Kamis, 08 September 2011

Wayang Wahyu Wayang Serani



Romo Yustinus Slamet Riyadi sedang memainkan gunungan wayang wahyu.


Saya sering bertanya kepada rekan-rekan serani (umur 18-40 tahun) di Kota Surabaya. Tahu nggak wayang wahyu? Pernah lihatkah? Jawabannya: nol koma nol persen. Tak satu pun yang tahu.

Wayang wahyu yang nota bene wayang serani malah asing di Jawa. Bagaimana pula dengan orang Flores macam saya? Lha, jangankan wayang wahyu, wayang kulit biasa saja, teman-teman Jawa ini banyak yang asing. Sebagian besar tidak suka.

Yah, budaya Jawa (Nusantara umumnya) memang di ambang kepunahan. Orang sekarang lebih suka lihat hiburan di televisi, kagumi artis, ngecat rambut, mata biru, dan seterusnya. Niat Bung Karno agar kita ‘berkepribadian di bidan budaya’ benar-benar meleset.

Kembali ke wayang wahyu.

Saya menemukan sedikit informasi dari buku bekas PRATIWIMBA ADHILUHUNG karya S HARYANTO (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988). Buku ini saya beli di Jalan Semarang, pusat buku-buku bekas di Kota Surabaya. Puji Tuhan, ada sedikit informasi tentang wayang wahyu. Saya pakai ini sebagai rujukan untuk menjawab pertanyaan beberapa rekan yang tinggal di luar Indonesia.

Menurut Haryanto, wayang wahyu mula pertama diciptakan oleh Bruder TIMOTIUS MARJI SUBROTO (wafat 17 Juli 1976) di Solo. Bruder (biarawan Katolik) sengaja menciptakan wayang wahyu pada Desember 1960 untuk pekabaran Injil. Evangelisasi. Memberitakan kabar baik kepada masyarakat Jawa, dalam bahasa dan budaya lokal. Karena itu, wayang modern ini dibuat semirip mungkin dengan wayang kulit biasa.

Bruder Timotius menggunakan 225 tokoh pria dan wanita dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jajaran sebelah kanan tokoh-tokoh berbudi luhur (baik), sedangkan sebelah kiri tokoh-tokoh berwatak jahat. Raksasa Goliat termasuk tokoh jahat yang berada di sebelah kiri. Di tengah ada gunungan yang menggambarkan Yerusalem Baru (Wahyu 22), 10 Perintah Allah (Keluaran), serta Yesus sebagai Jalan-Kebenaran-Hidup (Yohanes 14:6).

Pengaturan wayang mirip wayang kulit purwa. Berjajar tokoh-tokoh berbadan kecil hingga besar. Tokoh-tokohnya lebih sedikit daripada wayang biasa. Di tengah-tengah bala kiwa (kiri) dan bala tengen (kanan), terdapat Yesus Kristus (Isa Almasih). Posisi Yesus lebih tinggi. Yesus bisa ditampilkan dalam beberapa adegan: saat berdoa di taman Getsemani, saat perjamuan akhir, bermakhota duri.

Iringan musik pakai gamelan biasa. Tembang-tembang pentatonik pelog, slendro, dan sejenisnya. Tapi juga ada upaya mengadopsi kidung-kidung gerejawi yang pentatonis ke karawitan ala lagu-lagu campursari. “Bahasanya biasa Jawa bisa bahasa Indonesia, tergantung penonton,” ujar Romo YUSTINUS SLAMET RIYADI, O.Carm., dalang wahyu yang juga pastor.

Sejak November 2006 lalu, Romo Yustinus bertugas di Malang, tepatnya pelayanan di Paroki Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Kota Malang.

Kepada saya, Romo Yustinus alias Ki Bodronoyo, mengatakan pergelaran wayang wahyu jauh lebih mudah ketimbang wayang purwa. Durasinya paling lama tiga jam. Tidak perlu semalam suntuk. “Kalau mau efisien, bisa diringkas lagi menjadi dua jam tanpa mengurangi inti cerita,” jelas Romo Yustinus, bekas pastor paroki Jember dan paroki Curahjati (Banyuwangi).

Kenapa wayang wahyu kurang dikenal di Jawa Timur, termasuk di kalangan serani? Ini karena sosialisasi sangat kurang. Gelar wayang wahyu hampir tak pernah ada. Selama empat tahun terakhir di Surabaya dan Sidoarjo tak ada satu pun gelar wayang wahyu.

Alih-alih wayang wahyu, wayang kulit biasa pun jarang, kecuali di pinggiran kota. Jangan heran, Romo Yustinus lebih dikenal sebagai dalang biasa, bukan dalang wayang wahyu. Padahal, Yustinus ini merupakan salah satu dari sangat sedikit dalang wayang wahyu yang masih aktif di Jawa Timur.

Surutnya wayang wahyu, menurut saya, tak lepas dari konstelasi jemaat serani di Jawa mutakhir. Warga serani umumnya tinggal di kota-kota. Sedikit sekali yang bermukim di desa. Etnisnya macam-macam pula: Jawa, Flores, Tionghoa, Batak, Papua. Orang Jawa tokh hampir tidak ada.

Sebagai gereja multikultur, tentu sulit menggelar wayang wahyu di lingkungan Gereja Katolik yang hanya bisa dipahami jemaat berlatar Jawa. Toh orang Jawa sendiri pun mulai kurang paham bahasanya sendiri, bukan?

Lagi pula, sebagai sarana evangelisasi, wayang wahyu sudah lama digantikan oleh program rutin dewan paroki macam pendalaman iman, doa lingkungan/wilayah, bulan kitab suci, aksi puasa pembangunan, atau komunitas basis gerejawi. Tapi, apa pun juga, wayang wahyu pernah tercatat sebagai sebuah terobosan dalam reksa pastoral di kalangan serani di Tanah Jawa.

http://hurek.blogspot.com/2007/02/wayang-wahyu-wayang-serani.html

Kisah Drupadi, Istri yang Menggugat Hak

Suasana di Karang Tumaritis, atau sering disebut Karang Kadempel, tempat Semar dan anak-anaknya tinggal, adem ayem. Waktu seakan berhenti berputar disana. Siang itu Petruk, putra kedua Semar sedang santai gak ada kerjaan. Tiduran di amben bambu di bawah pohon, masih sempat-sempatnya rengeng-rengeng (nyanyi buat diri sendiri) tembang macapat  ala mas Didi Kempot “Racing Solo” (alias “Solo Balapan”),
Neng setasiun sarapan
Kota Solo sing dadi kenangan
Kowe karo asuuuuuu…..
“Beh!….” Ujug-ujug alias sekonyong-konyong anak Petruk si Lengkung Kusuma yang mbedhis (=nakalnya gak ketulungan) teriak di sisi kuping Bapaknya,  sekaligus motong lagu Bapaknya yang ngawur itu.
Gombale Mukiyo! Koen iku gak lihat Bapakmu lagi nglamun tah? Ngageti orang aja. Dasar anak Celeng!” Petruk seketika bangun, kaget. (Koen=Kamu, cara Suroboyo)
“Yang Celeng itu Lik Bagong , beh! (Bagong, Sunda=Babi Hutan=Celeng). Ane kan anaknya Jerapah!” Lengkung Kusuma tangkas menyahut ” Bukan begitu….dulu itu katanya ndoro putri Drupadi marah-marah di Pertemuan Agung di Wiratha, adapa sih Beh?”
Gak ah, gak katene aku crita nang arek cilik koyok koen!” (=gak akan saya crita ke anak kecil macam kamu)” Tensi Petruk masih tinggi.
“Babeh ini sudah belasan tahun tinggal di Tangerang, sisa logat main Ludruknya di mBalong Panggang masih kebawa terus yak. Lagian yang minta juga bukan cuma ane. Ndoro Putri yang satu itu juga minta kan?” Lengkung mengingatkan.
Dengkulmu amoh, yak, Bapakmu lupa jeee
Dan berceritalah Petruk sebab takut sama Ndoro Putri yang seleb itu ……..
Dewi Drupadi adalah putri Prabu Drupada, raja kerajaan Pancala. Kecantikannya terkenal sampai kemana-mana.Tak heran ketika ayahnya mengumumkan akan memcari calon suami bagi putrinya, banyak ksatria dan brahmana rela antri untuk dapat mempersunting sang Putri. Namun sang Calon harus mengikuti sayembara yang ditetapkan oleh sang Raja. Sayembara itu berupa mengangkat busur wasiat peninggalan leluhur Pancala serta melepaskan panah dari busur tersebut, dan mengalahkan patih sekaligus benteng kerajaan Pancala, Gandamana.
Pandawa yang sedang dalam pengembaraan karena terusir dari Astina, negara yang seharusnya mereka warisi dari ayahnya Pandu Dewanata, mengikuti sayembara itu, untuk dan atas nama Yudistira, sang sulung. Singkat cerita, busur itu dapat diangkat dan dipergunakan oleh wakil Pandawa, Arjuna dan wakil Negara Astina, Adipati Karna. Tapi Karna tidak dapat mengalahkan Gandamana, dan wakil Yudistira, sang Bimasena sukses mengalahkan patih yang sakti itu. Drupadi diboyong dan diperistri oleh Yudistira….
Hlealaaaaah, Beh!. Sing iki wis diajarno Bu Guru. Kapanane wis ulangan. gak usah dicritakno maneh! (Yang ini sudah diajarkan Bu Guru, dulu sudah ulangan, gak usah dicritain lagi!)” Lengkung Kusuma memotong crita Bokapnya.
“Et dah, lo jangan sembarangan aja motong cerita Babeh dong.!” Petruk sewot sebab ceritanya dipotong.
Sssst, ppsssst, Cut! Cut! (yang nulis interupsi) Salah tuh! Castingnya Petruk yang harus pake bahasa Suroboyo-an, anaknya pake bahasa Betawi Pinggiran. Bisa kebalik-balik gitu gimana sih! Konsen dong! Konsen! Gendheng kabeh!
“Yang gendheng itu sapa sih ini?” Petruk mbatin. Gak berani ngomong, takut sama yang nulis.
Dalam lakon Pandawa Dadu, Kurawa yang sirik atas keberhasilan Pandawa membangun Negara Amarta, mengundang Pandawa untuk bertemu. Alasannya, bergembira bersama atas keberhasilan Pandawa membangun Amarta. Pandawa yang tidak curiga tentu saja bersedia datang.
Dalam kegembiraan pesta, Sangkuni, mahapatih Astina yang julig itu mengusulkan untuk bermain dadu. Karena rayuan maut Sangkuni, Pandawa yang sebenarnya ogah bermain akhirnya bersedia dan larut dalam permainan itu. Permainan yang tadinya hanya sekadar main-main, akhirnya benar-benar menjadi judi. Judi yang tadinya kecil-kecilan makin lama makin menjadi besar-besaran.
Semua harta Pandawa pelan-pelan lenyap di meja judi. Emas-berlian, kuda-kuda dan kereta perang, sampai akhirnya negara baru yang dibangun Pandawa dengan cucuran keringat, Amarta alias Indraprastha harus diserahkan kepada Kurawa,
Prabu Drestarata, ayah Kurawa, pengemban amanah Negara Astina hadir dalam acara itu. Demikian juga Yamawidura, adik Drestarata dan paman Kurawa serta Pandawa. Penasehat Pandawa, kakak sepupu para Pandawa, Sri Batara Kresna juga hadir di sana. Tapi semuanya tidak mampu menghentikan acara judi yang berlangsung antara kedua pihak yang sudah sampai pada taraf kesetanan itu.
(backsound: Aku Melarat Karena Judi, Muchsin Alatas)
Ketika harta Pandawa sudah habis semua, Dursasana (si nomer 2 Kurawa) yang sudah sejak lama nepsong sama Drupadi, mengusulkan agar Pandawa mempertaruhkan Drupadi di meja judi untuk setengah wilayah kerajaan Astina ditambah seluruh wilayah Amarta yang sudah jadi milik Kurawa itu.  Melihat besarnya taruhan yang dipasang Kurawa, dengan sikap apa boleh buat Pandawa meladeninya. Mereka berpikir, masa sih mau kalah lagi?. Dan ternyata…….memang kalah lagi!
1311476827676616549
karya arioandito@evianart dari wayang.wordpress.com
Dursasana meloncat kegirangan karena kemenangan itu, dan segera memeluk dan menarik Drupadi. Drupadi tentu saja berontak, sehingga sanggul rambutnya terlepas. Dursasana menarik rambut Drupadi yang panjang itu dan menyeretnya kearah para Kurawa. Dursasana yang kalap kerasukan setan segera menarik kain pinjung Drupadi berniat untuk menelanjanginya di depan umum.
Atas pertolongan Sri Kresna yang titisan Dewa Wisnu itu,, upaya itu tidak berhasil. Meskipun Dursasana sudah menarik kainnya habis-habisan, Drupadi juga sudah berputar-putar dan kain yang ditarik sudah teronggok meninggi, tapi kain Drupadi tetap utuh.
Kemudian atas prakarsa Sri Kresna, Drestarata dan Yama Widura, Drupadi dikembalikan kepada Pandawa, dan status Amarta hanyalah dipinjam oleh Kurawa selama 12 tahun.
Tapi Drupadi yang malu, belum mau sudah. Sambil berteriak, sehingga didengar semua orang, dia mengucapkan sumpahnya bahwa tidak akan menyanggul rambutnya lagi sebelum keramas dengan shampo…..eh salah, keramas dengan darah sang Dursasana.
Dursasana yang ngakak saja mendengar sumpah Drupadi amat menjengkelkan Bimasena. Berniat untuk menghajar Dursasana, Bima alias Werkudara itu terhenti langkahnya mendengar perkataan Sri Kresna:
Jagad Dewa Bathara, yo Jagad Mangestungkara, Eeee….. yayi…,yayi Werkudara!
“Sssst, Beh. Salah tuh!” Lengkung Kusuma ng-interupsi lagi “Itu kan omongannya ndoro Sinuwun Prabu Kresna? Gak layak kan seorang Petruk omong seperti itu?”
Lambemu! Bapakmu ini sedang niru omongannya Sinuwun itu. Dengerin dulu tah, jangan motong crita orang aja dong!” (sorry, makian Petruk tidak diterjemahkan! Dasar Petruk memang suka memaki!…..)
“Ooo, gitu yak, okeh, okeh deh, Beh” Anaknya cengengesan “lanjutin critanya….”
“Lanjutin dengkulmu ambleg! Sampai mana tadi?” Petruk pikun beneran, bukan bo’ongan.
“Sampai mBantul, Beh. mBandung, mBogor, mBerlin, mBashington DC! Eh…..”
Malam itu usai acara kawinannya Abimanyu yang putra Arjuna dengan Dewi Utari yang putri Prabu Matsyapati dari Wiratha, persidangan agung yang diprakarsai Prabu Matsyapati sebagai tuan rumah, dihadiri Sri Kresna, Prabu Baladewa, dan para raja sekutu Pandawa.
Para pendukung dan sekutu meminta Pandawa untuk tegas meminta kembali haknya atas Indraprastha usai masa pengasingan yang 12 tahun itu. Pembahasan lalu berkembang tentang kemungkinan akan terjadi perang besar apabila Kurawa mengingkari janjinya.
13115596991758230004
Dian Sastro sebagai Drupadi (sumber: hot.detik.com)
Tapi Pandawa sendiri terkesan ogah-ogahan, terutama karena di Astina berkumpul orang-orang tua yang dihormati Pandawa, Resi Bisma yang kakek Pandawa, Resi Durna yang guru Pandawa, Prabu Salya yang paman Nakula dan Sadewa. Lagipula Pandawa tidak yakin akan mampu mengalahkan kesaktian para tetua itu.
Pertemuan itu jadi stagnan, sampai ada suara kecil melengking dari sudut “Bolehkah saya bicara?” Ternyata Drupadi yang interupsi.
Atas ijin Sri Kresna yang memimpin sidang, Drupadi pun maju ketengah ruang dan seperti seorang orator, dia mengajukan pendapatnya:
“Belum puaskah kalian, suamiku tersayang Yudistira dan para saudaranya menganggapku sebagai seonggok barang atau segumpal daging sehingga tega dipertaruhkan di meja judi? Aku, Drupadi, isterimu yang setia sehingga rela ikut terlunta-lunta dalam pengembaraan kalian selama 12 tahun! Masih ingatkah kalian akan rasa malu dan sumpahku yang tak akan menyanggul rambutku sebelum keramas dengan darah Dursasana? Akankah kalian membiarkan rambutku terurai selamanya? Engkau, suamiku, begitu sayangmu akan Suyudana dan Dursasana sehingga melupakan aku? Aku, Drupadi, menuntut hak-ku sebagai isteri yang dipermalukan!…………..”
“Beh, jangan ikutan esmosi gitu laaaah. Babeh kan cuma cerita seh?” Lengkung Kusuma interupsi lagi.
Hajindul……..”
“Esh, salah lagi kan karena esmosi. Hajindul itu makian asal Solo, Beh! Nanti Yang Nulis ke-ge er-an dan interupsi lagi, katanya salah casting lagi. Biar cuma makian harus tetap jaga casting, Beh!”
Akhirnya perang besar Bharata Yudha meletus juga karena Kurawa mengingkari janjinya. Dan Drupadi bisa memenuhi sumpahnya, dan menyanggul rambutnya kembali.
Tapi itu tidaklah berlangsung lama. Mendekati akhir perang, Aswatama yang dendam atas gugurnya ayahandanya Resi Durna, berhasil menyusup ke garis belakang pertahanan Pandawa dan membunuh semua isteri para Pandawa, termasuk Drupadi.
Haaaaaaah! Jlitheng kakangku piye ikiiii…..”
“Hayoh! Koen katene ng-interupsi Bapak lagi kaaan?” Petruk memotong critanya sendiri sembari mengacungkan tinjunya.
“Gak, Beh, enggaklah! Ane juga tahu kalo itu omongnya ndoro Bimasena ke ndoro Prabu Kresna. Cemen lah itu, Bokap juga jangan “over confidence” gitu…..” Lengkung Kusuma sotoy “Lagian ane juga tahu kalo ceritanya udah selesai. Iya kan? Weeeekkk!”
___________________________________________________________________________________
catatan penulis :
  • Cerita ini adalah bagian dari Mahabharata. Bukan cerita carangan seperti biasanya. Di cerita aslinya, Dewi Drupadi, atau Draupadi bersuamikan 5 orang Pandawa. Penulis merasa tidak berkompeten walau sekadar berkomen, karena Mahabharata bagi saudara-saudara saya umat Hindu adalah bagian dari kitab suci Weda. Karena itu penulis dengan sengaja mengambil setting Mahabharata yang telah dimodifikasi oleh orang Jawa. Sebuah setting budaya yang sudah akrab dengan penulis sejak kecil. Jadi, Dewi Drupadi hanya bersuamikan seorang Yudistira, atau Puntadewa, si sulung dari Pandawa itu.
  • Mengingat cerita ini serius, dan mengingat film Drupadi karya sutradara Riri Reza yang menampilkan Dian Sastrowardoyo sebagai Drupadi, yang menuai kontroversi itu (di sini), maka penulis tidak berani cengengesan di cerita utamanya. Tapi karena dasarnya penulisnya memang cengengesan, maka ada tokoh Petruk dan anaknya di sana untuk menyalurkan hobby cengengesan itu, disamping untuk menegaskan bahwa cerita ini mengambil setting di Jawa. (Tokoh Punakawan kan tidak dikenal di versi aslinya).
Postingan lain yang berkaitan dengan Drupadi, yang ditulis teman Kompasioner Mas Edi Siswoyo secara lebih serius: Balas Budi Kresna Pada Drupadi , Akhir Kisah Tikus, Aswatama

http://filsafat.kompasiana.com/2011/07/25/kisah-drupadi-istri-yang-menggugat-hak/

Korawa


Korawa atau Kaurawa (Dewanagari: कौरवIASTkaurava) adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti "keturunan (raja) Kuru." Dalam budaya pewayangan Jawa, istilah ini merujuk kepada kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata, sehingga Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa.

Pengertian

Istilah Korawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian:
  • Arti luas: Korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Kuru adalah nama seorang maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Korawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal.
  • Arti sempit: Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra sulung Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru), yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran namun digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa.

Riwayat singkat

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri Dretarastra, menginginkan putra. Kemudian Gandari memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah lama ia mengandung, putranya belum juga lahir. Ia menjadi cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga orang putera. Gandari menjadi frustasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain.
Seluruh putra-putra Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah. Mereka memiliki saudara bernama Pandawa, yaitu kelima putra Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun mereka bersaudara, Duryodana yang merupakan saudara tertua para Korawa, selalu merasa cemburu terhadap Pandawa, terutama Yudistira yang hendak dicalonkan menjadi raja di Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan memuncak pada sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra.
Setelah pertarungan sengit berlangsung selama delapan belas hari, seratus putera Dretarastra gugur, termasuk cucu-cucunya, kecuali Yuyutsu, putra Dretarastra yang lahir dari seorang dayang-dayang. Yang terakhir gugur dalam pertempuran tersebut adalah Duryodana, saudara tertua para Korawa. Sebelumnya, adiknya yang bernama Dursasana yang gugur di tangan Bima. Yuyutsu adalah satu-satunya putra Dretarastra yang selamat dari pertarungan ganas di Kurukshetra karena memihak para Pandawa dan ia melanjutkan garis keturunan ayahnya, serta membuatkan upacara bagi para leluhurnya.

Para Korawa

Berikut ini nama-nama seratus Korawa yang dibedakan menjadi dua versi, versi India dan versi Indonesia. Dalam versi Indonesia, kedua Korawa utama yaitu Suyodana alias Duryodana dan Dursasana disebut lebih dahulu, kemudian yang lain disebut menurut urutan abjad.

Versi India

Ke-↓ Nama↓
1 Duryodana
2 Dursasana
3 Dursaha
4 Dursala
5 Jalaganda
6 Sama
7 Saha
8 Winda
9 Anuwinda
10 Durdarsa
11 Subahu
12 Duspradarsa
13 Durmarsana
14 Durmuka
15 Duskarna
16 Karna
17 Wikarna
18 Sala
19 Satwa
20 Sulocana
21 Citra
22 Upacitra
23 Citraksa
24 Carucitra
25 Sarasana
26 Durmada
27 Durwigaha
28 Wiwitsu
29 Wikatinanda
30 Urnanaba
31 Sunaba
32 Nanda
33 Upananda
34 Citrabana
35 Citrawarma
36 Suwarma
37 Durwimoca
38 Ayobahu
39 Mahabahu
40 Citrangga
41 Citrakundala
42 Bimawiga
43 Bimabela
44 Walaki
45 Belawardana
46 Ugrayuda
47 Susena
48 Kundadara
49 Mahodara
50 Citrayuda
51 Nisanggi
52 Pasa
53 Wrendaraka
54 Dredawarma
55 Dredaksatra
56 Somakirti
57 Antudara
58 Dredasanda
59 Jarasanda
60 Satyasanda
61 Sadasuwaka
62 Ugrasrawa
63 Ugrasena
64 Senani
65 Dusparaja
66 Aparajita
67 Kundase
68 Wisalaksa
69 Duradara
70 Dredahasta
71 Suhasta
72 Watawiga
73 Suwarca
74 Adityaketu
75 Bahwasa
76 Nagadata
77 Ugrasai
78 Kawaci
79 Kradana
80 Kundi
81 Bimawikra
82 Danurdara
83 Wirabahu
84 Alolupa
85 Abaya
86 Dredakarma
87 Dredaratasraya
88 Anadrusya
89 Kundabedi
90 Wirawi
91 Citrakundala
92 Pramada
93 Amapramadi
94 Dirgaroma
95 Suwirya
96 Dirgabahu
97 Sujata
98 Kencanadwaja
99 Kundasi
100 Wirajasa
101 Yuyutsu
102 Dursala

Versi Indonesia

  1. Duryodana (Suyodana)
  2. Dursasana (Duhsasana)
  3. Abaswa
  4. Adityaketu
  5. Alobha
  6. Anadhresya (Hanyadresya)
  7. Anudhara (Hanudhara)
  8. Anuradha
  9. Anuwinda (Anuwenda)
  10. Aparajita
  11. Aswaketu
  12. Bahwasi (Balaki)
  13. Balawardana
  14. Bhagadatta (Bogadenta)
  15. Bima
  16. Bimabala
  17. Bimadewa
  18. Bimarata (Bimaratha)
  19. Carucitra
  20. Citradharma
  21. Citrakala
  22. Citraksa
  23. Citrakunda
  24. Citralaksya
  25. Citrangga
  26. Citrasanda
  27. Citrasraya
  28. Citrawarman
  29. Dharpasandha
  30. Dhreksetra
  31. Dirgaroma
  32. Dirghabahu
  33. Dirghacitra
  34. Dredhahasta
  35. Dredhawarman
  36. Dredhayuda
  37. Dretapara
  38. Duhpradharsana
  39. Duhsa
  40. Duhsah
  41. Durbalaki
  42. Durbharata
  43. Durdharsa
  44. Durmada
  45. Durmarsana
  46. Durmukha
  47. Durwimocana
  48. Duskarna
  49. Dusparajaya
  50. Duspramana
  51. Hayabahu
  52. Jalasandha
  53. Jarasanda
  54. Jayawikata
  55. Kanakadhwaja
  56. Kanakayu
  57. Karna
  58. Kawacin
  59. Krathana (Kratana)
  60. Kundabhedi
  61. Kundadhara
  62. Mahabahu
  63. Mahacitra
  64. Nandaka
  65. Pandikunda
  66. Prabhata
  67. Pramathi
  68. Rodrakarma (Rudrakarman)
  69. Sala
  70. Sama
  71. Satwa
  72. Satyasanda
  73. Senani
  74. Sokarti
  75. Subahu
  76. Sudatra
  77. Suddha (Korawa)
  78. Sugrama
  79. Suhasta
  80. Sukasananda
  81. Sulokacitra
  82. Surasakti
  83. Tandasraya
  84. Ugra
  85. Ugrasena
  86. Ugrasrayi
  87. Ugrayudha
  88. Upacitra
  89. Upanandaka
  90. Urnanaba
  91. Wedha
  92. Wicitrihatana
  93. Wikala
  94. Wikatanana
  95. Winda
  96. Wirabahu
  97. Wirada
  98. Wisakti
  99. Wiwitsu (Yuyutsu)
  100. Wyudoru (Wiyudarus)

Korawa lainnya

Para Korawa (putra Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai saudara dan saudari pula. Yaitu Yuyutsu, anak Dretarastra tetapi lain ibu, ibunya seorang wanita waisya. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putri bernama Dursala.

http://id.wikipedia.org/wiki/Korawa