Oleh : Komandan Gubrak
Cinta
tidak membutuhkan alasan, tak butuh selubung pembungkus dan tak mengenal
pelindung, kecuali cinta itu sendiri. Cinta adalah bangunan mandiri yang tidak
tergantung kepada apa apa yang ada di sekitarnya. Tidak membutuhkan pekarangan
luas dengan tanaman tanaman bunga yang elok untuk membuat bangunan cinta
terlihat indah nan mempesona. Tidak memerlukan pagar pagar yang tebal dan
tinggi untuk melindunginya dari mara bahaya. Bahkan, ia juga tidak butuh
terangnya matahari di siang nan terik maupun gelapnya malam yang dingin
menusuk.
Bukan
cinta namanya, jika ia masih membutuhkan alasan alasan. Seseorang yang
mengatakan bahwa ia mencintai sesuatu karena merasa terpesona, entah dengan
paras ayu maupun ketampanannya, lembut tutur katanya, santun perangainya dan
segala kebaikan yang di milikinya. Sesungguhnya ia tidak sedang mengidap
penyakit cinta, tapi ia sedang belajar membangun sebuah bangunan cinta.
Pecinta
sejati adalah pecinta yang tidak pernah dan tidak akan peduli. Apakah cintanya
harus mendapatkan balasan atau penolakan, pujian maupun cacian, kebaikan maupun
keburukan. Bahkan ia tidak pernah bisa di goyahkan dengan ikatan ikatan ragawi.
Bisa saja seorang pecinta menemukan pelabuhannya, bersanding mesra dengan yang
ia cintai. Tapi sesungguhnya itu bukan tujuan. Begitu juga sebaliknya.
Larasati
mengelus elus perutnya yang terlihat mulai membuncit. Duduk di atas kursi
bundar terbuat dari bekas potongan kayu jati yang berada di teras rumahnya. Pandangannya
terarah pada tumpukan kayu bakar yang masih berbentuk gelondongan dan belum di
belah menjadi serpihan serpihan kecil. Tak jauh dari tempat Larasati, seorang
gadis remaja berumur belasan tahun, berbadan sedang, berambut ikal, bermuka
lonjong, berwajah cantik dengan kulit putih bersih terlihat asyik menemani.
Bernama
Rara Ireng. Putri penguasa Mandura, Prabu Basudewa dengan ibu Badrahini. Di
namakan Rara Ireng karena dulu sewaktu lahir kulitnya berwarna hitam kelam.
Namun seiring dengan waktu dan berkat ramuan manjur yang di berikan oleh
ibunya, lambat laun kulit Rara Ireng berubah warna menjadi kuning langsat.
Tidak hanya kulitnya yang berubah, tapi wajah Rara Irengpun berubah menjadi
cantik jelita yang di kagumi oleh siapa saja. Maka tak heran banyak orang yang
memaggilnya dengan sebutan Subadra alias Sembadra atau Wara Sembadra. Yang
artinya, rembulan. Seperti yang pernah kita singgung di atas, keberadaan Rara
Ireng bersama kedua saudara seayahnya, Kakrasana dan Narayana di Widarakandang
sangat terkait dengan konflik yang melanda keluarga Kerajaan Mandura.
“Dulu,
ketika kakang Permadi masih di sini, kayu kayu gelondongan itu tak mungkin di
biarkan menumpuk tak terurus” Larasati membuka cerita.
“Oh
ya ?” sahut Rara Ireng antusias.
Dalam
silsilah kekerabatan, antara Rara Ireng dan Permadi masih terhitung kerabat
dekat. Ibu Permadi, Dewi Kunti adalah adik dari ayah Rara Ireng. Prabu
Basudewa. Konon ketika ia masih bayi, Permadi kecil pernah berkunjung bersama
ibunya ke Mandura untuk memberikan ucapan selamat atas lahirnya Rara Ireng.
Dalam pertemuan itu di ceritakan Prabu Basudewa sempat memangku bayi Rara Ireng
dan Permadi kecil di kedua pahanya. Sang raja Mandura kemudian berdoa dan
meminta kepada Tuhan agar kedua bocah di pangkuannya kelak menjadi pasangan
yang tak terpisahkan selama lamanya.
“Hampir
setiap hari, terutama jika kebutuhan kayu bakar mereka mulai menipis, Permadi
berangkat ke hutan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Menebang kayu,
menaikkannya di atas pedati untuk di bawa pulang dan di kumpulkan di depan
halaman rumah. Jika sudah terkumpul, Permadi mulai membelahnya dengan sebilah
kampak untuk di jadikan bahan kayu bakar. Kegiatan membelah kayu ini biasanya
rutin di lakukan Permadi setiap pagi hingga tengah hari. Tentu saja pekerjaan
itu dengan di bantu oleh ketiga sahabat setianya. Gareng, Petruk dan Bagong.
Namun itu hanya dalam batas menjemur, merapikan dan menumpuk kayu kayu itu di
halaman. Untuk urusan membelah kayu atau menebang kayu di hutan, Permadi memang
melakukannya sendiri” kenang Larasati.
Permadi
memang pria yang ulet. Kendati memiliki trah bangsawan dan terbiasa di hidup di
istana yang penuh kemewahan dengan pelayanan serba ada, dia bukan orang yang
hanya mau duduk berpangku tangan dan bermanja manja. Permadi tetap bekerja demi
memenuhi kebutuhan seperti layaknya rakyat kebanyakan. Bukan hanya mencari kayu
di hutan atau membelahnya di halaman rumah, ia juga ikut turun ke sawah dan
ladang untuk bercocok tanam jika musim hujan tiba. Kegiatan lain Permadi di
Widarakandang adalah melatih ilmu kanuragan dan ilmu sastra pada para pemuda
desa yang rata rata memang bukan orang orang terpelajar dan mengerti ilmu
beladiri. Cukup banyak yang berguru kepada Permadi. Mungkin bisa puluhan bahkan
ratusan pemuda. Tidak hanya pemuda yang berasal dari desa Widarakandang saja,
tapi tak jarang juga berasal dari desa desa sekitarnya. Bahkan, seolah tak mau
ketinggalan, Larasati sendiri juga meminta pada Permadi untuk di ajari ilmu
kanuragan. Terutama dalam hal panahan. Dan rupanya, Larasati termasuk wanita
yang memiliki bakat besar. Hanya dalam tempo waktu singkat, putri Kyai Antagopa
ini berhasil menjadi seorang pemanah yang handal.
Kehidupan
rumah tangga Permadi dan Larasati sekilas terlihat normal normal saja. Tak jauh
beda dengan yang lain. Suami istri ini begitu kompak mengerjakan tugas masing
masing. Permadi membelah kayu di halaman rumah, mencangkul di ladang dan
sebagainya. Sementara Larasati yang menyiapkan makanan, menyiapkan air untuk
mandi, mencucikan pakaian dan lain lain. Nyaris tak ada yang aneh dalam
kehidupan mereka berdua. Hanya satu hal yang selama ini sedikit menggangu
hubungan kedua insan ini dan pernah kita singgung di awal. Bahwa Permadi tidak
benar benar mencintai Larasati. Pernikahan mereka bukan di sebabkan oleh rasa
cinta di antara keduanya, akan tetapi lebih pada pemenuhan janji pada ayah
sekaligus mertua mereka. Bahwa siapapun yang mampu mengalahkan Udawa, akan di
nikahkan dengan Larasati.
Kendati
Larasati tahu kalau sang suami tidak mencintai dirinya, namun cinta Larasati
kepada Permadi tak pernah lekang di makan keadaan. Cintanya kepada Permadi
tetap utuh seperti di saat mereka pertama kali bertemu hingga berpisah. Bahkan
kalaupun ternyata dalam pengembaraannya, Permadi menemukan wanita lain yang di
cintai dengan segenap jiwa dan raga, Larasati tetap akan mempertahankan
kesetiaannya pada sang suami.
“Aku
sangat menikmati rasa ini, Rara. Aku bahagia bisa bersanding dengan pria luar
biasa sepertinya. Walaupun….” berhenti sejenak, “walaupun aku tahu ia tak
pernah mencintaiku” lanjut Larasati berusaha tenang.
“Itu
namanya menyiksa diri kakakku….” Rara Ireng mencibir.
“Kalau
aku dalam posisi kakak, mendingan nggak usah meneruskan perkawinan saja”.
Larasati
menyunggingkan senyum. Selama di tinggal Permadi, barangkali hanya Rara Ireng
yang paling banyak menemani dirinya dalam suka maupun duka. Selain juga ibu dan
ayahnya. Sementara kakaknya, Udawa, waktunya banyak di habiskan untuk berkelana
menemani Raden Narayana. Sementara putra Prabu Basudewa lain, yang juga sempat
tinggal di Widarakandang, yaitu Raden Kakrasana malah hingga kini belum pernah
balik lagi ke Widarakandang.
“Itu
karena kamu belum pernah mengalami bagaimana jatuh cinta, Rara…” terang
Larasati dengan nada keibuan.
“Iya,
tapi kalaupun punya kekasih, aku nggak mau di perlakukan begitu. Pokoknya nggak
mau. Kalau itu terjadi, bakalan aku laporin ke kakak Kakrasana. Biar di hajar
!” Rara Ireng mengepalkan tangannya mempraktekkan seolah olah Kakrasana
menghajar orang.
Makin
lebar senyum Larasati menyaksikan tingkah kekanak kanakan Rara Ireng. Bahkan
saking gelinya ia harus memegangi perutnya yang buncit.
“Kenapa
kak ?” Rara Ireng belum sadar kalau lawan bicaranya merasa geli bukan main.
“Nggak
apa apa” sahut Larasati tak ingin mengganggu keasyikan adik angkatnya ini dalam
melampiaskan perasaannya.
“Kalau
kak Lara mau” berlagak menawarkan, “ bisa kok aku bilangin sama kak Kakra. Biar
di hajar sekalian tuh suami kakak”.
“Biar
kapok!” imbuh Rara Ireng bersemangat.
“Kenapa
harus di hajar ?. Khan kalau dia sakit, kakak juga yang repot mengobati” kata
Larasati dengan nada lembut tak ubahnya seorang ibu yang sedang menasehati
anaknya.
“Nggak
usah di tolong dong kak…” Rara Ireng ngotot.
“Biarin
aja. Siapa suruh nyakiti hati kita ?. Huuuuu…” memonyongkan mulutnya.
“Hihihhihihiii…..”.
Kali
ini Larasati di buat terpingkal pingkal oleh kelucuan dan keluguan Rara Ireng.
Dan seperti di komando, Rara Ireng pun akhirnya ikut ikutan tertawa lebar.
Keduanya kemudian larut dalam canda tawa yang seolah tak berkesudahan. Bukan
hanya sekali dua kali, tapi hari hari Larasati sepeninggal suaminya memang
banyak di habiskan bersama putri bangsawan Mandura ini. Rara Ireng sendiri,
sejak pertama kali berada di Widarakandang langsung cocok bersahabat dengan
Larasati. Tabiat Larasati yang keibuan, penyabar dan bersahaja seolah menjadi
penawar bagi kenakalan dan kebengalan Rara Ireng. Kedua wanita ini tak ubahnya
kuali ketemu tutupnya. Saling melengkapi, saling melindungi dan saling
menghibur satu sama lain.
“Sebentar,
Rara…” tiba tiba Larasati menghentikan candaannya dengan Rara Ireng.
Sesosok
pria berwajah kusut, berpakaian lusuh dengan rambut acak acakan, menunggang
kuda memasuki pekarangan rumah Larasati.
“Kakang
Udawa…” pekik Larasati segera berdiri dari tempat duduknya. Sementara Rara
Ireng yang juga mengenal siapa sosok yang datang, ikut memalingkan wajahnya
pada tamu yang baru saja melompat dari atas kuda dan berjalan ke arah mereka.
“Hai
Sati…Rara…!” pria itu melambaikan tangan dengan senyum merekah terpancar dari wajahnya.
Udawa.
Putra tertua Kyai Antagopa ini memang sudah cukup lama, kira kira tiga bulan
meninggalkan Widarakandang. Menemani sang Narayana berkelana dari satu tempat
ke tempat lain demi mengais pengalaman dan wawasan. Selain juga tentunya untuk
menghindarkan diri dari kejaran para pengikut Raden Kangsa yang telah lama
berniat jahat terhadap anak anak Prabu Basudewa.
“Apa
kabar keponakanku ini…?” tanya Udawa seraya menjulurkan tangannya ke perut
Larasati.
“Dia
kangen sekali dengan uwaknya, kakang” ucap Larasati.
“Oh
ya ?”.
“He’em”.
“Nanti
kalau sudah dewasa, uwak berjanji akan mengajarkan dia tinju yang paling kuat
di muka bumi” kata Udawa bersemangat. Sudut matanya kemudian beralih para Rara
Ireng.
“Aiiih…..kamu
makin cantik saja Sembadra ?” puji Udawa pada Rara Ireng.
“Iya…tapi
mana kakang Narayana ?. Kok pulang sendirian ?” sambut Rara Ireng sedikit
kecewa karena yang dia tunggu malah tidak ikut serta.
Udawa
menggamit pundak Rara Ireng, mengelus rambut gadis remaja putri Prabu Basudewa
itu dan menatap hangat pada bola mata Rara Ireng.
“Nanti
juga akan datang, Sembadra” hibur Udawa.
“Kapan
?” desak Rara Ireng.
“Yaa…setelah
pekerjaan di Dwarawati selesai”.
“Ahh…kelamaan!!”
sergah Rara Ireng dengan muka di tekuk.
“Ha
ha ha ha…!”.
Ketiganya
kemudian berjalan menuju teras rumah di mana terdapat empat potongan balok kayu
berbentuk bulat dengan diameter tigapuluh sentimeter yang sengaja di rancang
sebagai tempat duduk dan satu balok lagi di tengah tengah ke empatnya dengan
ukuran lebih besar yang berfungsi sebagai meja.
“Kalian
duduk dulu, aku ke dalam sebentar memasak air” Larasati mempersilahkan.
“Eit….tunggu
dulu, kak!” Rara Ireng buru buru mencegah, “biar aku yang memasak air. Khan kak
Larasati udah lama nggak ketemu kakang Udawa. Pasti kangen…”.
Tanpa
banyak bicara lagi, Rara Ireng segera berlari ke dalam rumah.
“Sampai
kapan dia tinggal di sini ?” kata Udawa sembari meletakkan bokongnya kursi.
“Entahlah,
kakang” jawab Larasati, “aku juga kasihan sama dia. Biasanya hidup serba
kecukupan, tapi sekarang harus tinggal di tempat seperti ini”.
Udawa
menghirup nafas.
“Ehh…gimana
perjalanannya kakang ?” sela Larasati. Ada sesuatu yang sangat ia tunggu
kabarnya dari Udawa.
“Aku
tidak tahu persis, karena aku harus menemani gusti Narayana membangun perkampungan
Dwarawati. Tapi, kabarnya ia ada di Mandaraka” kata Udawa yang langsung paham
apa maksud adiknya.
“Antar
aku menemuinya, kakang” rengek Larasati memelas.
“Apa
?” Udawa menatap dalam dalam.
“Perutmu
sudah besar, Sati. Dan tidak lama lagi akan melahirkan” keberatan.
“Sekali
ini saja kakang” desak Larasati.
“Nggak
bisa!”.
“Tolonglah,
kakang. Aku janji akan menjaga diri” rayu Larasati.
Udawa
terdiam.
“Aku
hanya ingin dia melihat anak ini terlahir di dunia” Larasati mengelus perutnya,
“dia harus tahu siapa bapaknya. Itu saja. Setelah itu kita kembali ke
Widarakandang lagi…”.
Sebetulnya,
Udawa merasa kasihan juga terhadap adik satu satunya ini. Melahirkan seorang
bayi tanpa adanya seorang suami di sisinya tentu adalah sesuatu yang
menyedihkan. Tapi mencari di mana keberadaan Permadi, bukan sesuatu yang mudah.
Bisa saja hari ini pendekar Madukara itu berada di Mandaraka, tapi besoknya
lagi ia ada di tempat lain. Belum lagi masalah keamanan. Di mana mana terjadi
kekisruhan. Bukan hanya di Mandura, tapi belakangan ia juga mendengar kabar
kalau Mandaraka juga sedang di landa masalah dengan hilangnya putri Prabu
Salya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah soal Rara Ireng.
“Siapa
yang menjaga Sembadra kalau adik Sati meninggalkan Widarakandang ?” tanya
Udawa.
“Biar
dia ikut saja” saran Larasati.
“Ahh…itu
berbahaya buat dia”.
“Kita
bisa bawa beberapa pemuda desa untuk mengawal” imbuh Larasati.
Belum
juga Udawa menjawab usulan Larasati, Rara Ireng keluar dari dalam rumah dengan
membawa nampan berisi gelas gelas minuman.
“Wah…asyik
sekali ngobrolnya ya…” Rara Ireng meletakkan nampan minuman di atas meja.
“Sejak
kapan Sembadra pintar membuat minuman seperti ini ?” ledek Udawa sembari
menghirup aroma jahe yang keluar dari gelas minuman di depannya.
“Tuh,
yang ngajari…” sudut matanya melirik kepada Larasati.
Tanpa
menunggu di persilahkan, Udawa langsung mengambil salah satu gelas dan
menyruputnya perlahan.
“Enak
banget” komentar Udawa.
“Kakang…”
raut muka Rara Ireng mendadak serius.
“Hemmm”.
“Sembadra
kangen sama kakang Kakra”.
“Trus…?”.
“Cariin
dia ya….”pinta Rara Ireng, “bilangin suruh pulang”.
“Pulang
kemana ?. Keadaan di sini tidak aman. Gimana kalau ketahuan Kangsa ?”.
“Iya,
tapi aku kangen banget kakang…” kilah Rara Ireng.
“Atau
antar aku mencarinya?”.
Udawa
meletakkan minuman di tangannya. Menatap ke arah Larasati yang menunduk, lalu
beralih pada Rara Ireng.
“Sepertinya
kalian kompak” komentar Udawa menggaruk kepalanya.
“Kompak
gimana ?” baik Larasati maupun Rara Ireng serentak bicara.
“Kamu
tahu di mana kakangmu Kakrasana ?”.
Rara
Ireng menggeleng.
“Beberapa
waktu lalu pasukan Kangsa menyerbu Argayosa. Tempat di mana kakangmu bertapa.
Tapi untunglah gusti Kakrasana bisa menyelematkan diri”.
“Trus
?” tanya Rara Ireng serius.
“Aku
dengar dia lari ke timur”.
“Mandaraka
?”.
Udawa
mengangguk.
“Itu
yang aku bilang kenapa kalian kompak. Karena baik Permadi maupun Kakrasana
sepertinya ada di Mandaraka” terang Udawa.
“Ya
sudah” sahut Larasati berbinar, “ tunggu apalagi ?. Kita bareng bareng mencari
mereka”.
Udawa
menghela nafas.
“Baiklah”
pria berlengan kekar ini sepertinya sudah tak bisa lagi menghindar.
“Besok
aku kumpulkan para pemuda. Kita berangkat ke Mandaraka”.
************************
Ingin menabur asa
Tapi aku takut berbalut derita
Ingin mengayuh sampan
Dan berlayar menuju lautan lepas
Tapi aku takut gelombang
Ingin aku berlari
Mengitari sudut sudut bumi
Tapi aku takut akan jatuh dan
terkilir
Seperti
yang biasa Banowati lakukan, setiap kali hatinya merasa gundah gulana, dawai kecapinya
selalu menjadi teman setia yang tak pernah tergantikan. Benda berbentuk perahu
itu tak pernah ketinggalan di bawa olehnya manakala bepergian jauh. Tak
terkecuali ketika ia berangkat mencari Permadi bersama adik tercintanya,
Burisrawa. Di sepanjang perjalanan, dari Kawah Geni menuju kota Mandaraka,
Banowati hampir tak pernah keluar dari keretanya kecuali hanya untuk buang
hajat atau melemaskan otot otot.
Ia
memang berhasil membawa serta Permadi ke Mandaraka, bahkan sang resi sakti Wasi
Jaladara juga bersedia turut serta guna berniat membantu keluarga Prabu
Salyapati untuk mencari keberadaan Dewi Herawati. Tapi, apa yang ia dengar dari
pembicaraan antara Permadi dan Wasi Jaladara di sebuah gubuk yang ada di aose
Sendang Sari sungguh membuat hatinya benar benar terpukul. Bahwa ternyata, pria
yang selama ini ia kagumi sudah memiliki tambatan hati yang lain. Wanita
Widarakandang yang bernama Larasati. Memang, Banowati tak tahu persis seperti
apa hubungan keduanya, akan tetapi dari pembicaraan Permadi dan Wasi Jaladara
mengisyaratkan bahwa Larasati adalah sosok penting dalam kehidupan ksatria
Madukara itu. Kalau tidak istimewa, tak mungkin Permadi jauh jauh pergi ke
Widarakandang hanya untuk meminta ijin. Bisa jadi ia kekasih Permadi, atau
mungkin juga istri.
Banowati
menghentikan petikan kecapinya, lalu mengulurkan tangannya pada tirai kain di
sisi kiri kereta kuda yang ia tumpangi. Tidak terlalu lebar, akan tetapi cukup
baginya untuk melihat suasana di luar. Di sisi kiri kereta yang ia tumpangi,
tiga lelaki duduk di atas kuda. Berjalan bersusulan. Paling depan adalah si
Petruk, dengan posisi mensejajari Burisrawa yang sibuk mengendalikan kereta.
Pria itu tampak sibuk berbicara dengan Burisrawa yang menjadi kusir bagi
keretanya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Di belakangnya, yang berada
tepat di samping Banowati adalah pria tambun dengan bibir tebal dan mata besar.
Bagong. Lelaki ini hanya terlihat berdendang sambil bersiul menghibur diri.
Sementara
Permadi tampak berada di barisan paling belakang. Pria tampan dengan busur
panah di pinggang itu terlihat duduk termenung di atas kuda tunggangannya.
Sorot matanya sayu, kosong dan tak bergairah. Sungguh berbeda dengan waktu
Banowati bertemu dengannya di pantai Mandaraka. Permadi yang kemarin selalu
tampil sejuk, menyenangkan dan terkadang lucu, kini tak ubahnya seperti patung
kusam yang tak terawat. Senyum yang biasanya sangat manis dan sanggup
merobohkan hati siapapun, kini hanya seonggok daging kaku yang tak enak di
pandang.
Banowati
menutup tirainya perlahan. Menyandarkan tubuhnya di dinding kereta lalu
memejamkan mata. Ada rasa sesal menggelayut dalam pikirannya. Sejak Permadi
mengajaknya bicara empat mata di luar gubuk waktu itu, sekalipun Banowati belum
mau berbicara dengan Permadi. Walaupun beberapa kali Permadi berusaha mencuri
curi kesempatan untuk mengajaknya bicara, ia tetap diam seribu bahasa. Rasa
sakit hati menyaksikan kenyataan bahwa pria yang belum lama ia kenal itu telah
memiliki tambatan hati belum sepenuhnya bisa ia hilangkan.
“Ndoro
“.
Terdengar
lamat lamat suara memanggil dari sisi kiri Banowati yang sepertinya suara
Bagong.
“Kenapa
sih ndoro dari tadi diam saja ?. Bicara dong!. Masak Bagong di cuekin begini
?”.
Banowati
membuka matanya, mendekatkan telinganya ke dinding kereta yang terbuat dari
kayu untuk mendengar lebih jelas apa yang akan di ucapkan Permadi. Walaupun ia
sudah menduga bahwa penyebab Permadi bermurung durja adalah dirinya, akan
tetapi Banowati tetap saja penasaran dan merasa perlu untuk mendengar langsung
jawaban apa yang keluar dari bibir pria itu.
Tak
ada suara sedikitpun yang keluar dari bibir Permadi. Justru Bagong yang kembali
bicara.
“Nggak
usah bingung ndoro. Kayak nggak ada yang lain saja. Yang seperti itu banyak di
dunia ini” ucap Bagong bernada menyindir.
“Kurang
ajar bener itu Bagong” serapah Banowati dalam hati, “Kamu kira aku juga nggak
bisa, cari laki laki yang seperti ndoromu itu ?. Sembarangan aja kalau
ngomong”.
“Di
Karang Kedempel, banyak perempuan yang bisa bermain kecapi. Cantik cantik
malah. Apalagi yang tinggalnya di dekat bapak Semar. Kalau ndoro mau, nanti
Bagong kenalin” lagi lagi Bagong seperti meledek.
Banowati
menempelkan matanya pada celah dinding yang ada di belakang kereta untuk
melihat reaksi Permadi. Tak ada tanggapan. Pria tampan yang berada persis di
belakang keretanya itu masih saja memperlihatkan tampang kusut dan seolah tak peduli dengan ucapan ucapan yang terlontar
dari bibir si Bagong pembantunya.
“Sebaiknya
kita istirahat dulu Resi”.
Dari
arah depan terdengar suara Burisrawa menyarankan pada pria berpakaian brahmana
yang berada di sisi kanannya.
“Boleh”.
Jawab
sang Resi singkat. Kereta kuda yang di tumpangi Banowati mendadak berbelok.
Menuju sebuah tempat yang di penuhi pepohonan berukuran besar dan rindang.
“Tak
jauh dari sini ada telaga yang airnya selalu melimpah. Tuan tuan semua bisa
melepas lelah dengan membasuh diri di telaga itu. Tapi memang harus antri.
Banyak penduduk yang mengambil air dari situ” Burisrawa kemudian menghentikan
keretanya.
Banowati
membuka jendela. Angin bertiup sepoi sepoi. Itu adalah tempat yang pernah ia
lewati sebelumnya bersama Burisrawa. Suasananya masih seperti kemarin. Penuh
lalu lalang manusia yang membawa ember untuk mengambil air dari telaga. Ada
yang dengan cara di pikul, di naikkan kuda, dengan gerobak dan lain sebagainya.
Para pengambil air itu tidak hanya datang dari desa sekitar, akan tetapi juga
mereka yang tinggalnya puluhan kilometer dari tempat ini. Dan tak jarang dari
mereka yang membawa serta binatang peliharaan seperti kerbau, kambing dan kuda.
Tak heran jika rumput rumput liar yang banyak tumbuh di sekitar tempat ini
terkikis habis di makan oleh hewan hewan itu. Bahkan daun daun pepohonan juga
tak luput dari sasaran para penggembala.
Burisrawa
melompat dari kereta, lalu mengikat tali kekang kuda di sebuah akar pohon
trembesi. Tiga orang pembantu Permadi bergegas menuju tempat yang tadi di
tunjukkan oleh Burisrawa. Sementara sang Wasi Jaladara membawa kudanya berjalan
ke sebuah batu besar yang letaknya sekitar tiga ratus meter dari tempat
Banowati berada. Entah apa yang hendak ia lakukan.
“Kakak
tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan air untukmu” kata Burisrawa pada
Banowati seraya mengambil sebuah bambu wulung sepanjang satu meter yang
biasanya untuk menampung air.
Banowati
mengalihkan pandangannya ke belakang kereta, untuk melihat apa yang sedang di
lakukan Permadi.
“Ahh…kemana
perginya ?” batin Banowati mencari cari.
Entah
sejak kapan pria Madukara itu pergi. Yang terlihat hanya kuda tunggangannya
yang asyik memamah rumput. Penasaran ingin mengetahui di mana Permadi berada,
Banowati melompat turun. Menyapu pandangan ke segala arah dan berharap bisa
menemukan buronannya.Tapi hingga beberapa saat lamanya tak juga ia temukan
batang hidung Permadi. Wanita dengan lesung pipit di kedua pipinya ini kemudian
berjalan mendekati kuda tunggangan Permadi.
Seekor
kuda yang tidak hanya gagah, tapi juga elok. Bulunya yang berwarna putih. Mengingatkan
Banowati pada sang Mharyapati pemberian ayahnya. Yang membedakan hanyalah jenis
kelamin dan ukuran tubuhnya. Kuda milik Permadi ini lebih besar tubuhnya dan
berjenis kelamin jantan.
“Apakah
kamu kenal sama, Mharyapati ?” tanya Banowati spontan mengelus elus tengkuk
sang kuda.
Sejenak
kuda itu menghentikan kegiatannya memamah rumput dan tanaman. Mendongakkan
kepala lalu meringkik. Banowati yang sudah terlatih menghadapi Mharyapati
terlihat tidak canggung lagi. Di usapnya pipi kanan kuda itu perlahan.
“Kuda
yang manis…” puji Banowati terus mengusap kepala hewan pelari itu. Kalau bukan
milik orang lain, sepertinya Banowati tak akan melewatkan kesempatan untuk
mengajak kuda itu berlari bersamanya.
“Kalau
Bano suka, Bano boleh tunggangi kyai Lesus itu”.
Banowati
menoleh ke belakang, sesosok laki laki yang ternyata adalah pemilik kuda itu
berdiri dengan tangan terlipat di belakang Banowati.
“Siapa
yang mau naik ?. Jangan pura pura baik deh…” jawab Banowati ketus.
Mimiknya
yang tadi sempat ceria karena merasa terhibur dengan binatang berponi itu, kini
mendadak cemberut dan masam.
“Aku
hanya ingin melihat, apakah rumput yang ia makan benar benar makanan yang baik”
Banowati mencari cari alasan.
“Dan
aku hanya menawarkan saja, nggak lebih” jawab Permadi datar.
“Terima
kasih. Tapi aku tidak menyukainya” setelah bicara begitu, Banowati berjalan
tergesa menuju keretanya.
Di
dalam kereta, Banowati duduk merenungi apa yang baru saja terjadi. Sejak
berangkat dari Sendang Sari, Banowati sudah bertekad untuk tutup mulut dan
tidak mau bicara dengan pria yang sempat menarik hatinya itu. Tapi sepertinya
pendiriannya mulai goyah.
“Gila,
apa yang baru saja kamu lakukan Bano?” batin Banowati protes.
“Dia
baru saja melukai hatimu dengan sebuah kebohongan yang sangat menyakitkan.
Untuk apa kamu memberi dia kesempatan untuk mendekatimu ???”.
“Gila…bener
bener sudah gila!” Banowati membanting tubuhnya di atas kasur empuk yang
terdapat di dalam keretanya.
Tapi
belum lagi Banowati menikmati posisinya, sebuah benda asing terasa mengganjal
punggungnya. Gadis itu kemudian memutar tangannya ke belakang untuk
menyingkirkan benda yang telah mengganggu kenyamanannya.
“Apalagi
ini ?”.
Sepotong
kayu pipih berbentuk segi empat dengan lebar satu jengkal dan panjang dua
jengkal yang di atasnya tertulis beberapa bait kalimat kini berada di tangan
Banowati.
Bano…
Sungguh
aku tiada mengerti, dengan cara apalagi harus ku jelaskan padamu. Tentang
percakapanku dengan Wasi Jaladara di saat itu. Yang pada akhirnya telah
mengubah sikapmu kepadaku. Aku tahu, kamu telah mendengar semuanya. Soal niatku
pergi ke Widarakandang dan tentunya tentang Larasati.
Benar
sekali apa yang selama ini kamu pikirkan. Larasati itu istriku. Dia putri
seorang pejabat berpangkat kepala desa di Widarakandang. Aku menikahinya
sepuluh bulan lalu. Setelah memenangkan sebuah sayembara adu ilmu kanuragan
melawan Udawa. Kakak Larasati. Tapi, Bano…
Jika
kau berpikir bahwa aku sangat menikmati hubunganku dengan Larasati, itu salah.
Aku menganggap perkawinan itu hanyalah kecelakaan semata. Bukan di dasarkan
pada niat yang tulus dari lubuk hati paling dalam. Sebagai lelaki yang gemar
berkelahi, kemampuan Udawa mengalahkan semua lawan tandingnya tentu membuatku
merasa tertantang. Dan itu sesuatu yang lumrah. Bahkan tanpa embel embel
hadiahpun, rasanya aku tetap ingin mengalahkan Udawa.
Pada
akhirnya aku memang harus memenuhi keinginan keluarga Larasati untuk menikah
dengan putrinya. Sebab jika tidak, semua orang akan mencibir dan menganggapku
sebagai pria yang tak bertanggung jawab. Tapi yang harus kamu ingat, Bano.
Secuilpun aku tak pernah memendam rasa cinta pada Larasati selain hanya ingin
memenuhi kewajiban sebagai pemenang sayembara.
Aku
sudah berusaha sekuat tenaga untuk belajar mencintai Larasati, tapi aku tak
pernah sanggup melakukannya. Hubungan kami tetap hambar, kosong dan tanpa arah.
Niatku untuk kembali ke Widarakandang bukan untuk mengembalikan hatiku untuk
Larasati, tapi untuk memberitahukan kepadanya bahwa seseorang telah menyandera
hati dan pikiranku.
Bano…
Bertemu
denganmu adalah pengalaman paling indah yang pernah aku rasakan. Tapi ketika
kembang tak lagi menampakkan kelopak ayunya dan memilih bersembunyi di balik
rimbunnya dedaunan, maka yang bisa aku dengungkan untukmu hanya satu hal.
Semoga kau temukan sesuatu yang lebih menarik di luar sana.
(Permadi)
Banowati
mengerutkan dahinya. Mengamati dengan seksama kalimat demi kalimat yang
tertulis di atas kayu pipih berbentuk segi empat itu. Apa yang di ungkapkan
oleh pria Madukara itu sangat jelas dan gamblang. Tidak saja menjawab segala
prasangka buruk yang selama ini menghuni hati dan pikiran Banowati, tapi juga
menyisakan penyesalan yang teramat dalam. Apalagi jika ia mengingat pesan
ayahnya. Bahwa tujuan utamanya mencari Permadi adalah meminta bantuan kepada
ksatria Madukara itu untuk menyelesaikan keruwetan yang melanda Mandaraka.
Bukan untuk menyeret Permadi pada persoalan pribadi yang tak jelas kemana
arahnya.
Oh
Banowati…
Apa
gerangan yang hinggap di pikiranmu
Sehingga
egomu lebih besar dari pikiran warasmu
Dan
nalarmu menjadi tergadai oleh nafsumu
Berpalinglah
pada dirimu dan lihat baik baik
Adakah
kepantasan yang layak engkau banggakan ?
Yang
darinya pujian mengalir membasuh raga rapuhmu
Yang
darinya sang lebah hinggap dalam peraduan wangimu
Yang
darinya dewa asmara turun menyapamu
Wahai
cahaya yang berkilau
Berhentilah
bermimpi dan sadarlah
Berhentilah
bersenandung dan bangunlah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar