Pria muda itu tampak tergesa gesa
menaiki perbukitan. Gerakannya terlihat ringan, lincah dan sangat terlatih.
Tidak ada kesulitan sedikitpun baginya untuk mencapai puncak bukit kendati di
sepanjang jalan ia harus melewati bebatuan nan terjal, curam, berdebu dan di
penuhi dedaunan serta ranting kering. Di belakangnya, tiga pria berumur
setengah baya terlihat berusaha dengan susah payah menyusul ke puncak bukit.
Beberapa kali mereka terpaksa harus jatuh bangun karena medan terlalu curam dan
licin untuk di lewati. Berada di barisan paling depan, lelaki jangkung dengan
hidung mancung, dagu lancip serta rambut yang sebagian telah berwarna putih.
Dialah Petruk. Salah satu anggota punakawan pengasuh para ksatria Pandawa. Di
belakangnya lagi seorang lelaki yang umurnya sedikit lebih tua dari Petruk.
Bertubuh kurus, pendek, berwajah buruk dan berkaki pincang. Bernama Gareng.
Lelaki ketiga dan yang paling muda, bertubuh gemuk, bermata besar dengan bibir
tebal. Dialah sang Bagong. Pengasuh termuda para ksatria Pandawa.
Lalu siapakah pria muda dengan
gerakan lincah yang kini duduk manis di atas batu besar di puncak bukit ?. Dia
tak lain dan tak bukan adalah sang panengah Pandawa, raden Permadi. Bertubuh
sedang, berkulit bersih, berhidung mancung, berwajah tampan dengan rambut hitam
legam lurus sepanjang bahu. Berpakaian ksatria dengan busur dan anak panah
bertengger manis di punggungnya. Tabiatnya kalem, rendah hati, santun dan tidak
banyak bicara. Selain di kenal sebagai sosok pendekar pilih tanding dan ahli
dalam ilmu memanah, Raden Permadi juga mempunyai sisi lain yang jarang di
miliki pria lain. Yaitu, lihai dalam menakhlukkan hati para wanita. Wajah
tampan, penampilan rapi dan olah kata yang santun adalah modal paling berharga
yang di miliki putra ke tiga almarhum Prabu Pandudewanata ini dalam menjerat
hati kaum wanita. Tidak terhitung lagi berapa wanita yang jatuh hati pada
ksatria asal Madukara ini. Jangankan yang jelas jelas perempuan lajang, mereka
yang telah bersuamipun tidak sedikit yang menaruh rasa suka terhadap lelaki
yang satu ini.
Namun demikian, kisah asmara sang
Permadi sendiri tidaklah semulus yang di bayangkan banyak orang. Kendati di
idolakan banyak kaum hawa, Permadi bukanlah pribadi yang begitu mudah untuk
menambatkan cintanya. Bagi Permadi, ketertarikan terhadap lawan jenis tidak
melulu di dasarkan pada pesona fisik, kemolekan tubuh, kecerdasan pikiran atau
apapun. Tapi lebih pada ketergerakkan hati. Sebuah kondisi di mana hati merasa
nyaman dan cocok dengan obyek yang ada. Tidak mesti melalui sebuah proses
panjang yang berbelit belit dan penuh onak berduri. Rasa cintanya bisa tumbuh
secepat kilat bahkan hanya sesaat setelah pandangan pertama, manakala hatinya
tergerak. Namun sebaliknya, sekeras apapun dan bahkan dengan jangka waktu yang
cukup lamapun, usaha untuk menakhlukkan hati Permadi, jika ia sama sekali tak
merasa tergerak hatinya, maka tidak akan pernah tumbuh rasa cinta itu.
Pendeknya, cinta menurut putra Kunti ini tidak bisa di rekayasa, tidak bisa di
karang karang dan tidak bisa di upayakan. Ia harus muncul secara alami dari
lubuk hati yang paling dalam.
Permadi memang unik. Dia bukan
tipe pria yang terlalu peduli dengan keadaan sekitar, tidak peduli dengan
rintangan yang kemungkinan menghalangi hasratnya, bahkan dia sama sekali tak
peduli apakah cintanya bertepuk sebelah tangan atau tidak. Jika hati sudah
terketuk, maka sulit sekali rasa itu tercabut. Perangai seperti inilah yang
seringkali membuat ibu, kakak, adik dan keluarganya selalu merasa was was. Was
was jikalau apa yang di inginkan oleh pemilik panah Pasopati ini ternyata sudah
menjadi hak milik orang lain. Kisah cinta Permadi dan Dewi Anggraeni, istri
Prabu Ekalaya, barangkali bisa menjadi
contoh nyata bagaimana tabiat Permadi yang tidak pernah peduli dengan resiko
akhirnya melahirkan sebuah aib yang begitu membuat malu keluarga Amarta.
Di ceritakan
suatu ketika Dewi Anggraeni beserta rombongan yang membawa sesembahan dari
suaminya Prabu Ekalaya untuk Begawan Durna memasuki sebuah hutan angker, mereka
di cegat para raksasa penghuni hutan itu. Maka terjadilah pertempuran hebat
antara para raksasa dan pengawal Dewi Anggraeni. Pasukan pengawal Anggraeni
terdesak, kewalahan dan akhirnya berhasil di tumpas habis oleh para
Raksasa penguasa hutan. Dewi Anggraeni melarikan diri, namun usahanya segera di
ketahui oleh kawanan penguasa hutan itu dan di kejar hingga masuk lebih jauh ke
dalam hutan. Di tengah hutan itulah Anggraeni bertemu Permadi yang sedang
menjalani tapa brata. Melihat ada wanita cantik jelita yang kepayahan di kejar
kejar gerombolan raksasa, Permadi keluar dari pertapaan dan bermaksud menolong
Dewi Anggraeni. Usaha Permadi berhasil. Para raksasa di tumpas Permadi tanpa sisa.
Merasa berjasa menyelamatkan Dewi Anggraeni, Permadi yang terpesona akan
kecantikan istri Prabu Ekalaya ini, dengan tanpa malu menyatakan cintanya pada
Dewi Anggraeni. Namun oleh Anggraeni, cinta Permadi di tolak secara halus
dengan alasan bahwa ia telah menjadi istri dari penguasa Paranggelung Prabu
Ekalaya. Sakit hati Permadi. Walaupun suami Anggraeni adalah seorang Raja, tapi
secara kasta ia hanyalah raja kecil yang kedudukannya tidak sebanding dengan
Permadi. Permadi yang nasabnya lebih tinggi dari Ekalaya merasa di permalukan
oleh penolakan Anggraeni. Maka timbullah niat jahat Permadi untuk memperkosa
Dewi Anggraeni. Melihat gelagat yang tidak baik dari pria yang sempat
menolongnya itu, Dewi Anggraeni lalu melarikan diri, namun terus di kejar
Permadi hingga sampailah mereka di tepi jurang nan dalam. Anggraeni yang merasa
terjepit dan tak punya pilihan untuk menghindar dari Permadi memutuskan untuk
bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Baginya, lebih baik mati demi membela
kesetiaan pada suaminya daripada jatuh ke pelukan Permadi.
Pupus hati
Permadi menyaksikan wanita yang begitu mempesona hatinya terjun bebas ke dalam
jurang. Namun tanpa sepengetahuan Permadi, Dewi Anggraeni yang hampir di
pastikan tewas membentur bebatuan di dasar jurang secara ajaib di selamatkan
oleh ibundanya yang merupakan salah satu bidadari surga, Dewi Warsiki. Dewi
Warsiki kemudian membawa Anggraeni pulang ke Paranggelung dan melaporkan
tindakan tidak senonoh Permadi kepada menantunya, Prabu Ekalaya. Mendengar
berita bahwa Permadi telah melakukan pelecehan terhadap istri tercintanya,
marahlah Prabu Ekalaya. Berangkatlah Ekalaya beserta pasukannya ke Madukara
dengan niat menghukum Permadi. Permadi yang baru saja pulang dari bertapa,
kaget bukan kepalang mendapati ksatrian Madukara di kepung dari segala penjuru
oleh pasukan Prabu Ekalaya. Bentrokan tak bisa di hindarkan. Prabu Ekalaya yang
merasa di rendahkan oleh tindakan Permadi pada istrinya menantang perang
tanding satu lawan satu. Sebagai seorang ksatria, Permadi menerima tantangan
Prabu Ekalaya dengan harapan jika ia bisa membunuh Ekalaya, Dewi Anggraeni akan
menjadi miliknya. Perang tandingpun pecah. Namun di luar perkiraan, Prabu
Ekalaya yang memiliki sebuah jimat sakti berbentuk cincin di jempol tangan
bernama Mustika Ampal memberikan perlawanan yang luar biasa. Segala senjata
yang di pakai Permadi dengan mudahnya di patahkan Prabu Ekalaya berkat
keampuhan jimat Mustika Ampal. Hingga malam menjelang pertarungan dua pria
hebat ini berakhir tanpa ada pemenang. Karena menurut tradisi, perang tanding
tidak boleh di lakukan di malam hari, keduanya sepakat untuk melanjutkan
perkelahian keesokan hari.
Mujur bagi
Permadi, di saat istirahat di wisma ksatrian datanglah Narayana (Kresna).
Kepada Narayana ia menceritakan bahwa seharian ia perang tanding dengan Ekalaya
dan ia tak bisa mengalahkan Raja Paranggelung itu karena dia memiliki Jimat
Mustika Ampal. Berkat jimat itu Prabu Ekalaya tak bisa di bunuh dengan senjata
apapun. Mengetahui keresahan Permadi, Narayana yang di kenal cerdik kemudian
menyusun siasat. Malam itu juga Narayana menyamar menjadi Resi Durna dan
menyusup ke perkemahan Prabu Ekalaya. Mendapati yang datang adalah guru Durna
dari Sokalima yang sangat ia hormati, Prabu Ekalaya menyambutnya dengan penuh
hangat. Keinginan Ekalaya untuk berguru pada Durna kembali timbul setelah
dahulu kala sempat di tolak oleh spiritualis asal Sokalima ini dengan alasan
Resi Durna tidak menerima murid dari kalangan bukan ksatria. Dan rupanya,
inilah yang kemudian di manfaatkan oleh Narayana yang sedang menyamar sebagai
Durna untuk mengakhiri kedigdayaan Prabu Ekalaya. Dia mengatakan kepada Prabu
Ekalaya, bahwa ia bersedia menerima Ekalaya sebagai murid dengan syarat Prabu
Ekalaya bersedia menyerahkan jimat Mustika Ampal kepadanya. Awalnya Prabu
Ekalaya menolak, akan tetapi Durna palsu ini dengan cerdik mengatakan pada
Ekalaya bahwa ia tidak mau menurunkan ilmu ilmu sakti sedang muridnya itu masih
memakai jimat jimat peninggalan masa lalu. Karena rasa cinta pada guru dan
hasratnya yang luar biasa untuk mewarisi kesaktian Durna, akhirnya luluh juga
hati Prabu Ekalaya. Cincin Mustika Ampal di serahkan pada Durna bajakan ini.
Setelah sukses
mendapatkan apa yang ia cari, Narayana kemudian kembali ke ksatrian Madukara
dan memberitahukan pada Permadi bahwa Prabu Ekalaya sudah tidak sakti lagi.
Kabar ini tak ayal membuat hati Permadi berbunga bunga, bayangan jelita
Anggraeni yang sebentar lagi akan ia dapatkan meliuk liuk di pelupuk mata
Permadi. Maka malam itu juga berangkatlah Permadi ke perkemahan Prabu Ekalaya.
Dan ketika mendapati Prabu Ekalaya tertidur pulas dengan sebilah keris di
sampingnya. Di ambilnya keris itu lalu di tusukkan pada pemiliknya. Seketika
matilah Prabu Ekalaya. Permadi kemudian mengumumkan kepada para prajurit
Paranggelung bahwa ia telah membunuh raja mereka. Sontak berita ini
menggegerkan kubu Paranggelung, tak terkecuali Dewi Anggraeni yang berkemah tak
jauh dari tenda milik suaminya. Sedih hati sang Anggraeni mendengar kabar
kematian suami tercintanya. Dan demi bela pati atas gugurnya Prabu Ekalaya, di
depan Permadi ia melakukan aksi bunuh diri yang tak bisa di cegah oleh
siapapun.
Hancur hati
Permadi melihat kejadian itu. Wanita yang ia cintai setengah mati dan ia
harapkan bisa bersanding di sisinya tewas bersimbah darah. Tragedi ini begitu
memukul hati Permadi. Berhari hari Permadi nyaris tak bisa tidur akibat
menyesali perbuatannya. Badannya yang gemuk berotot perlahan kurus kering
karena nafsu makannya telah sirna bersamaan dengan sirnanya sang dewi pujaan
hati. Permadi lalu memutuskan untuk meninggalkan Madukara, meratapi kisah
hidupnya dan mengembara dari desa ke desa, dari gunung ke gunung dan dari hutan
satu ke hutan lainnya. Hingga suatu hari tibalah ia di desa Widarakandang.
Sebuah desa yang berada di bawah kekuasaan Mandura. Di situ hidup satu
keluarga, Kyai Antagopa dan Nyai Sagopi. Keluarga ini memiliki dua orang anak,
Udawa dan Larasati.
Udawa adalah
pemuda yang sangat kuat, ahli kanuragan dan memiliki tinju yang mematikan.
Sementara Larasati adalah gadis muda yang cantik, anggun dan menarik hati.
Syahdan, keluarga Antagopa yang menyaksikan putrinya yang makin dewasa dan
tumbuh sebagai kembang desa nan molek berkeinginan untuk mencarikan jodoh bagi
Larasati. Maka mendengar keinginan Kyai Antagopa untuk mencari pendamping
bagi anaknya, berdatanganlah para jawara melamar Larasati. Karena saking
banyaknya pelamar dan keluarga Antagopa tak ingin membuat kecewa semuanya, maka
keluarga Antagopa berkeputusan bahwa barang siapa yang mampu mengalahkan Udawa,
ia berhak menjadi suami Larasati.
Perang tanding di
mulai. Satu demi satu jawara jawara berkelahi melawan Udawa. Akan tetapi hingga
habis semua jagoan, tak satupun yang mampu mengalahkan Udawa yang kuat dan
bertinju mematikan. Permadi yang awalnya hanya menonton dan tak terlalu
tertarik pada hadiah yang di tawarkan keluarga Antagopa penasaran juga
menyaksikan kedigdayaan Udawa. Maka majulah Permadi menjadi penantang terakhir
Udawa. Dan akhirnya Udawa berhasil dia kalahkan. Sesuai perjanjian bahwa
siapapun pemenangnya akan di kawinkan dengan Larasati, maka mau tak mau Permadi
harus menerima Larasati sebagai istrinya. Maka menikahlah Permadi dan Larasati.
Sebuah perkawinan
yang tidak begitu mulus. Karena ternyata Permadi masih sulit melupakan Dewi
Anggraeni. Kendati Larasati memiliki wajah yang cantik menawan, tapi bagi
Permadi, keberadaan Larasati sama sekali tidak bisa menggantikan apa yang
selama ini ia lihat dari Dewi Anggraeni. Keteguhan Anggraeni, kesetiaannya dan
aksi bela pati Anggraeni atas kematian suaminya seolah terus menghipnotis
Permadi. Ini yang akhirnya menjadikan Permadi tidak betah tinggal di
Widorokandang dan memutuskan untuk kabur dan mengembara entah kemana dengan di
kawal tiga pengikutnya, Gareng, Petruk dan Bagong.
“Sebenarnya, apa
gerangan yang ndoro Permadi cari di tempat gersang seperti ini ?” tanya Petruk
begitu berhasil menyusul majikannya yang tengah duduk berjongkok di samping
batu besar di puncak bukit. Sementara di belakang Petruk, dua saudaranya secara
bersamaan juga tiba di tempat yang sama.
Permadi hanya
menoleh sebentar pada ketiga pembantunya. Tidak ada jawaban yang keluar dari
bibirnya. Matanya yang tajam bagai elang tampak serius mengamati sebuah tempat yang terletak nun jauh di balik
bukit. Sebuah kawasan di dataran rendah yang di sekelilingnya di bentengi oleh
pagar tembok setinggi tiga meter dan berada persis di pinggiran pantai. Di
setiap sudut benteng, berdiri menjulang menara menara yang terbuat dari batu
bata dengan kubah berbentuk kerucut. Fungsinya selain memperindah kota, juga
menjadi tempat strategis untuk mengawasi setiap gerak gerak yang ada di dalam
dan luar istana. Sementara itu di balik benteng nan tebal itu, setidaknya
terdapat lima blok kawasan yang juga di lindungi oleh pagar pagar tinggi
terbuat dari batu bata. Di dalam blok blok itu terdapat bangunan bangunan
berbagai ukuran yang tampaknya berfungsi sebagai tempat tinggal, barak
prajurit, pasar, tempat ibadah dan lain sebagainya.
“Sepertinya ndoro
sedang mengamati tempat itu ?” sahut Gareng seraya mengarahkan telunjuknya.
“Ada apa sih ?” sela
Bagong dengan nafas yang masih terengah engah.
“Kita hampir
sampai di kota Mandaraka” ucap Permadi tak juga memalingkan pandangannya.
“Kota
Mandaraka ?” teriak ketiga pembantu Permadi itu girang.
“Akhirnya,
setelah tiga bulan kita hanya menemui gunung, hutan, padang pasir dan
perkampungan, sampai juga kita di kota yang indah itu” ujar Petruk sembari
mengadu pundaknya dengan pundak Gareng, sementara kedua bola matanya masih
mengarah pada tempat di pesisir timur itu.
“Betul,
Truk” sahut Gareng, “artinya kita bakalan ketemu makanan yang lezat lezat…”.
“Ha
ha ha ha!” derai tawa ketiga pembantu Permadi itu sontak meluncur lepas dari
mulut mereka.
“Pasti
di sana banyak wanita wanita cantik ?” seloroh Bagong.
“Huuuu…!
Pikiranmu itu loh, Gong” timpal Gareng.
“Kenapa
?. Itu artinya aku masih normal, Reng!” tak mau kalah, “iya khan, Truk?”.
“Normal
sih normal, tapi lihat lihat dulu kali, Gong!” Gareng.
“Oalah…masalah
duit ?. Kecil itu….!. Khan ada ndoro Permadi ?. Lagian, gusti Salya khan masih
terhitung paman dari keluarga Pandawa, masak iya tega ?. Bukan begitu, Truk ?”
ucap pria gendut berkepala botak itu seraya sudut matanya melirik ke arah sang
Petruk.
Petruk
yang merasa geli dengan tingkah Bagong hanya bisa tersenyum simpul.
“Betul
khan, Truk ?” Bagong mengulangi. Kali ini tangan kirinya menjawil pundak
Petruk.
“Iya…iya…!”
sekenanya.
“Nah..gitu
dong” Bagong lega.
Suasana
kembali hening. Enam pasang mata itu lagi lagi mengarahkan pandangannya pada
bangunan bangunan megah yang ada di dalam benteng Mandaraka. Memang, bagi
ketiga pembantunya, tempat di bawah bukit itu yang terlihat jelas hanya
bangunan bangunannya, sementara para penghuninya hanya terlihat seperti titik
titik kecil yang berjalan kesana kemari. Tapi bagi Permadi yang matanya sudah
terlatih, titik titik kecil itu terlihat jelas sekali. Ada gerakan gerakan yang
tidak biasa di dalam dan di sekitar benteng. Belasan unit unit kecil berisi
lima hingga sepuluh prajurit terlihat mondar mandir mengelilingi benteng. Di
pintu gerbang sebelah utara, tampak serombongan pasukan berkuda dengan
berjumlah belasan tengah sibuk berkumpul di balik pintu gerbang. Di blok
pemukiman di sebelah timur, yang tampaknya adalah barak prajurit, ratusan orang
berkumpul di lapangan. Seperti ada sesuatu yang hendak di lakukan. Sementara di
blok paling tengah yang terdapat bangunan besar dan megah dengan taman taman
bunga nan indah, belasan orang terdiri dari laki laki dan perempuan tengah
sibuk mempercantik area istana.
“Akan
ada tamu penting yang akan datang ke Mandaraka” guman Permadi pelan, tapi cukup
jelas terdengar di telinga ke tiga pembantunya.
“Siapa
ndoro ?” tanya Petruk penasaran.
Permadi
hanya terdiam. Dia tidak tahu persis siapa gerangan tamu yang akan datang ke
Mandaraka, tapi melihat persiapan penyambutan yang luar biasa, sudah pasti tamu
itu bukan orang sembarangan.
“Lihat
itu ndoro…!” teriak Gareng seraya mengarahkan telunjuknya ke arah utara.
Serombongan manusia yang entah berapa jumlahnya bergerak perlahan menyusuri
jalanan berdebu yang mengarah ke kota Mandaraka.
“Itu
panji panji Hastina ??” pekik Permadi tertahan.
Ya,
dari umbul umbul dan bendera warna kuning yang di bawa oleh beberapa anggota
rombongan, sepertinya itu memang rombongan dari Hastinapura. Sebuah negara
besar yang terletak sebelah utara Mandaraka. Negeri dimana Permadi dan saudara
saudaranya sempat tinggal di sana dalam jangka cukup lama sebelum akhirnya di
usir dan mengungsi ke hutan Amarta.
Permadi
menarik nafas dalam dalam, matanya terpejam beberapa saat lalu perlahan
terbuka.
“Itu
kereta Kakang Suyudana !” kata Permadi.
Tak
salah lagi, benda yang mirip rumah berjalan dengan di tarik enam ekor kuda dan
di kawal seratusan prajurit berkuda itu sudah pasti adalah kereta kesayangan
raja Hastinapura.
Tapi
apa gerangan maksud kedatangan Suyudana ke Mandaraka ?. Permadi berpikir keras.
Kalau di lihat dari pasukan yang di bawa Suyudana, sepertinya raja Hastina itu
tidak ada kesan bermaksud jahat pada Mandaraka. Apalagi jika melihat adanya
kotak kotak besar yang di tarik dengan menggunakan kereta kuda dan berada
persis di belakang kereta Suyudana. Kotak kotak itu jelas bukan tempat
menyimpan senjata, tapi lebih seperti kotak barang yang entah apa jenis barang
di dalamnya. Mungkin benda benda berharga yang akan di persembahkan pada
penguasa Mandarka.
Permadi
mengerutkan dahi. Pandangannya kini menyapu ke dalam benteng kota Mandaraka. Ada sesuatu yang menarik
perhatian Permadi, tepatnya di blok paling tengah yang sepertinya adalah
kediaman raja dan keluarganya. Sesosok perempuan dengan busana bangsawan tampak
keluar dari bangunan paling megah di tengah tengah Mandaraka itu. Berjalan
terburu buru melewati beberapa penjaga yang ada di sepanjang jalan istana.
Menuju ke sebuah rumah yang terletak di sisi kiri istana raja.
Empat
orang prajurit yang menjaga rumah itu tanpa banyak bertanya lantas membukakan
pintu gerbang dan membiarkan wanita bangsawan itu masuk. Melewati jalan kecil
yang di kiri kanannya terdapat kolam, lalu melintasi sebuah taman bunga dan di
sambut dua orang perempuan tua yang kemungkinan adalah pelayannya. Ketiganya
tampak sibuk membicarakan sesuatu. Tidak berapa lama salah satu dari pelayan
itu berlarian masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan menenteng sebuah
benda berbentuk perahu kecil. Di serahkannya benda itu pada wanita bangsawan
majikannya. Setelah itu kedua pelayan itu berlalu entah kemana.
“Ndoro…”
Petruk menepuk pundak tuannya.
“Rombongan
Hastina itu sebentar lagi memasuki kota” kata Petruk.
“Biarkan
saja” jawab Permadi seolah tidak lagi peduli dengan kedatangan orang orang Hastina
ke Mandaraka. Matanya lebih tertarik pada gerak gerik putri bangsawan yang ada
di komplek bangunan sebelah kiri istana raja.
Perempuan
bangsawan itu kini berjalan menuju sebuah balai terbuat dari kayu yang di kiri
kanannya terhampar tanaman bunga berbagai jenis. Menaikki balai setinggi lutut
dan duduk bersimpuh menghadap ke barat, persis ke arah dimana Permadi dan
ketiga pelayannya berada. Sementara benda berbentuk perahu yang sepertinya
adalah sebuah kecapi itu di letakkan tepat di depan lututnya.
“Itu
seperti keretanya Prabu Suyudana, ndoro…”lapor Petruk yang belum juga sadar
bahwa Permadi tengah sibuk memperhatikan obyek lain.
“Ya”
sahut Permadi seraya mengangkat telunjuk kanannya di depan mulut untuk member
isyarat agar Petruk tidak banyak bicara.
Wanita
yang sedang duduk bersimpuh di atas balai itu terlihat diam mematung dengan
posisi tangan menopang dagu. Sementara arah wajahnya tertuju pada tanaman
tanaman bunga yang ada di depannya. Entah apa yang ia pikirkan sehingga kecapi
yang sejak awal ia persiapkan tak juga di mainkan. Dalam posisi wajah yang tidak secara langsung menghadap ke arahnya,
rasanya cukup sulit bagi Permadi untuk meraba raba seperti apa gerangan
kecantikan wanita itu.
“Ayolah
nona, menghadaplah kemari” teriak Permadi dalam hati.
“Sebentar
sajalah nona, sebentar saja kamu pertunjukkan wajah cantikmu padaku. Setelah
itu silahkan kamu mainkan benda kesayanganmu itu” pinta Permadi dengan harapan
celotehan hatinya bisa di dengar oleh wanita bangsawan di ujung sana.
Tapi
untuk beberapa saat lamanya Permadi harus menelan kekecewaan. Bukannya
mengarahkan pandangannya pada bukit gundul tempat di mana Permadi berada, tapi
perempuan itu justru melepaskan topangan dagunya dan tertunduk menatap kecapi
di depannya.
“Sial!”
maki Permadi jengkel.
“Apa
aku harus pecahkan batu ini agar perhatianmu tertuju kemari ?” pikir Permadi
seraya menepuk perlahan batu besar di sampingnya. Namun sebentar kemudian ia
menggeleng ragu. Ia bisa saja meledakkan batu di sampingnya dengan sekali
pukul, tapi tindakan itu sama saja mengundang perhatian pihak lain juga. Bukan
hanya para prajurit Mandaraka yang hilir mudik di sekitar benteng, tapi juga
rombongan Hastinapura yang sudah tentu berisi ksatria ksatria hebat kurawa.
Sejenak
lelaki yang konon adalah titisan Dewa Wisnu ini memutar otak. Dengan cara apa
ia bisa membuat wanita bangsawan itu mengarahkan wajah padanya. Jarak antara
dia dan Permadi memang cukup jauh. Jangankan lambaian tangan, bahkan seluruh
tubuh Permadipun sepertinya tidak bisa di jangkau pandangan mata perempuan itu.
Posisi ini sebenarnya menguntungkan Permadi, karena ia dapat dengan leluasa
memandangi setiap gerak gerik wanita itu berkat kemampuan ilmu mata batin yang
di miliki Permadi. Akan tetapi sebaliknya, wanita bangsawan itu belum tentu punya
kemampuan serupa.
“Oh
ya…” pekik Permadi seperti menemukan sebuah ide. Di raihnya batu kerikil yang
berserakan di bawah kakinya. Di genggamnya kerikil seukuran biji mata, lalu
dengan perhitungan yang cukup matang putra terkasih Prabu Pandu itu mengayunkan
tangannya. Batu kerikil itu meluncur deras laksana anak panah yang terlepas
dari busurnya.
Bletakk!!!
Sebuah
lemparan yang sempurna. Batu itu menubruk dinding kecapi yang terbuat dari
bahan kayu milik wanita itu dan menimbulkan suara lumayan keras. Tidak sampai
merusak, karena semua sudah di perhitungkan pelemparnya, tapi usaha itu cukup
memantik perhatian pemilik kecapi itu. Wanita bangsawan itu terkaget bukan
main, mengangkat muka dan mencari cari tahu apa gerangan yang terjadi. Di
angkatnya alat musik petik yang ada di depannya. Sebuah batu kerikil sebesar
biji mata teronggok tak jauh dari kecapinya. Dan dengan tatapan liar, wanita
itu kemudian berusaha menyelidiki darimana dan siapa gerangan pelempar batu
kerikil itu. Saat itulah wajah wanita bangsawan itu mengarah lurus pada bukit
gersang tempat Permadi dan pelayannya berada. Bisa jadi wanita itu tidak
berniat melempar pandangannya ke arah bukit, tapi tindakan itu cukup bagi
Permadi untuk melihat lebih jelas wajah sang wanita bangsawan.
“Anggraeni!!!”
Permadi terkesiap menyaksikan pemandangan yang baru saja ia saksikan. Antara
percaya dan tidak percaya. Apa yang di saksikan Permadi sungguh membuat
jantungnya mendadak berdegup kencang. Wanita itu mirip sekali dengan Dewi
Anggraeni. Perempuan cantik istri Prabu Ekalaya yang dulu pernah membuatnya
begitu tergila gila. Wajah yang berbentuk oval, bola mata tajam, hidung
mancung, kulit putih bersih, dagu lancip dan rambut lurus berwarna hitam
sepanjang punggung. Semua itu tak ayal mengembalikan ingatan Permadi pada
Anggraeni.
“Tapi
dia telah mati ?” Permadi mengucek ucek matanya untuk memastikan sekali lagi
bahwa apa yang di lihatnya bukanlah halusinasi.
Itu
benar benar Anggraeni. Tak salah lagi, kecuali benda berbentuk perahu yang ada
di depannya, semua yang ada pada diri wanita itu nyaris tidak ada bedanya
dengan ratu Paranggelung pujaan Permadi. Wajahnya, rambutnya, bentuk tubuhnya
bahkan gerak geriknya tak ubahnya Dewi Anggraeni.
“Kakang
Gareng, Petruk dan Bagong” ucap Permadi pada ketiga pelayannya.
“Iya
ndoro…” ketiganya serempak menjawab.
“Kalian
lihat tidak bangunan megah di sisi kiri bangunan besar di sana itu ?” Permadi
mengarahkan telunjuknya.
“Iya,
emang ada apa dengan rumah itu, ndoro ?” tanya Gareng langsung paham apa yang
di maksud majikannya.
“Itu
seperti kediaman putri putri Raja ndoro” sahut Petruk.
“Kebun
tanaman yang lebih luas, pantulan sinar menyilaukan yang tampaknya sebuah kolam
pemandian di belakang bangunan itu, tak salah lagi biasanya adalah keputren”
lanjut Petruk menerangkan.
Permadi
mengangguk. Kendati ketiga pelayannya itu sudah pasti tak sanggup melihat
keberadaan wanita mirip Anggraeni di ujung sana, namun untuk mengenali ciri
khas sebuah komplek bangunan, rasanya sangat mudah bagi mereka.
“Kalian
tahu, di bangunan itu terdapat perempuan yang cantik jelita ?”.
“Mana
bisa kami melihat. Ndoro ini ada ada saja…” jawab Bagong tersipu.
“Makanya
kalau belajar ilmu kanuragan itu yang serius, Gong” Gareng meledek.
“Memangnya
kamu bisa melihat ke sana, Reng ?. Sama sama nggak bisa lihat aja kok” ucap
sang Bagong sewot.
“Mungkin
mataku yang salah, tapi aku melihat di sana, di balai kecil di tengah taman
itu, seorang wanita cantik berbaju biru, berambut lurus hitam, hidung mancung
da mata yang bersinar menakjubkan. Mirip…ya…mirip sekali dengan Anggraeni.
Iya…mirip sekali” terang Permadi antusias.
“Waduhhh???”
ketiga pembantu Permadi ini terlihat melongo keheranan.
“Itu
lihat, dia menatap kemari…dia melihat kemari…” cerocos Permadi seperti sedang
kerasukan makhluk halus.
Makin
tak karuan perasaan ketiga anggota punakawan ini menyaksikan perubahan sikap
Permadi. Tapi untuk menghentikan tingkah sang majikan mereka masih ragu. Jangan
jangan apa yang di lihat oleh momongannya benar. Tapi bukankah Dewi Anggraeni
telah lama meninggal akibat bunuh diri ?.
“Aneh?”
guman Petruk menggaruk garuk kepalanya. Sementara setali tiga uang, sang Gareng
dan Bagong tak sempat menutup mulut karena was was dengan kondisi kejiwaan
tuannya.
“Tidak
salah lagi kakang…tidak….” Permadi menjawil pundak Petruk.
“Hehh…kalian
kenapa ?” bentak Permadi menyadari bahwa tingkahnya di anggap aneh oleh ketiga
pembantunya.
“Mmmm….maaf
ndoro….!” buru buru Petruk meminta maaf yang kemudian di ikuti kedua
saudaranya.
“Kita
hanya heran saja. Apa ndoro lupa, kalau kami tidak memiliki kemampuan melihat
jarak jauh seperti ndoro Permadi ?” kelit Petruk cerdik.
“Oooooh
iya” Permadi menepuk jidatnya, “maafkan saya kakang”.
“Tapi
ini beneran. Aku tidak bohong kalau di sana ada wanita cantik yang mirip sekali
dengan Anggraeni” Permadi mulai bisa mengendalikan diri.
“Mungkin
hanya mirip saja, ndoro” Gareng memberanikan diri bicara.
“Iya,
tapi kenapa bisa kebetulan begitu ?” kilah Permadi.
“Ndoro
lupa ya “Petruk mengingatkan, “kalau Prabu Salya memiliki putri putri yang
terkenal cantik dan menawan hati ?”.
“Darimana
kakang Petruk tahu ?” heran.
“Ya
tahulah, khan dulu kami pernah menyertai ndoro Nakula dan Sadewa berkunjung ke
Mandaraka ?” tutur Petruk mengingat ingat pengalamannya tempo silam.
“Kalau
nggak salah ada tiga putri gusti Salya. Namanya siapa itu Reng ?. Ah aku
lupa” Bagong menggaruk kepalanya.
“Herawati…?”
“Iya
bener. Satunya lagi Srikanti…”.
“Surtikanthi,
Gong” sahut Gareng meluruskan.
“Dan
yang terakhir…mmmmm….Ban…Banowati. Ya Banowati…”.
Permadi
terlihat manggut manggut. Kendati Prabu Salya masih terhitung kerabat Pandawa.
Persisnya paman dari Nakula dan Sadewa, tapi secara pribadi Permadi kurang
begitu paham dengan keluarga Mandaraka. Dia hanya mengenal Prabu Salya sebagai
raja Mandaraka. Tidak lebih dari itu.
“Apakah
putri putri paman Salya ada yang mirip Anggraeni ?” selidik Permadi.
“Cantik
cantik ndoro” jawab Petruk lugas, “tanya saja sama Gareng atau Bagong”.
“Betul
ndoro!” sahut Bagong serta merta, “tapi soal mirip atau tidak dengan Dewi
Anggraeni kami nggak bisa memastikan. Soalnya dulu ketiganya masih kecil kecil.
Belum pinter dandan gitu….”.
“Ooooo…begitu
?” Permadi datar.
“Oh
ya, kalian bisa antarkan aku berkenalan dengan putri putri paman Salya ?.
Terutama yang tinggalnya di sana itu ?”.
Ketiganya
saling pandang. Bukan bermaksud menolak perintah majikannya, tapi ada hal lain
yang perlu di pikirkan.
“Anu
ndoro…”Petruk menyela, “bukan kami nggak bersedia. Tapi, apa ndoro nggak mikir
kalau bala Kurawa sedang berada di kota Mandaraka ?”.
“Oh
iya ya…!. Kenapa aku jadi kehilangan kewaspadaan begini ?” keluh Permadi.
Bagaimanapun
sudah bukan rahasia lagi kalau antara keluarga Pandawa dan Kurawa sudah sejak
lama terlibat perselisihan yang susah di damaikan. Ini berkaitan dengan hak
atas tahta Hastinapura yang sama sama di klaim kedua belah pihak.
“Tapi
aku ingin sekali berkenalan dengan wanita di sana itu” Permadi ngotot,
“setidaknya untuk memastikan bahwa wanita itu benar benar bukan Anggraeni”
lanjutnya menjelaskan.
Lagi
lagi ketiganya saling pandang.
“Gimana,
Reng ?”.
Pria
berkaki pincang dan berusia paling tua di antara keempat lelaki itu menarik
nafas pelan.
“Kalau
ndoro nekad kesana, bala Kurawa brengsek itu bakalan mencurigai ndoro” Gareng
memberi alasan, “tapi kalau nggak kesana, bisa makin tersiksa perasaan ndoro
Permadi”.
“Trus
gimana ?”.
Gareng
mengernyitkan dahinya. Mencoba mencari jalan keluar.
“Ahhh
gini aja” akhirnya mendapat ide, “kita bertiga khan sudah di kenal keluarga
Mandaraka. Kenapa bukan kita saja yang masuk ke sana, trus menemui putri Prabu
Salya yang tinggal di rumah itu, dan kita sampaikan padanya bahwa ndoro Permadi
ingin berkenalan. Gimana ?”.
“Wah…tumben
otakmu jalan, Reng?” puji Bagong setengah meledek.
“Benar
juga kamu, Reng” timpal Petruk, “tapi ndoro setuju nggak ?”.
Pandangan
ketiganya kini beralih ke Permadi.
“Kalau
itu jalan yang paling masuk akal, kenapa tidak ?. Kalau perlu secepatnya”
tandas Permadi tak sabar lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar