Larasati waspada.

“Siapa kak ?” Rara Ireng cemas.

“Entahlah…” sahut Larasati sembari meraih sebuah busur panah dan sekantong anak panah yang tergantung di pojok bilik kereta.

Larasati membuka jendela, melempar pandangannya ke sumber suara yang telah mengusik telinganya. Benar juga apa yang di perkirakan Larasati. Sekitar lima ratus meter dari tempatnya berada, belasan orang terlibat perkelahian sengit dan di tonton oleh beberapa orang yang kemungkinan juga termasuk bagian dari mereka. Tak jauh dari medan perkelahian, sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda tampak di jaga dengan ketat oleh empat orang pria berkuda. Sepertinya ada sesuatu yang penting di dalam kereta itu. Setidaknya terlihat dari tingkah ke empat orang pria itu yang tak pernah beranjak dari sisi kereta. 

Mata Larasati kembali terarah ke medan pertempuran. Tampaknya bukan sebuah perkelahian. Tapi lebih tepatnya pengeroyokan. Seorang lelaki dengan bentuk fisik aneh terlihat pontang panting menghadapi gempuran demi gempuran dari para pengeroyoknya. Beberapa kali ia terjerembab jatuh mencium tanah dan menjadi bahan tertawaan, tapi semangatnya tak pernah kendur. Ia cepat cepat bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyabetkan keris pusakanya ke setiap penyerang. Tiga penonton yang ke semuanya adalah pria dan berdiri berjejer, terlihat tegang menyaksikan jalannya pertempuran. Larasati menduga, ketiganya kemungkinan besar adalah kawan dari pria berbadan aneh yang sedang di keroyok itu. Sementara di sisi yang berlawanan, seorang wanita dengan pakaian khas terbuat dari kain wol dan memiliki jambul di kepala terlihat menenteng busur yang sudah terisi. Beberapa kali ia menembakkan panahnya ke arah pria bertubuh aneh itu. Tidak terlalu mahir memanah, karena tak satupun yang mengenai sasaran. Akan tetapi cukup membuat konsentrasi korbannya berantakan dan akhirnya makin menjadi bulan bulanan para pengeroyoknya.

Tepat di samping kanan kereta yang di tumpangi Larasati dan Rara Ireng, terlihat Udawa sedang berbicara dengan beberapa anak muda Widarakandang yang turut serta mengawal rombongan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya ada sesuatu yang akan mereka lakukan. Tak berapa lama Udawa bergerak sendirian mendekati arena perkelahian. Ada sedikit kekhawatiran dalam diri Larasati. Walaupun kakaknya di kenal jago berkelahi dan lagi secara jumlah, rombongan Widarakandang lebih banyak, akan tetapi tetap saja Larasati merasa khawatir. Bukan apa apa. Ini daerah yang tak di kenal, segalanya bisa saja terjadi.

“Hai…siapa kamu ???”.

Belum juga Udawa berjalan lebih dekat, wanita dengan rambut bergaya jambul yang menyadari kehadiran pihak lain segera mencegat.

“Mohon maaf pada tuan semua” kata Udawa sopan, “kami rombongan dari Mandura. Namaku Udawa. Kami tidak bermaksud untuk mencampuri urusan saudara semua. Kami hanya sekedar minta ijin untuk lewat dan melanjutkan perjalanan”.

Wanita berjambul itu memandang penuh selidik pada Udawa. Matanya yang berkilat mengamati setiap inchi lekuk tubuh pemuda Widarakandang itu. Sebentar kemudian senyum sinis merekah dari balik bibirnya.

“Hemm…” ia mendehem.

“Sebaiknya tuan mencari jalan lain saja sebelum kami berubah pikiran” setelah mengatakan itu, wanita dengan senjata bumerang di pinggang yang tak salah lagi adalah Srikandhi itu membalikkan tubuhnya dan kembali ke medan pertempuran.

Dongkol juga sang Udawa. Mencari jalan lain sepertinya bukan perkara mudah. Dia dan rombongannya sama sekali buta dengan daerah sekitar. Bahkan menginjakkan kaki di tempat itupun hanya sekali. Bagaimana kalau malah tersesat atau rutenya lebih jauh ?

“Bagaimana kakang ?”.

Udawa menoleh. Seorang perempuan dengan kondisi perut membuncit telah berdiri di sampingnya. Larasati.

“Mereka tidak bersedia memberi kita jalan” jawab Udawa seraya melangkah kembali ke rombongan.

“Trus ?”.

“Ya kita tunggu saja hingga urusan mereka selesai. Sebaiknya kamu istirahat saja, Lara” saran Udawa.

Larasati menganggukkan kepala dan bergegas menuju keretanya. Rara Ireng yang sejak tadi menunggu dengan perasaan cemas mengulurkan tangannya untuk membantu Larasati menaikki kereta.

“Gimana, kak ?” Rara Ireng penasaran.

“Kita mesti menunggu mereka selesai” Larasati menaruh kembali busur beserta kantong panahnya ke tempat semula.

Perempuan yang di nikahi Permadi sepuluh bulan lalu ini membuka lebar lebar jendela bagian depan. Kusir kereta yang mengetahui Larasati sepertinya tertarik untuk menyaksikan jalannya pertempuran buru buru menggeser duduknya guna memberi kesempatan kepada penumpangnya.

“Kayaknya kita mendingan cari jalan lain aja deh, kak…”.

“Emang kenapa ?” tanya Larasati tanpa memalingkan wajahnya.

“Aku takut”.

“Tenang aja. Nggak akan terjadi apa apa” hibur Larasati sembari meraih pundak Rara Ireng.

Lantas, siapakah gerangan mereka yang sedang mengadu nyawa di tengah jalanan yang menghubungkan Mandaraka dan Kawah Geni itu ?. Seperti yang sudah kita ceritakan, ketika Srikandhi mengetahui bahwa Aswatama adalah anak dari Resi Durna, maka seketika meledaklah kemarahan pendekar wanita dari Pancala itu. Bentrokan tak bisa di hindari lagi. Aswatama yang terlanjur mengatakan bahwa ia tidak takut di keroyok oleh musuh bebuyutan keluarganya, terpaksa harus menelan kenyataan pahit. Belasan pengembara Pancala itu ternyata bukan petarung petarung biasa. Dalam tempo yang tak terlalu lama, pendekar Sokalima ini mulai kewalahan menghadapi gempuran bertubi tubi dari musuh musuhnya. Jika semula ia masih bisa membalas serangan dengan sabetan keris dan tendangan tendangan mautnya, kali ini Aswatama hanya bisa menangkis, menghindar bahkan sesekali ia harus merelakan tubuhnya terpelanting akibat pukulan musuh. Beberapa luka lebam menghiasi wajah Aswatama, darahpun mengalir dari hidungnya. Baju keprajuritan Aswatama yang terbuat dari kulit buaya yang keras dan liatpun terlihat compang camping akibat sabetan senjata tajam sehingga kulitnya yang kemerahan terlihat menyembul dari balik pakaiannya.

Hingga jurus ke dua puluh, sebuah tusukan tombak milik Wigati menghantam tepat di dada Aswatama yang sudah tak tertutupi baju pelindung. Pemuda Sokalima ini terpental sejauh dua meter, limbung dan akhirnya ambruk ke atas tanah tanpa mampu bangkit kembali. Sorak sorai menggelegar dari mulut para penyerangnya begitu menyadari musuh sudah tak punya kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Srikandhi yang sejak awal hanya menonton anak buahnya bertarung perlahan mengayunkan kakinya mendekati tubuh Aswatama yang terkapar tak berdaya. Dengan sigap tangan kirinya meraih rambut Aswatama, menyeret tubuh yang sudah tak berdaya itu ke tengah jalanan untuk di pertontonkan ke semua orang. 

Semua mata tertuju pada Srikandhi. Wanita itu mengangkat tubuh tawanannya, mendudukkan di atas tanah dengan posisi bersimpuh. Kemudian ia berputar ke belakang. Tangan kirinya mencengkeram rambut Aswatama erat erat,  sementara tangan kanannya menggenggam senjata berbentuk melengkung terbuat dari kayu yang ujungnya terdapat sebuah besi lancip dan tajam layaknya mata panah. Sebuah senjata lempar khas kaum pengembara dari utara yang terkenal dengan sebutan bumerang.

“Hem…rupanya dadamu keras juga” guman Srikandhi ketika menyaksikan dengan kepala sendiri dada yang tadi terkena tusukan tombak Wigati ternyata tidak terluka sedikitpun.

“Aku ingin tahu, apakah lehermu juga kebal senjata atau tidak!”.

Dengan raut muka dingin dan tatapan liar, Srikandhi menempelkan bagian paling tajam dari bumerang itu ke leher Aswatama dan bersiap untuk mengakhiri hidup putra Resi Durna. Namun tiba tiba…

Plakk!!!

Dukk!!!

Aswatama yang rupanya hanya berpura pura pingsan bergerak cepat menangkap pergelangan tangan kanan Srikandhi. Berbarengan dengan itu sikut kiri Aswatama meluncur deras ke belakang  menghantam paha Srikandhi. Perempuan Pancala ini meringis kesakitan dan kehilangan konsentrasi. Keadaan ini di manfaatkan Aswatama untuk menarik tubuh lawan dan membantingnya ke depan. Tapi sial, tangan kiri Srikandhi seolah tak mau lepas menjambak rambut Aswatama. Sehingga walaupun Aswatama berhasil membanting Srikandhi, namun tak ayal lagi kepalanya juga ikut tertarik ke depan dan membuatnya jatuh tertelungkup mencium tanah.

Brukkk!!!

Wigati yang menyaksikan majikannya di telikung dengan mudah oleh Aswatama segera melompat dan mengirimkan sepakan keras tepat di muka Aswatama. 

Desss!!!

Aswatama terjengkang dengan luka robek di bibirnya. Darahpun mengucur dari bibir. Pendekar  Sokalima itu meringis menahan sakit luar biasa. Ilmu kebal Lembu Sekilan warisan bapaknya ternyata hanya mampu melindungi dadanya hingga kaki. Tapi tidak untuk area kepalanya. Pendekar Sokalima ini berusaha untuk bangkit, namun sebuah tendangan keras kembali menghantam kepalanya hingga membuatnya terbanting keras dan bergulingan di atas tanah.

“Terima ajalmu bangsat!!!”.

Sejurus kemudian Wigati mencabut sebuah keris yang terselip di pinggangnya dan melompat mengejar Aswatama. Senjata kecil dengan ujung lancip itu meluncur deras membidik leher Aswatama. Aswatama terkejut bukan main. Buru buru ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan. Sehingga tusukan  Wigatipun hanya mengenai ruang kosong. 

“Mau lari kemana kamu!!!”.

Kembali Wigati mengejar. Namun baru selangkah ia maju, tiba tiba…

Suittt!!! Dukk!!!

“Ahhh!!!” Wigati terpekik. Sebuah benda keras yang entah darimana datangnya menerjang pergelangan tangannya. Saking kerasnya, keris pusaka yang berada di tangan Wigati terlepas. 

“Bangsat!!!. Siapa yang berani….??” Belum sempat ia meneruskan kalimatnya, sesosok manusia bertubuh gempal, berambut ikal dengan jambang lebat dan senjata gada di tangan tiba tiba muncul di hadapan Wigati.

“Cepat menyingkirlah Aswatama, biar Gardapati yang menyelesaikan urusanmu dengan cecunguk cecunguk ini!” ucap lelaki dengan senjata gada di tangan yang ternyata adalah salah satu ksatria Kurawa itu pada Aswatama.

“Siapa kamu yang berani mencampuri urusan kami ?” tuding Wigati yang masih merasakan ngilu di persendian tangannya.

“Ha…ha..ha ha ha ha…” gelak tawa meledak dari bibir Gardapati. Bersamaan dengan itu, ksatria Puralaya ini mengayunkan gadanya ke tanah, dan…

Buummmm!!!!

Terdengar suara menggelegar manakala gada itu menghantam tanah di mana Gardapati berdiri. Bumi seolah bergetar, debu tebal berwarna kecoklatan menghalangi pandangan. Sesaat kemudian terdengar gemuruh suara kaki kuda berderap menuju tempat itu. 

Wigati bergegas mengambil kerisnya yang tadi terlempar di atas tanah lalu beringsut mundur.

“Sepertinya mereka mengundang bala bantuan yang lebih banyak” kata Wigati ciut kepada Srikandhi.

Perempuan berjambul yang hampir saja menghabisi nyawa Aswatama ini menarik nafas dalam dalam. Matanya yang tajam menatap ke sekeliling. Tak kurang dari empat puluh penunggang kuda dengan senjata lengkap bergerak mengepung. Tujuh orang pria kawan Aswatama yang dari tadi nyaris tak bisa berbuat banyak terlihat bersorak kegirangan menyambut kedatangan kawan kawannya.

“Siapkan formasi, kita beri mereka pelajaran” perintah Srikandhi tanpa sedikitpun merasa gentar dengan banyaknya musuh yang datang.

“Siap!!!”.

Wigati segera melambaikan tangan pada kawan kawannya. Mereka segera bergegas menaikki kuda kudanya dan merapatkan barisan. Tak ketinggalan, Srikandhi dan Wigati segera memanggil kuda kudanya.

“Takdir pengembara hanya dua. Di bunuh atau membunuh. Jika kalian merasa takut dengan kematian, pulang saja dan menyusulah pada ibumu!!!” kata Srikandhi membakar semangat. Tangan kanannya mengacungkan bumerang sementara tangan kirinya menenteng sebuah tombak.

“Dewapun kami tidak takut…dewapun kami tidak takut!!!” sahut anggotanya serentak.

Srikandhi menyunggingkan senyum. Matanya menatap lurus ke depan. Ada sekitar lima belas orang penunggang kuda yang berada di belakang Gardapati. Di antaranya adalah tujuh orang yang sejak awal bersama Aswatama. Di sisi kiri dan kanan juga terdapat belasan prajurit yang bersiap menunggu perintah.

“Ikat kaki kalian erat erat di punggung kuda. Jangan sampai ada yang terjatuh. Kita bikin porak poranda barisan di depan sana” Srikandhi menunjuk ke arah barisan musuh yang berada di belakang Gardapati.

Putri Prabu Drupada ini rupanya sangat menyadari bahwa musuh yang di hadapi jauh lebih banyak. Terlalu beresiko jika harus menunggu musuh datang menyerang secara bersamaan dan menjepit mereka di tengah tengah. Jika itu terjadi, maka setiap satu orang di kubu Srikandhi harus berhadapan dengan tiga hingga empat orang. Dan di atas kertas, barisan Srikandhi akan kalah telak. Maka jalan satu satunya untuk meraih kemenangan adalah dengan memaksa musuh beradu cepat dan bertarung di atas kuda. 

“Seraaaang!!!” komando sang Srikandhi menggebrak tunggangannya.

Bak anak panah yang terlepas dari busurnya, Srikandhi dan kawan kawannya melesat cepat menerjang musuh. Paling depan adalah Srikandhi dan Wigati. Srikandhi membuka serangan dengan lemparan bumerangnya. Tidak seperti senjata lempar pada umumnya yang membutuhkan ketepatan dalam membidik, bumerang lebih berfungsi untuk menakut nakuti barisan musuh. Dan benar saja, suara bising dari bumerang Srikandhi sontak mengacaukan lawannya. 

“Kurang ajar!!!”.

Maki Gardapati yang sama sekali tak menyadari musuhnya menggunakan senjata aneh dan belum pernah ia temui sebelumnya. Ahli gada dari Puralaya itu cepat cepat melompat ke samping demi menghindari amukan bumerang Srikandhi sekaligus menyelamatkan diri dari terjangan kaki kaki kuda yang bisa saja menabraknya. Bumerang itupun hanya melintas persis sejengkal dari kepala Gardapati dan selamatlah nyawa ksatria kurawa itu.

Namun nasib baik tidak berpihak pada barisan prajurit berkuda yang ada di belakang Gardapati. Bumerang yang di lempar Srikandhi tak ubahnya seperti angin putting beliung yang menyambar nyambar. Beberapa prajurit yang tak ingin menjadi korban terpaksa harus melompat turun dari atas kuda. Salah satu di antaranya yang tak sempat menghindar bahkan berteriak kesakitan manakala senjata lempar itu menancap di lehernya. Suasana panik di pihak lawan ini tak di sia siakan Srikandi dan kawan kawan. Dengan lembing, tombak, parang dan pedang di tangan, mereka membabat habis setiap musuh yang di lewati.

Belasan orang tersungkur, beberapanya harus meregang nyawa. Dan begitu sampai di ujung jalan, Srikandhi dan kawan kawannya memutar tunggangannya dan bersiap melabrak lagi. Seperti yang pernah ia lakukan tadi, ia kembali melempar bumerangnya. Kali ini ia mengambilnya dari balik pelana kuda. Lagi lagi musuh di buat panik. Korban berjatuhan di pihak Mandaraka. 

“Anjing bangsat!!!!”.

Pria berjambang dengan gada di tangan yang menyaksikan anak buahnya terkapar tak berdaya menghadapi strategi lawan, marah bukan main. Di raihnya perisai kayu berbentuk lingkaran di belakang punggungnya. Sedetik kemudian ia melompat ke tengah tengah arena dan bersiap menghadang. Sepuluh prajurit yang selamat dari terjangan musuh buru buru meninggalkan kuda kudanya dan  berlari ke belakang Gardapati.

“Siapkan perisai dan tombak!!!” perintah Gardapati.

Suasana tegang menyelimuti raut wajah mereka. Yang akan mereka hadang kali ini adalah penunggang penunggang kuda handal dan cekatan. Salah membuat formasi tentu akan membuat mereka mati tergilas oleh kaki kaki kuda.

“Majulah kalian semua!!!” teriak Gardapati.

Sekali lagi sebuah bumerang melayang dari tangan Srikandhi. Namun gagal membuat musuhnya kocar kocar. Senjata lempar itu hanya mampu menjebol perisai salah satu prajurit dan tidak sampai melukai. Sadar musuhnya mulai mampu meredam senjata antiknya, Srikandhi menerapkan strategi kedua. Yaitu dengan memacu kendaraannya lebih cepat.

Braaakkkkk!!!!

Benturan tak terhindarkan lagi. Belasan prajurit yang berusaha menghadang laju pasukan Srikandhi terpental ke belakang. Perisai kayu yang mereka gunakan sebagai pelindung pecah berantakan. Namun di luar dugaan, Gardapati yang sanggup berkelit dari terjangan musuh memanfaatkan kesempatan dengan mengayunkan gadanya. Dan…
Bukkk!!!
Brukkk!!!
Sebuah pukulan keras menghantam perut kuda milik anak buah Srikandhi yang berada di tengah barisan. Saking kerasnya hantaman gada Gardapati, binatang itu terhempas dan menimpa kuda kuda di sekitarnya. 

Situasi kacau. Pasukan Srikandhi yang tercecer di belakang dan kehilangan kendaraannya mengalami kepanikan. Puluhan prajurit Mandaraka yang mengetahui beberapa musuhnya sudah tidak lagi bisa menggunakan kudanya bergerak cepat dengan cara mengepung. Pertempuran jarak pendek pecah. 

“Kita naik ke bukit, kakang Wigati!!!” kata Srikandhi segera mengarahkan laju kudanya ke atas bukit. Sementara Wigati dan sepuluh orang pengikut yang tersisa mengikuti dari belakang.

“Jangan biarkan bajingan itu lari…..!!!” terdengar teriakan dari arah belakang.

Belasan prajurit Mandaraka yang melihat musuhnya berlari ke atas bukit langsung melakukan pengejaran. Namun baru beberapa langkah mendaki bukit, mereka di kejutkan oleh hujan panah dari pihak Srikandhi. Enam pengejar yang berada di barisan depan tersungkur dari atas kuda dengan luka panah menembus dada. Beberapa yang lain berusaha menghindar dengan bersembunyi di balik pepohonan kering di kaki bukit. 

Hujan panah reda, prajurit Mandaraka yang bersembunyi di balik pohon segera keluar dengan menuju tunggangannya. Tapi sial, belum sempat melompat ke atas kuda, Srikandhi dan kawan kawannya berbalik arah menuruni bukit dan menerjang pasukan Mandaraka. Korban kembali jatuh.