Banowati
mengangguk. Ada rasa kagum menyelinap di hatinya. Yang perlahan lahan
membuyarkan prasangka buruk Banowati terhadap ayahnya.
“Ayah”
kata Banowati hati hati.
Salyapati
mengarahkan pandangannya dalam dalam pada anaknya.
“Bano
percaya, ayah adalah orang tua sekaligus raja yang bijak bagi rakyat Mandaraka.
Tapi sepertinya ada ganjalan di hati saya, dan itu membutuhkan penjelasan
ayah”.
“Katakan
anakku…” sahut Salyapati mempersilahkan.
Banowati
mengatur nafas. Berharap mendapatkan satu kekuatan untuk berani mengatakan
sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan ayahnya. Sesuatu yang selama ini
mengganjal pikirannya, membuatnya menjadi serba salah menghadapi keadaan.
“Banyak
yang ingin Bano tanyakan ayah…” masih terlihat ragu ragu.
“Ayah
akan dengar semuanya…”.
Banowati
diam sejenak.
“Kenapa
ayah memaksa kakak Herawati menikah dengan Prabu Suyudana ?. Bahkan memaksa
kami semua untuk segera menikah ?”.
“Apalagi
?”.
Banowati
menatap wajah ayahnya. Tidak terlihat raut wajah marah sedikitpun. Bahkan
terkejutpun tidak.
“Siapa
yang membantu melarikan kakak Herawati jelas, tapi kenapa ayah tidak berani
bertindak ?”.
“Trus
?” lagi lagi sang Salyapati begitu tenang menghadapi pertanyaan pertanyaan
kritis anak perempuannya.
“Apakah
ayah tidak tahu, bahwa sesungguhnya kakak Surtikanthi sakit hati dengan
keputusan ayah yang menghukum kakang Narotama ?”.
“Masih
ada ?”.
“Cukup
ayah” jawab Banowati lega.
Penguasa
Mandaraka itu menyunggingkan senyum, menuangkan minuman ke dalam cangkir
kosong, lalu meminumnya.
“Terkadang,
orang hanya menilai dari apa yang kita perbuat. Bukan apa yang menyebabkan dan
mengakibatkan kita melakukan perbuatan” Salyapati membuka suara. Terdengar
parau dan bergetar.
“Aku
telah berkeliling ke setiap jengkal tanah Mandaraka. Keluar masuk kampung di
malam hari, menyambangi mereka satu persatu. Untuk mendengar lebih jelas, apa
yang sebenarnya di rasakan rakyatku. Untuk melihat, apa yang sebenarnya
terjadi”.
“Banyak.
Banyak sekali yang ayah saksikan. Kelaparan, kekurangan, ketidak berdayaan,
bahkan kematian. Kemarau tahun ini begitu panjang. Tidak ada air yang bisa kita
minum, tidak ada tumbuhan yang bisa kita tanam. Banyak sungai dan sumur yang
mengering. Bendungan Jatigiri yang selalu kita andalkan untuk memenuhi
kebutuhan rakyat hanya sanggup mengaliri seperempat tanah pertanian kita.
Akibatnya banyak sawah ladang gersang, binatang peliharaan mati satu persatu
karena rumput tidak bisa tumbuh. Makin ke barat, kondisinya makin mengenaskan.
Sama sekali tidak ada air. Mereka harus menempuh jarak berkilo kilo meter hanya
untuk mendapatkan sumber air yang cuma cukup untuk minum dan memasak”.
“Di
laut, yang merupakan sumber kedua mata pencaharian kita, kini tak lagi
memberikan hasil yang memuaskan. Bajak laut dan perompak, setiap hari
berkeliaran mengganggu nelayan nelayan kita. Rakyat mulai takut untuk melaut,
sebab nyawa mereka selalu terancam”.
“Miris
hati ayah, anakku. Sedih. Mandaraka yang dulu begitu di takuti, kini hanyalah
negeri lemah yang hanya menunggu waktu untuk runtuh. Tidak ada yang bisa di
andalkan. Bahkan banyak para pejabat yang diam diam melakukan pembangkangan.
Tidak mentaati perintah, dan malah
bekerjasama dengan para penjahat”.
“Kamu
pasti bertanya, kenapa ayah diam. Tidak anakku, ayah tidak diam. Ayah pergi
kesana kemari. Dari satu negeri ke negeri lain. Dari kawan satu ke kawan yang
lain. Berharap ada yang bersedia membantu meringankan beban rakyat Mandaraka. Tidak
harus berupa bantuan militer untuk memperkuat armada laut kita. Untuk mengusir
para perompak yang telah merampok hasil laut para nelayan. Tidak. Kalaupun
hanya berupa bahan makanan, ayah sudah merasa sangat bahagia. Sebab, jika
rakyat sudah terpenuhi perutnya, mereka akan dengan mudah kita ajak untuk
berbuat pada bangsanya”.
“Sebulan
setelah kekeringan melanda Mandaraka, ayah menemui Prabu Suyudana. Mengemis di
hadapannya. Bukan demi ayah pribadi. Tapi untuk rakyatku. Prabu Suyudana merasa
iba, lalu memerintahkan para pejabat untuk mengeluarkan cadangan pangan yang
sebenarnya di simpan untuk kebutuhan rakyat Hastina untuk di berikan kepada
kita. Dengan cuma cuma”.
“Ada
beras, gandum, palawija, ubi ubian dan lain sebagainya. Yang itu semua cukup
untuk menyambung hidup rakyat Mandaraka selama tiga bulan. Waktu itu, ayah
berharap di bulan ke empat, hujan segera turun. Tapi rupanya Tuhan berencana
lain. Kemarau terus berlanjut. Dan lagi lagi, rakyat kita terancam kelaparan”.
“Penderitaan
kita tidak sampai di situ. Di lingkungan keraton, para pejabat yang awalnya
malu malu melakukan pembangkangan, kini mulai menunjukkan jati dirinya. Mereka
satu persatu menyeberang ke timur dan bergabung dengan para perompak untuk
merencanakan sebuah pemberontakan”.
“Kamu
tahu Bano ?” berhenti sejenak, “ siapa dalang pembangkangan itu ?”.
“Tidak
tahu ayah”.
“Kurandageni!”
tegas Salyapati dengan mimik marah.
Terkejut
Banowati mendengar cerita sang ayah. Sama sekali ia tak menyangka, bahwa Prabu
Kurandageni yang juga ayah dari Kartawiyaga adalah dalang di balik
pembangkangan para pejabat.
“Dan
kamu tahu, siapa pemimpin bajak laut yang sering mengganggu nelayan kita ?”.
“Siapa
ayah ?”.
“Dia
yang melarikan kakakmu”.
“Kartawiyaga
?”.
“Ya”.
“Jadi….jadi....sebelum
Bano melaporkan soal kak Herawati, ayah sebenarnya sudah tahu kejadian itu ?”
tanya Banowati terheran heran.
Salyapati
mengangguk.
“Lantas
kenapa ayah tidak segera bertindak ?”.
“Karena
ayah tahu persis, kita tidak punya kekuatan yang layak untuk menghadapi mereka”
jawab sang ayah lugas.
“Kita
tidak punya biaya yang cukup untuk melakukan operasi. Kita juga tak punya
pasukan yang kuat untuk bertarung. Jangankan untuk menggelar perang, untuk
makan saja susah”.
“Itulah
kenapa ayah tetap ingin menjalin hubungan kekerabatan dengan Hastina, walaupun
harus mengorbankan aku dan kakak Surtikanthi ?” ucap Banowati mulai tahu duduk
persoalannya.
“Tidak
ada cara lain. Negara yang paling dekat dan bisa kita ajak kerjasama hanya
Hastina”.
“Dan
ayah sengaja menyembunyikan Narotama agar ayah bisa dengan nyaman menyodorkan
pilihan pengganti kakak Herawati bagi prabu Suyudana ?” tohok Banowati.
“Bukan
menyodorkan pilihan” tepis prabu Salya.
“Lantas
?”.
Prabu
Salya menarik nafas dalam dalam, lalu menghembuskan perlahan. Matanya yang
tajam menatap penuh selidik. Seolah ingin menelanjangi Banowati.
“Ayah
tahu, anggota Pandawa menuju kemari” aku Salya.
“Apa
?” tercekat sang Banowati mendengar ucapan ayahnya.
Gila.
Bagaimana mungkin ayahnya bisa tahu semua hal. Bahkan kedatangan Permadi ke
Mandarakapun tak luput dari
pengamatannya. Makin tebal rasa kagum Banowati terhadap ayahnya.
“Permadi
itu lelaki penggila wanita. Kemanapun ia pergi, salah satu yang paling menarik
baginya adalah perempuan. Maka ketika telik sandi melaporkan bahwa dia sedang
menuju, ayah segera paham. Itulah kenapa ayah sengaja menyingkirkan Narotama. Karena
ayah tahu, kedatangannya kemari untuk mengincar wanita. Dan di kota ini, tidak
ada wanita yang lebih cantik dari anak anakku semua”.
“Ha
ha ha……”derai tawa Salyapati merekah, sehingga mempertontonkan deretan giginya
yang putih.
“Sepertinya
dia menyukaimu, Bano” ucap Salyapati setengah menggoda.
“Ayah…”
Banowati menunduk tersipu.
Harus
ia akui, sejak bertemu pertama kali, dalam diri Banowati mulai timbul benih
benih rasa suka pada Permadi. Parasnya yang tampan, perangainya yang santun dan
tingkahnya yang menyenangkan, benar benar membuat Banowati merasa sangat nyaman
berada di dekatnya.
“Dia
petarung paling hebat di keluarga Pandawa. Pemanah paling lihai di dunia.
Alangkah senangnya ayah, jika kamu bisa merayu dia untuk membantu kita”.
“Ayah
menginginkan Bano pergi menemui raden Permadi ?”.
“Itu
kalau Bano mau” jawab Salyapati enteng.
“Mmm…lantas
bagaimana dengan kak Kanthi dan Narotama ?”.
“Biarkan
saja, nanti ayah yang akan menjelaskan pada keduanya” janji prabu Salya.
“Prabu
Suyudana ?”.
“Ayah
tahu, antara kedua keluarga Hastina dan Amarta sedang tidak akur. Tapi masalah
yang melanda negeri kita membutuhkan bantuan dari semua pihak. Tapi tetap, kita
harus menjaga perasaan keduanya”.
Banowati
menyeka kening, membetulkan selendang putih di lehernya lalu mengangkat
wajahnya. Pria Mandaraka itu memang baru saja di kenalnya, dan tidak seharusnya
ia meminta sesuatu yang terlalu jauh. Akan tetapi, apa yang di sampaikan sang
ayah jauh lebih penting daripada mempertahankan rasa gengsinya.
“Demi
rasa cintaku pada ayah, Bano akan lakukan apapun yang ayah perintahkan” janji
Banowati.
Prabu
Salya tersenyum puas mendengar kesediaan putrinya untuk membantu keruwetan yang
melanda seluruh rakyat Mandaraka.
“Hati
hati anakku” pesan Salyapati.
Banowati
mengangguk.
“Kalau
begitu, Bano akan segera bersiap siap mencari Raden Permadi. Semoga saja ia
belum meninggalkan Mandaraka”.
Setelah
merasa cukup berbincang bincang dengan ayahnya mengenai keadaan Mandaraka yang
sebenarnya, Banowati bergegas keluar dari kediaman Prabu Salyapati. Yang
pertama ia temui adalah adiknya, Burisrawa. Dia tidak mungkin berani sendirian
mencari Permadi, selain medannya terlalu berat, situasi Mandaraka sedang tidak
aman.
*************************************
Entah apa yang berkecamuk di
pikiran Permadi. Sejak pertemuannya dengan Banowati, ksatria Madukara ini
semakin terlihat murung dan lebih suka melamun sendirian. Gairah hidupnya
seperti luruh berkeping keping . Ada perang batin yang sepertinya tak
kunjung usai menjangkiti setiap jengkal pikirannya. Antara realitas
kekinian dan masa lalu. Antara tekad dan keraguan. Dan antara kesedihan dan
luapan kegembiraan. Semua bercampur aduk, bertarung satu dengan yang lain tanpa
ada hasil akhir yang melegakan pikiran.
Adalah Banowati, putri ketiga
Prabu Salya yang menyeretnya dalam kubangan kegundahan yang tiada terperi.
Menenggelamkan hati dan pikirannya pada kenangan masa lalu yang tak pernah
surut menghantui. Suatu peristiwa pilu yang nyaris saja membuat Permadi
kehilangan gairah hidup, kehilangan cinta dan kehilangan cahaya kebahagiaan.
Dewi Anggraeni. Wanita
bersahaja yang merupakan istri dari Raja Paranggelung itu kini seolah
hidup kembali. Bukan sebagai sosok wanita teguh yang tak goyah oleh bujuk
rayunya. Bukan sebagai perempuan tulus yang hanya menambatkan kesetiaan pada
suami tercintanya. Tapi sebagai gadis muda yang ramah, menyenangkan dan penuh
pesona.
Oh Banowati…
Siapa sesungguhnya dirimu
?. Adakah sukma Anggraeni menyatu dalam dirimu ?. Jika iya, kenapa engkau
justru tampakkan kepadaku sikap yang bertolak belakang ?. Seharusnya jika
engkau memang pujaanku Anggraeni, tak perlu engkau bermulut manis kepadaku.
Pria biadab yang telah merenggut kehidupan dan kebahagiaanmu. Pria angkuh yang
egois, sombong dan tak punya perasaan.
Permadi tertunduk lesu.
Matanya terpejam. Perasaan bersalah dan menyesal bertumpuk tumpuk membebani
pikirannya. Membuatnya semakin lama semakin tak berdaya dan nyaris kehilangan
kekuatan. Putra ketiga Dewi Kunti yang lahir dari anugrah dewa Indra ini
seperti tak ingin mempercayai bahwa Banowati dan Anggraeni adalah pribadi yang
berbeda. Di mata Permadi, keduanya adalah sosok yang sama atau paling tidak
memiliki kaitan antara satu dengan yang lain. Mata yang tajam dan memancarkan
cahaya misterius, bibir yang tipis berkilau kemerahan, lesung pipit nan
menggoda di balik senyum manisnya, rambut hitam lurus terjurai, bentuk tubuh
langsing dengan balutan kulit kuning langsat serta bau harum melati yang khas
dan kecantikan alami layaknya bidadari swargaloka. Semuanya ciri ciri itu sama
sama di miliki oleh Banowati dan Anggraeni.
Duh gusti…
Ini takdir atau kutukan ?.
Ini sanjungan atau ujian ?. Adakah kesengajaan yang sudah Engkau rencanakan ?.
Pemanah terbaik Pandawa ini tak
henti hentinya mengeluh dalam hati. Apalagi jika ia mengingat bagaimana sikap
Banowati terhadap Aswatama. Tatapannya yang di penuhi kebencian, ucapannya yang
pedas dan menusuk perasaan, tak ubahnya seperti perilaku Anggraeni terhadap
dirinya.
“Dengar wahai ksatria. Kamu boleh
berbangga diri dengan paras tampanmu yang setiap perempuan akan takhluk
melihatmu. Kamu boleh jumawa karena kedudukanmu sebagai keturunan terbaik
bangsa Kuru. Kamu boleh menyombongkan diri telah menyirnakan Raja kecil di
tanah Paranggelung. Akan tetapi aku, Anggraeni takkan surut dan menyerahkan
kehormatanku padamu”
“Dengarkan kutukanku wahai
ksatria tak terkalahkan” ancam Anggraeni ketika itu.
“Kamu akan dapatkan semua hal
yang kamu inginkan. Tapi satu yang tak akan bisa kamu dapatkan. Pelabuhan
cintamu!!”.
Ucapan terakhir Dewi Anggraeni
sebelum ia melakukan aksi bunuh diri di depan Permadi ini tak pernah berhenti
terngiang dalam sanubarinya. Sebuah ungkapan yang lahir dari ketertindasan,
ketidak mampuan dan keputusasaan. Sebuah kutukan yang entah di dengar
atau tidak oleh sang Maha Mendengar.
“Ndoro…”.
Sayup sayup terdengar panggilan
lirih di telinga Permadi. Suaranya tak sing lagi. Ksatria Madukara ini perlahan
membuka mata, mengangkat kepala dan menatap liar kepada tiga pelayan setianya.
“Sudah seharian ndoro berdiam
diri tanpa mengunyah sesuap makananpun” Nala Gareng memberanikan diri untuk
berbicara.
“Kami khawatir ndoro jatuh sakit”
Petruk menambahi.
Permadi hanya diam tak menjawab
sepatah katapun. Seolah tak terlalu peduli dengan perhatian yang di tunjukkan
ketiga pelayannya itu.
“Kami bawakan makanan kesukaan
ndoro. Ayam bakar dengan lalapan sambal tomat. Mohon di cicipi “ pinta Gareng
sembari menyorong nampan berisi makanan yang masih hangat.
Tapi lagi lagi tak ada suara yang
keluar dari bibir majikannya. Hanya raut wajah duka yang tergambar . Ketiganya
terlihat saling pandang. Lalu melempar isyarat.
“Kami permisi dulu, ndoro..” ucap
Nala Gareng pamit.
Ketiganya lalu beringsut menjauh.
“Tunggu…!”
Panggil Permadi menghentikan
langkah ketiga pelayannya. Dan dengan tergopoh gopoh ketiga pria paruh baya itu
berbalik memenuhi panggilan majikannya.
“Iya, ndoro…” sahut ketiganya
serempak.
“Bawa makanan kalian”.
“Ndoro….?” Petruk.
“Sudahlah!” potong Permadi
setengah menghardik, “aku belum lapar”.
Kali ini ketiganya tak berani
membantah. Dengan hati hati Petruk meraih nampan yang sejatinya di persembahkan
untuk tuannya. Kemudian berlalu tanpa sepatah katapun.
Sang Permadi kembali
tenggelam dalam kegalauan hatinya. Tangannya kini bersedekap, kakinya di tekuk
dalam posisi bersila. Perlahan ia mengatur nafas. Matanya tertutup seraya
mengheningkan cipta. Meminta petunjuk pada Tuhan yang Maha Kuasa. Lama sekali
lelaki perkasa dengan segudang ilmu kesaktian ini tenggelam dalam semedinya.
Hingga tanpa terasa kesadarannya lenyap terbawa oleh rasa kantuk yang luar
biasa.
“Anakku…!. Apa gerangan yang
membuatmu bersedih hati “.
Permadi terperanjat. Antara sadar
dan tidak. Sesosok bayangan perempuan tua berpakaian serba putih tiba tiba
telah berdiri di sampingnya. Dialah Dewi Kunti , ibu para Pandawa.
“Ibu….?” pekik Permadi
berat.
“Ksatria pemberani sepertimu tak
pantas bermuram durja. Katakan apa yang menjadi sebab kegundahan hatimu?” suara
itu terdengar sangat lembut menerobos gendang telinga Permadi.
“Aku takut….!. Aku takut, ibu….”
jawab Permadi terbata. “Aku takut menghadapi semua ini…”.
Semilir angin berhembus lirih
menerpa tubuh Permadi. Menghadirkan hawa dingin menusuk tulang. Pria itu masih
terlihat memejamkan matanya. Badannya mulai menggigil. Tapi dia berusaha untuk
terus berkonsentrasi.
“Tenangkan dirimu, anakku. Apa
yang menimpamu sejatinya ujian dari atas. Jika kamu berhasil melewatinya, maka
kamu akan mendapatkan kemuliaan”.
“Aku menginginkannya ibu, tapi
aku takut ini akan menjadi bencana buatku…” Permadi mengadu.
“Ibu mengerti, anakku”.
“Mohon petunjuk, ibu…” pinta
Permadi penuh harap.
Perempuan berpakaian serba putih
itu mengelus kepala Permadi dengan penuh kasih sayang. Lalu mencium kening
Permadi sebanyak tiga kali.
“Tidak semua yang kita inginkan
bisa kita dapatkan. Dan sebaliknya, tidak semua yang kita benci bisa kita
musnahkan. Hanya rasa syukur yang menjadikan kebaikan dan keburukan itu menjadi
hikmah”.
“Jangan pernah ragu. Sebab
keraguan tidak akan membuat kita lebih baik. Keraguan hanya akan menjadikan
hati dan pikiran kita mati. Jangan pernah takut. Sebab ketakutan hanya akan
membuatmu semakin bodoh dan tak berguna. Lakukan apa yang menurut hatimu pantas
di lakukan. Perjuangkan apa yang menurut hatimu pantas di perjuangkan. Sebab
semua ada balasannya masing masing”.
Suasana kembali hening. Perlahan
Permadi membuka matanya. Secercah cahaya tiba tiba membuncah menerangi
sanubarinya. Benar apa yang di katakan ibunya. Tidak perlu ragu, tidak perlu
takut untuk berbuat. Jika memang ia menginginkan Banowati, kenapa ia harus
takut di hantui masa lalu. Perjuangkan, perjuangkan….!. Permadi bertekad.
Rona cerah kini tergurat jelas di
wajah sang Dananjaya. Apapun resikonya ia harus tetap maju demi
mendapatkan apa yang selama ini ia idam idamkan. Tentu bukan hal mudah untuk
menggapai itu semua. Pertama ia harus mendapatkan dukungan dari istri
pertamanya, Larasati. Baru setelah itu ia meminta restu dan ijin Prabu
Salya.
Larasati. Tak terasa sudah 6
bulan Permadi meninggalkan istrinya, Larasati. Putri Kyai Antagopa itu tentu
sangat merindukannya. Permadi tahu persis bahwa putri salah satu pembantu dekat
penguasa Mandura itu begitu mencintainya. Begitu berharap untuk terus bisa
bersanding dengan dirinya. Di sisi lain, Larasari sendiri juga tahu bahwa
sesungguhnya suami yang ia cintai tidak memberikan banyak harapan untuk Larasati.
Pernikahannya dengan Permadi memang lebih di dasarkan atas kewajiban memenuhi
janji setelah ia berhasil mengalahkan kakak Larasati, Udawa. Bukan pernikahan
yang di bangun dari rasa cinta yang tulus dari kedua belah pihak.
Tapi Larasati tetaplah
Larasati. Wanita cantik yang sempat di perebutkan banyak pria ini memiliki
keteguhan luar biasa yang belum tentu di miliki oleh perempuan lain di muka
bumi. Baginya, sikap sang suami yang tak jua kunjung menerima pengabdian
cintanya bukan suatu persoalan yang pantas di ratapi. Dia tetap mencintai
Permadi apa adanya. Dia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik walau
kadang perlakuan suaminya begitu memberatkan pikirannya.
Sikap seperti itulah yang membuat
Permadi kadang merasa serba salah sekaligus kasihan.
“Kalau adik merasa lelah
dengan kekerasan hatiku, tak mengapa adik mencari pelabuhan lain yang sekiranya
bisa menjamin adik berbahagia” bujuk Permadi menjelang kepergiannya
meninggalkan Widarakandang.
“Aku akan membantumu untuk
menyampaikannya pada bapak. Kita bisa cari alasan yang tepat agar bapak
memaklumi keputusan ini” rajuknya lagi.
Larasati tak segera menjawab, di
tatapnya dalam dalam kedua mata suaminya. Sedetik kemudian putri kyai Antagopa
ini tertunduk. Apa yang di ucapkan oleh Permadi justru makin membuatnya merasa
sedih dan tidak berguna. Dia tak habis pikir, dengan apalagi ia harus
meyakinkan suami tercintanya, bahwa ia sama sekali tak merasa keberatan dengan
sikap Permadi selama ini. Bahkan andai Permadi berbuat lebih jauhpun, rasa
cintanya tiada akan tergoyahkan.
“Adik…” sapa Permadi sembari
mengusap rambut Larasati.
“Kalau adik tak sanggup mencari
pria terbaik yang bisa menjagamu lahir batin, aku akan carikan. Bahkan jika
perlu aku akan pergi ke swargaloka. Meminang salahsatu dewa untuk aku
persembahkan untukmu”.
Makin terpukul hati Larasati
mendengar ucapan Permadi. Makin hancur batinnya. Tak terasa bulir bulir bening
merembes dari kelopak matanya. Bibirnya bergetar menahan desakan
kesedihan yang tiada kira. Ingin ia menangis sejadi jadinya, tapi hatinya
bersikeras untuk tetap bertahan.
“Sudahlah, kakang” Larasati
berusaha mengumpulkan segenap kekuatannya.
“Tak perlu berpikiran yang tidak
tidak. Kalau memang mau pergi, pergi saja. Adik tak merasa keberatan, kok…”
ungkapnya.
“Tapi belum tentu aku akan
kembali, dik ?” ancam Permadi terus meyakinkan Larasati agar bersedia menerima
idenya untuk bercerai dan mencari pria lain yang lebih baik.
“Memangnya kenapa ?” balik
Larasati kukuh.
“Tapi adik akan sendirian ?”
desak Permadi.
Larasati menyunggingkan senyum.
Sebuah senyum yang sebenarnya sangat berat.
“Khan masih ada bapak ?. Ada ibu
juga. Dan kakang Udawa masih di sini”.
Permadi mengeluh dalam hati. Dia
tak habis pikir apa gerangan yang ada di benak Larasati. Istri pertamanya ini
benar benar sulit di nasehati.
“Sudah!” sergah Larasati seolah
mengerti apa yang ada di pikiran suaminya.
“Sekarang aku mau menyiapkan
semua perbekalan yang kakang perlukan. Kakang istirahat saja. Biar besok bisa
melakukan perjalanan dengan kondisi yang segar bugar” setelah mengatakan itu,
Larasati segera beranjak menuju dapur. Mengambil sekarung kecil gandum di
gudang penyimpanan, lalu membuat adonan untuk di jadikan roti kering sebagai bekal
perjalanan suaminya. Tak lupa ia menanak nasi , membuat lauk pauk secukupnya
untuk di makan sebelum sang suami berangkat. Sesekali sambil menunggu
masakannya matang, Larasati melipat beberapa pakaian Permadi lalu di masukkan
ke dalam kantong pakaian. Semua itu di lakukan dengan penuh ketulusan. Sesuatu
yang bagi Permadi justru menyiksa batin.
“Kakang Gareng, Petruk , Bagong”
panggil Permadi seraya menghampiri ketiga abdinya yang masih tertidur pulas di
atas balai balai bambu tak jauh dari pinggiran pantai Mandaraka.
“Huaaahheem…” lenguh Gareng
antara sadar dan tidak. Pria kurus itu mengucek kucek matanya, menyeka air liur
yang meluncur deras dari sudut bibirnya. Sejak semalam ketiganya memang sengaja
tidak tidur demi menunggui majikannya yang sedang bersemedi.
“Ehhh…ndoro!” sapa Nala Gareng
segera menyadari kehadiran Permadi.
“Siapkan segala sesuatunya, pagi
ini juga kita berangkat ke Widarakandang”.
“Widarakandang ?” Gareng masih
belum paham.
“Jangan banyak tanya!” bentak
Permadi tak ingin berlama lama.
“Siap, ndoro!” sahut Gareng
kemudian membangunkan kedua saudaranya untuk seger bersiap siap menuju
Widarakandang.
Sebuah perjalanan yang tak mudah. Setidaknya untuk
mencapainya, mereka memerlukan waktu kurang lebih 7 hari. Selain jaraknya yang
cukup jauh, medannya juga di kenal cukup sulit. Wilayah Mandaraka, terutama
bagian barat adalah sebuah wilayah tandus lagi gersang. Sebagian besar
merupakan hamparan padang pasir nan luas. Para penduduk sering menyebutnya
Kawah Geni yang artinya medan api. Sebuah kawasan yang suhu udaranya sangat
panas di siang hari, dan sangat dingin di malam hari. Minim mata air atau oase
dan juga jarang di temui adanya pemukiman. Jarak antara oase satu ke oase yang
lain membutuhkan waktu seharian perjalanan dengan kuda, bahkan ada pula yang
jauhnya sehari semalam perjalanan. Itupun tak semua mata air sanggup
memancarkan airnya sepanjang tahun. Butuh keahlian khusus untuk mendeteksi
keberadaan mata air dan pemukiman penduduk. Pengembara yang tidak berpengalaman
melintasi Kawah Geni jangan terlalu berharap bisa keluar dengan selamat dari
daerah gersang ini.
Bagi Permadi, ini adalah kedua kalinya ia melintasi Kawah
Geni. Ada rasa minder, mengingat perjalanan pertamanya melintasi Kawah Geni
tidak semulus yang ia bayangkan. Bahkan ksatria Madukara ini nyaris menemui
ajal akibat menderita kehausan hebat sebelum akhirnya di selamatkan oleh
seorang pengembara perempuan bernama Wara Srikandhi yang kebetulan juga
melewati daerah itu. Atas jasa Srikandhi yang telah menyelamatkan nyawa Permadi
beserta ketiga pengawal setianya, panengah Pandawa ini kemudian mengajari Wara
Srikandhi beberapa tehnik memanah. Dari sinilah sebenarnya awal perkenalan
antara Permadi dan Srikandhi. Dan kelak wanita petualang ini akan menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan Permadi.
“Ndoro, apa tidak sebaiknya kita cari jalan memutar saja.
Petruk takut kejadian tempo hari terulang lagi” saran Petruk memperingatkan.
Bagaimanapun ketiga pengawal pandawa ini layak khawatir jika
terjadi apa apa di perjalanan. Maklum, persiapan logistik yang mereka sediakan
terbilang minim. Hanya beberapa potong roti yang bahkan untuk satu orang saja
masih kurang. Cadangan air juga hanya 2 kantong. Hanya cukup untuk mereka
berempat sebelum mencapai oase pertama. Dan jika sewaktu waktu kuda mereka
kehausan, tak ada lagi persediaan. Belum di tambah dari kemarin majikannya
tidak memakan satu barang satu makananpun. Kondisi ini tentu saja sangat
membahayakan. Walaupun mereka tahu, tuannya adalah orang yang tahan lapar, akan
tetapi berjalan di tengah terik matahari nan menyengat dengan kondisi perut
kosong bukan pertanda baik. Maka, mengambil rute memutar yang walaupun lebih
jauh dan lama adalah solusi yang sangat tepat. Setidaknya mereka bisa
menghindari bahaya kelaparan dan kehausan.
“Benar ndoro” timpal Petruk,”sebaiknya kita menempuh jalur
lain saja. Persediaan makanan kita tidak cukup”.
Permadi menarik tali kekang kudanya, yang kemudian di ikuti
ketiga pengikutnya.
“Kalau takut mati, lebih baik kalian balik ke Mandaraka
saja” ucap Permadi singkat yang kemudian di barengi tepukan keras pada perut
kuda putih tunggangannya. Seketika binatang berkaki empat itu melesat cepat
membelah padang pasir.
“Gimana, Truk ?” tanya Bagong gelisah.
“Ya sudah. Siap siap aja di jemput Yamadipati” tukas Petruk
setengah mengejek.
Dan seperti di komando, ketiganya lantas memacu kuda mereka
membuntuti sang majikan yang sudah jauh memasuki kawasan Kawah Geni. Hampir dua
jam ketiga anggota Punakawan ini berusaha mengejar Permadi, namun perbedaan
kemampuan dalam hal menunggang kuda membuat ketiganya justru makin lama makin
tertinggal jauh, hingga bayangan Permadi perlahan lenyap di telan teriknya
padang pasir Kawah Geni.
“Kita ikuti jejaknya saja!” Petruk mengomandoi.
“Kenapa sih, ndoro Permadi kesetanan seperti itu ?” Bagong
menggerutu.
Ketiganya kembali menggeber tunggangannya yang tampak mulai
keletihan. Menjelang sore, usaha mereka mengejar sang majikan tampak menemui
keberhasilan. Lamat lamat dari kejauhan kepulan debu yang di timbulkan oleh
jejak kaki kuda mulai terlihat nyata. Pertanda Permadi sudah berada tak jauh
dari mereka. Raut muka sumringah sontak menyembul dari wajah mereka.
“Ndoro…!!!” teriak Petruk memanggil pada sosok penunggang
kuda yang mulai berada tak jauh di depan mereka.
Kuda Permadi tampak melambatkan larinya, tapi pemiliknya
seolah tak mempedulikan kehadiran ketiga pengejarnya.
“Ndoro!!!” panggil Petruk begitu berhasil menjajari
majikannya.
“Waduhh!” betapa terkejut Petruk manakala melihat kondisi
majikannya. Permadi tampak sempoyongan di atas kuda. Wajahnya terlihat pucat
dan kelelahan. Sorot matanya menunjukkan bahwa ksatria Madukara ini dalam
kondisi yang sangat lelah. Secepat kilat Petruk melompat dari atas kuda
tunggangannya. Segera ia meraih tali kekang kuda majikannya yang sudah terlepas
dari genggaman. Dan dengan sekali tarik, kuda itu meringkik lalu berhenti.
“Kenapa, ndoro ?” tanya Gareng serta merta ikut turun dan
membantu Petruk memapah Permadi yang mulai tak sadarkan diri.
“Air, Gong!”.
Bagong yang mulai menyadari bahwa Permadi dalam kondisi
kritis, tergesa gesa menuangkan kantung air ke mulut Permadi.
“Bangun ndoro!” Petruk mengguncang guncang bahu Permadi
untuk membuat majikannya tersadar. Tapi entah kenapa berkali kali ia berusaha,
Permadi belum juga sadarkan diri. Gareng dan Bagong yang juga khawatir bukan
main akan keselamatan tuannya, tak ketinggalan meraung raung membangunkan
Permadi.
“Sadar ndoro!” Gareng.
“Ingat ndoro!!” Bagong
“Bangun ndoro!” teriak mereka bersahut sahutan.
Segala upaya di lakukan, termasuk memasukkan remahan roti ke
mulut Permadi. Tapi hingga sekian lama upaya mereka tak jua berhasil. Permadi
yang terkenal garang dalam bertarung dan terbiasa tirakat, kini terlihat lemah
tak berdaya. Hawa panas Kawah Geni di tambah seharian berada di atas kuda
dengan perut tak terisi selama dua hari, benar benar membuat nyawa panengah
Pandawa itu kritis.
“Apa yang harus kita lakukan, Truk ?” Bagong tampak
kebingungan bukan main.
Petruk menggeleng.
“Kalau sampai ndoro Permadi mati, kita bakal di murkai
keluarga Pandawa. Bahkan para dewa juga bakal mengutuk kita” ucap sang Gareng
ketakutan.
“Jangan ngomong sembarangan!” Petruk memperingatkan.
“Sebaiknya kita cari akal bagaimana bisa sampai di mata air
Sendang Sari. Di sana pasti ada orang yang bisa kita harapkan untuk menolong
ndoro Permadi” kata Petruk.
Sendang Sari adalah
mata air pertama di tengah Kawah Geni yang paling dekat meraka jangkau.
Salah satu oase yang tak pernah henti mengeluarkan cadangan airnya sepanjang
tahun. Para pengembara biasanya menggunakan kawasan Sendang Sari untuk
beristirahat, mempersiapkan perbekalan dan membuat tenda sekaligus memulihkan
kondisi kuda kudanya.
“Berapa jauh lagi, Truk ?” Bagong bertanya.
“Kalau kita bisa lebih cepat, selepas matahari terbenam kita
akan mencapainya”.
Akhirnya, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, ketiganya
kemudian menaikkan Permadi di atas kudanya, mengikatnya di punggung kuda dan
menarik binatang itu berjalan dengan hati hati menuju ke Sendang Sari.
>>> Selanjutnya
>>> Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar