Oleh : Komandan Gubrak
Banowati
tak habis pikir, apa sejatinya yang ada dalam pikiran ayahnya. Setelah ia
terpaksa mengakui bahwa dirinya mengetahui kemana dan dengan siapa Herawati
pergi, justru tanggapan sang ayah teramat jauh dari harapan. Jika memang
ayahnya menginginkan masalah ini cepat selesai, seharusnya dia segera bertindak
dengan mengirimkan utusan ke Tirtakandasan untuk meminta pertanggungjawaban
Raden Kartawiyaga yang telah membantu kakaknya lari dari Mandaraka. Tidak ada
yang sulit. Apalagi mengingat antara keluarga Mandaraka dan Tirtakandasan masih
ada hubungan kekerabatan. Kakek Banowati dari garis ibu, yaitu Begawan
Bagaspati konon adalah saudara kandung dengan kakek Kartawiyaga yang bernama
Resi Bargawa. Sementara ayah Kartawiyaga, Prabu Kurandageni dahulu kala
merupakan salah satu penjabat tinggi Kerajaan Mandaraka yang karena sesuatu hal
terpaksa di pindah tugaskan untuk mengelola kawasan perairan timur.
Tapi
yang terjadi, ayahnya malah memilih cara lain untuk menutupi rasa malu keluarga
Mandaraka pada keluarga Hastina. Yaitu dengan menjadikan dirinya dan
Surtikanthi sebagai bahan pertukaran atas hilangnya Herawati. Kemudian untuk
mengatasi masalah kaburnya Herawati dari Mandaraka, ayahnya justru memilih
untuk pura pura tidak tahu dan berniat menggelar sayembara memburu penculik sang
kakak. Aneh dan tidak masuk akal. Apa susahnya bicara baik baik dengan pihak
Tirtakandasan ?. Toh mereka bukan orang lain bagi keluarga Mandaraka.
Tapi
selain daripada itu, yang paling menyesakkan Banowati atau mungkin juga di
alami oleh kakaknya Surtikanthi, adalah kenyataan bahwa mereka berdua telah di
jadikan bahan pertukaran tanpa sedikitpun di beri pilihan apakah mereka
bersedia atau tidak. Yang selalu di jadikan alasan oleh ayahnya tak lain dan
tak bukan hanya demi kepentingan Mandaraka. Tentu saja ini perbuatan yang
sangat mulia, tapi kenapa harus dengan mengorbankan perasaan anak anaknya ?.
Jika
nantinya Prabu Suyudana lebih memilih Surtikanthi, mungkin bagi Banowati tidak
menjadi masalah. Walaupun ia sudah banyak mendengar kehebatan Suyudana dalam memerintah
negeri Hastinapura, tapi Banowati sendiri merasa tidak terlalu tertarik untuk
di peristri raja muda itu. Akan tetapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya
?. Misalnya, Surtikanthi menolak di jodohkan dengan Suyudana ?. Walaupun
Surtikanthi ia kenal sebagai sosok yang ambisius, doyan gonta ganti pasangan,
tapi belum tentu juga ia bersedia meninggalkan kekasihnya, Narotama dan memilih
bersama prabu Suyudana. Yang namanya perasaan, semua orang tentu tak jauh
berbeda. Itu hanya bisa timbul dari lubuk hati yang paling dalam.
Makin
pening otak Banowati memikirkan tingkah laku orang orang di sekitarnya. Semua
egois, semua lebih peduli dengan kepentingan masing masing dan parahnya, tidak
ada kemauan untuk sedikit memahami perasaan yang lain. Apalagi ayahnya…
“Inikah
yang di sebut politik ?” tanya Banowati dalam hati.
Ya,
berkali kali sang ayah mengungkapkan alasan itu. Tidak hanya ayahnya
barangkali, tapi sudah menjadi kebiasaan umum para pemimpin. Bahwa salah satu
cara untuk membangun persekutuan yang kuat adalah melalui perkawinan. Sebuah
tindakan yang mudah tapi memberi efek yang luar biasa besar bagi kelangsungan sebuah negara. Namun
di sisi lain menafikan arti sebuah jalinan cinta dan jalinan pernikahan. Dalam
politik, cinta menjadi tidak penting manakala hasil yang akan di raih dari
upaya kawin paksa itu di anggap lebih memberi manfaat.
“Kamu
tahu anakku” ayahnya menerangkan,”musim kemarau terlalu panjang, cadangan
makanan kita tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Laut timur yang menjadi
mata pencaharian pokok rakyat kita juga tak mampu lagi memberi lagi hasil
maksimal. Setiap hari para bajak laut beraksi mengganggu keamanan para nelayan
kita. Kita tak punya uang untuk menumpas mereka. Bahkan untuk mencukupi sekedar
bertahan hidup saja susah”.
“Bano
mengerti itu semua ayah” ungkap Banowati.
“Yang
Bano tak mengerti adalah kenapa ayah sepertinya diam saja ketika ayah tahu
bahwa kakak Herawati berada di Tirtakandasan ?. Bukankah tidak ada yang sulit
jika kita punya niat untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan
paman Kurandageni ?”.
Salyapati
hanya mendehem. Seolah tidak ada niat untuk
menjawab pertanyaan Banowati. Dan sepertinya ada sesuatu yang sengaja
ingin ia sembunyikan dari anaknya.
“Kamu
persiapkan saja dirimu. Pada saatnya nanti, ayah akan beritahu kepadamu soal
itu”.
Tidak
ada yang bisa di perbuat oleh Banowati selain hanya mengikuti saja apa kemauan
sang ayah. Walaupun dalam hati kecil, Banowati masih merasa keberatan. Tapi mau
apalagi ?.
Bagi
kijang di belantara
Sorot
mata harimau bukan sesuatu yang paling menggetarkan nyali
Bahkan
jua seringai sang srigala lapar sekalipun
Ketakutan
paling mencekam adalah
Manakala
ia harus terpisah dari alamnya
Belantara
adalah nafas dan juga nyawa
Ketiadaannya
berarti akhir dari segala
Belantara
adalah keramaian dan juga kehidupan
Di
sana kijang bercengkerama
Bertahan
hidup dengan berkawan bahaya
Demikian
juga dengan para pecinta
Kerinduan,
keputusasaan dan perpisahan
Dengan
segenap haru birunya
Adalah
denyut nadi dan juga aliran darah
Siksaan
paling mematikan adalah kepura puraan
Menyunggingkan
senyum di atas luka
Meliukkan
tubuh yang mati rasa
Menapaki
hari di gelap gulita
Seraya
mengubur cinta dalam cakrawala
Siang
telah beranjak. Sang surya tergelincir ke sisi barat, seolah hendak jatuh
menimpa mayapada. Banowati tersentak dari lamunannya. Ada sesuatu yang
mengganggu petualangan batinnya. Perlahan bola matanya terbuka. Menatap liar ke
segala penjuru. Mencari cari sesuatu, apa gerangan yang membuatnya harus
terbangun dari lamunan. Lentik jemarinya menjulur, meraih sebuah benda kecil
yang terbelah menjadi beberapa keping. Sebuah batu kerikil yang sengaja di
lempar oleh seseorang. Sepertinya bukan kebetulan jatuh dari atap balai balai,
sebab bekasnya masih terlihat jelas di dinding luar kecapi kesayangannya. Sudut
matanya menyusuri setiap jengkal tanaman bunga yang tampak rimbun di depannya.
Berharap ia temukan seseorang yang sudah berani mengganggunya. Tapi yang
terlihat hanyalah binatang bersayap dengan warna mempesona tengah sibuk menghisap
saripati bunga.
“Tidak
mungkin ini perbuatannya”.
Wajah
Banowati menengadah. Memandang jauh tepat di sebuah bukit di mana sang mentari
bertengger manis di atasnya. Sebuah bukit gundul berwarna coklat kehitaman
tampak berdiri kokoh di sebelah barat kota Mandaraka. Tidak ada yang istimewa
dengan benda kering kerontang di ujung sana. Tapi entah mengapa seperti ada
aliran misterius yang tiba tiba saja menggetarkan perasaannya. Memaksanya untuk
terus menerus memperhatikan bongkahan tanah liat bercampur batu itu.
“Apakah
ini berasal dari sana ?”.
Banowati
menggelengkan kepala. Mustahil.
“Gusti
putri….gusti putri…”.
Sebuah
suara, atau lebih tepatnya sebuah bisikan terdengar lirih dari arah belakang.
“Ada
apa Ratri ?” Banowati langsung mengenali pemiliknya.
“Penting,
gusti”.
“Iya,
katakan saja”.
Sesosok
perempuan muda yang umurnya kurang lebih sebaya dengan Banowati berjalan
menaiki balai.
“Ada
dua berita untuk gusti putri” perempuan yang di panggil Ratri itu duduk dengan
lutut di tekuk di sebelah Banowati.
“Mereka
sudah datang ?”.
Ratri
mengangguk.
“Lalu
?”.
“Ayahanda
gusti putri menawarkan gusti Kanthi dan gusti putri sekaligus pada Prabu
Suyudana”.
“Apa
???” Banowati terbeliak kaget.
“Tenang
gusti…” Ratri menenangkan.
“Tapi
Prabu Suyudana menolak”.
“Oh…syukurlah”
Banowati lega.
“Trus
?”.
“Prabu
Suyudana malah menawarkan bantuan untuk ayahanda gusti putri untuk mencari di
mana gusti Herawati berada”.
“Suyudana
akan pergi ke…. ?” sampai di sini Banowati mendadak ragu. Kendati pembantunya
itu bisa di ajak kerjasama untuk tutup mulut tentang apa yang terjadii
sebenarnya pada Herawati, tapi sepertinya tidak selayaknya Banowati
memberitahu.
“Ratri
tidak tahu gusti” sambar Ratri tegas.
“Lantas
?”.
“Gusti
prabu hanya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Prabu Suyudana”.
“Lohhh…”
Banowati keheranan.
Apalagi
yang hendak di rencanakan ayahnya. Kenapa tidak mengatakan terus terang bahwa
kakaknya berada di Tirtakandasan ?. Kenapa malah sengaja berbohong pada raja
Hastinapura itu ?. Aneh.
“Trus
apa berita kedua ?” gadis belia berusia tujuh belasan tahun ini buru buru
mengalihkan topic pembicaraan.
“Oh
iya lupa” Ratri menepok jidatnya.
“Ada
utusan dari Raden Permadi di luar yang hendak bertemu gusti putri”.
“Permadi
?” Banowati mengingat ingat.
“Iya
Permadi. Ksatria Amarta itu loh gusti…” Ratri menjelaskan.
“Oooh”
angguk Banowati.
“Ya
sudah, suruh mereka masuk” perintahnya datar.
Entah
apa maksud kedatangan utusan Raden Permadi menemui dirinya, pikiran Banowati
masih belum mau beranjak dari rasa penasaran akan kebijakan yang di ambil oleh
ayahnya. Ada rasa lega memang. Setidaknya ia untuk sementara selamat dari
rencana kawin paksa ayahnya. Tapi kalau mendengar keterangan Ratri, sepertinya
ada yang mencurigakan dari sikap ayahnya. Terutama menyangkut pelarian Herawati
ke Tirtakandasan. Sikap ayahnya yang relatif tenang dan menyimpan tanda tanya
besar ini sungguh berbeda jauh dengan kemarahannya ketika memutuskan untuk
menghukum Narotama. Lebih dari itu, juga menyimpang dari tabiat sehari hari
ayahnya yang cenderung pemarah lagi gegabah dalam memutuskan sesuatu.
Mungkinkah
sang ayah merasa segan karena pelakunya adalah putra dari kerabat yang juga
bekas pejabat tinggi Mandaraka yang karena suatu hal lalu di asingkan ke pulau
terpencil Tirtakandasan ?. Banowati memang sempat mendengar cerita minor dari
beberapa orang di lingkaran istana Mandaraka tentang perselisihan ayah dan
pamannya itu di masa silam. Tapi pada kenyataannya bukankah akhir akhir ini
hubungan keduanya baik baik saja. Terbukti beberapa kali ayahnya juga mengundang
pihak Tirtakandasan dalam beberapa acara yang di gelar Mandaraka. Tidak mungkin
Kartawiyaga bisa dengan bebas memasuki Mandaraka untuk mewakili Tirtakandasan
jika kedua pihak masih berseteru.
“Teka
teki macam apa ini ?” keluh Banowati.
Dari
kejauhan, tiga orang pria setengah baya tampak berjalan beriringan dengan di
sertai oleh Ratri.
“Punakawan
!”.
Dengan
cepat Banowati mengenali siapa yang datang. Wajah ketiga utusan Permadi itu
bagi Banowati memang tidak terlalu asing.
Ketiganya pernah datang ke Mandaraka mengiringi sepupunya Nakula dan
Sadewa. Walaupun kejadiannya sudah berlangsung bertahun tahun lalu, tapi
ingatan Banowati masih cukup segar untuk mengenali mereka.
“Salam
hormat kami, ndoro Banowati” sapa Petruk mewakili kedua saudaranya.
“Waw…angin
apa yang mengantar paman bertiga kembali ke Mandaraka ?. Silahkan duduk…”sambut
Banowati ramah.
“Bagaimana
kabar adik Nakula dan Sadewa ?. Apakah mereka baik baik saja ?” tanya Banowati
tanpa basa basi.
“Berkat
doa ndoro Banowati, ndoro Nakula dan Sadewa baik baik saja. Hanya saja mungkin
karena kesibukannya, beliau berdua belum sempat berkunjung ke Mandaraka”
Petruk.
“Oooh…”
Banowati mengangguk.
“Katanya
paman bertiga di utus oleh….?”.
“Ndoro
Permadi!” potong Bagong serta merta.
“Oh
iya. Kenapa tidak datang sendiri saja ?” tanya Banowati menatap tajam pada
ketiganya.
“Mmmm….”
Ketiga pelayan Pandawa itu terlihat saling pandang.
“Sebenarnya
ndoro Permadi….”menata kalimat,” ndoro Permadi datang bersama kami. Tapi….”.
“Tapi
apa ?”.
“Ndoro
merasa tidak enak karena….”.
“Karena
Mandaraka sedang ada tamu penting dari Hastina, ndoro Bano” imbuh Gareng cepat
cepat.
“Betul,
ndoro Bano” Petruk, “ndoro Permadi merasa tidak enak kalau kedatangannya malah
merusak suasana”.
“Trus,
dimana dia ?” cecar Banowati.
“Ada…ada.
Ndoro Permadi ada di suatu tempat di luar kota” terang Petruk.
“Ndoro
menyampaikan ini” mengeluarkan sebuah gulungan terbuat dari kulit kayu dari
balik sakunya lalu di serahkan pada Banowati.
“Apa
ini ?” tanya Banowati seraya membuka gulungan itu.
“Ndoro
baca sendiri saja” Petruk mempersilahkan.
“Sejak
aku melihatmu, manakala surya bergeser perlahan siang itu. Di saat kupu kupu di
taman sedang asyiknya mencium kuntum bunga. Di saat kecapi kayumu teronggok di
atas balai seraya menunggu jemari sang pemiliknya membelai. Dan di saat wajah
ayumu terlihat sayu memikirkan sesuatu. Ada sebongkah tanya yang mengganjal dalam benak dan pikiranku.
Rasa penasaran yang harus di tuntaskan. Tentang siapa engkau gerangan. Wanita
elok dengan sorot mata bersinar dan berwajah anggun ?.”
Sampai
di sini Banowati mengerutkan dahinya. Indah sekali kalimat yang teruntai di
atas kulit kayu di tangannya. Tulisan yang tidak biasa. Menandakan penciptanya
adalah sosok terpelajar yang terbiasa bergaul dengan dunia sastra.
“Sepanjang
perjalananku mengarungi setiap jengkal tanah di muka bumi, barangkali Mandaraka
adalah tempat yang patut aku sesali. Kenapa baru kali ini aku berada di sini ?.
Pesonamu, yang terpancar jelas di balik wajah ayumu adalah jawaban atas
penyesalan yang tiba tiba menyeruak menusuk jantungku. Aku merasa terperangkap
dalam sebuah keadaan di mana hati sudah tak bisa di bohongi, di mana rasa tak
jua bisa di cegah.”
“Hemmm…”
Banowati takjub.
“Jika
angin kebaikan bertiup menyapu batinmu, asaku yang terdalam adalah mengajakmu
untuk sejenak meluangkan waktu. Agar aku bisa lebih dekat mengenali siapa
dirimu”.
“Gila!!!”
seloroh Banowati lirih. Aneh sekali orang ini ?.
“Pantai
Mandaraka mungkin adalah pengiring yang paling indah jika engkau berkenan mengabulkan
keinginanku. Di balik ombak yang belalainya berlarian menyentuh batu karang.
Ketika fajar menyingsing menyambut datangnya pagi, ku tunggu engkau di sana. Di
atas batu karang paling kokoh di pinggiran laut Mandaraka”.
“Dariku,
Permadi. Pengganggu setiamu di siang itu”.
“Oooo….ternyata
dia yang tadi siang melempar batu itu ?” Banowati tersadar.
“Jika
ndoro Banowati berkenan, ndoro Permadi berharap bisa menemui…”.
“Ya
ya ya..aku tahu” sergah Banowati.
“Tapi
seharusnya kalau memang mau niat berkenalan, ya datang kemarilah” cibirnya.
“Bukan
begitu” Petruk membela,” ndoro Permadi tidak ingin mengganggu suasana
Mandaraka”.
“Apalagi
kami dengar ada masalah besar yang sedang melanda Mandaraka” imbuh Gareng.
“Darimana
kalian tahu ?”.
“Sebelum
kemari, kami khan menemui gusti prabu dulu” Petruk menerangkan.
“Berarti
ayahanda mengetahui dong kedatangan tuanmu Permadi ?” selidik Banowati.
Ketiganya
menggelengkan kepala.
“Kok
gitu ?” heran.
“Ndoro
ini masak ndak ngerti juga kalau antara keluarga Pandawa dan Kurawa sudah lama
berselisih. Ndak mungkin kami mengatakan keberadaan ndoro Permadi di sini,
sedang balatentara Hastina masih bergentayangan di kota Mandaraka. Khan bisa
runyam urusan, ndoro” ucap Petruk memberi alasan.
Banowati
terdiam.
“Gimana
ndoro Bano ?” Gareng.
“Apanya
?”.
“Kenalan
sama ndoro kami” tambah Bagong.
“Mmmm…”
sedikit ragu.
“Cuma
kenalan saja kok” Petruk meyakinkan.
Banowati
tidak segera menjawab. Di buka dan di bacanya sekali lagi surat dari Permadi di
tangannya.
“Tapi
penjagaan di sini ketat, paman…” Banowati setengah memberi alasan.
“Kalau
ketahuan bisa repot” setengah merengek.
“Gimana
hayo ???”.
Lagi
lagi ketiga pengawal Pandawa ini saling pandang.
“Kami
akan bantu ndoro Bano keluar dari sini” janji Petruk memberanikan diri.
“Yakin
?” todong Banowati.
“Yakinlah…”
sambar Bagong percaya diri.
“Ya
sudah…”.
*********************************************
Di
hari biasa, tidak terlalu sulit bagi Banowati untuk keluar dari keputren Mandaraka. Bahkan di waktu malam
sekalipun. Akan tetapi sejak peristiwa hilangnya Herawati dari keputren
Mandaraka, penjagaan di areal istana makin di perketat. Tidak saja jumlah
penjaganya di perbanyak hingga dua kali lipat, akan tetapi, Mandaraka juga
mendapatkan bantuan personel dari Hastinapura. Ada sekitar dua puluhan prajurit
Hastinapura yang sengaja di tempatkan di kota Mandaraka. Selain sebagai
komitmen Prabu Suyudana untuk membantu proses pencarian Herawati, juga untuk
memastikan bahwa kejadian yang di alami kakaknya tidak terulang lagi. Namun demikian,
keberadaan satu unit pasukan Hastinapura ini tidaklah berdiri sendiri. Mereka
tetap di bawah koordinasi komandan pasukan khusus istana yang di jabat oleh
salah satu adik Banowati, yaitu Rukmarata.
Larangan
keluar malam terutama bagi yang tidak berkepentingan juga di terapkan. Bagi
seorang putri raja seperti Banowati, untuk kemana mana mesti menyertakan dua
hingga empat pengawal demi memastikan keamanannya. Itupun masih harus
sepengetahuan kepala keamanan keputren. Mujur bagi Banowati, setelah Narotama
di ganjar hukuman penjara sekaligus di pecat dari kesatuannya oleh Prabu Salya
akibat keteledorannya, posisi putra patih Singalodra kini di gantikan oleh adik
kandung Banowati yang juga merupakan kakak dari Rukmarata, yaitu Burisrawa.
Agak
ganjil memang, kenapa Burisrawa yang sebenarnya lebih tua dari Rukmarata justru
mendapatkan posisi yang lebih rendah dari Rukmarata adiknya. Tidak hanya untuk
saat ini saja, akan tetapi sudah berlangsung lama, ketidakadilan itu harus di
terima Burisrawa. Ada beberapa sebab yang nanti akan kami ceritakan, kenapa Burisrawa
yang sejatinya paling berpeluang menggantikan kedudukan Prabu Salya kelak,
harus menerima keadaan di mana karirnya sengaja di hambat dan kalau perlu di
singkirkan. Yang jelas, posisi Burisrawa yang kini menjadi kepala keamanan
keputren, bagi Banowati cukup menguntungkan.
Burisrawa
tidak sekedar adik yang ia sayangi, tapi juga sahabat yang bisa di andalkan.
Sejak kecil, Banowatilah yang paling banyak membantu ibunya merawat, menjaga
dan menemani Burisrawa. Kepada Banowati pula segala persoalan Burisrawa di
tumpahkan. Ketika semua orang memandang remeh Burisrawa dan di anggap sebagai
ksatria Mandaraka yang gagal dan tak punya masa depan, Banowati biasanya yang
meyakinkan Burisrawa untuk tetap optimis menatap hari esok. Ketika semua orang
merasa jijik melihat wujud Burisrawa yang setengah raksasa lagi berwajah
menyeramkan, Banowati malah menunjukkan diri sebagai teman yang baik bagi
Burisrawa.
Burisrawa memang tidak terlalu
pintar. Tidak bisa membaca, tidak mahir berkelahi dan tidak memiliki sopan
santun layaknya ksatria. Bicaranya kasar, sembrono dan dan suka ugal ugalan.
Walaupun tidak pandai berkelahi, Burisrawa terhitung tipe pemberani. Dia tidak
pernah takut kepada siapapun, termasuk kepada ayahnya sendiri. Karakternya yang
kasar dan sering membuat ulah, tak jarang malah membahayakan dirinya sendiri.
Hanya karena kedudukannya sebagai salah satu pangeran Mandaraka sajalah yang
membuat orang sedikit segan terhadap Burisrawa.
Pun demikian, itu semua tidak
berlaku di hadapan Banowati. Burisrawa sangat menghormati kakaknya. Tidak ada
yang paling di taati perintah dan ucapannya selain Banowati. Dan tidak ada yang
layak di takuti oleh Burisrawa selain kakak perempuannya ini. Untuk Banowati,
nyawapun di pertaruhkan Burisrawa. Inilah yang membuat Banowati merasa yakin
bisa memenuhi undangan Permadi di pagi buta itu. Dia bisa meminta bantuan
Burisrawa untuk melapangkan jalannya keluar dari istana Mandaraka dengan
keadaan aman tanpa gangguan.
Selepas petang, Banowati
memanggil Burisrawa. Meminta adiknya untuk mengawal kepergiannya, setidaknya
hingga keluar pintu gerbang sebelah timur. Tentu saja tidak melewati jalan yang
biasa di tempuh kebanyakan orang, karena jika itu di ketahui anak buah
Rukmarata atau prajurit prajurit Hastina, urusannya bisa gawat. Banowati dan
Burisrawa lebih memilih jalan rahasia yang belum banyak di ketahui oleh orang.
Memang membutuhkan waktu yang cukup lama, sebab di antaranya melalui lorong
lorong yang panjang, berkelok dan gelap. Namun itu satu satunya cara paling
aman.
Sesampainya di pintu gerbang,
Banowati di jemput oleh tiga pelayan Permadi. Petruk, Gareng dan Bagong. Sempat
di ketahui oleh petugas yang berpatroli di luar benteng Mandaraka, tapi
untungnya ketiga anak buah Permadi ini dengan sigap mengatasi keadaan. Petruk
yang terhitung paling lincah segera tanggap dan berusaha memancing para penjaga
untuk mengejarnya. Sementara Banowati dengan di kawal Gareng dan Bagong segera
bergegas menuju tempat di mana Permadi sudah sejak tadi menunggu.
Menjelang pagi,
Banowati telah tiba di pantai Mandaraka. Semilir angin laut di iringi deburan
ombak menyapu pantai Mandaraka langsung menyambut kehadiran putri ketiga Prabu
Salya ini. Menghadirkan hawa dingin yang
menyengat menusuk pori pori.
Samar samar di bawah payung cahaya rembulan sesosok manusia duduk bersila
dengan gagah di atas batu karang di tepian pantai. Gemericik ombak yang
menghantam karang dan menimbulkan luapan butiran butiran air, sesekali
melenting dan mengguyur badannya. Tak ada reaksi. Sosok itu tetap diam membisu.
Bahkan tak ada usaha untuk menghindari cipratan butir bening yang kian lama
kian membasahi pakaiannya.
Perlahan Banowati
berjalan mendekati sosok manusia yang sedang asik duduk bersila di atas batu
itu. Kali ini tidak di sertai kedua pelayan Permadi. Mereka sengaja menjauh
dari tempat itu dan tidak berani mengganggu tuannya bertemu Banowati.
“Raden…” sapa
Banowati seraya menekuk lututnya dan duduk persis di samping kiri sosok yang
adalah Raden Permadi itu.
“Banowati …?”
sahut Permadi tercekat begitu melihat sosok yang kemarin hanya bisa ia lihat
dari kejauhan, kini hanya berjarak dua jengkal di sampingnya. Sudut matanya
sejenak beralih ke samping kiri. Namun tak lama kemudian kembali menatap ke
depan. Memandangi deburan ombak yang bergulung gulung menuju pantai.
“Sudah lama
menunggu ?” tanya Banowati.
“ Ehmmm….oohhh…!.
Nggak…!” jawab Permadi sedikit gugup.
“Kenapa nggak ke
rumahku saja ?. Di sini dingin tahu…” seloroh Banowati mencairkan keadaan.
“Maunya…”.
“Trus ?” potong
Banowati.
“Tapi aku takut
malah membuat masalah”.
“Ya nggaklah
raden…”.
“Panggil Permadi.
Ehmm…atau Arjuna saja” Permadi menyela.
“Itu namamu juga
?”.
“Ya!” angguk
Permadi.
“Kok jelek amat ?”
ledek Banowati dengan nada setengah bercanda.
Kali ini Permadi
mengangkat bahu. Menoleh ke arah Banowati dengan tatapan yang cukup tajam.
“Maaf…” buru buru
Banowati memperbaiki sikap.
“Ehm..nggak.
Nggak apa apa. Justru kalau kamu bilang bagus, itu malah fitnah. Karena antara
nama dan kenyataan sangat berjauhan.
Betul tidak ?”.
Banowati melongo.
“Ibuku memberiku
nama Partha. Yang artinya putra Dewi Pritha. Kakakku Bima, punya ledekan
sendiri. Menjulukiku Jlamprong. Nggak cuma itu, bahkan sebutan yang di sematkan
kepadaku sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Dananjaya, Gudakesa, Janaka,
Wijaya dan lain lain” celoteh Permadi mengalir deras, “Aku sendiri juga heran,
kenapa orang orang memanggilku Permadi ?”.
Blarrr…
Meledak pikiran
Banowati. Di sangkanya pendiam, tapi rupanya tak jauh beda dengan dirinya.
Banyak bicara. Berlebihan malah. Pemuda ini seolah ingin memamerkan diri betapa
ia layak mendapatkan banyak gelar gelar mulia. Sama sekali tidak sesuai dengan
apa yang pernah di ceritakan orang tentang ksatria Madukara ini.
“Ada yang salah
?”.
“Ya” singkat.
“Apanya ?”
menaikkan alis.
“Ehm…apa ya ?” Banowati
sembari diam berpikir.
“Ah lupakan saja”
kelit Banowati seperti tidak terjadi apa apa.
“Ngomong ngomong
ada perlu apa mengajakku bertemu di sini, raden….eh Permadi. Ehm…kakang ?”
gugup.
“Penting di ceritakan ?” Permadi balik
bertanya.
“Ya iyalah…”
sambut Banowati dengan nada tinggi.
“Masak jauh jauh
dari Madukara nggak ada kepentingan apapun ?. Aneh khan ?”.
Permadi
membetulkan letak selendang yang melingkar di kedua pundaknya. Memutar bokongnya ke kiri dan menghadap tepat ke arah
gadis cantik di sampingnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya yang
pucat menahan dinginnya udara pagi itu. Matanya yang tajam bagai elang kini
mendarat di wajah wanita yang kemarin membuatnya begitu penasaran. Di saat yang
sama Banowatipun tak menyia nyiakan kesempatan untuk melihat lebih dekat
seperti apa pria Madukara yang banyak di puja puji orang ini.
Kini kedua pasang
mata itu saling bertemu. Ada perasaan aneh yang susah untuk di terjemahkan
dengan kata kata. Berupa letupan letupan panas yang menjalar di sekujur badan. Menyelinap
masuk bersama aliran darah. Lalu menerobos ke dalam jantung dan menciptakan
suara gemuruh yang tak berkesudahan. Lama sekali keduanya saling pandang. Tidak
ada kata yang keluar. Lidah mereka terasa kelu, tenggorokan kering kerontang,
urat syaraf dan panca indera seakan tak berfungsi. Deburan ombak yang
menghentak memukul karang kini tak lagi terdengar. Lantunan kokok ayam yang
bertalu talu mendadak hilang dalam kesenyapan. Desir angin laut yang membawa
hawa dingin menggigil juga tak lagi mereka rasakan. Semua larut dalam keheningan masing masing. Hanya celotehan
batin yang terdengar jelas mewakili suara hati mereka.
“Sebentar…” ucap
Permadi memecah keheningan.
Ksatria Madukara
ini mendadak berdiri. Memandang ke sekeliling, memperhatikan satu persatu benda
benda yang ada di sekitarnya.
“Ada apa ?” tanya
Banowati kebingungan menyaksikan tingkah aneh Permadi.
“Sssstttt…”
Permadi berisyarat agar Banowati tenang.
Permadi mencabut
sebuah kain berwarna kuning dari pinggang lalu di pakai untuk menutupi sebagian muka dan
hanya menampakkan dua bola matanya. Sementara Banowati yang tak mengerti dengan
apa yang akan di lakukan Permadi beringsut menjauh.
Suasana mendadak
mencekam. Angin seolah berhenti bertiup. Lengan kiri Permadi kukuh memegang
busur panah yang siap untuk di isi peluru. Naluri kependekarannya merasakan ada
orang lain yang hadir di situ. Bukan hanya satu, tapi banyak. Bagi telinga
orang biasa tentu tidak terdengar apa apa selain hanya deburan ombak dan
desiran angin lirih. Tapi bagi Permadi, desahan nafas dalam jarak puluhan
meterpun sanggup ia dengarkan. Dan apa yang Permadi khawatirkan perlahan mulai
terbukti.
Belasan bayangan
hitam tiba tiba muncul satu persatu dari pepohonan nyiur yang berbaris rapi di
sepanjang pantai. Tamu tamu asing itu kemudian bergerak cepat mengepung lokasi
di mana Arjuna dan Banowati berada. Gerakannya cukup rapi, cekatan dan nyaris
tidak menimbulkan suara gaduh. Menandakan bahwa para pengepung ini cukup
terlatih.
“Pegang ini...!”
teriak Permadi seraya melemparkan selendang yang melingkar di lehernya ke
arah Banowati. Sejenak Banowati ragu ragu.
“Cepet…!” teriak
Permadi setengah memaksa.
Melihat sikap
Permadi yang tampaknya serius, mau tidak mau Banowati menuruti permintaan
ksatria tampan ini. Dan dengan gerakan secepat kilat Permadi menarik tubuh
Banowati lalu mengikatnya erat di
punggungnya. Sedetik kemudian sebuah teriakan keras terdengar dari arah depan.
“Seraaang!!!”
salah satu di antara mereka memberi aba aba seraya melempar sebuah tombak
berukuran satu meter ke dada Permadi.
Trang!!!
Dengan sigap
Permadi menghalau tombak itu dengan busur panahnya. Seketika tombak bermata
baja itu patah berkeping keping begitu mengenai busur pusaka Permadi.
Sejenak belasan
penyerang itu terkesima melihat kemampuan Permadi mematahkan tombak mereka.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa busur panah di tangan Permadi adalah pusaka
sakti pemberian Indra bernama Gendewa. Konon pusaka ini memiliki keistimewaan
luar biasa. Jika di pakai untuk
melepaskan anak panah, maka berapapun panah yang di lepas tidak akan habis
habis. Terbuat dari kayu, akan tetapi kekerasannya lebih keras dari besi baja
sekalipun.
"Serbuuuu....!"
si pemberi aba aba yang kemungkinan adalah pimpinannya kembali berteriak.
Serentak belasan
orang itu maju mengurung Permadi dengan menyabetkan senjata apa saja yang ada
di tangan mereka.
Kilatan percik
api akibat beradunya dua senjata mengoyak suasana fajar. Kendati sedang
menggendong Banowati, tampak sekali putra Pandu ini tak mengalami kesulitan
menghadapi musuh yang memang bukan kelasnya. Berkali kali para penyerang
melengking kesakitan menahan nyeri ketika senjatanya berbenturan dengan busur
Permadi. Namun hingga lima jurus berlalu, sama sekali tak ada tanda tanda
mereka bakal menyerah. Justru mereka makin marah dan merasa di ejek oleh
Permadi yang sepertinya tidak serius bertarung.
"Gunakan
formasi Srigala Memburu mangsa !!!" teriak salah satu dari mereka.
"Formasi
Sokalima ?" Permadi langsung tanggap. Ini jurus keroyokan yang biasa di
gunakan untuk menghadapi musuh yang lebih kuat. Tehniknya adalah berkeliling
mengitari sasaran, sesekali menyerang, lalu mundur menghindar. Kadangkala
berteriak menggertak untuk melemahkan mental musuh dan sesekali maju bersamaan.
Menghadapi formasi ini membutuhkan kesabaran, karena seperti halnya srigala
memburu mangsanya, mereka di tuntut untuk mencari celah kelengahan dari
musuhnya.
Permadi memutar
otaknya. Sudah jelas para penyerangnya adalah orang orang dari Sokalima. Dan
tak ada waktu untuk main main lagi.
Aaarrrrghhhh.....!!!!
Tiba tiba Permadi
berteriak keras laksana macan yang mengaum. Ciut juga nyali penyerangnya.
Dengan sigap mereka berlompatan mundur untuk menghindari kemungkinan yang tidak
di inginkan. Kesempatan ini di manfaatkan oleh Permadi untuk meraih belasan
anak panah dari kantongnya, menarik busur, lalu dengan gerakan secepat kilat,
mata panah itu melesat menghajar musuh. Dan dalam hitungan detik satu persatu
para pengepungnya bertumbangan dan meraung raung memegangi kakinya yang
tertembus anak panah.
Permadi menarik
nafas lega, lalu menoleh ke belakang dan menyunggingkan senyum ke arah Banowati
yang ketakutan setengah mati.
"Sudah
beres..." kata Permadi sembari menurunkan Banowati dari gendongannya.
Banowati hanya bisa melongo keheranan melihat apa yang terjadi. Dia sama sekali
tak menyangka kalau pemuda yang di temuinya pagi ini begitu gampang
menakhlukkan musuh yang padahal jumlahnya banyak.
"Siapa
mereka ?" tanya Banowati penasaran.
"Entahlah"
jawab Permadi pura pura tidak tahu. Di simpannya kembali busur panah kyai
Gendewa ke tempat semula. Namun, belum lagi Permadi melepaskan pegangan
tangannya pada kyai Gendewa, terdengar sebuah teriakan keras.
“Jangan senang
dulu wahai bangsat !!!”.
Entah darimana
asalnya, sekelebat bayangan hitam melompat menerjang Permadi. Gerakannya
sangat cepat dan lebih bertenaga daripada penyerang sebelumnya. Beberapa kali
Permadi nyaris terjengkang dan tak bisa menguasai diri akibat di serang secara
bertubi tubi dari semua sisi. Sebagai seorang pendekar yang kenyang akan
pengalaman, ksatria Madukara ini segera tahu bahwa sang penyerang kali ini
bukan sembarang orang. Terbukti beberapa kali adu pukul, ia seolah menghadapi
gada besi yang keras dan mematikan. Mungkin jika bukan Permadi yang menjadi
lawannya, sudah barangkali remuk oleh pukulan penyerang misterius ini.
“Menyerah dan
lepaskan Banowati, sebelum Brahmastra mencabut nyawamu, bedebah !!!!”.
Kali ini si
penyerang melompat mundur, mencabut busur panahnya sembari komat kamit
merapalkan ajian.
“Aswatama !!!”
pekik Permadi segera mengenali.
Ya, siapa lagi
pemilik Panah Brahmastra atau juga di sebut panah Cundamanik selain putra
Begawan Durna. Senjata ini terkenal mematikan. Setahu Permadi, jarang sekali
Aswatama berkenan mengeluarkan senjata pamungkasnya itu. Hanya dalam kondisi
tertentu saja ia memamerkan kemampuan Brahmastra. Panah itu anugrah Brahma,
jika ia mengenai musuh, akan mengakibatkan luka bakar parah dan susah di
sembuhkan. Seluruh tubuh akan melepuh, sementara bagian tubuh yang terkena
Brahmastra akan menghitam dan terbakar hangus. Keampuhan lain dari senjata ini
adalah, jika melesat dari busurnya,
segala sesuatu yang di lewatinya akan terbakar. Kalau melintasi samudera,
menjadi mendidihlah air samudera. Bahkan pengaruh suara desingan peluru
Brahmastra yang bergemuruh memekakkan telinga sanggup menggugurkan setiap janin
yang terkandung dalam rahim ibu hamil. Permadi sendiri sejatinya juga di
karuniai senjata jenis peluru kendali ini oleh Dewa Brahma. Dan bisa saja ia
mencabutnya untuk melawan Brahmastra milik Aswatama. Akan tetapi, sepertinya
adu kuat dua Brahmastra bukanlah penyelesaian yang bijak. Bukan saja akibat
yang akan di timbulkan jika kedua senjata sejenis ini beradu, tetapi menurut
petuah Brahma, senjata ini hanya bisa di keluarkan sekali saja. Sungguh tidak
sebanding dengan kesalahpahaman yang sangat sepele ini. Brahmastra seharusnya
tidak di gunakan sembarangan. Hanya karena keterpaksaan saja senjata ini layak
di gunakan. Alasan lain, tentu saja karena Aswatama adalah anak kesayangan dari
guru Durna yang sangat ia hormati. Jika Guru Durna tahu, ia membunuh Aswatama,
tentu akibat yang akan di timbulkan tidaklah kecil. Durna akan mengutuk
Permadi, menganggapnya sebagai murid yang murtad. Dan yang paling
mengkhawatirkan, kematian Aswatama bisa mempercepat terjadinya perang
baratayuda antara Pandawa dan Kurawa. Ini yang paling tidak di inginkan.
Bagaimanapun, posisi Amarta sebagai negara baru masih teramat lemah. Belum
saatnya membuat perhitungan dengan Hastina.
“Aku tahu engkau bukan jagoan biasa, tapi aku
peringatkan sekali lagi !” ancam Aswatama sembari menarik busur panahnya.
“Panah ini punya
mata tapi tak punya hati. Maka sekali lagi aku peringatkan. Lepaskan Banowati
!”.
Suara Aswatama
terdengar menggelegar bak petir. Air mukanya memerah darah. Kedua kakinya yang
sekokoh kaki kuda menghentak hentak bumi. Dalam hitungan detik pemuda akan
mengirimkan panah Brahmastra. Permadi cepat cepat memutar otak. Tidak mungkin
dia mengorbankan masa depan dirinya dan seluruh keluarga Pandawa hanya untuk
kesalahpahaman yang sebenarnya bisa di jelaskan ini.
Perlahan Permadi
menarik nafas, membuka penutup mukanya lalu berjalan perlahan mendekati
Aswatama.
“Tahan amarahmu,
Aswatama !!” teriak Permadi pada Aswatama.
“Aku Permadi
putra Pandu !”.
“Permadi ?”
Aswatama terkejut. Tapi masih belum mau percaya begitu saja.
“Hei…berani
beraninya kau mengaku aku sebagai Permadi. Permadi tidak mungkin bertindak
kurang ajar dengan menculik perempuan anak pamannya!” sanggah Aswatama.
“Hem…! Jadi
inikah yang melatar belakangi kenapa Aswatama begitu bernafsu membunuhnya ?”
pikir Permadi. Beberapa waktu lalu ia memang mendengar informasi bahwa demi
membantu keruwetan yang terjadi di Mandaraka, Suyudana menempatkan setidaknya
dua puluhan prajurit Hastina di sekitar ibukota. Kiranya para penyerang yang di
pimpin Aswatama inilah yang di maksud.
“Turunkan
senjatamu, Aswatama !” pinta Permadi seraya menghentikan langkah tepat dua
meter di hadapan sang Aswatama. Cahaya Brahmastra yang kemerahan menerpa tubuh
Permadi, dan menjadi tampak jelaslah bagi Aswatama siapa yang ia hadapi.
“Oh….Permadi…?”
kata Aswatama begitu menyadari bahwa lawan di depannya memang benar benar
Permadi. Ciut nyali putra Begawan Durna. Raut mukanya yang semula tegang kini
memuai seperti es yang tersengat matahari.
“Kenapa tidak
bilang dari tadi ?”.
Pemuda Sokalima
itu perlahan mengendurkan tali busurnya dan dengan sedikit mantra, Brahmastra
di tangannya mendadak lenyap.
“Maafkan aku, Aswatama” Permadi merendahkan suaranya.
Aswatama
mengangguk anggukkan kepalanya. Sudut matanya melirik ke arah Banowati yang
berdiri beberapa meter di belakang Permadi.
“Jelaskan padaku,
apa maksudmu membawa dia kemari ?” tanya Aswatama mendekatkan bibirnya ke
telinga Permadi.
“Bukan membawa.
Tapi ?”.
“Halaah, kamu ini
belum tahu atau memang pura pura tidak tahu, Permadi ?” potong Aswatama
mengingatkan.
“Tidak ada niat
sama sekali bagiku untuk mencampuri urusan kalian” Permadi memberi alasan.
“Tapi tindakanmu
ini benar benar tidak bisa di maafkan” Aswatama tak mau kalah, “jika bukan
kamu, sudah pasti aku tak segan segan untuk
bertindak!”.
Permadi
menggerutu dalam hati. Apa yang di ucapkan oleh Aswatama, baginya terdengar sangat arogan dan bernada
meremehkan. Apalagi itu di lakukan di depan mata seorang wanita yang baru saja
Permadi kenal.
“Sekarang apa
yang kamu inginkan, Aswatama?” tanya Permadi setengah menantang.
“Mauku ?”.
“Ya. Katakan
saja…” Permadi berusaha tenang dan tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun.
Jemari kirinya terlihat mengelus elus kyai Gendewa yang terselip di
pinggangnya. Seolah hendak mengirim pesan pada Aswatama, bahwa dirinya tidak
takut menghadapi ancaman apapun.
Sementara sang
Aswatama yang memperhatikan tingkah laku Permadi terlihat mengerutkan dahi.
Pikirannya kini di penuhi rasa ragu. Haruskah ia bertindak tegas dengan
menangkap Permadi ataukah ia harus kompromi dan membiarkan ksatria Madukara itu
pergi ?. Pendekar Sokalima itu cukup sadar, bahwa ia tak mungkin mampu
mengalahkan Permadi. Bahkan jika ia menggunakan Brahmastra sekalipun. Hal lain
yang menyebabkan Aswatama ragu ragu, adalah kedatangan Banowati ke pantai
Mandaraka yang sepertinya atas kemauan sendiri dan bukan di culik Permadi. Dia
tahu persis karena sejak keluar dari keputren, diam diam Aswatama telah
memerintahkan anak buahnya untuk membuntuti kepergian Banowati.
“Ehmmm…begini Permadi”
suara Aswatama merendah, “sebenarnya aku tidak mau memperpanjang masalah ini.
Tapi, bagaimanapun kamu mesti memaklumi tugas yang sedang aku emban” lanjutnya
lebih sejuk.
“Aku tahu” sahut
Permadi.
“Kamu ingin aku
pergi dari sini dan tidak lagi mengganggu Banowati, bukan ?” todong Permadi.
“Ha ha ha ha…..!.
Tepat sekali” Aswatama tertawa puas dengan jawaban Permadi.
“Lalu, tunggu
apalagi ?” imbuh Aswatama seolah menemukan kepercayaan dirinya.
“Buatku tidak
masalah, tapi ada baiknya Aswatama bertanya padanya ” kata Permadi menoleh ke
belakang.
Banowati yang
merasa menjadi sebab persengketaan antara kedua pendekar sakti ini melangkah
mendekat. Sorot matanya tertuju pada sang Aswatama. Begitu tajam dan
mensyiratkan kebencian. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
“Memangnya kamu
siapa ?. Kenapa ikut campur urusan kami ?” tuding Banowati ketus.
“Saya….saya… hanya
menjalankan tugas” sang Aswatama membela diri.
“Oh…begitu ?”.
“Dia tamuku”
sembari menatap nanar pada Aswatama sementara telunjuknya mengarah pada
Permadi, “aku mau menemuinya di mana saja terserah aku…”.
Pucat sudah mimik
Aswatama. Pemuda Sokalima ini sama sekali tak menduga perempuan molek ini bisa
begitu galak terhadapnya. Seolah dirinya bukan lagi pria terhormat putra
kesayangan Guru para keturunan Kuru.
“Apa
?” Banowati makin beringas menantang, “mau melaporkan ke ayahanda ?. Mau cari
muka ?. Memangnya kamu siapa ?. Hanya pesuruh bukan ?. Dasar kaki kuda!!!”.
“Lihat wajahmu.
Apa pantas kamu mengawal keputren Mandaraka ?. Katakan pada majikanmu, Banowati
tidak sudi menerima budi baik pertolongannya!”.
Menggelegak darah
Aswatama mendengar ucapan ucapan bernada mengejek Banowati. Apa yang di ucapkan
oleh putri Prabu Salya itu benar benar menohok harga dirinya. Meledek dirinya
sebagai pesuruh Prabu Suyudana mungkin masih bisa di maklumi, akan tetapi
terang terangan menghina fisik, adalah hal lain yang sulit untuk di terima.
“Memang” ucap
Aswatama kehabisan kesabaran, “aku hanyalah anak padepokan Sokalima yang
berkasta rendahan, berwajah jelek dan tidak layak menjadi pengawal istana
Mandaraka”.
“Nah itu tahu…”
Banowati tak juga mengendurkan ucapannya. Bahkan makin nyaring saja.
Semakin panas
hati sang Aswatama. Mulutnya menyeringai, hingga gigi giginya yang sebesar jari
tangan dan berwarna kekuningan terdengar menggerutuk menahan emosi. Sepasang
matanya yang bulat menatap nanar Banowati, seakan hendak melahap habis wanita
di depannya itu. Perlahan Aswatama melangkah mendekati Banowati.
“Aku tidak akan
melaporkan kasus ini pada Prabu Salya. Tapi ingat baik baik. Aswatama tidak
akan pernah membiarkanmu mendapatkan apapun yang kamu inginkan!!” bisik Aswatama ke telinga Banowati. Dan
setelah puas mengancam Banowati, tangan kanannya melambai.
“Anak anak!!!.
Kita pulang ke Sokalima !!!” perintah Aswatama kepada belasan anak buahnya yang
sejak tadi hanya bisa menonton dari kejauhan.
“Dan kamu,
Permadi” Aswatama mengarahkan telunjuknya pada Permadi.
“Urusan kita
belum selesai” pesannya seraya melangkah pergi meninggalkan Banowati dan
Permadi.
“Hemm…” jawab
Permadi acuh. Perhatiannya justru tertuju pada sosok wanita ramping yang kini
berdiri terpaku di sampingnya. Ada rasa kagum dalam diri Permadi. Terutama
dengan sikap yang baru saja di pertontonkan Banowati. Gadis ini tidak saja
cantik, tapi juga bandel dan tak punya rasa takut sedikitpun pada Aswatama.
Entah karena ia tidak terlalu mengenal siapa sebenarnya Aswatama, ataukah ada
sebab lain yang menjadikannya berubah galak, yang jelas perangainya kembali
mengingatkan Permadi akan sosok perempuan yang dulu sempat membuatnya tergila
gila. Anggraeni.
“Sudah, jangan
terlalu di masukkan ke dalam hati” hibur Permadi.
“Dia mengancamku”
ucap Banowati emosi.
“Memang orangnya
begitu”.
“Tapi aku tidak
suka dia sok ikut campur urusan orang” masih dongkol.
Permadi tersenyum
tipis.
“Iiiihhh…!. Aku
serius tahu…”.
“Aku juga tidak
sedang bercanda” kelit Permadi makin melebarkan senyumnya.
“Huuuuh…dasar!!!”
bentak Banowati ketika menyadari bahwa pria yang dia harapkan membela
pendapatnya justru menganggap dirinya sedang bercanda.
“Awas ya….”.
“Awas apanya ?”
Permadi mempermainkan.
“Iiiiiihhh….”
sebuah cubitan kecil tiba tiba mendarat di pinggang Permadi. Kontan saja
membuat sang pemuda Madukara itu melompat kesakitan.
“Sakit tahu”
keluh Permadi pura pura.
“Biarin…” tak
peduli.
Hanya dalam
sekejap, kedua insan muda ini mulai menunjukkan keakraban. Senda gurau dan
obrolan ringan kemudian mengalir deras dari bibir keduanya. Tak jarang di
bumbui saling ledek, saling bantah, dan saling tukar cerita. Hingga tak terasa,
sang mentari perlahan muncul di ufuk timur. Menyajikan panorama indah di atas
pantai Mandaraka.
>>>Selanjutnya
>>>Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar