Suasana di Karang Tumaritis, atau
sering disebut Karang Kadempel, tempat Semar dan anak-anaknya tinggal,
adem ayem. Waktu seakan berhenti berputar disana. Siang itu Petruk, putra kedua Semar sedang santai gak ada kerjaan. Tiduran di amben bambu di bawah pohon, masih sempat-sempatnya rengeng-rengeng (nyanyi buat diri sendiri) tembang macapat ala mas Didi Kempot “Racing Solo” (alias “Solo Balapan”),
Neng setasiun sarapanKota Solo sing dadi kenangan
Kowe karo asuuuuuu….. “Beh!….” Ujug-ujug alias sekonyong-konyong anak Petruk si Lengkung Kusuma yang mbedhis (=nakalnya gak ketulungan) teriak di sisi kuping Bapaknya, sekaligus motong lagu Bapaknya yang ngawur itu.
“Gombale Mukiyo! Koen iku gak lihat Bapakmu lagi nglamun tah? Ngageti orang aja. Dasar anak Celeng!” Petruk seketika bangun, kaget. (Koen=Kamu, cara Suroboyo)
“Yang Celeng itu Lik Bagong , beh! (Bagong, Sunda=Babi Hutan=Celeng). Ane kan anaknya Jerapah!” Lengkung Kusuma tangkas menyahut ” Bukan begitu….dulu itu katanya ndoro putri Drupadi marah-marah di Pertemuan Agung di Wiratha, adapa sih Beh?”
“Gak ah, gak katene aku crita nang arek cilik koyok koen!” (=gak akan saya crita ke anak kecil macam kamu)” Tensi Petruk masih tinggi.
“Babeh ini sudah belasan tahun tinggal
di Tangerang, sisa logat main Ludruknya di mBalong Panggang masih kebawa
terus yak. Lagian yang minta juga bukan cuma ane. Ndoro Putri yang satu itu juga minta kan?” Lengkung mengingatkan.
“Dengkulmu amoh, yak, Bapakmu lupa jeee“
Dan berceritalah Petruk sebab takut sama Ndoro Putri yang seleb itu ……..
Dewi Drupadi adalah
putri Prabu Drupada, raja kerajaan Pancala. Kecantikannya terkenal
sampai kemana-mana.Tak heran ketika ayahnya mengumumkan akan memcari
calon suami bagi putrinya, banyak ksatria dan brahmana rela antri untuk
dapat mempersunting sang Putri. Namun sang Calon harus mengikuti
sayembara yang ditetapkan oleh sang Raja. Sayembara itu berupa
mengangkat busur wasiat peninggalan leluhur Pancala serta melepaskan
panah dari busur tersebut, dan mengalahkan patih sekaligus benteng
kerajaan Pancala, Gandamana.
Pandawa yang sedang
dalam pengembaraan karena terusir dari Astina, negara yang seharusnya
mereka warisi dari ayahnya Pandu Dewanata, mengikuti sayembara itu,
untuk dan atas nama Yudistira, sang sulung. Singkat cerita, busur itu
dapat diangkat dan dipergunakan oleh wakil Pandawa, Arjuna dan wakil
Negara Astina, Adipati Karna. Tapi Karna tidak dapat mengalahkan
Gandamana, dan wakil Yudistira, sang Bimasena sukses mengalahkan patih
yang sakti itu. Drupadi diboyong dan diperistri oleh Yudistira….
“Hlealaaaaah, Beh!. Sing iki wis diajarno Bu Guru. Kapanane wis ulangan. gak usah dicritakno maneh! (Yang ini sudah diajarkan Bu Guru, dulu sudah ulangan, gak usah dicritain lagi!)” Lengkung Kusuma memotong crita Bokapnya.
“Et dah, lo jangan sembarangan aja motong cerita Babeh dong.!” Petruk sewot sebab ceritanya dipotong.
Sssst, ppsssst, Cut! Cut! (yang nulis interupsi) Salah
tuh! Castingnya Petruk yang harus pake bahasa Suroboyo-an, anaknya pake
bahasa Betawi Pinggiran. Bisa kebalik-balik gitu gimana sih! Konsen
dong! Konsen! Gendheng kabeh!
“Yang gendheng itu sapa sih ini?” Petruk mbatin. Gak berani ngomong, takut sama yang nulis.
Dalam lakon Pandawa Dadu, Kurawa yang sirik
atas keberhasilan Pandawa membangun Negara Amarta, mengundang Pandawa
untuk bertemu. Alasannya, bergembira bersama atas keberhasilan Pandawa
membangun Amarta. Pandawa yang tidak curiga tentu saja bersedia datang.
Dalam kegembiraan pesta, Sangkuni, mahapatih Astina yang julig
itu mengusulkan untuk bermain dadu. Karena rayuan maut Sangkuni,
Pandawa yang sebenarnya ogah bermain akhirnya bersedia dan larut dalam
permainan itu. Permainan yang tadinya hanya sekadar main-main, akhirnya
benar-benar menjadi judi. Judi yang tadinya kecil-kecilan makin lama
makin menjadi besar-besaran.
Semua harta Pandawa
pelan-pelan lenyap di meja judi. Emas-berlian, kuda-kuda dan kereta
perang, sampai akhirnya negara baru yang dibangun Pandawa dengan cucuran
keringat, Amarta alias Indraprastha harus diserahkan kepada Kurawa,
Prabu Drestarata,
ayah Kurawa, pengemban amanah Negara Astina hadir dalam acara itu.
Demikian juga Yamawidura, adik Drestarata dan paman Kurawa serta
Pandawa. Penasehat Pandawa, kakak sepupu para Pandawa, Sri Batara Kresna
juga hadir di sana. Tapi semuanya tidak mampu menghentikan acara judi
yang berlangsung antara kedua pihak yang sudah sampai pada taraf
kesetanan itu.
(backsound: Aku Melarat Karena Judi, Muchsin Alatas)
Ketika harta Pandawa sudah habis semua, Dursasana (si nomer 2 Kurawa) yang sudah sejak lama nepsong sama
Drupadi, mengusulkan agar Pandawa mempertaruhkan Drupadi di meja judi
untuk setengah wilayah kerajaan Astina ditambah seluruh wilayah Amarta
yang sudah jadi milik Kurawa itu. Melihat besarnya taruhan yang
dipasang Kurawa, dengan sikap apa boleh buat Pandawa meladeninya. Mereka berpikir, masa sih mau kalah lagi?. Dan ternyata…….memang kalah lagi!
Dursasana meloncat
kegirangan karena kemenangan itu, dan segera memeluk dan menarik
Drupadi. Drupadi tentu saja berontak, sehingga sanggul rambutnya
terlepas. Dursasana menarik rambut Drupadi yang panjang itu dan
menyeretnya kearah para Kurawa. Dursasana yang kalap kerasukan setan
segera menarik kain pinjung Drupadi berniat untuk menelanjanginya di
depan umum.
Atas pertolongan
Sri Kresna yang titisan Dewa Wisnu itu,, upaya itu tidak berhasil.
Meskipun Dursasana sudah menarik kainnya habis-habisan, Drupadi juga
sudah berputar-putar dan kain yang ditarik sudah teronggok meninggi,
tapi kain Drupadi tetap utuh.
Kemudian atas
prakarsa Sri Kresna, Drestarata dan Yama Widura, Drupadi dikembalikan
kepada Pandawa, dan status Amarta hanyalah dipinjam oleh Kurawa selama
12 tahun.
Tapi Drupadi yang
malu, belum mau sudah. Sambil berteriak, sehingga didengar semua orang,
dia mengucapkan sumpahnya bahwa tidak akan menyanggul rambutnya lagi
sebelum keramas dengan shampo…..eh salah, keramas dengan darah sang Dursasana.
Dursasana yang ngakak
saja mendengar sumpah Drupadi amat menjengkelkan Bimasena. Berniat
untuk menghajar Dursasana, Bima alias Werkudara itu terhenti langkahnya
mendengar perkataan Sri Kresna:
“Jagad Dewa Bathara, yo Jagad Mangestungkara, Eeee….. yayi…,yayi Werkudara! “
“Sssst, Beh. Salah tuh!” Lengkung Kusuma ng-interupsi lagi “Itu kan omongannya ndoro Sinuwun Prabu Kresna? Gak layak kan seorang Petruk omong seperti itu?”
“Lambemu! Bapakmu ini sedang niru omongannya Sinuwun itu. Dengerin dulu tah, jangan motong crita orang aja dong!” (sorry, makian Petruk tidak diterjemahkan! Dasar Petruk memang suka memaki!…..)
“Ooo, gitu yak, okeh, okeh deh, Beh” Anaknya cengengesan “lanjutin critanya….”
“Lanjutin dengkulmu ambleg! Sampai mana tadi?” Petruk pikun beneran, bukan bo’ongan.
“Sampai mBantul, Beh. mBandung, mBogor, mBerlin, mBashington DC! Eh…..”
Malam itu usai
acara kawinannya Abimanyu yang putra Arjuna dengan Dewi Utari yang putri
Prabu Matsyapati dari Wiratha, persidangan agung yang diprakarsai Prabu
Matsyapati sebagai tuan rumah, dihadiri Sri Kresna, Prabu Baladewa, dan
para raja sekutu Pandawa.
Para pendukung dan
sekutu meminta Pandawa untuk tegas meminta kembali haknya atas
Indraprastha usai masa pengasingan yang 12 tahun itu. Pembahasan lalu
berkembang tentang kemungkinan akan terjadi perang besar apabila Kurawa
mengingkari janjinya.
Tapi Pandawa sendiri terkesan ogah-ogahan, terutama karena di Astina
berkumpul orang-orang tua yang dihormati Pandawa, Resi Bisma yang kakek
Pandawa, Resi Durna yang guru Pandawa, Prabu Salya yang paman Nakula dan
Sadewa. Lagipula Pandawa tidak yakin akan mampu mengalahkan kesaktian
para tetua itu.
Pertemuan itu jadi stagnan, sampai ada suara kecil melengking dari sudut “Bolehkah saya bicara?” Ternyata Drupadi yang interupsi.
Atas ijin Sri Kresna yang memimpin
sidang, Drupadi pun maju ketengah ruang dan seperti seorang orator, dia
mengajukan pendapatnya:
“Belum puaskah
kalian, suamiku tersayang Yudistira dan para saudaranya menganggapku
sebagai seonggok barang atau segumpal daging sehingga tega dipertaruhkan
di meja judi? Aku, Drupadi, isterimu yang setia sehingga rela ikut
terlunta-lunta dalam pengembaraan kalian selama 12 tahun! Masih ingatkah
kalian akan rasa malu dan sumpahku yang tak akan menyanggul rambutku
sebelum keramas dengan darah Dursasana? Akankah kalian membiarkan
rambutku terurai selamanya? Engkau, suamiku, begitu sayangmu akan
Suyudana dan Dursasana sehingga melupakan aku? Aku, Drupadi, menuntut
hak-ku sebagai isteri yang dipermalukan!…………..”
“Beh, jangan ikutan esmosi gitu laaaah. Babeh kan cuma cerita seh?” Lengkung Kusuma interupsi lagi.
“Hajindul……..”
“Esh, salah lagi kan karena esmosi. Hajindul itu makian asal Solo, Beh! Nanti Yang Nulis ke-ge er-an dan interupsi lagi, katanya salah casting lagi. Biar cuma makian harus tetap jaga casting, Beh!”
Akhirnya perang
besar Bharata Yudha meletus juga karena Kurawa mengingkari janjinya. Dan
Drupadi bisa memenuhi sumpahnya, dan menyanggul rambutnya kembali.
Tapi itu tidaklah
berlangsung lama. Mendekati akhir perang, Aswatama yang dendam atas
gugurnya ayahandanya Resi Durna, berhasil menyusup ke garis belakang
pertahanan Pandawa dan membunuh semua isteri para Pandawa, termasuk
Drupadi.
“Haaaaaaah! Jlitheng kakangku piye ikiiii…..”
“Hayoh! Koen katene ng-interupsi Bapak lagi kaaan?” Petruk memotong critanya sendiri sembari mengacungkan tinjunya.
“Gak, Beh, enggaklah! Ane juga tahu kalo itu omongnya ndoro Bimasena ke ndoro Prabu Kresna. Cemen lah itu, Bokap juga jangan “over confidence” gitu…..” Lengkung Kusuma sotoy “Lagian ane juga tahu kalo ceritanya udah selesai. Iya kan? Weeeekkk!”
___________________________________________________________________________________
catatan penulis :- Cerita ini adalah bagian dari Mahabharata. Bukan cerita carangan seperti biasanya. Di cerita aslinya, Dewi Drupadi, atau Draupadi bersuamikan 5 orang Pandawa. Penulis merasa tidak berkompeten walau sekadar berkomen, karena Mahabharata bagi saudara-saudara saya umat Hindu adalah bagian dari kitab suci Weda. Karena itu penulis dengan sengaja mengambil setting Mahabharata yang telah dimodifikasi oleh orang Jawa. Sebuah setting budaya yang sudah akrab dengan penulis sejak kecil. Jadi, Dewi Drupadi hanya bersuamikan seorang Yudistira, atau Puntadewa, si sulung dari Pandawa itu.
- Mengingat cerita ini serius, dan mengingat film Drupadi karya sutradara Riri Reza yang menampilkan Dian Sastrowardoyo sebagai Drupadi, yang menuai kontroversi itu (di sini), maka penulis tidak berani cengengesan di cerita utamanya. Tapi karena dasarnya penulisnya memang cengengesan, maka ada tokoh Petruk dan anaknya di sana untuk menyalurkan hobby cengengesan itu, disamping untuk menegaskan bahwa cerita ini mengambil setting di Jawa. (Tokoh Punakawan kan tidak dikenal di versi aslinya).
Postingan lain yang berkaitan dengan Drupadi, yang ditulis teman Kompasioner Mas Edi Siswoyo secara lebih serius: Balas Budi Kresna Pada Drupadi , Akhir Kisah Tikus, Aswatama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar