Selasa, 20 November 2012

Banowati : Asmara di Mandaraka (5)


Sebelumnya <<<

Oleh : Komandan Gubrak

Banowati mengangguk. Ada rasa kagum menyelinap di hatinya. Yang perlahan lahan membuyarkan prasangka buruk Banowati terhadap ayahnya. 

“Ayah” kata Banowati hati hati.

Salyapati mengarahkan pandangannya dalam dalam pada anaknya.

“Bano percaya, ayah adalah orang tua sekaligus raja yang bijak bagi rakyat Mandaraka. Tapi sepertinya ada ganjalan di hati saya, dan itu membutuhkan penjelasan ayah”.

“Katakan anakku…” sahut Salyapati mempersilahkan.

Banowati mengatur nafas. Berharap mendapatkan satu kekuatan untuk berani mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan ayahnya. Sesuatu yang selama ini mengganjal pikirannya, membuatnya menjadi serba salah menghadapi keadaan.

“Banyak yang ingin Bano tanyakan ayah…” masih terlihat ragu ragu.

“Ayah akan dengar semuanya…”.

Banowati diam sejenak.

“Kenapa ayah memaksa kakak Herawati menikah dengan Prabu Suyudana ?. Bahkan memaksa kami semua untuk segera menikah ?”.

“Apalagi ?”.

Banowati menatap wajah ayahnya. Tidak terlihat raut wajah marah sedikitpun. Bahkan terkejutpun tidak.

“Siapa yang membantu melarikan kakak Herawati jelas, tapi kenapa ayah tidak berani bertindak ?”.

“Trus ?” lagi lagi sang Salyapati begitu tenang menghadapi pertanyaan pertanyaan kritis anak perempuannya.

“Apakah ayah tidak tahu, bahwa sesungguhnya kakak Surtikanthi sakit hati dengan keputusan ayah yang menghukum kakang Narotama ?”.

“Masih ada ?”.

“Cukup ayah” jawab Banowati lega. 

Penguasa Mandaraka itu menyunggingkan senyum, menuangkan minuman ke dalam cangkir kosong, lalu meminumnya.

“Terkadang, orang hanya menilai dari apa yang kita perbuat. Bukan apa yang menyebabkan dan mengakibatkan kita melakukan perbuatan” Salyapati membuka suara. Terdengar parau dan bergetar.

“Aku telah berkeliling ke setiap jengkal tanah Mandaraka. Keluar masuk kampung di malam hari, menyambangi mereka satu persatu. Untuk mendengar lebih jelas, apa yang sebenarnya di rasakan rakyatku. Untuk melihat, apa yang sebenarnya terjadi”.

“Banyak. Banyak sekali yang ayah saksikan. Kelaparan, kekurangan, ketidak berdayaan, bahkan kematian. Kemarau tahun ini begitu panjang. Tidak ada air yang bisa kita minum, tidak ada tumbuhan yang bisa kita tanam. Banyak sungai dan sumur yang mengering. Bendungan Jatigiri yang selalu kita andalkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat hanya sanggup mengaliri seperempat tanah pertanian kita. Akibatnya banyak sawah ladang gersang, binatang peliharaan mati satu persatu karena rumput tidak bisa tumbuh. Makin ke barat, kondisinya makin mengenaskan. Sama sekali tidak ada air. Mereka harus menempuh jarak berkilo kilo meter hanya untuk mendapatkan sumber air yang cuma cukup untuk minum dan memasak”.

“Di laut, yang merupakan sumber kedua mata pencaharian kita, kini tak lagi memberikan hasil yang memuaskan. Bajak laut dan perompak, setiap hari berkeliaran mengganggu nelayan nelayan kita. Rakyat mulai takut untuk melaut, sebab nyawa mereka selalu terancam”.

“Miris hati ayah, anakku. Sedih. Mandaraka yang dulu begitu di takuti, kini hanyalah negeri lemah yang hanya menunggu waktu untuk runtuh. Tidak ada yang bisa di andalkan. Bahkan banyak para pejabat yang diam diam melakukan pembangkangan. Tidak mentaati perintah, dan malah  bekerjasama dengan para penjahat”.

“Kamu pasti bertanya, kenapa ayah diam. Tidak anakku, ayah tidak diam. Ayah pergi kesana kemari. Dari satu negeri ke negeri lain. Dari kawan satu ke kawan yang lain. Berharap ada yang bersedia membantu meringankan beban rakyat Mandaraka. Tidak harus berupa bantuan militer untuk memperkuat armada laut kita. Untuk mengusir para perompak yang telah merampok hasil laut para nelayan. Tidak. Kalaupun hanya berupa bahan makanan, ayah sudah merasa sangat bahagia. Sebab, jika rakyat sudah terpenuhi perutnya, mereka akan dengan mudah kita ajak untuk berbuat pada bangsanya”.

“Sebulan setelah kekeringan melanda Mandaraka, ayah menemui Prabu Suyudana. Mengemis di hadapannya. Bukan demi ayah pribadi. Tapi untuk rakyatku. Prabu Suyudana merasa iba, lalu memerintahkan para pejabat untuk mengeluarkan cadangan pangan yang sebenarnya di simpan untuk kebutuhan rakyat Hastina untuk di berikan kepada kita. Dengan cuma cuma”.

“Ada beras, gandum, palawija, ubi ubian dan lain sebagainya. Yang itu semua cukup untuk menyambung hidup rakyat Mandaraka selama tiga bulan. Waktu itu, ayah berharap di bulan ke empat, hujan segera turun. Tapi rupanya Tuhan berencana lain. Kemarau terus berlanjut. Dan lagi lagi, rakyat kita terancam kelaparan”.

“Penderitaan kita tidak sampai di situ. Di lingkungan keraton, para pejabat yang awalnya malu malu melakukan pembangkangan, kini mulai menunjukkan jati dirinya. Mereka satu persatu menyeberang ke timur dan bergabung dengan para perompak untuk merencanakan sebuah pemberontakan”.

“Kamu tahu Bano ?” berhenti sejenak, “ siapa dalang pembangkangan itu ?”.

“Tidak tahu ayah”.

“Kurandageni!” tegas Salyapati dengan mimik marah.

Terkejut Banowati mendengar cerita sang ayah. Sama sekali ia tak menyangka, bahwa Prabu Kurandageni yang juga ayah dari Kartawiyaga adalah dalang di balik pembangkangan para pejabat.

“Dan kamu tahu, siapa pemimpin bajak laut yang sering mengganggu nelayan kita ?”.

“Siapa ayah ?”.

“Dia yang melarikan kakakmu”.

“Kartawiyaga ?”.

“Ya”.

“Jadi….jadi....sebelum Bano melaporkan soal kak Herawati, ayah sebenarnya sudah tahu kejadian itu ?” tanya Banowati terheran heran.

Salyapati mengangguk.

“Lantas kenapa ayah tidak segera bertindak ?”.

“Karena ayah tahu persis, kita tidak punya kekuatan yang layak untuk menghadapi mereka” jawab sang ayah lugas.

“Kita tidak punya biaya yang cukup untuk melakukan operasi. Kita juga tak punya pasukan yang kuat untuk bertarung. Jangankan untuk menggelar perang, untuk makan saja susah”.

“Itulah kenapa ayah tetap ingin menjalin hubungan kekerabatan dengan Hastina, walaupun harus mengorbankan aku dan kakak Surtikanthi ?” ucap Banowati mulai tahu duduk persoalannya.

“Tidak ada cara lain. Negara yang paling dekat dan bisa kita ajak kerjasama hanya Hastina”.

“Dan ayah sengaja menyembunyikan Narotama agar ayah bisa dengan nyaman menyodorkan pilihan pengganti kakak Herawati bagi prabu Suyudana ?” tohok Banowati.

“Bukan menyodorkan pilihan” tepis prabu Salya.

“Lantas ?”.

Prabu Salya menarik nafas dalam dalam, lalu menghembuskan perlahan. Matanya yang tajam menatap penuh selidik. Seolah ingin menelanjangi Banowati.

“Ayah tahu, anggota Pandawa menuju kemari” aku Salya.

“Apa ?” tercekat sang Banowati mendengar ucapan ayahnya.

Gila. Bagaimana mungkin ayahnya bisa tahu semua hal. Bahkan kedatangan Permadi ke Mandarakapun tak  luput dari pengamatannya. Makin tebal rasa kagum Banowati terhadap ayahnya.

“Permadi itu lelaki penggila wanita. Kemanapun ia pergi, salah satu yang paling menarik baginya adalah perempuan. Maka ketika telik sandi melaporkan bahwa dia sedang menuju, ayah segera paham. Itulah kenapa ayah sengaja menyingkirkan Narotama. Karena ayah tahu, kedatangannya kemari untuk mengincar wanita. Dan di kota ini, tidak ada wanita yang lebih cantik dari anak anakku semua”.

“Ha ha ha……”derai tawa Salyapati merekah, sehingga mempertontonkan deretan giginya yang putih.

“Sepertinya dia menyukaimu, Bano” ucap Salyapati setengah menggoda. 

“Ayah…” Banowati menunduk tersipu.

Harus ia akui, sejak bertemu pertama kali, dalam diri Banowati mulai timbul benih benih rasa suka pada Permadi. Parasnya yang tampan, perangainya yang santun dan tingkahnya yang menyenangkan, benar benar membuat Banowati merasa sangat nyaman berada di dekatnya.

“Dia petarung paling hebat di keluarga Pandawa. Pemanah paling lihai di dunia. Alangkah senangnya ayah, jika kamu bisa merayu dia untuk membantu kita”.

“Ayah menginginkan Bano pergi menemui raden Permadi ?”.

“Itu kalau Bano mau” jawab Salyapati enteng.

“Mmm…lantas bagaimana dengan kak Kanthi dan Narotama ?”.

“Biarkan saja, nanti ayah yang akan menjelaskan pada keduanya” janji prabu Salya.

“Prabu Suyudana ?”.

“Ayah tahu, antara kedua keluarga Hastina dan Amarta sedang tidak akur. Tapi masalah yang melanda negeri kita membutuhkan bantuan dari semua pihak. Tapi tetap, kita harus menjaga perasaan keduanya”.

Banowati menyeka kening, membetulkan selendang putih di lehernya lalu mengangkat wajahnya. Pria Mandaraka itu memang baru saja di kenalnya, dan tidak seharusnya ia meminta sesuatu yang terlalu jauh. Akan tetapi, apa yang di sampaikan sang ayah jauh lebih penting daripada mempertahankan rasa gengsinya.

“Demi rasa cintaku pada ayah, Bano akan lakukan apapun yang ayah perintahkan” janji Banowati.

Prabu Salya tersenyum puas mendengar kesediaan putrinya untuk membantu keruwetan yang melanda seluruh rakyat Mandaraka.

“Hati hati anakku” pesan Salyapati.

Banowati mengangguk.

“Kalau begitu, Bano akan segera bersiap siap mencari Raden Permadi. Semoga saja ia belum meninggalkan Mandaraka”.

Setelah merasa cukup berbincang bincang dengan ayahnya mengenai keadaan Mandaraka yang sebenarnya, Banowati bergegas keluar dari kediaman Prabu Salyapati. Yang pertama ia temui adalah adiknya, Burisrawa. Dia tidak mungkin berani sendirian mencari Permadi, selain medannya terlalu berat, situasi Mandaraka sedang tidak aman.

*************************************
Entah apa yang berkecamuk di pikiran Permadi. Sejak pertemuannya dengan Banowati, ksatria Madukara ini semakin terlihat murung dan lebih suka melamun sendirian.  Gairah hidupnya seperti luruh berkeping keping .  Ada perang batin yang sepertinya tak kunjung usai menjangkiti setiap jengkal pikirannya.  Antara realitas kekinian dan masa lalu. Antara tekad dan keraguan. Dan antara kesedihan dan luapan kegembiraan. Semua bercampur aduk, bertarung satu dengan yang lain tanpa ada hasil akhir yang  melegakan pikiran.

Adalah Banowati, putri ketiga Prabu Salya yang menyeretnya dalam kubangan kegundahan yang tiada terperi. Menenggelamkan hati dan pikirannya pada kenangan masa lalu yang tak pernah surut menghantui.  Suatu peristiwa pilu yang nyaris saja membuat Permadi kehilangan gairah hidup, kehilangan cinta dan kehilangan cahaya kebahagiaan.

Dewi Anggraeni. Wanita bersahaja  yang merupakan istri dari Raja Paranggelung itu kini seolah hidup kembali. Bukan sebagai sosok wanita teguh yang tak goyah oleh bujuk rayunya. Bukan sebagai perempuan tulus yang hanya menambatkan kesetiaan pada suami tercintanya. Tapi sebagai gadis muda yang ramah, menyenangkan dan penuh pesona.

Oh Banowati…

Siapa sesungguhnya dirimu ?.  Adakah sukma Anggraeni menyatu dalam dirimu ?. Jika iya, kenapa engkau justru tampakkan kepadaku sikap yang bertolak belakang ?. Seharusnya jika engkau memang pujaanku Anggraeni, tak perlu engkau bermulut manis kepadaku. Pria biadab yang telah merenggut kehidupan dan kebahagiaanmu. Pria angkuh yang egois, sombong dan tak punya perasaan.

Permadi  tertunduk lesu. Matanya terpejam. Perasaan bersalah dan menyesal bertumpuk tumpuk membebani pikirannya. Membuatnya semakin lama semakin tak berdaya dan nyaris kehilangan kekuatan. Putra ketiga Dewi  Kunti yang lahir dari anugrah dewa Indra ini seperti tak ingin mempercayai bahwa Banowati dan Anggraeni adalah pribadi yang berbeda. Di mata Permadi, keduanya adalah sosok yang sama atau paling tidak memiliki kaitan antara satu dengan yang lain. Mata yang tajam dan memancarkan cahaya misterius, bibir yang tipis berkilau kemerahan, lesung pipit nan menggoda di balik senyum manisnya, rambut hitam lurus terjurai, bentuk tubuh langsing dengan balutan kulit kuning langsat serta bau harum melati yang khas dan kecantikan alami layaknya bidadari swargaloka. Semuanya ciri ciri itu sama sama di miliki oleh Banowati dan Anggraeni.

Duh gusti…

Ini  takdir atau kutukan ?. Ini sanjungan atau ujian ?. Adakah kesengajaan yang sudah Engkau rencanakan ?.
Pemanah terbaik Pandawa ini tak henti hentinya mengeluh dalam hati. Apalagi jika ia mengingat bagaimana sikap Banowati terhadap Aswatama. Tatapannya yang di penuhi kebencian, ucapannya yang pedas dan menusuk perasaan, tak ubahnya seperti perilaku Anggraeni terhadap dirinya.

“Dengar wahai ksatria. Kamu boleh berbangga diri dengan paras tampanmu yang setiap perempuan akan takhluk melihatmu. Kamu boleh jumawa karena kedudukanmu sebagai keturunan terbaik bangsa Kuru. Kamu boleh menyombongkan diri telah menyirnakan Raja kecil di tanah Paranggelung. Akan tetapi aku, Anggraeni takkan surut dan menyerahkan kehormatanku padamu”

“Dengarkan kutukanku wahai ksatria tak terkalahkan” ancam Anggraeni ketika itu.

“Kamu akan dapatkan semua hal yang kamu inginkan. Tapi satu yang tak akan bisa kamu dapatkan. Pelabuhan cintamu!!”.

Ucapan terakhir Dewi Anggraeni sebelum ia melakukan aksi bunuh diri di depan Permadi ini tak pernah berhenti terngiang dalam sanubarinya. Sebuah ungkapan yang lahir dari ketertindasan, ketidak mampuan dan keputusasaan.  Sebuah kutukan yang entah di dengar atau tidak oleh sang Maha Mendengar.

“Ndoro…”.

Sayup sayup terdengar panggilan lirih di telinga Permadi. Suaranya tak sing lagi. Ksatria Madukara ini perlahan membuka mata, mengangkat kepala dan menatap liar kepada tiga pelayan setianya.

“Sudah seharian ndoro berdiam diri tanpa mengunyah sesuap makananpun” Nala Gareng memberanikan diri untuk berbicara.

“Kami khawatir ndoro jatuh sakit” Petruk menambahi. 

Permadi hanya diam tak menjawab sepatah katapun. Seolah tak terlalu peduli dengan perhatian yang di tunjukkan ketiga pelayannya itu. 

“Kami bawakan makanan kesukaan ndoro. Ayam bakar dengan lalapan sambal tomat. Mohon di cicipi “ pinta Gareng sembari menyorong nampan berisi makanan yang masih hangat.

Tapi lagi lagi tak ada suara yang keluar dari bibir majikannya. Hanya raut wajah duka yang tergambar . Ketiganya terlihat saling pandang. Lalu melempar isyarat.

“Kami permisi dulu, ndoro..” ucap Nala Gareng pamit.

Ketiganya lalu beringsut menjauh.

“Tunggu…!”

Panggil Permadi menghentikan langkah ketiga pelayannya. Dan dengan tergopoh gopoh ketiga pria paruh baya itu berbalik memenuhi panggilan majikannya.

“Iya, ndoro…” sahut ketiganya serempak.

“Bawa makanan kalian”.

“Ndoro….?” Petruk.

“Sudahlah!” potong Permadi setengah menghardik, “aku belum lapar”.

Kali ini ketiganya tak berani membantah. Dengan hati hati Petruk meraih nampan yang sejatinya di persembahkan untuk tuannya. Kemudian berlalu tanpa sepatah katapun.

Sang Permadi kembali  tenggelam dalam kegalauan hatinya. Tangannya kini bersedekap, kakinya di tekuk dalam posisi bersila. Perlahan ia mengatur nafas. Matanya tertutup seraya mengheningkan cipta. Meminta petunjuk pada Tuhan yang Maha Kuasa. Lama sekali lelaki perkasa dengan segudang ilmu kesaktian ini tenggelam dalam semedinya. Hingga tanpa terasa kesadarannya lenyap terbawa oleh rasa kantuk yang luar biasa. 

“Anakku…!. Apa gerangan yang membuatmu bersedih hati “.

Permadi terperanjat. Antara sadar dan tidak. Sesosok bayangan perempuan tua berpakaian serba putih tiba tiba telah berdiri di sampingnya. Dialah Dewi Kunti , ibu para Pandawa. 

“Ibu….?” pekik Permadi  berat. 

“Ksatria pemberani sepertimu tak pantas bermuram durja. Katakan apa yang menjadi sebab kegundahan hatimu?” suara itu terdengar sangat lembut menerobos gendang telinga Permadi.

“Aku takut….!. Aku takut, ibu….” jawab Permadi terbata. “Aku takut menghadapi semua ini…”.

Semilir angin berhembus lirih menerpa tubuh Permadi. Menghadirkan hawa dingin menusuk tulang. Pria itu masih terlihat memejamkan matanya. Badannya mulai menggigil. Tapi dia berusaha untuk terus berkonsentrasi. 

“Tenangkan dirimu, anakku. Apa yang menimpamu sejatinya ujian dari atas. Jika kamu berhasil melewatinya, maka kamu akan mendapatkan kemuliaan”.

“Aku menginginkannya ibu, tapi aku takut ini akan menjadi bencana buatku…” Permadi mengadu.

“Ibu mengerti, anakku”.

“Mohon petunjuk, ibu…” pinta Permadi penuh harap.

Perempuan berpakaian serba putih itu mengelus kepala Permadi dengan penuh kasih sayang. Lalu mencium kening Permadi sebanyak tiga kali.

“Tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Dan sebaliknya, tidak semua yang kita benci bisa kita musnahkan. Hanya rasa syukur yang menjadikan kebaikan dan keburukan itu menjadi hikmah”. 

“Jangan pernah ragu. Sebab keraguan tidak akan membuat kita lebih baik. Keraguan hanya akan menjadikan hati dan pikiran kita mati. Jangan pernah takut. Sebab ketakutan hanya akan membuatmu semakin bodoh dan tak berguna. Lakukan apa yang menurut hatimu pantas di lakukan. Perjuangkan apa yang menurut hatimu pantas di perjuangkan. Sebab semua ada balasannya masing masing”.

Suasana kembali hening. Perlahan Permadi membuka matanya. Secercah cahaya tiba tiba membuncah menerangi sanubarinya. Benar apa yang di katakan ibunya. Tidak perlu ragu, tidak perlu takut untuk berbuat. Jika memang ia menginginkan Banowati, kenapa ia harus takut di hantui masa lalu. Perjuangkan, perjuangkan….!. Permadi bertekad. 

Rona cerah kini tergurat jelas di wajah sang Dananjaya.  Apapun resikonya ia harus tetap maju demi mendapatkan apa yang selama ini ia idam idamkan. Tentu bukan hal mudah untuk menggapai itu semua.  Pertama ia harus mendapatkan dukungan dari istri pertamanya, Larasati. Baru setelah itu ia meminta restu dan ijin Prabu Salya. 

Larasati. Tak terasa sudah 6 bulan Permadi meninggalkan istrinya, Larasati. Putri Kyai Antagopa itu tentu sangat merindukannya. Permadi tahu persis bahwa putri salah satu pembantu dekat penguasa Mandura itu begitu mencintainya. Begitu berharap untuk terus bisa bersanding dengan dirinya. Di sisi lain, Larasari sendiri juga tahu bahwa sesungguhnya suami yang ia cintai tidak  memberikan banyak harapan untuk Larasati. Pernikahannya dengan Permadi memang lebih di dasarkan atas kewajiban memenuhi janji setelah ia berhasil mengalahkan kakak Larasati, Udawa. Bukan pernikahan yang di bangun dari rasa cinta yang tulus dari kedua belah pihak.

Tapi Larasati  tetaplah Larasati. Wanita cantik yang sempat di perebutkan banyak pria ini memiliki keteguhan luar biasa yang belum tentu di miliki oleh perempuan lain di muka bumi. Baginya, sikap sang suami yang tak jua kunjung menerima pengabdian cintanya bukan suatu persoalan yang pantas di ratapi. Dia tetap mencintai Permadi apa adanya. Dia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik walau kadang perlakuan suaminya begitu memberatkan pikirannya.

Sikap seperti itulah yang membuat Permadi kadang merasa serba salah sekaligus kasihan.

 “Kalau adik merasa lelah dengan kekerasan hatiku, tak mengapa adik mencari pelabuhan lain yang sekiranya bisa menjamin adik berbahagia” bujuk Permadi menjelang kepergiannya meninggalkan Widarakandang.

“Aku akan membantumu untuk menyampaikannya pada bapak. Kita bisa cari alasan yang tepat agar bapak memaklumi keputusan ini” rajuknya lagi.

Larasati tak segera menjawab, di tatapnya dalam dalam kedua mata suaminya. Sedetik kemudian putri kyai Antagopa ini tertunduk. Apa yang di ucapkan oleh Permadi justru makin membuatnya merasa sedih dan tidak berguna. Dia tak habis pikir, dengan apalagi ia harus meyakinkan suami tercintanya, bahwa ia sama sekali tak merasa keberatan dengan sikap Permadi selama ini. Bahkan andai Permadi berbuat lebih jauhpun, rasa cintanya tiada akan tergoyahkan.

“Adik…” sapa Permadi sembari mengusap rambut Larasati.

“Kalau adik tak sanggup mencari pria terbaik yang bisa menjagamu lahir batin, aku akan carikan. Bahkan jika perlu aku akan pergi ke swargaloka. Meminang salahsatu dewa untuk aku persembahkan untukmu”.

Makin terpukul hati Larasati mendengar ucapan Permadi. Makin hancur batinnya. Tak terasa bulir bulir bening merembes dari kelopak matanya.  Bibirnya bergetar menahan desakan kesedihan yang tiada kira. Ingin ia menangis sejadi jadinya, tapi hatinya bersikeras untuk tetap bertahan.

“Sudahlah, kakang” Larasati berusaha mengumpulkan segenap kekuatannya.

“Tak perlu berpikiran yang tidak tidak. Kalau memang mau pergi, pergi saja. Adik tak merasa keberatan, kok…” ungkapnya.

 “Tapi belum tentu aku akan kembali, dik ?” ancam Permadi terus meyakinkan Larasati agar bersedia menerima idenya untuk bercerai dan mencari pria lain yang lebih baik.

“Memangnya kenapa ?” balik Larasati kukuh.

“Tapi adik akan sendirian ?” desak Permadi.

Larasati menyunggingkan senyum. Sebuah senyum yang sebenarnya sangat berat.

“Khan masih ada bapak ?. Ada ibu juga. Dan kakang Udawa masih di sini”.

Permadi mengeluh dalam hati. Dia tak habis pikir apa gerangan yang ada di benak Larasati. Istri pertamanya ini benar benar sulit di nasehati.

“Sudah!” sergah Larasati seolah mengerti apa yang ada di pikiran suaminya.

“Sekarang aku mau menyiapkan semua perbekalan yang kakang perlukan. Kakang istirahat saja. Biar besok bisa melakukan perjalanan dengan kondisi yang segar bugar” setelah mengatakan itu, Larasati segera beranjak menuju dapur. Mengambil sekarung kecil  gandum di gudang penyimpanan, lalu membuat adonan untuk di jadikan roti kering sebagai bekal perjalanan suaminya. Tak lupa ia menanak nasi , membuat lauk pauk secukupnya untuk di makan sebelum sang suami berangkat. Sesekali sambil menunggu masakannya matang, Larasati melipat beberapa pakaian Permadi lalu di masukkan ke dalam kantong pakaian. Semua itu di lakukan dengan penuh ketulusan. Sesuatu yang bagi Permadi justru menyiksa batin. 

“Kakang Gareng, Petruk , Bagong” panggil Permadi seraya menghampiri ketiga abdinya yang masih tertidur pulas di atas balai balai bambu tak jauh dari pinggiran pantai Mandaraka.

“Huaaahheem…” lenguh Gareng antara sadar dan tidak. Pria kurus itu mengucek kucek matanya, menyeka air liur yang meluncur deras dari sudut bibirnya. Sejak semalam ketiganya memang sengaja tidak tidur demi menunggui majikannya yang sedang bersemedi.

“Ehhh…ndoro!” sapa Nala Gareng segera menyadari kehadiran Permadi.

“Siapkan segala sesuatunya, pagi ini juga kita berangkat ke Widarakandang”.

“Widarakandang ?” Gareng masih belum paham.

“Jangan banyak tanya!” bentak Permadi tak ingin berlama lama.

“Siap, ndoro!” sahut Gareng kemudian membangunkan kedua saudaranya untuk seger bersiap siap menuju Widarakandang.

Sebuah perjalanan yang tak mudah. Setidaknya untuk mencapainya, mereka memerlukan waktu kurang lebih 7 hari. Selain jaraknya yang cukup jauh, medannya juga di kenal cukup sulit. Wilayah Mandaraka, terutama bagian barat adalah sebuah wilayah tandus lagi gersang. Sebagian besar merupakan hamparan padang pasir nan luas. Para penduduk sering menyebutnya Kawah Geni yang artinya medan api. Sebuah kawasan yang suhu udaranya sangat panas di siang hari, dan sangat dingin di malam hari. Minim mata air atau oase dan juga jarang di temui adanya pemukiman. Jarak antara oase satu ke oase yang lain membutuhkan waktu seharian perjalanan dengan kuda, bahkan ada pula yang jauhnya sehari semalam perjalanan. Itupun tak semua mata air sanggup memancarkan airnya sepanjang tahun. Butuh keahlian khusus untuk mendeteksi keberadaan mata air dan pemukiman penduduk. Pengembara yang tidak berpengalaman melintasi Kawah Geni jangan terlalu berharap bisa keluar dengan selamat dari daerah gersang ini.

Bagi Permadi, ini adalah kedua kalinya ia melintasi Kawah Geni. Ada rasa minder, mengingat perjalanan pertamanya melintasi Kawah Geni tidak semulus yang ia bayangkan. Bahkan ksatria Madukara ini nyaris menemui ajal akibat menderita kehausan hebat sebelum akhirnya di selamatkan oleh seorang pengembara perempuan bernama Wara Srikandhi yang kebetulan juga melewati daerah itu. Atas jasa Srikandhi yang telah menyelamatkan nyawa Permadi beserta ketiga pengawal setianya, panengah Pandawa ini kemudian mengajari Wara Srikandhi beberapa tehnik memanah. Dari sinilah sebenarnya awal perkenalan antara Permadi dan Srikandhi. Dan kelak wanita petualang ini akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Permadi.

“Ndoro, apa tidak sebaiknya kita cari jalan memutar saja. Petruk takut kejadian tempo hari terulang lagi” saran Petruk memperingatkan. 

Bagaimanapun ketiga pengawal pandawa ini layak khawatir jika terjadi apa apa di perjalanan. Maklum, persiapan logistik yang mereka sediakan terbilang minim. Hanya beberapa potong roti yang bahkan untuk satu orang saja masih kurang. Cadangan air juga hanya 2 kantong. Hanya cukup untuk mereka berempat sebelum mencapai oase pertama. Dan jika sewaktu waktu kuda mereka kehausan, tak ada lagi persediaan. Belum di tambah dari kemarin majikannya tidak memakan satu barang satu makananpun. Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan. Walaupun mereka tahu, tuannya adalah orang yang tahan lapar, akan tetapi berjalan di tengah terik matahari nan menyengat dengan kondisi perut kosong bukan pertanda baik. Maka, mengambil rute memutar yang walaupun lebih jauh dan lama adalah solusi yang sangat tepat. Setidaknya mereka bisa menghindari bahaya kelaparan dan kehausan.

“Benar ndoro” timpal Petruk,”sebaiknya kita menempuh jalur lain saja. Persediaan makanan kita tidak cukup”.

Permadi menarik tali kekang kudanya, yang kemudian di ikuti ketiga pengikutnya.

“Kalau takut mati, lebih baik kalian balik ke Mandaraka saja” ucap Permadi singkat yang kemudian di barengi tepukan keras pada perut kuda putih tunggangannya. Seketika binatang berkaki empat itu melesat cepat membelah padang pasir.

“Gimana, Truk ?” tanya Bagong gelisah.

“Ya sudah. Siap siap aja di jemput Yamadipati” tukas Petruk setengah mengejek.

Dan seperti di komando, ketiganya lantas memacu kuda mereka membuntuti sang majikan yang sudah jauh memasuki kawasan Kawah Geni. Hampir dua jam ketiga anggota Punakawan ini berusaha mengejar Permadi, namun perbedaan kemampuan dalam hal menunggang kuda membuat ketiganya justru makin lama makin tertinggal jauh, hingga bayangan Permadi perlahan lenyap di telan teriknya padang pasir Kawah Geni.
“Kita ikuti jejaknya saja!” Petruk mengomandoi.

“Kenapa sih, ndoro Permadi kesetanan seperti itu ?” Bagong menggerutu.

Ketiganya kembali menggeber tunggangannya yang tampak mulai keletihan. Menjelang sore, usaha mereka mengejar sang majikan tampak menemui keberhasilan. Lamat lamat dari kejauhan kepulan debu yang di timbulkan oleh jejak kaki kuda mulai terlihat nyata. Pertanda Permadi sudah berada tak jauh dari mereka. Raut muka sumringah sontak menyembul dari wajah mereka.

“Ndoro…!!!” teriak Petruk memanggil pada sosok penunggang kuda yang mulai berada tak jauh di depan mereka.

Kuda Permadi tampak melambatkan larinya, tapi pemiliknya seolah tak mempedulikan kehadiran ketiga pengejarnya.

“Ndoro!!!” panggil Petruk begitu berhasil menjajari majikannya.

“Waduhh!” betapa terkejut Petruk manakala melihat kondisi majikannya. Permadi tampak sempoyongan di atas kuda. Wajahnya terlihat pucat dan kelelahan. Sorot matanya menunjukkan bahwa ksatria Madukara ini dalam kondisi yang sangat lelah. Secepat kilat Petruk melompat dari atas kuda tunggangannya. Segera ia meraih tali kekang kuda majikannya yang sudah terlepas dari genggaman. Dan dengan sekali tarik, kuda itu meringkik lalu berhenti.

“Kenapa, ndoro ?” tanya Gareng serta merta ikut turun dan membantu Petruk memapah Permadi yang mulai tak sadarkan diri.

“Air, Gong!”.

Bagong yang mulai menyadari bahwa Permadi dalam kondisi kritis, tergesa gesa menuangkan kantung air ke mulut Permadi. 

“Bangun ndoro!” Petruk mengguncang guncang bahu Permadi untuk membuat majikannya tersadar. Tapi entah kenapa berkali kali ia berusaha, Permadi belum juga sadarkan diri. Gareng dan Bagong yang juga khawatir bukan main akan keselamatan tuannya, tak ketinggalan meraung raung membangunkan Permadi.

“Sadar ndoro!” Gareng.

“Ingat ndoro!!” Bagong

“Bangun ndoro!” teriak mereka bersahut sahutan.

Segala upaya di lakukan, termasuk memasukkan remahan roti ke mulut Permadi. Tapi hingga sekian lama upaya mereka tak jua berhasil. Permadi yang terkenal garang dalam bertarung dan terbiasa tirakat, kini terlihat lemah tak berdaya. Hawa panas Kawah Geni di tambah seharian berada di atas kuda dengan perut tak terisi selama dua hari, benar benar membuat nyawa panengah Pandawa itu kritis.

“Apa yang harus kita lakukan, Truk ?” Bagong tampak kebingungan bukan main.

Petruk menggeleng.

“Kalau sampai ndoro Permadi mati, kita bakal di murkai keluarga Pandawa. Bahkan para dewa juga bakal mengutuk kita” ucap sang Gareng ketakutan.

“Jangan ngomong sembarangan!” Petruk memperingatkan.

“Sebaiknya kita cari akal bagaimana bisa sampai di mata air Sendang Sari. Di sana pasti ada orang yang bisa kita harapkan untuk menolong ndoro Permadi” kata Petruk.

Sendang Sari adalah  mata air pertama di tengah Kawah Geni yang paling dekat meraka jangkau. Salah satu oase yang tak pernah henti mengeluarkan cadangan airnya sepanjang tahun. Para pengembara biasanya menggunakan kawasan Sendang Sari untuk beristirahat, mempersiapkan perbekalan dan membuat tenda sekaligus memulihkan kondisi kuda kudanya.

“Berapa jauh lagi, Truk ?” Bagong bertanya.

“Kalau kita bisa lebih cepat, selepas matahari terbenam kita akan mencapainya”.

Akhirnya, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, ketiganya kemudian menaikkan Permadi di atas kudanya, mengikatnya di punggung kuda dan menarik binatang itu berjalan dengan hati hati menuju ke Sendang Sari.

 >>> Selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar