Rabu, 30 Januari 2013

Banowati : Asmara di Mandaraka (9)

<<<sebelumnya

Oleh : Komandan Gubrak


Aku tak mengerti,
Apa gerangan sesuatu yang ada di dalam diri ini
Yang telah membutakan hati dan nalar warasku
Sehingga aku nyaris tak mampu mengingat lagi
Seberapa sakit goresan luka yang menyayat tubuhku

Aku jua tak pernah bisa tahu
Dengan tingkah nakalmu menyandera perasaanku
Memasungku dalam sebuah penjara asmara
Menenggelamkanku ke dalam kubangan rawa rawa
Dan mengikatku laksana durjana

Suamiku,
Jika kamu menyangka
Cinta ini akan segera padam di makan usia
Maka aku katakan padamu
Bahwa ia tetap bersemayam di sanubari terdalam
Yang tak mungkin lekang oleh zaman

Suamiku,
Jika kamu mengira
Kepergianmu akan mengubah manis menjadi pahit
Ijinkan aku mengingatkanmu
Bahwa aku mampu mengubah segalanya
Bahkan pahitpun akan berganti gula

Aku ingin terus menjadi bayanganmu
Yang mengawasimu dari sudut gelap cakrawala
Aku ingin terus menjadi udara di pagi buta
Yang akan menelusup dalam rongga nafasmu

Hidup adalah pilihan
Antara mengikuti kata hati atau menyerah pada keadaan
Aku tidak katakan ini sebuah pengorbanan
Bagiku ini adalah jalan yang panjang
Yang tidak pernah aku pedulikan
Dimana ujung dan pangkalnya

“Berapa lama lagi kita sampai Mandaraka, kakang Udawa ?”.

“Setelah kita melewati Padang Pasir ini, kita akan segera sampai, Sati”.

Larasati bernafas lega, menyandarkan tubuhnya di dinding. Mukanya tengadah, matanya tertutup, sementara dari sudut bibirnya tersungging senyum bahagia. Bayangan sang suami yang telah enam bulan pergi meninggalkan Widarakandang perlahan bermain main di pelupuk matanya. Senyumnya yang ranum laksana mangga muda teruntai mekar dari balik bibir sang belahan jiwa. Terasa asam memang, tapi ketika engkau mencicipinya, rasa penasaran menghunjam bukan kepalang. Perangainya yang dingin bagai kabut pagi di musim hujan, bukanlah alasan untuk menjadikan semua menjadi beku. Kehadirannya yang hanya seumur jagung, atau malah seusia bianglala di ufuk timur yang semerah saga, bukanlah sebuah ukuran pasti. Nyatanya, dalam senyap ia tetap hadir melukis guratan guratan tak bertepi di dalam jiwa.

“Kak Lara…”.

Sebuah panggilan lirih menyelinap di telinga Larasati. Suara yang tak asing lagi baginya. Perlahan ia membuka mata, menoleh ke samping kiri seraya mengirim sebaris senyum manis pada gadis remaja di sampingnya. Rara Ireng.

“Kakak memikirkan kakang Permadi ya ?”.

“Hmmm…”.

“Rara heran deh kak” Rara Ireng membuka obrolan, “apa sih hebatnya Permadi itu ?. Sampai kak Lara rela jauh jauh mencarinya ?”.

“Apakah kamu mengira aku sengaja mencarinya agar ia mau membawaku kemana saja ia suka ?” tanya Larasati merentangkan tangan ke pundak Rara Ireng.

“Ya”.

Larasati menggeleng, “salah…”.

“Lalu ?”.

“Aku hanya ingin mengantar hadiah terindah ini” meletakkan telapak tangannya di atas perut, “memintanya untuk mengusap kepalanya dan menganugerahi sebuah nama yang baik untuk anaknya”.

“Setelah itu, aku akan mengemasi semua barang barangku dan kembali bercengkerama bersama alam Widarakandang”.

Rara Ireng tertegun. Keteguhan kakak angkatnya ini benar benar membuatnya sulit mengerti.

“Apakah aku akan bisa seperti kakak ?” Rara Ireng menyusupkan kepalanya ke dalam ketiak Larasati.

“Bisa saja”.

“Caranya ?”.

“Asal kamu bisa berjalan seiring dengan getaran yang ada di hatimu”.

“Ooohh….” Rara Ireng mengangguk.

“Kakang Permadi itu orangnya setampan apa sih, kak ?” penasaran.

Larasati mengerutkan dahi, memiringkan kepala hingga pipinya membelai rambut Rara Ireng.

“Bukan keelokan yang membuat kita menyukai sesuatu, tapi rasa suka itulah yang membuat segala sesuatunya terlihat elok”.

“Kenapa bisa begitu, kakak ?” Rara Ireng masih belum dapat mencerna kata kata Larasati.

“Bukan kenapa bisa begitu, tapi memang seharusnya begitu”.

“Bingung nih, Rara…”.

“Dengar adikku” Larasati menasehati, “sebentar lagi kamu akan tumbuh dewasa. Menjadi wanita dewasa yang cantik jelita tiada tara. Semua pria akan terkesima dan berlomba lomba untuk mendapatkanmu”.

“Kamu senang, kamu bahagia dengan kesempurnaan yang kamu miliki. Tapi, apakah kamu yakin ?. Kamu bisa mempertahankan segala kesempurnaan itu ?. Tidak. Manakala usia menggerogoti tubuhmu, dan sedikit demi sedikit segala hal yang membuatmu merasa bangga itu terkikis,maka semua orang yang mengagumimu karena paras ayumu satu persatu akan pergi dan berpaling darimu. Dan hanya mereka yang teguh dan mencintaimu tanpa alasan, yang akan tetap memandangmu sebagai pribadi yang sempurna”.

“Demikian juga sebaliknya. Jika kita mencintai sesuatu karena keistimewaan atau apapun yang ada padanya, maka cinta itu hanya akan menjadi mainan semu. Sebab ketika keistimewaan itu tergerus oleh waktu, kita tak lagi punya alasan untuk meneruskan cinta kita”.

Rara Ireng mengangguk.

“Menurut kakak, apakah cinta itu harus memiliki ?”.

Larasati menggeleng.

“Kenapa ?.

“Bisa memiliki yang kita cintai itu anugerah. Tapi bisa mencintai tanpa berharap untuk memiliki, itu ketulusan”.

“Tapi khan sedih kalau nggak bisa memiliki, kak ?” rengek Rara Ireng nelangsa.

Larasati tersenyum geli. Bosan juga membicarakan sesuatu yang sudah pasti belum bisa di terima akal sehat seorang remaja seumuran Rara Ireng.

“Kalau sedih, tinggal aduin aja sama kakang Kakrasana. Beres khan ?. Hihihihihi….” goda Larasati seraya tertawa cekikikan.

“Tuh khan, mulai deh mulai….” sungut Rara Ireng.

Entah siapa yang memberi aba aba, kedua perempuan beda umur itu bersamaan tertawa lebar. Suasana bosan karena harus menempuh jarak yang cukup panjang dan melelahkan sejenak mencair. Ada saja yang mereka bicarakan. Mulai dari hal hal kecil dan gampang di mengerti hingga sesuatu yang sulit di cerna pikiran. Kedua wanita ini tak ubahnya pasangan yang saling mengisi. Larasati yang keibuan, matang dalam berpikir dan dewasa, bertemu dengan Rara Ireng yang manja, lucu, nakal tapi pengertian.

“Kakak….” Rara Ireng lirih.

“Hmmm….”.

“Kakak mau janji nggak ?” nada bicara putri Basudewa ini terlihat serius dan berharap sekali.

“Apa ?”.

“Janji dulu, baru aku ngomong” desak Rara Ireng setengah memaksa.

“Penting ya ?” Larasati memperhatikan mimik Rara Ireng yang memelas.

“Banget!!!”.

Larasati tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang di inginkan adik angkatnya itu dari dirinya.

“Katakan saja. Kalau aku bisa, akan aku lakukan” kata Larasati.

“Mmmm…kakak janji ya. Kalau nanti Rara punya suami, trus kami mesti tinggal di tempat yang baru, kakak harus ikut Rara”.

Larasati mengernyitkan keningnya. Permintaan yang aneh dan menggelikan. Mana bisa begitu ?. Iya kalau suaminya mengijinkan Larasati untuk tinggal bersama mereka. Kalau tidak ?. 

“Kamu ini ada ada saja Rara…”seloroh Larasati geleng geleng kepala.

“Aku takut kak…” intonasi suaranya menurun dan tidak bergairah.

“Khan ada suamimu ?” hibur Larasati.

“Tapi aku lebih percaya sama kakak. Janji ya kak ?” desak Rara Ireng.

“Mmmm…” Larasati berpikir sebentar.

Sebenarnya, ia tak merasa keberatan dengan permintaan Rara Ireng. Toh, sudah sejak dulu keluarga Larasati terbiasa mengabdi pada keluarga kerajaan Mandura. Ayah Larasati, Kyai Antagopa adalah kepala rumah tangga di istana Mandura. Hanya karena ada masalah yang melanda Mandura saja akhirnya orang tua Larasati terpaksa harus pindah ke Widarakandang. Kakak Larasati, Udawa juga di kenal setia pada keluarga Mandura. Kakak satu satunya Larasati ini bahkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan salah satu putra Prabu Basudewa, yaitu Narayana. Sama seperti dirinya dan Rara Ireng yang kemanapun seringkali bersama sama baik dalam suka maupun duka, Udawa dan Narayana juga tak ubahnya dua sejoli yang saling membutuhkan. Bahkan waktu yang di miliki Udawa, terutama akhir akhir ini lebih banyak di habiskan bersama Narayana di banding dengan keluarganya sendiri. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi Larasati untuk menolak permintaan Rara Ireng. Apalagi dalam banyak hal, Larasati juga merasa sangat cocok dengan putri bangsawan Mandura ini.

Tapi masalahnya, status Larasati sekarang adalah istri dari ksatria Pandawa. Sudah menjadi jamaknya seorang istri harus patuh dan taat pada suaminya. Memang, sikap Permadi terhadap Larasati dari sejak awal pernikahan hingga sekarang tidak terlalu mengenakkan. Walaupun selalu di bungkus dengan kata kata manis, tapi naluri perempuan Larasati tak bisa di bohongi lagi. Di mata Permadi, ia bukan wanita yang bisa di harapkan apalagi di banggakan. Permintaan Permadi agar dirinya mencari pria lain saja sebagai pendamping, cukup menjelaskan apa yang sebenarnya ada di hati suami tercintanya itu. Namun, seperti yang selama ini menjadi pegangan hidup Larasati, bahwa cinta tak seharusnya di nodai dengan bermacam macam alasan dan keinginan. Termasuk keinginan untuk mendapatkan balasan yang setimpal.

“Sebenarnya kakak nggak keberatan” Larasati menerangkan.

“Trus ?”.

“Kakak berjanji akan memenuhi permintaanmu itu, tapi dengan syarat. Kakang Permadi tidak merasa keberatan. Itu saja…”.

“Yaaaah…..”Rara Ireng menggaruk garuk kepalanya.

“Kamu mesti bisa membujuk dia”.

“Kalau kakang Permadi nggak mau gimana ??” was was.

“Khan Rara punya cara lain ?” kata Larasati sembari mengerlingkan matanya.

“Apa ?” tak mengerti.

“Kakang Kakrasana” sahut Larasati lagi lagi menggoda Rara Ireng.

“Iiiiiihhh….kakak….!!!” Rara Ireng dongkol, “aku cubit nih…aku cubit…” katanya sembari melayangkan cubitan cubitan kecil di tangan Larasati.

Putri Kyai Antagopa ini spontan menghindar, tapi Rara Ireng terus mengejarnya hingga ke pojok bilik. Karena tidak ada lagi cara untuk menghindar, akhirnya Larasati harus merelakan tubuhnya menjadi bahan pelampiasan Rara Ireng. Sesuatu yang sudah biasa bagi keduanya. Bahkan tak ubahnya bumbu penyedap. 

“Sebentar Rara…” Larasati mengangkat jari telunjuk ke atas bibirnya. Ada sesuatu yang sepertinya menarik perhatian istri Permadi ini.

Kereta yang ia tumpangi bersama Rara Ireng mendadak melaju perlahan. Bahkan beberapa saat kemudian terhenti. Lamat lamat dari kejauhan terdengar suara gaduh yang sepertinya datang dari tempat yang cukup dekat. Suara teriakan, benturan benda benda keras di sertai suara gedebag gedebug seperti benda jatuh.

“Ada perkelahian…”guman Larasati waspada.

“Siapa kak ?” Rara Ireng cemas.

“Entahlah…” sahut Larasati sembari meraih sebuah busur panah dan sekantong anak panah yang tergantung di pojok bilik kereta.

Larasati membuka jendela, melempar pandangannya ke sumber suara yang telah mengusik telinganya. Benar juga apa yang di perkirakan Larasati. Sekitar lima ratus meter dari tempatnya berada, belasan orang terlibat perkelahian sengit dan di tonton oleh beberapa orang yang kemungkinan juga termasuk bagian dari mereka. Tak jauh dari medan perkelahian, sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda tampak di jaga dengan ketat oleh empat orang pria berkuda. Sepertinya ada sesuatu yang penting di dalam kereta itu. Setidaknya terlihat dari tingkah ke empat orang pria itu yang tak pernah beranjak dari sisi kereta. 

Mata Larasati kembali terarah ke medan pertempuran. Tampaknya bukan sebuah perkelahian. Tapi lebih tepatnya pengeroyokan. Seorang lelaki dengan bentuk fisik aneh terlihat pontang panting menghadapi gempuran demi gempuran dari para pengeroyoknya. Beberapa kali ia terjerembab jatuh mencium tanah dan menjadi bahan tertawaan, tapi semangatnya tak pernah kendur. Ia cepat cepat bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyabetkan keris pusakanya ke setiap penyerang. Tiga penonton yang ke semuanya adalah pria dan berdiri berjejer, terlihat tegang menyaksikan jalannya pertempuran. Larasati menduga, ketiganya kemungkinan besar adalah kawan dari pria berbadan aneh yang sedang di keroyok itu. Sementara di sisi yang berlawanan, seorang wanita dengan pakaian khas terbuat dari kain wol dan memiliki jambul di kepala terlihat menenteng busur yang sudah terisi. Beberapa kali ia menembakkan panahnya ke arah pria bertubuh aneh itu. Tidak terlalu mahir memanah, karena tak satupun yang mengenai sasaran. Akan tetapi cukup membuat konsentrasi korbannya berantakan dan akhirnya makin menjadi bulan bulanan para pengeroyoknya.

Tepat di samping kanan kereta yang di tumpangi Larasati dan Rara Ireng, terlihat Udawa sedang berbicara dengan beberapa anak muda Widarakandang yang turut serta mengawal rombongan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya ada sesuatu yang akan mereka lakukan. Tak berapa lama Udawa bergerak sendirian mendekati arena perkelahian. Ada sedikit kekhawatiran dalam diri Larasati. Walaupun kakaknya di kenal jago berkelahi dan lagi secara jumlah, rombongan Widarakandang lebih banyak, akan tetapi tetap saja Larasati merasa khawatir. Bukan apa apa. Ini daerah yang tak di kenal, segalanya bisa saja terjadi.

“Hai…siapa kamu ???”.

Belum juga Udawa berjalan lebih dekat, wanita dengan rambut bergaya jambul yang menyadari kehadiran pihak lain segera mencegat.

“Mohon maaf pada tuan semua” kata Udawa sopan, “kami rombongan dari Mandura. Namaku Udawa. Kami tidak bermaksud untuk mencampuri urusan saudara semua. Kami hanya sekedar minta ijin untuk lewat dan melanjutkan perjalanan”.

Wanita berjambul itu memandang penuh selidik pada Udawa. Matanya yang berkilat mengamati setiap inchi lekuk tubuh pemuda Widarakandang itu. Sebentar kemudian senyum sinis merekah dari balik bibirnya.

“Hemm…” ia mendehem.

“Sebaiknya tuan mencari jalan lain saja sebelum kami berubah pikiran” setelah mengatakan itu, wanita dengan senjata bumerang di pinggang yang tak salah lagi adalah Srikandhi itu membalikkan tubuhnya dan kembali ke medan pertempuran.

Dongkol juga sang Udawa. Mencari jalan lain sepertinya bukan perkara mudah. Dia dan rombongannya sama sekali buta dengan daerah sekitar. Bahkan menginjakkan kaki di tempat itupun hanya sekali. Bagaimana kalau malah tersesat atau rutenya lebih jauh ?

“Bagaimana kakang ?”.

Udawa menoleh. Seorang perempuan dengan kondisi perut membuncit telah berdiri di sampingnya. Larasati.

“Mereka tidak bersedia memberi kita jalan” jawab Udawa seraya melangkah kembali ke rombongan.

“Trus ?”.

“Ya kita tunggu saja hingga urusan mereka selesai. Sebaiknya kamu istirahat saja, Lara” saran Udawa.

Larasati menganggukkan kepala dan bergegas menuju keretanya. Rara Ireng yang sejak tadi menunggu dengan perasaan cemas mengulurkan tangannya untuk membantu Larasati menaikki kereta.

“Gimana, kak ?” Rara Ireng penasaran.

“Kita mesti menunggu mereka selesai” Larasati menaruh kembali busur beserta kantong panahnya ke tempat semula.

Perempuan yang di nikahi Permadi sepuluh bulan lalu ini membuka lebar lebar jendela bagian depan. Kusir kereta yang mengetahui Larasati sepertinya tertarik untuk menyaksikan jalannya pertempuran buru buru menggeser duduknya guna memberi kesempatan kepada penumpangnya.

“Kayaknya kita mendingan cari jalan lain aja deh, kak…”.

“Emang kenapa ?” tanya Larasati tanpa memalingkan wajahnya.

“Aku takut”.

“Tenang aja. Nggak akan terjadi apa apa” hibur Larasati sembari meraih pundak Rara Ireng.

Lantas, siapakah gerangan mereka yang sedang mengadu nyawa di tengah jalanan yang menghubungkan Mandaraka dan Kawah Geni itu ?. Seperti yang sudah kita ceritakan, ketika Srikandhi mengetahui bahwa Aswatama adalah anak dari Resi Durna, maka seketika meledaklah kemarahan pendekar wanita dari Pancala itu. Bentrokan tak bisa di hindari lagi. Aswatama yang terlanjur mengatakan bahwa ia tidak takut di keroyok oleh musuh bebuyutan keluarganya, terpaksa harus menelan kenyataan pahit. Belasan pengembara Pancala itu ternyata bukan petarung petarung biasa. Dalam tempo yang tak terlalu lama, pendekar Sokalima ini mulai kewalahan menghadapi gempuran bertubi tubi dari musuh musuhnya. Jika semula ia masih bisa membalas serangan dengan sabetan keris dan tendangan tendangan mautnya, kali ini Aswatama hanya bisa menangkis, menghindar bahkan sesekali ia harus merelakan tubuhnya terpelanting akibat pukulan musuh. Beberapa luka lebam menghiasi wajah Aswatama, darahpun mengalir dari hidungnya. Baju keprajuritan Aswatama yang terbuat dari kulit buaya yang keras dan liatpun terlihat compang camping akibat sabetan senjata tajam sehingga kulitnya yang kemerahan terlihat menyembul dari balik pakaiannya.

Hingga jurus ke dua puluh, sebuah tusukan tombak milik Wigati menghantam tepat di dada Aswatama yang sudah tak tertutupi baju pelindung. Pemuda Sokalima ini terpental sejauh dua meter, limbung dan akhirnya ambruk ke atas tanah tanpa mampu bangkit kembali. Sorak sorai menggelegar dari mulut para penyerangnya begitu menyadari musuh sudah tak punya kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Srikandhi yang sejak awal hanya menonton anak buahnya bertarung perlahan mengayunkan kakinya mendekati tubuh Aswatama yang terkapar tak berdaya. Dengan sigap tangan kirinya meraih rambut Aswatama, menyeret tubuh yang sudah tak berdaya itu ke tengah jalanan untuk di pertontonkan ke semua orang. 

Semua mata tertuju pada Srikandhi. Wanita itu mengangkat tubuh tawanannya, mendudukkan di atas tanah dengan posisi bersimpuh. Kemudian ia berputar ke belakang. Tangan kirinya mencengkeram rambut Aswatama erat erat,  sementara tangan kanannya menggenggam senjata berbentuk melengkung terbuat dari kayu yang ujungnya terdapat sebuah besi lancip dan tajam layaknya mata panah. Sebuah senjata lempar khas kaum pengembara dari utara yang terkenal dengan sebutan bumerang.

“Hem…rupanya dadamu keras juga” guman Srikandhi ketika menyaksikan dengan kepala sendiri dada yang tadi terkena tusukan tombak Wigati ternyata tidak terluka sedikitpun.

“Aku ingin tahu, apakah lehermu juga kebal senjata atau tidak!”.

Dengan raut muka dingin dan tatapan liar, Srikandhi menempelkan bagian paling tajam dari bumerang itu ke leher Aswatama dan bersiap untuk mengakhiri hidup putra Resi Durna. Namun tiba tiba…

Plakk!!!

Dukk!!!

Aswatama yang rupanya hanya berpura pura pingsan bergerak cepat menangkap pergelangan tangan kanan Srikandhi. Berbarengan dengan itu sikut kiri Aswatama meluncur deras ke belakang  menghantam paha Srikandhi. Perempuan Pancala ini meringis kesakitan dan kehilangan konsentrasi. Keadaan ini di manfaatkan Aswatama untuk menarik tubuh lawan dan membantingnya ke depan. Tapi sial, tangan kiri Srikandhi seolah tak mau lepas menjambak rambut Aswatama. Sehingga walaupun Aswatama berhasil membanting Srikandhi, namun tak ayal lagi kepalanya juga ikut tertarik ke depan dan membuatnya jatuh tertelungkup mencium tanah.

Brukkk!!!

Wigati yang menyaksikan majikannya di telikung dengan mudah oleh Aswatama segera melompat dan mengirimkan sepakan keras tepat di muka Aswatama. 

Desss!!!

Aswatama terjengkang dengan luka robek di bibirnya. Darahpun mengucur dari bibir. Pendekar  Sokalima itu meringis menahan sakit luar biasa. Ilmu kebal Lembu Sekilan warisan bapaknya ternyata hanya mampu melindungi dadanya hingga kaki. Tapi tidak untuk area kepalanya. Pendekar Sokalima ini berusaha untuk bangkit, namun sebuah tendangan keras kembali menghantam kepalanya hingga membuatnya terbanting keras dan bergulingan di atas tanah.

“Terima ajalmu bangsat!!!”.

Sejurus kemudian Wigati mencabut sebuah keris yang terselip di pinggangnya dan melompat mengejar Aswatama. Senjata kecil dengan ujung lancip itu meluncur deras membidik leher Aswatama. Aswatama terkejut bukan main. Buru buru ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan. Sehingga tusukan  Wigatipun hanya mengenai ruang kosong. 

“Mau lari kemana kamu!!!”.

Kembali Wigati mengejar. Namun baru selangkah ia maju, tiba tiba…

Suittt!!! Dukk!!!

“Ahhh!!!” Wigati terpekik. Sebuah benda keras yang entah darimana datangnya menerjang pergelangan tangannya. Saking kerasnya, keris pusaka yang berada di tangan Wigati terlepas. 

“Bangsat!!!. Siapa yang berani….??” Belum sempat ia meneruskan kalimatnya, sesosok manusia bertubuh gempal, berambut ikal dengan jambang lebat dan senjata gada di tangan tiba tiba muncul di hadapan Wigati.

“Cepat menyingkirlah Aswatama, biar Gardapati yang menyelesaikan urusanmu dengan cecunguk cecunguk ini!” ucap lelaki dengan senjata gada di tangan yang ternyata adalah salah satu ksatria Kurawa itu pada Aswatama.

“Siapa kamu yang berani mencampuri urusan kami ?” tuding Wigati yang masih merasakan ngilu di persendian tangannya.

“Ha…ha..ha ha ha ha…” gelak tawa meledak dari bibir Gardapati. Bersamaan dengan itu, ksatria Puralaya ini mengayunkan gadanya ke tanah, dan…

Buummmm!!!!

Terdengar suara menggelegar manakala gada itu menghantam tanah di mana Gardapati berdiri. Bumi seolah bergetar, debu tebal berwarna kecoklatan menghalangi pandangan. Sesaat kemudian terdengar gemuruh suara kaki kuda berderap menuju tempat itu. 

Wigati bergegas mengambil kerisnya yang tadi terlempar di atas tanah lalu beringsut mundur.

“Sepertinya mereka mengundang bala bantuan yang lebih banyak” kata Wigati ciut kepada Srikandhi.

Perempuan berjambul yang hampir saja menghabisi nyawa Aswatama ini menarik nafas dalam dalam. Matanya yang tajam menatap ke sekeliling. Tak kurang dari empat puluh penunggang kuda dengan senjata lengkap bergerak mengepung. Tujuh orang pria kawan Aswatama yang dari tadi nyaris tak bisa berbuat banyak terlihat bersorak kegirangan menyambut kedatangan kawan kawannya.

“Siapkan formasi, kita beri mereka pelajaran” perintah Srikandhi tanpa sedikitpun merasa gentar dengan banyaknya musuh yang datang.

“Siap!!!”.

Wigati segera melambaikan tangan pada kawan kawannya. Mereka segera bergegas menaikki kuda kudanya dan merapatkan barisan. Tak ketinggalan, Srikandhi dan Wigati segera memanggil kuda kudanya.

“Takdir pengembara hanya dua. Di bunuh atau membunuh. Jika kalian merasa takut dengan kematian, pulang saja dan menyusulah pada ibumu!!!” kata Srikandhi membakar semangat. Tangan kanannya mengacungkan bumerang sementara tangan kirinya menenteng sebuah tombak.

“Dewapun kami tidak takut…dewapun kami tidak takut!!!” sahut anggotanya serentak.

Srikandhi menyunggingkan senyum. Matanya menatap lurus ke depan. Ada sekitar lima belas orang penunggang kuda yang berada di belakang Gardapati. Di antaranya adalah tujuh orang yang sejak awal bersama Aswatama. Di sisi kiri dan kanan juga terdapat belasan prajurit yang bersiap menunggu perintah.

“Ikat kaki kalian erat erat di punggung kuda. Jangan sampai ada yang terjatuh. Kita bikin porak poranda barisan di depan sana” Srikandhi menunjuk ke arah barisan musuh yang berada di belakang Gardapati.

Putri Prabu Drupada ini rupanya sangat menyadari bahwa musuh yang di hadapi jauh lebih banyak. Terlalu beresiko jika harus menunggu musuh datang menyerang secara bersamaan dan menjepit mereka di tengah tengah. Jika itu terjadi, maka setiap satu orang di kubu Srikandhi harus berhadapan dengan tiga hingga empat orang. Dan di atas kertas, barisan Srikandhi akan kalah telak. Maka jalan satu satunya untuk meraih kemenangan adalah dengan memaksa musuh beradu cepat dan bertarung di atas kuda. 

“Seraaaang!!!” komando sang Srikandhi menggebrak tunggangannya.

Bak anak panah yang terlepas dari busurnya, Srikandhi dan kawan kawannya melesat cepat menerjang musuh. Paling depan adalah Srikandhi dan Wigati. Srikandhi membuka serangan dengan lemparan bumerangnya. Tidak seperti senjata lempar pada umumnya yang membutuhkan ketepatan dalam membidik, bumerang lebih berfungsi untuk menakut nakuti barisan musuh. Dan benar saja, suara bising dari bumerang Srikandhi sontak mengacaukan lawannya. 

“Kurang ajar!!!”.

Maki Gardapati yang sama sekali tak menyadari musuhnya menggunakan senjata aneh dan belum pernah ia temui sebelumnya. Ahli gada dari Puralaya itu cepat cepat melompat ke samping demi menghindari amukan bumerang Srikandhi sekaligus menyelamatkan diri dari terjangan kaki kaki kuda yang bisa saja menabraknya. Bumerang itupun hanya melintas persis sejengkal dari kepala Gardapati dan selamatlah nyawa ksatria kurawa itu.

Namun nasib baik tidak berpihak pada barisan prajurit berkuda yang ada di belakang Gardapati. Bumerang yang di lempar Srikandhi tak ubahnya seperti angin putting beliung yang menyambar nyambar. Beberapa prajurit yang tak ingin menjadi korban terpaksa harus melompat turun dari atas kuda. Salah satu di antaranya yang tak sempat menghindar bahkan berteriak kesakitan manakala senjata lempar itu menancap di lehernya. Suasana panik di pihak lawan ini tak di sia siakan Srikandi dan kawan kawan. Dengan lembing, tombak, parang dan pedang di tangan, mereka membabat habis setiap musuh yang di lewati.

Belasan orang tersungkur, beberapanya harus meregang nyawa. Dan begitu sampai di ujung jalan, Srikandhi dan kawan kawannya memutar tunggangannya dan bersiap melabrak lagi. Seperti yang pernah ia lakukan tadi, ia kembali melempar bumerangnya. Kali ini ia mengambilnya dari balik pelana kuda. Lagi lagi musuh di buat panik. Korban berjatuhan di pihak Mandaraka. 

“Anjing bangsat!!!!”.

Pria berjambang dengan gada di tangan yang menyaksikan anak buahnya terkapar tak berdaya menghadapi strategi lawan, marah bukan main. Di raihnya perisai kayu berbentuk lingkaran di belakang punggungnya. Sedetik kemudian ia melompat ke tengah tengah arena dan bersiap menghadang. Sepuluh prajurit yang selamat dari terjangan musuh buru buru meninggalkan kuda kudanya dan  berlari ke belakang Gardapati.

“Siapkan perisai dan tombak!!!” perintah Gardapati.

Suasana tegang menyelimuti raut wajah mereka. Yang akan mereka hadang kali ini adalah penunggang penunggang kuda handal dan cekatan. Salah membuat formasi tentu akan membuat mereka mati tergilas oleh kaki kaki kuda.

“Majulah kalian semua!!!” teriak Gardapati.

Sekali lagi sebuah bumerang melayang dari tangan Srikandhi. Namun gagal membuat musuhnya kocar kocar. Senjata lempar itu hanya mampu menjebol perisai salah satu prajurit dan tidak sampai melukai. Sadar musuhnya mulai mampu meredam senjata antiknya, Srikandhi menerapkan strategi kedua. Yaitu dengan memacu kendaraannya lebih cepat.

Braaakkkkk!!!!

Benturan tak terhindarkan lagi. Belasan prajurit yang berusaha menghadang laju pasukan Srikandhi terpental ke belakang. Perisai kayu yang mereka gunakan sebagai pelindung pecah berantakan. Namun di luar dugaan, Gardapati yang sanggup berkelit dari terjangan musuh memanfaatkan kesempatan dengan mengayunkan gadanya. Dan…
Bukkk!!!
Brukkk!!!
Sebuah pukulan keras menghantam perut kuda milik anak buah Srikandhi yang berada di tengah barisan. Saking kerasnya hantaman gada Gardapati, binatang itu terhempas dan menimpa kuda kuda di sekitarnya. 

Situasi kacau. Pasukan Srikandhi yang tercecer di belakang dan kehilangan kendaraannya mengalami kepanikan. Puluhan prajurit Mandaraka yang mengetahui beberapa musuhnya sudah tidak lagi bisa menggunakan kudanya bergerak cepat dengan cara mengepung. Pertempuran jarak pendek pecah. 

“Kita naik ke bukit, kakang Wigati!!!” kata Srikandhi segera mengarahkan laju kudanya ke atas bukit. Sementara Wigati dan sepuluh orang pengikut yang tersisa mengikuti dari belakang.

“Jangan biarkan bajingan itu lari…..!!!” terdengar teriakan dari arah belakang.

Belasan prajurit Mandaraka yang melihat musuhnya berlari ke atas bukit langsung melakukan pengejaran. Namun baru beberapa langkah mendaki bukit, mereka di kejutkan oleh hujan panah dari pihak Srikandhi. Enam pengejar yang berada di barisan depan tersungkur dari atas kuda dengan luka panah menembus dada. Beberapa yang lain berusaha menghindar dengan bersembunyi di balik pepohonan kering di kaki bukit. 

Hujan panah reda, prajurit Mandaraka yang bersembunyi di balik pohon segera keluar dengan menuju tunggangannya. Tapi sial, belum sempat melompat ke atas kuda, Srikandhi dan kawan kawannya berbalik arah menuruni bukit dan menerjang pasukan Mandaraka. Korban kembali jatuh.

Selasa, 27 November 2012

Banowati : Asmara di Mandaraka (8)

<<<Sebelumnya

Oleh : Komandan Gubrak


“Celaka ndoro…celaka…!”.

Tiga pelayan Permadi itu terlihat berlari terbirit birit mendatangi Permadi yang tengah merenung seorang diri di bawah pohon trembesi yang banyak tumbuh di sekitar tempat itu. Wajah mereka terlihat tegang, pucat dan ketakutan.

“Ada apa ?” tanya Permadi keheranan.

“Ada prajurit Mandaraka di telaga” Petruk melapor.

“Itu tugas mereka menjaga keamanan penduduk sekitar sini”.

“Bu..bukan masalah itu ndoro” gugup.

“Trus ?”.

“Mereka mengeroyok tuan Burisrawa”.

“Apa ?” Permadi terkejut, “bagaimana bisa ?. Apakah mereka tidak mengenal Burisrawa ?”.

“Itulah kenapa kami buru buru menemui ndoro…”.

“Aku ?” Permadi makin tak mengerti.

“Dari pembicaraan yang kami dengar, para prajurit itu hendak menangkap ndoro Permadi. Tapi di halangi tuan Burisrawa. Akhirnya mereka berkelahi” tutur Petruk yang kemudian di angguki oleh kedua saudaranya.

“Kenapa mau menangkapku ?. Bukankah paman Salya malah memintaku untuk membantu Mandaraka ?”.

“Entahlah ndoro. Kami juga tak mengerti masalahnya” sahut Gareng.

Permadi menarik nafas panjang. 

“Aneh” gumannya.

“Ya sudah, kalian antar aku kesana…” perintah Permadi masih belum percaya dengan apa yang di sampaikan ketiga pelayannya.

Ke empat pria itu segera bergegas menuju tempat yang di maksud. Tempatnya tidak terlalu jauh, akan tetapi jalannya sedikit berkelok dan berada di balik sebuah pohon beringin yang besar lagi rimbun. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di tempat itu.

“Di mana ?” Permadi memandang ke sekeliling untuk menemukan Burisrawa. 

Tapi yang terlihat hanyalah kerumunan orang dalam jumlah banyak yang terdiri dari laki laki dan perempuan. Mereka membentuk sebuah lingkaran raksasa sembari berteriak teriak memberi semangat.

“Iya di situ ndoro!” kata Petruk mengarahkan telunjuknya pada kerumunan manusia di depannya.

Permadi segera melangkah mengikuti petunjuk Petruk. Tidak mudah untuk menembus kerumunan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Minggir semua…minggir…”teriak ketiga pelayan Permadi itu mengambil inisiatif untuk merangsek terlebih dulu guna memberi jalan pada majikannya sembari mendorong paksa orang orang yang menghalangi jalan mereka.

“Lihat itu ndoro !” kata Petruk begitu berhasil lolos dari kerumunan.

Tepat di tengah tengah kerumunan, tampak seorang lelaki berpakaian serba putih dengan menyandang tongkat kayu di tangannya tengah menghalau serangan demi serangan yang di lancarkan oleh tujuh hingga sepuluh orang laki laki bersenjata.  

“Itu Wasi Jaladara!” kata Permadi dengan mata terus menyaksikan jalannya pertempuran.

“Tapi tadi ada tuan Burisrawa…” Gareng dan kedua saudaranya keheranan, “sumpah ndoro!” tegas pelayan tertua Permadi.

“Betul, ndoro!” sahut Petruk.

“Malahan, tuan Burisrawa tadi di keroyok dan di pukuli orang orang itu” Bagong ikutan berkomentar.

Tidak ada ucapan yang keluar dari bibir Permadi. Pria yang sangat lihai menembakkan anak panah ini justru makin serius mengamati setiap gerak gerik yang di peragakan Wasi Jaladara. Walaupun jumlah pengeroyoknya cukup banyak dan semuanya menggunakan senjata tajam baik tombak, pedang, keris dan golok, tapi sama sekali tak membuat Wasi Jaladara ciut nyali. Putra Prabu Basudewa itu sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pendekar dengan kemampuan di atas rata rata. Gerakannya begitu tenang, tapi terukur. Tidak seperti saat bertarung dengan Permadi, di mana Jaladara hanya berlari dan melompat ke sana kemari menghindari serangan Permadi, kali ini sang resi muda itu terlihat berdiri di tempat tanpa beranjak sedikitpun sambil mengayunkan tongkat kayunya menahan sabetan pedang dan golok para penyerang. Sesekali ia meliukkan tubuh guna menghindari tusukan tombak dan keris lawannya sambil sesekali  mengirimkan pukulan lunak dan tidak mematikan pada musuhnya.

“Hai Permadi!” tiba tiba Wasi Jaladara berteriak dan melambaikan tangan ke arah di mana Permadi berdiri.
“Kalau kamu tertarik ikut bermain main, kemarilah!” lanjutnya memanggil.

“Permadi ???” beberapa penyerang yang mendengar ucapan Wasi Jaladara tampak terhenyak kaget. Saling pandang satu dengan yang lain lalu mengalihkan perhatian pada kerumunan penonton guna mencari cari di mana gerangan keberadaan Permadi yang di maksud pria berjubah putih itu.

“Siapa di antara kalian yang bernama Permadi!!!” salah satu penyerang yang berbadan tinggi besar dengan kumis tebal dan tombak di tangan berteriak menghardik ke arah penonton.

“Jawab!!!” ulangnya mengancam.

Puluhan penonton yang sejak tadi antusias menyaksikan perkelahian kedua belah pihak tampak saling pandang dengan raut muka ketakutan.

“Hei kamu sini!”.

Lelaki bersenjatakan tombak itu melompat ke arah kerumunan, menangkap salah satu penonton lalu menyeretnya  ke tengah.

“Ampun tuan…ampun…”  pria bertubuh kurus dengan kulit legam yang kini berada dalam cengkeraman prajurit bertubuh besar itu mengharap ampunan. Tapi seolah tak peduli dengan rengekan tawanan di tangannya, sang prajurit tombak kembali berteriak kepada semua orang.

“Kalau tidak ada yang mengaku, aku bunuh orang ini” gertaknya sembari mengarahkan ujung tombaknya ke leher tawanannya.

Permadi yang menyaksikan kejadian itu mau tak mau akhirnya melangkah maju.

“Aku Permadi” kata Permadi berdiri tenang tepat dua meter di hadapan pria bertombak itu.

“Oooo…kamu yang namanya Permadi ?” sambut pria bertombak itu melepaskan tawanannya dan berjalan ke arah Permadi.

“Kawan kawan….!!!. Ini dia buronan kita!!!” teriaknya pada teman temannya yang masih sibuk mengeroyok Wasi Jaladara.

Tiga orang yang mendengar teriakan pria bertombak itu melompat mundur meninggalkan Wasi Jaladara dan mulai mengepung Permadi.

“Tunggu…tunggu…” Permadi berusaha menahan.

“Katakan dulu kenapa kalian ingin menangkapku ?” sambil memasang kuda kuda.

“Kamu yang melarikan gusti Surtikanthi, bukan ?” tuding sang pria bertombak.

“Surtikanthi ?” Permadi kebingungan.

“Jangan pura pura tidak tahu. Mengaku sajalah!”.

“Mengaku bagaimana ?”.

“Halahhh…banyak bicara” kata pria bertombak itu tak sabar.

“Seraaaang!!!”.

Seketika pria bertombak dan tiga kawannya bergerak mengurung dari empat penjuru angin. Permadi yang sama sekali tak paham dengan tuduhan prajurit Mandaraka itu mau tak mau meraih busur panahnya dan bersiap menghadapi para penyerang.

Suasana kini bertambah riuh. Jika tadinya para prajurit Mandaraka itu hanya bertarung melawan Wasi Jaladara, kini mereka terpecah menjadi dua. Sebagian mengeroyok Permadi, sebagian lagi masih terus melanjutkan perkelahiannya dengan Wasi Jaladara.

Tidak seperti Wasi Jaladara yang cenderung hanya bertahan dan membuang buang waktu, gaya Permadi kali ini lebih agresif. Sabetan dan tusukan yang di lancarkan oleh lawan lawannya tidak hanya di tangkis dengan busur kyai Gendewa, namun Permadi juga balik menyerang dengan mengirimkan tendangan maupun pukulan. Tak heran hanya dalam beberapa jurus, lawan lawan Permadi satu persatu roboh dan menderita luka cukup parah.

“Wahhh…wahhh…!!. Ternyata aku bisa kalah cepat dengan adikku…”.

Wasi Jaladara yang menyaksikan pertarungan antara Permadi dan musuh musuhnya berlangsung sangat cepat, akhirnya terbawa arus juga. Dan tanpa membutuhkan banyak waktu, putra mahkota Mandura itu bergerak memutar tongkatnya dengan kecepatan tinggi dan nyaris tak terlihat. Tahu tahu semua pengeroyoknya terpental keluar arena dan merintih kesakitan.

Permadi kemudian berjalan mendekati Wasi Jaladara.

“Sepertinya ada kesalahpahaman, kakang” kata Permadi masih belum mengerti kenapa prajurit Mandaraka itu mengincar dirinya.

"Barangkali begitu. Ha ha ha..." jawab Jaladara tertawa lebar.

“Oh ya, kemana raden Burisrawa, kakang ?” Permadi teringat tujuan awalnya datang ke telaga itu.

“Oh iya, aku lupa” Wasi Jaladara menepuk jidatnya.

“Tadi aku suruh dia kembali ke kereta, untuk memastikan Banowati dalam keadaan aman. Ya sudah, mari kita kembali ke sana”.

Kedua pendekar pilih tanding ini kemudian berjalan beriringan meninggalkan sepuluh prajurit Mandaraka yang masih mengerang kesakitan akibat serangan keduanya. Puluhan orang yang menyaksikan jalannya perkelahian tanpa di komando menyingkir dan memberi jalan untuk Permadi, Jaladara dan ketiga pelayan setia Pandawa.

“Aku tidak mengerti kenapa mereka menuduhku melarikan Surtikanthi. Padahal ketemupun tidak pernah” keluh Permadi.

“Mungkin ada orang lain yang sengaja memfitnahmu, Permadi ” kata Wasi Jaladara.

“Siapa ?” Permadi menaikkan alisnya.

“Apakah sebelumnya kamu pernah berurusan dengan orang lain ?”.

Keduanya menghentikan langkah. Permadi mencoba mengingat ingat kejadian kejadian sebelumnya di Mandaraka.

“Oh, iya….”Permadi ingat sesuatu, “ aku pernah bentrok dengan Aswatama di pantai Mandaraka sebelumnya”.

“Ketika itu dia memergok pertemuanku dengan Banowati. Dia menuduhku hendak melarikan Banowati” Permadi menerangkan.

“Lalu ?”.

“Sebenarnya ia ingin sekali menangkapku dan menyerahkan pada paman Salya. Tapi rupanya ia tak cukup punya keberanian untuk itu”.

“Jelas saja ia bukan tandinganmu…” Jaladara.

“Tapi dia sempat mengancamku, kakang” berhenti sebentar, “sepertinya ia menyimpan rasa dendam padaku”.

Wasi Jaladara mengangguk anggukkan kepala.

“Sepertinya ini pekerjaan kurawa, adik Permadi” simpulnya.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan ?” Permadi meminta pendapat.

“Sebaiknya kita segera menghadap Prabu Salya. Kesalahpahaman ini tidak boleh berlarut larut”.

“Betul kakang”.

Keduanya kembali melanjutkan langkah. Menyusuri jalan setapak yang berkelok dan sedikit menanjak dengan pepohonan trembesi yang tumbuh di sisi kanan dan kiri. Tidak lama kemudian mereka telah tiba di tempat tujuan. Namun alangkah terkejutnya mereka, ketika tidak mendapati Burisrawa di tempat itu. Bukan hanya Burisrawa, tapi kereta beserta Banowati juga tidak terlihat.

“Kemana perginya mereka ?” Permadi melempar pandangan ke sekeliling.


“Mungkin saja dia bersembunyi di suatu tempat” kata Jaladara.

“Gareng, Petruk, Bagong!” panggil Permadi.

“Iya, ndoro…” serempak.

“Kalian coba cari kemana mereka pergi”.

Tanpa banyak bertanya lagi, ketiga pelayan setia Pandawa itu berpencar ke segala arah. Gareng berjalan ke timur, Bagong berkeliling di utara sementara sang Petruk berlarian ke arah selatan.

“Lihat, kakang!” kata Permadi seraya telunjuknya mengarah pada jejak roda kereta dan kaki kuda yang sepertinya berasal dari kendaraan yang di tumpangi Banowati.

 “Itu kereta Banowati” sahut Jaladara.

“Betul kakang!”.

“Debunya masih tersisa. Sepertinya belum jauh”.

“Lihat itu kakang!” teriak Permadi menunjuk pada sebuah benda yang tak jauh dari jejak jejak roda kereta. Sebuah keris berkepala naga dengan luk Sembilan terlihat tergeletak di atas tanah.

“Ini keris Burisrawa” pekik Permadi sembari memungut senjata itu, “tidak salah lagi”.

Wasi Jaladara mendekati Permadi, meminta keris yang ada di tangan Permadi dan mengamatinya dengan teliti.

“Keris ini habis di pakai untuk bertarung” ungkap Jaladara, “dan dari bekasnya yang cukup dalam, keris ini sepertinya habis berbenturan dengan senjata yang sangat kuat”.

“Berarti ada yang datang kemari dan melarikan Banowati, kakang ?”.

Wasi Jaladara mengangguk.

“Apa yang harus kita lakukan, kakang ?” tanya Permadi tak sabar.

Wasi Jaladara menghela nafas, mengarahkan pandangannya pada jejak roda kereta yang mengular jauh menuju ke arah barat.

“Penculiknya menuju ke barat”.

“Ke arah Kawah Geni ?” Permadi.

“Ya!”.

“Kita kejar sekarang, kakang?”.

“ Ya. Sebelum mereka masuk ke kawasan Kawah Geni”.

Kedua saudara sepupu ini segera memanggil kuda masing masing, lalu melompat ke punggungnya dan bergerak cepat ke arah barat mengikuti jejak yang di tinggalkan kereta kuda milik Banowati itu. Tidak sulit bagi keduanya untuk menemukan kereta  yang mereka cari. Walaupun kereta itu di tarik oleh dua ekor kuda yang kuat dan pilihan, akan tetapi tetap saja masih terlalu lambat bagi kedua ksatria itu. Apalagi jalur menuju ke Kawah Geni di penuhi kelokan tajam, berpasir dan batu.

“Itu mereka, kakang!” tunjuk Permadi mempercepat lari tunggangannya. Tangan kirinya segera meraih busur Kyai Gendewa.

Kendati jarak antara Permadi dan Wasi Jaladara dengan kereta Banowati masih cukup jauh, kedua ksatria ini sudah mampu melihat dengan jelas berapa jumlah orang yang mengawal kereta itu. 

“Ada dua puluhan pasukan berkuda yang mengiringi dari berbagai sisi” kata Jaladara.

“Langsung kita gebrak saja kakang!” Permadi mengambil anak panah dari kantong di punggungnya.

“Tunggu…” cegah Wasi Jaladara.

“Kenapa kakang ?”.

“Sepertinya mereka tahu kalau kita sedang melakukan pengejaran” kata Jaladara, “lihat, mereka mulai berpencar”.

Benar apa yang di katakan Jaladara, dua puluhan penunggang kuda yang mengiringi kereta Banowati mendadak berpencar. Dua penunggang kuda berbelok ke selatan, dua lagi ke utara, delapan lainnya bergerak lurus ke barat dan sisanya delapan orang terlihat menghentikan laju kudanya dan berbalik arah menyongsong kedatangan Permadi dan Wasi Jaladara.

“Mereka mencoba menghalangi kita” kata Permadi.

“Kita serang saja, kakang!”.

“Sabar Permadi. Kita tanya baik baik dulu” saran Wasi Jaladara.

“Baik kakang” sambut Permadi.

Delapan orang penghadang itu tak bergeming dari tempatnya. Mata mereka seolah tak berkedip  menatap tajam pada dua orang pengejarnya. Empat orang di antaranya menarik busur panah dan bersiap menunggu perintah. Dua lagi bersenjata tombak mengapit dua orang pria yang tampaknya adalah pemimpin mereka.

“Itu Gardapati dan Kartamarma!!!” kata Permadi begitu mengenali  dua sosok yang berada di sisi paling tengah.

Gardapati dan Kartamarma merupakan tokoh Kurawa terkemuka. Gardapati bertubuh tinggi besar, kokoh, berjambang lebat dengan kumis melintang atas bibirnya. Di Hastina, ia memiliki kedudukan cukup tinggi, yaitu sebagai adipati di Puralaya. Kemampuan ilmu kanuragannya sangat menonjol jika di bandingkan dengan anggota kurawa lainnya. Lihai menggunakan tombak dan mahir memainkan gada. Di kenal cerdik dalam bertarung sekaligus kejam dalam membunuh lawan. Tokoh kedua, Kartamarma. Lelaki bertubuh sedang, berpakaian rapi dengan mahkota emas di kepalanya ini bukan orang sembarangan. Dia adalah salah satu adik sekaligus orang kepercayaan Prabu Suyudana yang di daulat sebaga jurutulis Hastinapura. Di kenal cerdas, berwawasan dan ahli dalam ilmu sastra. Berkedudukan di ksatrian Banyutinalang. Salah satu kadipaten bawahan Hastinapura.

“Hai…hai….lama tak pernah berjumpa denganmu, rupanya kita berjodoh bertemu di sini, Permadi” Kartamarma menyambut dengan senyum mengembang.

“Siapa pendeta di sebelahmu itu ?. Sepertinya dia bukan resi biasa”.

“Beliau hanya seorang pertapa di Argayosa. Tidak perlu engkau sangkut pautkan dengan urusan kita” Permadi galak.

“Ow…ow..ow…!. Pertapa Argayosa kenapa sampai kelayapan di sini ?” ejek Kartamarma.

“Jaga bicaramu Kartamarma. Cepat menyingkirlah atau aku bertindak lebih jauh!” ancam Permadi dengan suara menggelegar.

“Wah…! Tak biasanya kamu segarang ini Permadi ?. Apakah pesona Banowati telah mengubah semua perilakumu ?” sindir Kartamarma memanas manasi.

“Tutup mulutmu, Kartamarma!” Permadi kalap.

“He he he he…”Kartamarma tertawa terkekeh. Gardapati yang sejak tadi hanya diam ikutan tertawa lebar.

“Gadaku ini sudah lama tidak memecahkan kepala manusia, apakah kamu setuju kalau hari ini aku pecahkan kepala anak ibu Kunti ini, hah ?” kata Gardapati seraya mengelus elus senjatanya.

“Jangan Gardapati, aku tak tega melihat anak Pandawa mati sia sia sebelum waktunya” sahut Kartamarma.

“Kurang ajar!!!. Terima ini…”.

Tak sabar mendengar ejekan demi ejekan yang meluncur dari mulut kedua anggota Kurawa itu, Permadi melompat dari atas kudanya dan mengirimkan pukulan dan tendangan pada keduanya.

Dukk!!!! 

Wussss…!!!

Gardapati yang memang sudah bersiap sejak tadi melintangkan gadanya di depan dada untuk menahan pukulan Permadi. Sementara Kartamarma yang mendapat giliran di sapu oleh kaki Permadi memilih melompat mundur. Lelaki berpakaian rapi ini untuk sementara memang lolos dari terjangan Permadi, tapi tidak dengan kuda tunggangannya. Kuda berwarna abu abu dengan leher dan kepala di tutupi pelindung dari lempengan besi itu terjengkang dan roboh oleh tendangan kaki Permadi.

“Anjing….!!!!” maki Kartamarma mendapati binatang kesayangannya terjerembab mencium tanah. Segera ia mencabut keris pusakanya dan menyerang Permadi.

Perkelahian dua lawan satu langsung pecah. Gardapati yang menggunakan senjata gada melompat dari punggung kudanya dan mengayun ayunkan senjatanya pada Permadi. Senjata pemukul kepala yang terbuat dari besi kuningan itu bergerak sangat cepat, sehingga membentuk gulungan keemasan yang mengurung tubuh Permadi. Dari arah berlawanan, Kartamarma yang di liputi kemarahan akibat kendaraannya di jatuhkan Permadi tanpa ampun menusukkan kerisnya ke seluruh sisi tubuh Permadi. 

Namun bukan Permadi kalau tidak sanggup meladeni kedua jawara Hastinapura itu. Ksatria Madukara ini dengan cepat memutar gendewanya, menangkis semua serangan yang tertuju kepadanya sambil sesekali mengirim pukulan dan tendangan. Hingga lima jurus berlalu, pertarungan masih berlangsung sengit tanpa bisa di tebak siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Baik Gardapati, Kartamarma maupun Permadi sama sama kuat dan lihai dalam bertarung.

Wasi Jaladara yang sejak hanya memperhatikan dari atas kuda dan berharap Permadi bisa menyelesaikan dengan cepat pertempuran seperti yang pernah di lakukan di dekat telaga tadi, menjadi gelisah di buatnya. 

“Kalau begini caranya, aku harus turun juga” pikirnya sembari mengambil tongkat kayu yang terselip di pelana kudanya.

“Kelamaan kamu Permadi!!!” teriak Wasi Jaladara.

Seketika tubuh berbalut kain putih pakaian brahmana ini melayang laksana anak panah menuju ke medan pertarungan. Tapi belum lagi ia berhasil masuk membantu Permadi, enam prajurit yang sejak tadi juga menonton pertandingan segera bergerak cepat membentuk barikade untuk menghadang laju Jaladara.

“Kalian mau cari masalah ya?”.

Begitu berkata demikian, Jaladara lansung memutar tongkatnya dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu singkat, semua pengeroyoknya terpental jauh. Kartamarma yang sempat melihat kejadian itu bergidik juga du buatnya. Segera sang juru tulis Hastina itu melompat menjauhi arena. Tangan kanannya mengeluarkan sebuah benda pipih yang kemudian di lempar ke atas. Terdengar suara ledakan keras di angkasa yang beberapa detik kemudian disusul ledakan dari tempat lain di empat penjuru angin.

“Mereka memanggil bala bantuan, Permadi!” teriak Jaladara.

Permadi beringsut mundur. Di tinggalkannya Gardapati yang sebenarnya mulai bisa ia desak mundur. Kini Permadi melompat ke arah Wasi Jaladara dan membuat formasi saling membelakangi. Mata keduanya menyapu ke segala arah, untuk mengantisipasi jika ada serangan mendadak.

Dari sisi utara dan selatan, ratusan orang dengan senjata lengkap muncul. Di susul tak lama kemudian dari barat dan timur. Berseragam khas prajurit Mandaraka berwarna biru dengan umbul umbul bergambar burung walet. Terdiri dari pasukan pemanah, prajurit berkuda dan pasukan tombak. Jumlahnya tak kurang dari dua ratusan. Paling depan adalah pasukan pemanah, di belakangnya lagi unit berkuda yang di sela selanya di isi para penombak.

“Permainan telah selesai wahai orang orang kuat…” ejek Kartamarma sambil berkacak pinggang.

“Licik kalian!” sumpah Permadi marah bukan main.

“Ho ho ho ho….!. Lain kali jangan cari perkara dengan Hastina. Kami bisa membunuhmu sekarang jika kami mau” 

“Apa yang harus kita lakukan, kakang ?” bisik Permadi.

“Menurutmu ?” Jaladara balik bertanya.

“Aku bisa bunuh mereka semua dengan Kyai Gendewa. Tapi…”.

“Apa ?”.

“Ini bisa menjadi masalah besar buat keluarga Pandawa. Kita tidak sedang menghadapi Kurawa, tapi menghadapi Mandaraka”.

“Itu kamu tahu…” seloroh Jaladara tenang.

“Jadi ?”.

“Ya kita menyerah saja”.

“Menyerah kepada kedua bedebah itu ?”.

“Ya. Kalau kamu masih ingin ke Mandaraka dan menemui pujaanmu itu” jawab Wasi Jaladara tersenyum meledek.

Permadi menggaruk garuk kepalanya. Seumur hidup ia belum pernah mengenal kata menyerah dalam bertarung. Makanya ia di juluki Wijaya, artinya ksatria pemenang. Tapi kini situasinya serba dilematis. Di kubu musuh memang sepertinya hanya Kartamarma dan Gardapati yang kemampuannya menonjol. Artinya ia dan sepupunya cukup punya kemampuan untuk menghadapi keroyokan dua ratus prajurit Mandaraka itu. Tapi justru keberadaan para prajurit Mandaraka ini yang menjadi masalah. Tak mungkin Permadi berani bertindak gegabah dengan mencederai prajurit pamannya itu.

“Tapi bagaimana jika kedua bedebah itu membunuh kita atau malah membawa kita ke Hastinapura ?” Permadi masih ragu.

“Itu gampang saja” Jaladara enteng.

“Gampang bagaimana kakang ?”.

“Lihat caraku…” kata Jaladara.

Begitu selesai bicara, Wasi Jaladara tiba tiba melesat bagai bayangan menuju tempat di mana Kartamarma dan Gardapati berdiri. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tak bisa di ikuti oleh pandangan mata. Tahu tahu ia sudah berada di belakang Kartamarma dan Gardapati dengan posisi tangan merangkul pundak keduanya.

“Aku bisa bunuh kalian sekarang juga. Tapi aku merasa tidak enak dengan Prabu Suyudana” ucap Wasi Jaladara setengah berbisik kepada Kartamarma dan Gardapati.

Aneh sekali, kedua orang yang tadi begitu sombong bisa mempecundangi kedua lawannya, kini mendadak gemetar ketakutan. Kata kata yang keluar dari mulut brahmana muda yang tadi sempat mereka remehkan terdengar seperti suara Dewa Yamadipati yang sedang bermain dengan nyawa mereka.

“Si…si…apa…tu…tu..an sebenarnya ?” Kartamarma gugup.

“Nanti juga kalian tahu…” jawab Jaladara yang kemudian melesat lagi ke tempat semula di mana tadi ia berdiri saling membelakangi dengan Permadi.

“Beres semua..” bisik Jaladara.

“Kakang apakan mereka ?” tanya Permadi penasaran.

“Sudaaah….kamu bicara saja kepada prajurit prajurit itu” Jaladara tak bersedia menjelaskan.

Permadi mengangguk. Dengan kemampuan luar biasa yang di miliki oleh sepupunya itu, rasanya dia tak pantas khawatir jika di curangi oleh para kurawa. Dengan langkah tegap dan senjata di selipkan di pinggang, Permadi mendekat pada Kartamarma dan Gardapati.

“Kalian jangan senang dulu” kata Permadi pada keduanya.

“Aku menyerah bukan karena takut dengan kalian. Tapi aku menghormati paman Salya”.

Kartamarma dan Gardapati saling pandang. Bukan karena sikap Permadi yang mendadak berniat menyerah. Tapi pikiran mereka masih di buat tidak mengerti dengan peristiwa yang baru saja mereka alami. Ilmu tingkat tinggi yang baru saja di pertontonkan sang resi muda kawan seperjalanan Permadi itu sungguh membuat dua jagoan Kurawa itu ciut nyali. 

“Bagaimana Karta ?” Gardapati masih terlihat ragu ragu.

Kartamarma terdiam. Menangkap Permadi adalah tugas wajib yang di bebankan Patih Sengkuni kepadanya. Tapi keberadaan brahmana muda itu bersama Permadi sedikit membuatnya ragu ragu. Bagaimana jika resi muda itu tidak terima dan melakukan perlawanan ?. Kartamarma yakin, dua ratus pasukan Mandaraka dalam sekejap akan di buat kocar kacir.

“Apalagi yang kalian pikirkan ???”.

Entah kapan datangnya, tiba tiba resi yang sempat membuat nyali mereka bergetar kini sudah ada di samping Permadi.

“Kalau mau tangkap dia, tangkap saja….” Wasi Jaladara enteng.

“Mmmm….” Kartamarma gugup, “sebelumnya kami meminta maaf atas kelancangan kami pada tuan resi. Kami hanya menjalankan tugas dari gusti Prabu Salya untuk membawa Permadi ke Mandaraka. Jika tuan resi ingin pergi….”.

“Oooh tidak” potong Jaladara.

“Kalau kalian menangkap Permadi, bawa juga aku ke Mandaraka”.

“Tapi….???”.

“Tidak usah ragu ragu. Lakukan saja tugas kalian…”.

Akhirnya Kartamarma dan Gardapati tak bisa berbuat banyak. Serta merta mereka memerintahan para prajurit Mandaraka untuk menangkap kedua pendekar itu dan memasukkan mereka ke sebuah kereta kerangkeng yang terbuat dari besi dan di tarik dengan dua ekor kuda.


*************************************

Kereta itu terus berjalan ke arah barat. Menyusuri jalanan lebar yang menghubungkan Mandaraka dan Kawah Geni. Delapan lelaki penunggang kuda tampak setia mengiringi dari semua sisi. Jalannya tidak terlalu cepat, tapi kewaspadaan masih terus di jaga. Maklum, kendati dua orang pengejarnya telah di hadang oleh Kartamarma, Gardapati dan di bantu dua ratusan prajurit, rasa khawatir masih tertanam di benak mereka. Apalagi bagi pemimpin rombongan, Aswatama dan Rukmarata. Mereka telah menyaksikan sendiri dari tempat persembunyiannya, bagaimana kemampuan brahmana berpakaian putih kawan Permadi bertarung dengan sepuluh prajurit sekaligus di pinggiran telaga. Brahmana yang belum pernah mereka kenal itu tak kalah hebatnya dengan Permadi. Hanya dengan sebatang tongkat kayu ia meladeni sepuluh pengeroyoknya.
Untung saja strategi untuk memisahkan Banowati dan Permadi dapat berjalan mulus walau mengakibatkan beberapa prajurit terluka. Tujuan utama bala kurawa dan prajurit Mandaraka hanya satu, yaitu menangkap Permadi. Akan lebih sulit bagi mereka jika Banowati dan Burisrawa ada bersama Permadi. Selain bisa di jadikan tameng bagi Permadi bila dalam keadaan terdesak, juga mereka khawatir jika Banowati justru menghalang halangi penangkapan itu.

“Sampai kapan kakak Banowati dan Burisrawa dalam keadaan begini, tuan Aswatama?” tanya Rukmarata mengkhawatirkan keselamatan kedua kakaknya.

Kendati tidak terlalu dekat dengan kedua kakaknya, dalam diri putra bungsu Prabu Salya itu masih ada rasa hormat kepada mereka. Ketika Aswatama menghajar Burisrawa dengan pukulan pukulan pada titik titik mematikan, Rukmarata merasa tidak tega. Apalagi ketika ia melihat Aswatama dengan kasarnya mengejar Banowati dan melumpuhkan kakak perempuannya, Rukmarata marah bukan main. Akan tetapi ia berusaha untuk menahan diri dan berbaik sangka terhadap Aswatama.

“Racun itu tidak mematikan, raden Rukma. Dia hanya akan tertidur selama sehari” jawab Aswatama seraya mendekat ke samping kereta.

Di bukanya jendela kereta. Matanya yang besar dan bulat menatap tajam pada dua sosok yang terbaring lemas di dalam bilik kereta. Seringai tertahan terlihat dari sudut bibir sang Aswatama. Dadanya mendadak bergemuruh manakala ia menyaksikan tubuh molek Banowati yang sudah tak bisa bergerak sama sekali. Ada rasa puas. Setidaknya ia berhasil memberi sedikit pelajaran pada wanita yang telah menghinanya tempo silam. Tapi selain itu juga menyisakan rasa jengkel akan kegagalan dirinya merebut hati Banowati. 

“Semua ini gara gara Permadi” pikir Aswatama menyalahkan Permadi. 

“Pria tengik itu tak ubahnya seperti manusia yang tidak mengerti balas budi. Padahal semua ilmu kedigdayaan telah di wariskan bapa Durna padanya. Tapi apa yang ia berikan untuk membalas budi baik keluargaku ?”.

“Permadi….!. Urusan kita belum selesai. Aku mungkin tidak bisa menandingi kedigdayaanmu. Tapi aku bersumpah akan membuatmu menderita seumur hidup!!!” Aswatama membulatkan tekad.

“Banowati…!. Kamu boleh saja tidak peduli terhadapku. Kamu boleh saja memalingkan wajah dan tidak membuka pintu hatimu untukku. Kamu juga boleh menghinaku sesuka hatimu. Tapi ingat, Aswatama akan terus hidup sebelum aku sanggup membunuhmu!!!”

Makin lama Aswatama memandang tubuh Banowati, makin keras hatinya merintih. Makin kuat keinginannya untuk membalas dendam. 

“Berapa lama tuan Kartamarma dan Gardapati sanggup menangkap kedua orang itu ?” suara Rukmarata memecah lamunan Aswatama.

Aswatama menutup kembali jendela kereta. Membetulkan ikat kepalanya dan berusaha untuk bersikap biasa saja.

“Sepertinya tidak berlangsung lama” katanya, “lihat saja, tidak terdengar lagi suara orang berkelahi”.

Rukmarata menarik nafas lega. Apa yang ia khawatirkan, yaitu jatuhnya banyak korban di pihak Mandaraka akibat perlawanan kedua pria itu tak menjadi kenyataan. Yang terdengar dari kejauhan hanya suara gemuruh langkah kaki. Bukan suara senjata beradu maupun jeritan kesakitan dari para prajuritnya.

“Jadi, kita balik arah sekarang juga ?” Rukmarata tak sabar.

“Tunggu sebentar lagi setelah ada tanda dari sana”.

Tak lama kemudian, dari arah belakang terdengar serentetan suara ledakan di angkasa sebanyak tiga kali. Sontak semua orang yang ada di situ melonjak kegirangan. Tak salah lagi, itu adalah tanda yang di berikan oleh prajurit yang bertugas menghadang Permadi.

“Mereka berhasil menangkap Permadi, tuan!” kata Rukmarata dengan senyum mengembang. 

Remaja tanggung ini merasa sangat lega dengan hasil yang di capai para prajuritnya. Walaupun itu semua berkat taktik para kurawa, tapi bungsu Salya itu mulai bisa belajar seni perang yang cantik. Sementara Aswatama hanya tampak menyunggingkan senyum tipis untuk menutupi perasaannya. Keberhasilan Kartamarma dan Gardapati menangkap Permadi bagi Aswatama justru akan makin cepat menjauhkan dirnya dengan Banowati. Sebab, ia harus segera kembali ke Mandaraka.

“Andai Permadi bisa meloloskan diri, tentu aku bisa membawa lari Banowati lebih lama lagi” pikir Aswatama kecewa.

“Ada yang datang!!!” tiba tiba salah satu prajurit yang berada di bagian depan berteriak kepada semua orang. Jari telunjuknya mengarah ke barat.

Dari kejauhan tampak debu mengepul ke udara. Suara derap kaki kuda lamat lamat terdengar mengiringi. Tanpa di komando, delapan pria yang mengawal kereta Banowati itu serempak membentuk barikade untuk mengantisipasi kejadian yang tidak di inginkan.

“Ada belasan orang!” kata salah satu prajurit.

“Sepertinya mereka sangat terlatih menunggang kuda” sambung yang lain.

“Siapa kira kira mereka, tuan?” tanya Rukmarata pada Aswatama.

“Entahlah. Tapi di lihat dari pakaiannya jelas bukan orang sini” jawab Aswatama manakala rombongan itu semakin dekat.

Ada sekitar lima belas hingga dua puluh orang. Paling depan adalah seorang wanita dengan tubuh tinggi, berpakaian abu abu terbuat dari kain wol. Rambutnya panjang terurai dengan jambul di atas kepala. Memakai gelang terbuat dari kulit buaya, berkalung bulan sabit dan menyandang senjata sejenis bumerang di pinggangnya. Di lihat dari penampilan, perempuan itu sepertinya adalah pemimpin rombongan. Di belakangnya berjejer rapi para pengikutnya yang rata rata adalah anak anak muda, berbadan kekar dan berlengan kokoh. 

“Berhenti!!!” 

Salah satu anak muda yang berada di samping kiri wanita itu mengangkat tangan kanan untuk memberi tanda agar mereka berhenti. Umurnya masih muda, mungkin seumuran Aswatama. Badannya tinggi besar, berkumis melintang, berhidung pesek, mata sipit dan alis tebal. Menyandang sebuah senjata berbentuk melengkung yang tajamnya berada di sisi dalam. Pemuda itu kemudian melompa turun dari atas tunggangannya dan berjalan mendekati Aswatama.

“Mohon maaf jika kurang sopan, tuan sekalian” sapa pemuda itu sopan, “kami adalah pengembara dari utara yang sedang mencari pengalaman. Nama saya Wigati” memperkenalkan diri.

“Yang duduk di sana itu majikan kami” telunjuknya mengarah pada perempuan berjambul dengan kalung sabit yang duduk tenang di atas kudanya, “namanya Srikandhi”.

Di awal cerita, kami pernah menyinggung nama Srikandhi. Perempuan pengembara yang pernah menolong Permadi ketika tersesat di padang pasir Kawah Geni. Lalu siapa sebenarnya Srikandhi ?. Dia adalah anak sulung dari penguasa negeri Pancala. Sebuah negeri yang terletak di sebelah utara Hastinapura. Walaupun secara genetika Srikandhi adalah seorang perempuan, namun dalam banyak hal ia lebih berkarakter laki laki. Bukan hanya dari pakaian yang sering ia kenakan atau penampilannya yang nyaris tanpa riasan wajah, tapi watak dan karakter Srikandhi juga seperti laki laki tulen pada umumnya. Ia gemar berpetualang, senang berkelahi dan mahir dalam olah kemiliteran.

“Oh, dari negeri utara rupanya…” Aswatama, “negeri manakah ?”.

“Kami dari Kerajaan Pancala” jawab Wigati.

“Pancala ?” Aswatama terkejut bukan main begitu nama Pancala di sebut.

Pancala. Nama yang sudah tidak asing lagi bagi Aswatama. Bahkan dahulu kala, Aswatama dan wadya bala Kurawa pernah datang ke Pancala untuk menagih janji yang pernah di ucapkan Raja Pancala kepada ayah Aswatama, Resi Durna. Di kisahkan dulu Drupada dan Durna adalah teman senasib sepenanggungan. Mereka bersahabat sejak kecil dan saling bahu membahu dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Saking intimnya hubungan kedua sahabat ini, Drupada sempat menjanjikan kepada Durna, jika kelak ia menjadi raja di Pancala, maka Durna akan di beri separuh wilayah Pancala. Namun janji itu hanya menjadi janji belaka, ketika Drupada benar benar menjadi raja, nyatanya ia tidak segera membagi kekuasaannya dengan Durna. Bahkan Durna malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari patih Pancala, yaitu Gandamana. Ayah Aswatama ini di hajar habis habisan oleh Gandamana hingga mukanya rusak. Untung segera datang Sengkuni untuk menolong Durna. Oleh Sengkuni, Durna di bawa ke Hastinapura dan di rekrut menjadi guru keprajuritan bagi keluarga Kurawa dan Pandawa. Di Hastina, Durna memperoleh berbagai macam fasilitas yang tidak di dapatkan oleh siapapun. Ia sangat di hormati baik oleh Pandawa maupun Kurawa.

Namun demikian, dendam Durna pada Drupada tidak pernah pupus. Walaupun ia sudah di angkat sebagai pejabat penting di lingkungan Hastina, tapi Durna masih menyimpan asa untuk memiliki separuh dari wilayah Pancala. Dan untuk mewujudkan keinginannya itu Durna yang di bantu Kurawa kemudian mengirim pasukan ke Pancala guna menagih janji Drupada. Usaha pertama adalah mengirim Kurawa untuk menyerbu Pancala. Dan Aswatama termasuk salah satu orang yang ikut ke Pancala. Tapi sayang, usaha Durna untuk merebut paksa Pancala menemui kegagalan. Tak kehilangan akal, Durna kemudian mengirim muridnya yang lain dari klan Pandawa. Usaha terakhir ini akhirnya berhasil. Pancala dapat di rebut sebagian. Bahkan patih Gandamana akhirnya tewas oleh Bima. Wilayah Pancala yang berhasil di rebut Durna itu kemudian di beri nama Sokalima.

“Ada perlu apa tuan  datang ke Mandaraka ?” tanya Aswatama dengan sorot mata penuh kecurigaan.

“Hai, kaki kuda!”.

Belum lagi Wigati menjawab, terdengar teriakan dari arah perempuan berjambul itu. Semua mata menoleh ke arah datangnya suara. Tak terkecuali Aswatama yang geram bukan main. Ucapan itu jelas di tujukan kepada dirinya. Dan ini untuk kali kedua, ia di hina seorang wanita.

“Kamu punya nama, bukan ?. Kenapa tidak mengenalkan diri ?” tanya Srikandhi dengan nada tinggi.

Makin dongkol sang Aswatama mendengar ucapan ucapan tidak sopan dari Srikandhi. Pemuda Sokalima ini melompat mendekati Srikandhi.

“Keparat!!!. Jaga bicaramu wahai nona, atau aku sobek sobek mulutmu !!!” gertak Aswatama emosi.

“Ho..ho..ho..ho…” seloroh Srikandhi tanpa sedikitpun merasa gentar, “makanya, kenalin dulu siapa dirimu…”.

“Aku Aswatama putra Begawan Durna dari Sokalima!” jawab Aswatama mengelus elus keris di pinggangnya.

“Apa ?. Durna ?. Apakah aku tidak salah dengar ?” kali ini mimik Srikandhi mendadak serius. Matanya mengawasi dengan seksama setiap inci tubuh Aswatama.

“Tidak!!. Aku Aswatama putra Durna!” tegas Aswatama berharap pengakuan itu membuat nyali Srikandhi luruh.

Tapi sepertinya harapan Aswatama meleset. Wanita itu makin sinis menatap dirinya. Seolah ada sesuatu yang sedang di pendam dalam benak wanita berkalung bulan sabit itu. 

“Anak anak…!. Siapkan diri kalian. Kita bikin perhitungan dengan anak pencuri ini!!” teriak Srikandhi memberi aba aba. Serentak belasan pria berbadan kekar di belakang Srikandhi mencabut senjatanya.

Aswatama terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Tapi dia di tuduh sebagai anak pencuri.

“Pasti ada hubungannya dengan bapa Durna” pikir Aswatama segera mundur dan menyiapkan keris pusakanya.

“Siapa dirimu sebenarnya, hai wanita jalang ??” bentak Aswatama.

“Aku ?”.

“Ya!!!”.

“Aku putri Prabu Drupada. Kamu kenal, bukan ?” jawab Srikandhi.

“Oooohhh…jadi kamu anak Drupada ?” Aswatama terpana.

Pantas saja wanita ini langsung menuduhnya sebagai anak pencuri. Pasti yang di maksud adalah peristiwa tempo silam dimana Drupada menderita kekalahan hebat dan wilayahnya di rebut Resi Durna.

“Kenapa ?. Takut ?” ledek Srikandi.

“Keparat!. Jangankan hanya seorang. Kalian semua majupun aku tidak takut!” Aswatama percaya diri.

“Oh ya ?. Apakah kata katamu bisa aku pegang ?” Srikandhi.

“Kenapa tidak?” sahut Aswatama.

Srikandhi menghela nafas. Sorot matanya tertuju pada tujuh lelaki yang ada di belakang Aswatama.

“Kalian semua dengar khan ?” kata Srikandhi pada tujuh lelaki yang ada di belakang Aswatama, “temanmu ini ingin sendirian melawan kami. Jadi jangan ikut campur kalau kalian memang ksatria”.

Aswatama mengumpat dalam hati. Padahal ucapannya tadi hanya sekedar ingin menggertak. Tapi wanita itu dengan cerdiknya memanfaatkan ucapannya untuk melakukan pengeroyokan.

“Kenapa ?. Apakah kamu ingin mencabut kata katamu ?” ejek Srikandhi yang menyadari lawannya mulai gentar.

“Ka…kalau kalian tidak malu, silahkan maju bersama…!” Aswatama mulai gugup. 

Bagaimanapun Aswatama layak khawatir. Dari bentuk fisiknya, belasan pria berbadan tegap itu sepertinya bukan orang sembarangan. Apalagi wanita bernama Srikandhi itu. Memang ia hanya seorang wanita. Tapi dia anak Drupada. Raja Pancala yang ilmunya sekelas bapak Aswatama. Sudah pasti wanita itu juga mewarisi kesaktian ayahnya. Untuk meminta bantuan kepada Rukmarata dan prajurit Mandaraka, rasanya tidak mungkin. Dirinya sudah kepalang basah meladeni orang orang Pancala itu sendirian.

“Ho..ho..ho…!. Sepertinya kamu kurang percaya diri…” ledek Srikandhi dengan senyum kecut.

“Kepung si kaki kuda ini!!!” perintah Srikandhi.

Belasan anak buah Srikandhi segera melompat dari atas kuda mereka. Menenteng berbagai macam senjata lalu mengepung Aswatama dari berbagai penjuru.

selanjutnya>>>