Oleh : Komandan Gubrak
“Celaka
ndoro…celaka…!”.
Tiga
pelayan Permadi itu terlihat berlari terbirit birit mendatangi Permadi yang
tengah merenung seorang diri di bawah pohon trembesi yang banyak tumbuh di
sekitar tempat itu. Wajah mereka terlihat tegang, pucat dan ketakutan.
“Ada
apa ?” tanya Permadi keheranan.
“Ada
prajurit Mandaraka di telaga” Petruk melapor.
“Itu
tugas mereka menjaga keamanan penduduk sekitar sini”.
“Bu..bukan
masalah itu ndoro” gugup.
“Trus
?”.
“Mereka
mengeroyok tuan Burisrawa”.
“Apa
?” Permadi terkejut, “bagaimana bisa ?. Apakah mereka tidak mengenal Burisrawa
?”.
“Itulah
kenapa kami buru buru menemui ndoro…”.
“Aku
?” Permadi makin tak mengerti.
“Dari
pembicaraan yang kami dengar, para prajurit itu hendak menangkap ndoro Permadi.
Tapi di halangi tuan Burisrawa. Akhirnya mereka berkelahi” tutur Petruk yang
kemudian di angguki oleh kedua saudaranya.
“Kenapa
mau menangkapku ?. Bukankah paman Salya malah memintaku untuk membantu
Mandaraka ?”.
“Entahlah
ndoro. Kami juga tak mengerti masalahnya” sahut Gareng.
Permadi
menarik nafas panjang.
“Aneh”
gumannya.
“Ya
sudah, kalian antar aku kesana…” perintah Permadi masih belum percaya dengan
apa yang di sampaikan ketiga pelayannya.
Ke
empat pria itu segera bergegas menuju tempat yang di maksud. Tempatnya tidak
terlalu jauh, akan tetapi jalannya sedikit berkelok dan berada di balik sebuah
pohon beringin yang besar lagi rimbun. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk
sampai di tempat itu.
“Di
mana ?” Permadi memandang ke sekeliling untuk menemukan Burisrawa.
Tapi
yang terlihat hanyalah kerumunan orang dalam jumlah banyak yang terdiri dari
laki laki dan perempuan. Mereka membentuk sebuah lingkaran raksasa sembari
berteriak teriak memberi semangat.
“Iya
di situ ndoro!” kata Petruk mengarahkan telunjuknya pada kerumunan manusia di
depannya.
Permadi
segera melangkah mengikuti petunjuk Petruk. Tidak mudah untuk menembus
kerumunan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Minggir
semua…minggir…”teriak ketiga pelayan Permadi itu mengambil inisiatif untuk
merangsek terlebih dulu guna memberi jalan pada majikannya sembari mendorong
paksa orang orang yang menghalangi jalan mereka.
“Lihat
itu ndoro !” kata Petruk begitu berhasil lolos dari kerumunan.
Tepat
di tengah tengah kerumunan, tampak seorang lelaki berpakaian serba putih dengan
menyandang tongkat kayu di tangannya tengah menghalau serangan demi serangan
yang di lancarkan oleh tujuh hingga sepuluh orang laki laki bersenjata.
“Itu
Wasi Jaladara!” kata Permadi dengan mata terus menyaksikan jalannya
pertempuran.
“Tapi
tadi ada tuan Burisrawa…” Gareng dan kedua saudaranya keheranan, “sumpah
ndoro!” tegas pelayan tertua Permadi.
“Betul,
ndoro!” sahut Petruk.
“Malahan,
tuan Burisrawa tadi di keroyok dan di pukuli orang orang itu” Bagong ikutan
berkomentar.
Tidak
ada ucapan yang keluar dari bibir Permadi. Pria yang sangat lihai menembakkan
anak panah ini justru makin serius mengamati setiap gerak gerik yang di
peragakan Wasi Jaladara. Walaupun jumlah pengeroyoknya cukup banyak dan
semuanya menggunakan senjata tajam baik tombak, pedang, keris dan golok, tapi
sama sekali tak membuat Wasi Jaladara ciut nyali. Putra Prabu Basudewa itu
sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pendekar dengan kemampuan
di atas rata rata. Gerakannya begitu tenang, tapi terukur. Tidak seperti saat
bertarung dengan Permadi, di mana Jaladara hanya berlari dan melompat ke sana
kemari menghindari serangan Permadi, kali ini sang resi muda itu terlihat
berdiri di tempat tanpa beranjak sedikitpun sambil mengayunkan tongkat kayunya
menahan sabetan pedang dan golok para penyerang. Sesekali ia meliukkan tubuh
guna menghindari tusukan tombak dan keris lawannya sambil sesekali mengirimkan pukulan lunak dan tidak mematikan
pada musuhnya.
“Hai
Permadi!” tiba tiba Wasi Jaladara berteriak dan melambaikan tangan ke arah di
mana Permadi berdiri.
“Kalau
kamu tertarik ikut bermain main, kemarilah!” lanjutnya memanggil.
“Permadi
???” beberapa penyerang yang mendengar ucapan Wasi Jaladara tampak terhenyak
kaget. Saling pandang satu dengan yang lain lalu mengalihkan perhatian pada
kerumunan penonton guna mencari cari di mana gerangan keberadaan Permadi yang
di maksud pria berjubah putih itu.
“Siapa
di antara kalian yang bernama Permadi!!!” salah satu penyerang yang berbadan
tinggi besar dengan kumis tebal dan tombak di tangan berteriak menghardik ke
arah penonton.
“Jawab!!!”
ulangnya mengancam.
Puluhan
penonton yang sejak tadi antusias menyaksikan perkelahian kedua belah pihak
tampak saling pandang dengan raut muka ketakutan.
“Hei
kamu sini!”.
Lelaki
bersenjatakan tombak itu melompat ke arah kerumunan, menangkap salah satu
penonton lalu menyeretnya ke tengah.
“Ampun
tuan…ampun…” pria bertubuh kurus dengan
kulit legam yang kini berada dalam cengkeraman prajurit bertubuh besar itu
mengharap ampunan. Tapi seolah tak peduli dengan rengekan tawanan di tangannya,
sang prajurit tombak kembali berteriak kepada semua orang.
“Kalau
tidak ada yang mengaku, aku bunuh orang ini” gertaknya sembari mengarahkan
ujung tombaknya ke leher tawanannya.
Permadi
yang menyaksikan kejadian itu mau tak mau akhirnya melangkah maju.
“Aku
Permadi” kata Permadi berdiri tenang tepat dua meter di hadapan pria bertombak
itu.
“Oooo…kamu
yang namanya Permadi ?” sambut pria bertombak itu melepaskan tawanannya dan
berjalan ke arah Permadi.
“Kawan
kawan….!!!. Ini dia buronan kita!!!” teriaknya pada teman temannya yang masih
sibuk mengeroyok Wasi Jaladara.
Tiga
orang yang mendengar teriakan pria bertombak itu melompat mundur meninggalkan
Wasi Jaladara dan mulai mengepung Permadi.
“Tunggu…tunggu…”
Permadi berusaha menahan.
“Katakan
dulu kenapa kalian ingin menangkapku ?” sambil memasang kuda kuda.
“Kamu
yang melarikan gusti Surtikanthi, bukan ?” tuding sang pria bertombak.
“Surtikanthi
?” Permadi kebingungan.
“Jangan
pura pura tidak tahu. Mengaku sajalah!”.
“Mengaku
bagaimana ?”.
“Halahhh…banyak
bicara” kata pria bertombak itu tak sabar.
“Seraaaang!!!”.
Seketika
pria bertombak dan tiga kawannya bergerak mengurung dari empat penjuru angin.
Permadi yang sama sekali tak paham dengan tuduhan prajurit Mandaraka itu mau
tak mau meraih busur panahnya dan bersiap menghadapi para penyerang.
Suasana
kini bertambah riuh. Jika tadinya para prajurit Mandaraka itu hanya bertarung
melawan Wasi Jaladara, kini mereka terpecah menjadi dua. Sebagian mengeroyok
Permadi, sebagian lagi masih terus melanjutkan perkelahiannya dengan Wasi
Jaladara.
Tidak
seperti Wasi Jaladara yang cenderung hanya bertahan dan membuang buang waktu,
gaya Permadi kali ini lebih agresif. Sabetan dan tusukan yang di lancarkan oleh
lawan lawannya tidak hanya di tangkis dengan busur kyai Gendewa, namun Permadi
juga balik menyerang dengan mengirimkan tendangan maupun pukulan. Tak heran
hanya dalam beberapa jurus, lawan lawan Permadi satu persatu roboh dan
menderita luka cukup parah.
“Wahhh…wahhh…!!.
Ternyata aku bisa kalah cepat dengan adikku…”.
Wasi
Jaladara yang menyaksikan pertarungan antara Permadi dan musuh musuhnya
berlangsung sangat cepat, akhirnya terbawa arus juga. Dan tanpa membutuhkan
banyak waktu, putra mahkota Mandura itu bergerak memutar tongkatnya dengan
kecepatan tinggi dan nyaris tak terlihat. Tahu tahu semua pengeroyoknya
terpental keluar arena dan merintih kesakitan.
Permadi
kemudian berjalan mendekati Wasi Jaladara.
“Sepertinya
ada kesalahpahaman, kakang” kata Permadi masih belum mengerti kenapa prajurit
Mandaraka itu mengincar dirinya.
"Barangkali begitu. Ha ha ha..." jawab Jaladara tertawa lebar.
“Oh
ya, kemana raden Burisrawa, kakang ?” Permadi teringat tujuan awalnya datang ke
telaga itu.
“Oh
iya, aku lupa” Wasi Jaladara menepuk jidatnya.
“Tadi
aku suruh dia kembali ke kereta, untuk memastikan Banowati dalam keadaan aman.
Ya sudah, mari kita kembali ke sana”.
Kedua
pendekar pilih tanding ini kemudian berjalan beriringan meninggalkan sepuluh
prajurit Mandaraka yang masih mengerang kesakitan akibat serangan keduanya.
Puluhan orang yang menyaksikan jalannya perkelahian tanpa di komando menyingkir
dan memberi jalan untuk Permadi, Jaladara dan ketiga pelayan setia Pandawa.
“Aku
tidak mengerti kenapa mereka menuduhku melarikan Surtikanthi. Padahal ketemupun
tidak pernah” keluh Permadi.
“Mungkin
ada orang lain yang sengaja memfitnahmu, Permadi ” kata Wasi Jaladara.
“Siapa
?” Permadi menaikkan alisnya.
“Apakah
sebelumnya kamu pernah berurusan dengan orang lain ?”.
Keduanya
menghentikan langkah. Permadi mencoba mengingat ingat kejadian kejadian
sebelumnya di Mandaraka.
“Oh,
iya….”Permadi ingat sesuatu, “ aku pernah bentrok dengan Aswatama di pantai Mandaraka
sebelumnya”.
“Ketika
itu dia memergok pertemuanku dengan Banowati. Dia menuduhku hendak melarikan
Banowati” Permadi menerangkan.
“Lalu
?”.
“Sebenarnya
ia ingin sekali menangkapku dan menyerahkan pada paman Salya. Tapi rupanya ia
tak cukup punya keberanian untuk itu”.
“Jelas
saja ia bukan tandinganmu…” Jaladara.
“Tapi
dia sempat mengancamku, kakang” berhenti sebentar, “sepertinya ia menyimpan
rasa dendam padaku”.
Wasi
Jaladara mengangguk anggukkan kepala.
“Sepertinya
ini pekerjaan kurawa, adik Permadi” simpulnya.
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan ?” Permadi meminta pendapat.
“Sebaiknya
kita segera menghadap Prabu Salya. Kesalahpahaman ini tidak boleh berlarut
larut”.
“Betul
kakang”.
Keduanya
kembali melanjutkan langkah. Menyusuri jalan setapak yang berkelok dan sedikit
menanjak dengan pepohonan trembesi yang tumbuh di sisi kanan dan kiri. Tidak
lama kemudian mereka telah tiba di tempat tujuan. Namun alangkah terkejutnya
mereka, ketika tidak mendapati Burisrawa di tempat itu. Bukan hanya Burisrawa,
tapi kereta beserta Banowati juga tidak terlihat.
“Kemana
perginya mereka ?” Permadi melempar pandangan ke sekeliling.
“Mungkin
saja dia bersembunyi di suatu tempat” kata Jaladara.
“Gareng,
Petruk, Bagong!” panggil Permadi.
“Iya,
ndoro…” serempak.
“Kalian
coba cari kemana mereka pergi”.
Tanpa
banyak bertanya lagi, ketiga pelayan setia Pandawa itu berpencar ke segala
arah. Gareng berjalan ke timur, Bagong berkeliling di utara sementara sang
Petruk berlarian ke arah selatan.
“Lihat,
kakang!” kata Permadi seraya telunjuknya mengarah pada jejak roda kereta dan
kaki kuda yang sepertinya berasal dari kendaraan yang di tumpangi Banowati.
“Itu kereta Banowati” sahut Jaladara.
“Betul
kakang!”.
“Debunya
masih tersisa. Sepertinya belum jauh”.
“Lihat
itu kakang!” teriak Permadi menunjuk pada sebuah benda yang tak jauh dari jejak
jejak roda kereta. Sebuah keris berkepala naga dengan luk Sembilan terlihat
tergeletak di atas tanah.
“Ini
keris Burisrawa” pekik Permadi sembari memungut senjata itu, “tidak salah
lagi”.
Wasi
Jaladara mendekati Permadi, meminta keris yang ada di tangan Permadi dan
mengamatinya dengan teliti.
“Keris
ini habis di pakai untuk bertarung” ungkap Jaladara, “dan dari bekasnya yang
cukup dalam, keris ini sepertinya habis berbenturan dengan senjata yang sangat
kuat”.
“Berarti
ada yang datang kemari dan melarikan Banowati, kakang ?”.
Wasi
Jaladara mengangguk.
“Apa
yang harus kita lakukan, kakang ?” tanya Permadi tak sabar.
Wasi
Jaladara menghela nafas, mengarahkan pandangannya pada jejak roda kereta yang
mengular jauh menuju ke arah barat.
“Penculiknya
menuju ke barat”.
“Ke
arah Kawah Geni ?” Permadi.
“Ya!”.
“Kita
kejar sekarang, kakang?”.
“
Ya. Sebelum mereka masuk ke kawasan Kawah Geni”.
Kedua
saudara sepupu ini segera memanggil kuda masing masing, lalu melompat ke
punggungnya dan bergerak cepat ke arah barat mengikuti jejak yang di tinggalkan
kereta kuda milik Banowati itu. Tidak sulit bagi keduanya untuk menemukan
kereta yang mereka cari. Walaupun kereta
itu di tarik oleh dua ekor kuda yang kuat dan pilihan, akan tetapi tetap saja
masih terlalu lambat bagi kedua ksatria itu. Apalagi jalur menuju ke Kawah Geni
di penuhi kelokan tajam, berpasir dan batu.
“Itu
mereka, kakang!” tunjuk Permadi mempercepat lari tunggangannya. Tangan kirinya
segera meraih busur Kyai Gendewa.
Kendati
jarak antara Permadi dan Wasi Jaladara dengan kereta Banowati masih cukup jauh,
kedua ksatria ini sudah mampu melihat dengan jelas berapa jumlah orang yang
mengawal kereta itu.
“Ada
dua puluhan pasukan berkuda yang mengiringi dari berbagai sisi” kata Jaladara.
“Langsung
kita gebrak saja kakang!” Permadi mengambil anak panah dari kantong di
punggungnya.
“Tunggu…”
cegah Wasi Jaladara.
“Kenapa
kakang ?”.
“Sepertinya
mereka tahu kalau kita sedang melakukan pengejaran” kata Jaladara, “lihat,
mereka mulai berpencar”.
Benar
apa yang di katakan Jaladara, dua puluhan penunggang kuda yang mengiringi
kereta Banowati mendadak berpencar. Dua penunggang kuda berbelok ke selatan,
dua lagi ke utara, delapan lainnya bergerak lurus ke barat dan sisanya delapan
orang terlihat menghentikan laju kudanya dan berbalik arah menyongsong
kedatangan Permadi dan Wasi Jaladara.
“Mereka
mencoba menghalangi kita” kata Permadi.
“Kita
serang saja, kakang!”.
“Sabar
Permadi. Kita tanya baik baik dulu” saran Wasi Jaladara.
“Baik
kakang” sambut Permadi.
Delapan
orang penghadang itu tak bergeming dari tempatnya. Mata mereka seolah tak
berkedip menatap tajam pada dua orang
pengejarnya. Empat orang di antaranya menarik busur panah dan bersiap menunggu
perintah. Dua lagi bersenjata tombak mengapit dua orang pria yang tampaknya
adalah pemimpin mereka.
“Itu
Gardapati dan Kartamarma!!!” kata Permadi begitu mengenali dua sosok yang berada di sisi paling tengah.
Gardapati
dan Kartamarma merupakan tokoh Kurawa terkemuka. Gardapati bertubuh tinggi
besar, kokoh, berjambang lebat dengan kumis melintang atas bibirnya. Di
Hastina, ia memiliki kedudukan cukup tinggi, yaitu sebagai adipati di Puralaya.
Kemampuan ilmu kanuragannya sangat menonjol jika di bandingkan dengan anggota
kurawa lainnya. Lihai menggunakan tombak dan mahir memainkan gada. Di kenal
cerdik dalam bertarung sekaligus kejam dalam membunuh lawan. Tokoh kedua,
Kartamarma. Lelaki bertubuh sedang, berpakaian rapi dengan mahkota emas di
kepalanya ini bukan orang sembarangan. Dia adalah salah satu adik sekaligus
orang kepercayaan Prabu Suyudana yang di daulat sebaga jurutulis Hastinapura.
Di kenal cerdas, berwawasan dan ahli dalam ilmu sastra. Berkedudukan di
ksatrian Banyutinalang. Salah satu kadipaten bawahan Hastinapura.
“Hai…hai….lama
tak pernah berjumpa denganmu, rupanya kita berjodoh bertemu di sini, Permadi”
Kartamarma menyambut dengan senyum mengembang.
“Siapa
pendeta di sebelahmu itu ?. Sepertinya dia bukan resi biasa”.
“Beliau
hanya seorang pertapa di Argayosa. Tidak perlu engkau sangkut pautkan dengan
urusan kita” Permadi galak.
“Ow…ow..ow…!.
Pertapa Argayosa kenapa sampai kelayapan di sini ?” ejek Kartamarma.
“Jaga
bicaramu Kartamarma. Cepat menyingkirlah atau aku bertindak lebih jauh!” ancam
Permadi dengan suara menggelegar.
“Wah…!
Tak biasanya kamu segarang ini Permadi ?. Apakah pesona Banowati telah mengubah
semua perilakumu ?” sindir Kartamarma memanas manasi.
“Tutup
mulutmu, Kartamarma!” Permadi kalap.
“He
he he he…”Kartamarma tertawa terkekeh. Gardapati yang sejak tadi hanya diam
ikutan tertawa lebar.
“Gadaku
ini sudah lama tidak memecahkan kepala manusia, apakah kamu setuju kalau hari
ini aku pecahkan kepala anak ibu Kunti ini, hah ?” kata Gardapati seraya
mengelus elus senjatanya.
“Jangan
Gardapati, aku tak tega melihat anak Pandawa mati sia sia sebelum waktunya”
sahut Kartamarma.
“Kurang
ajar!!!. Terima ini…”.
Tak
sabar mendengar ejekan demi ejekan yang meluncur dari mulut kedua anggota
Kurawa itu, Permadi melompat dari atas kudanya dan mengirimkan pukulan dan
tendangan pada keduanya.
Dukk!!!!
Wussss…!!!
Gardapati
yang memang sudah bersiap sejak tadi melintangkan gadanya di depan dada untuk
menahan pukulan Permadi. Sementara Kartamarma yang mendapat giliran di sapu
oleh kaki Permadi memilih melompat mundur. Lelaki berpakaian rapi ini untuk
sementara memang lolos dari terjangan Permadi, tapi tidak dengan kuda
tunggangannya. Kuda berwarna abu abu dengan leher dan kepala di tutupi
pelindung dari lempengan besi itu terjengkang dan roboh oleh tendangan kaki
Permadi.
“Anjing….!!!!”
maki Kartamarma mendapati binatang kesayangannya terjerembab mencium tanah.
Segera ia mencabut keris pusakanya dan menyerang Permadi.
Perkelahian
dua lawan satu langsung pecah. Gardapati yang menggunakan senjata gada melompat
dari punggung kudanya dan mengayun ayunkan senjatanya pada Permadi. Senjata
pemukul kepala yang terbuat dari besi kuningan itu bergerak sangat cepat,
sehingga membentuk gulungan keemasan yang mengurung tubuh Permadi. Dari arah
berlawanan, Kartamarma yang di liputi kemarahan akibat kendaraannya di jatuhkan
Permadi tanpa ampun menusukkan kerisnya ke seluruh sisi tubuh Permadi.
Namun
bukan Permadi kalau tidak sanggup meladeni kedua jawara Hastinapura itu. Ksatria
Madukara ini dengan cepat memutar gendewanya, menangkis semua serangan yang
tertuju kepadanya sambil sesekali mengirim pukulan dan tendangan. Hingga lima
jurus berlalu, pertarungan masih berlangsung sengit tanpa bisa di tebak siapa
yang bakal keluar sebagai pemenang. Baik Gardapati, Kartamarma maupun Permadi sama
sama kuat dan lihai dalam bertarung.
Wasi
Jaladara yang sejak hanya memperhatikan dari atas kuda dan berharap Permadi
bisa menyelesaikan dengan cepat pertempuran seperti yang pernah di lakukan di
dekat telaga tadi, menjadi gelisah di buatnya.
“Kalau
begini caranya, aku harus turun juga” pikirnya sembari mengambil tongkat kayu
yang terselip di pelana kudanya.
“Kelamaan
kamu Permadi!!!” teriak Wasi Jaladara.
Seketika
tubuh berbalut kain putih pakaian brahmana ini melayang laksana anak panah
menuju ke medan pertarungan. Tapi belum lagi ia berhasil masuk membantu
Permadi, enam prajurit yang sejak tadi juga menonton pertandingan segera
bergerak cepat membentuk barikade untuk menghadang laju Jaladara.
“Kalian
mau cari masalah ya?”.
Begitu
berkata demikian, Jaladara lansung memutar tongkatnya dengan kecepatan tinggi.
Dalam waktu singkat, semua pengeroyoknya terpental jauh. Kartamarma yang sempat
melihat kejadian itu bergidik juga du buatnya. Segera sang juru tulis Hastina
itu melompat menjauhi arena. Tangan kanannya mengeluarkan sebuah benda pipih
yang kemudian di lempar ke atas. Terdengar suara ledakan keras di angkasa yang
beberapa detik kemudian disusul ledakan dari tempat lain di empat penjuru
angin.
“Mereka
memanggil bala bantuan, Permadi!” teriak Jaladara.
Permadi
beringsut mundur. Di tinggalkannya Gardapati yang sebenarnya mulai bisa ia
desak mundur. Kini Permadi melompat ke arah Wasi Jaladara dan membuat formasi
saling membelakangi. Mata keduanya menyapu ke segala arah, untuk mengantisipasi
jika ada serangan mendadak.
Dari
sisi utara dan selatan, ratusan orang dengan senjata lengkap muncul. Di susul
tak lama kemudian dari barat dan timur. Berseragam khas prajurit Mandaraka
berwarna biru dengan umbul umbul bergambar burung walet. Terdiri dari pasukan
pemanah, prajurit berkuda dan pasukan tombak. Jumlahnya tak kurang dari dua
ratusan. Paling depan adalah pasukan pemanah, di belakangnya lagi unit berkuda
yang di sela selanya di isi para penombak.
“Permainan
telah selesai wahai orang orang kuat…” ejek Kartamarma sambil berkacak
pinggang.
“Licik
kalian!” sumpah Permadi marah bukan main.
“Ho
ho ho ho….!. Lain kali jangan cari perkara dengan Hastina. Kami bisa membunuhmu
sekarang jika kami mau”
“Apa
yang harus kita lakukan, kakang ?” bisik Permadi.
“Menurutmu
?” Jaladara balik bertanya.
“Aku
bisa bunuh mereka semua dengan Kyai Gendewa. Tapi…”.
“Apa
?”.
“Ini
bisa menjadi masalah besar buat keluarga Pandawa. Kita tidak sedang menghadapi
Kurawa, tapi menghadapi Mandaraka”.
“Itu
kamu tahu…” seloroh Jaladara tenang.
“Jadi
?”.
“Ya
kita menyerah saja”.
“Menyerah
kepada kedua bedebah itu ?”.
“Ya.
Kalau kamu masih ingin ke Mandaraka dan menemui pujaanmu itu” jawab Wasi
Jaladara tersenyum meledek.
Permadi
menggaruk garuk kepalanya. Seumur hidup ia belum pernah mengenal kata menyerah
dalam bertarung. Makanya ia di juluki Wijaya, artinya ksatria pemenang. Tapi
kini situasinya serba dilematis. Di kubu musuh memang sepertinya hanya
Kartamarma dan Gardapati yang kemampuannya menonjol. Artinya ia dan sepupunya
cukup punya kemampuan untuk menghadapi keroyokan dua ratus prajurit Mandaraka
itu. Tapi justru keberadaan para prajurit Mandaraka ini yang menjadi masalah.
Tak mungkin Permadi berani bertindak gegabah dengan mencederai prajurit
pamannya itu.
“Tapi
bagaimana jika kedua bedebah itu membunuh kita atau malah membawa kita ke
Hastinapura ?” Permadi masih ragu.
“Itu
gampang saja” Jaladara enteng.
“Gampang
bagaimana kakang ?”.
“Lihat
caraku…” kata Jaladara.
Begitu
selesai bicara, Wasi Jaladara tiba tiba melesat bagai bayangan menuju tempat di
mana Kartamarma dan Gardapati berdiri. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tak
bisa di ikuti oleh pandangan mata. Tahu tahu ia sudah berada di belakang
Kartamarma dan Gardapati dengan posisi tangan merangkul pundak keduanya.
“Aku
bisa bunuh kalian sekarang juga. Tapi aku merasa tidak enak dengan Prabu
Suyudana” ucap Wasi Jaladara setengah berbisik kepada Kartamarma dan Gardapati.
Aneh
sekali, kedua orang yang tadi begitu sombong bisa mempecundangi kedua lawannya,
kini mendadak gemetar ketakutan. Kata kata yang keluar dari mulut brahmana muda
yang tadi sempat mereka remehkan terdengar seperti suara Dewa Yamadipati yang
sedang bermain dengan nyawa mereka.
“Si…si…apa…tu…tu..an
sebenarnya ?” Kartamarma gugup.
“Nanti
juga kalian tahu…” jawab Jaladara yang kemudian melesat lagi ke tempat semula
di mana tadi ia berdiri saling membelakangi dengan Permadi.
“Beres
semua..” bisik Jaladara.
“Kakang
apakan mereka ?” tanya Permadi penasaran.
“Sudaaah….kamu
bicara saja kepada prajurit prajurit itu” Jaladara tak bersedia menjelaskan.
Permadi
mengangguk. Dengan kemampuan luar biasa yang di miliki oleh sepupunya itu,
rasanya dia tak pantas khawatir jika di curangi oleh para kurawa. Dengan
langkah tegap dan senjata di selipkan di pinggang, Permadi mendekat pada
Kartamarma dan Gardapati.
“Kalian
jangan senang dulu” kata Permadi pada keduanya.
“Aku
menyerah bukan karena takut dengan kalian. Tapi aku menghormati paman Salya”.
Kartamarma
dan Gardapati saling pandang. Bukan karena sikap Permadi yang mendadak berniat
menyerah. Tapi pikiran mereka masih di buat tidak mengerti dengan peristiwa
yang baru saja mereka alami. Ilmu tingkat tinggi yang baru saja di pertontonkan
sang resi muda kawan seperjalanan Permadi itu sungguh membuat dua jagoan Kurawa
itu ciut nyali.
“Bagaimana
Karta ?” Gardapati masih terlihat ragu ragu.
Kartamarma
terdiam. Menangkap Permadi adalah tugas wajib yang di bebankan Patih Sengkuni
kepadanya. Tapi keberadaan brahmana muda itu bersama Permadi sedikit membuatnya
ragu ragu. Bagaimana jika resi muda itu tidak terima dan melakukan perlawanan
?. Kartamarma yakin, dua ratus pasukan Mandaraka dalam sekejap akan di buat
kocar kacir.
“Apalagi
yang kalian pikirkan ???”.
Entah
kapan datangnya, tiba tiba resi yang sempat membuat nyali mereka bergetar kini
sudah ada di samping Permadi.
“Kalau
mau tangkap dia, tangkap saja….” Wasi Jaladara enteng.
“Mmmm….”
Kartamarma gugup, “sebelumnya kami meminta maaf atas kelancangan kami pada tuan
resi. Kami hanya menjalankan tugas dari gusti Prabu Salya untuk membawa Permadi
ke Mandaraka. Jika tuan resi ingin pergi….”.
“Oooh
tidak” potong Jaladara.
“Kalau
kalian menangkap Permadi, bawa juga aku ke Mandaraka”.
“Tapi….???”.
“Tidak
usah ragu ragu. Lakukan saja tugas kalian…”.
Akhirnya
Kartamarma dan Gardapati tak bisa berbuat banyak. Serta merta mereka
memerintahan para prajurit Mandaraka untuk menangkap kedua pendekar itu dan
memasukkan mereka ke sebuah kereta kerangkeng yang terbuat dari besi dan di
tarik dengan dua ekor kuda.
*************************************
Kereta
itu terus berjalan ke arah barat. Menyusuri jalanan lebar yang menghubungkan
Mandaraka dan Kawah Geni. Delapan lelaki penunggang kuda tampak setia
mengiringi dari semua sisi. Jalannya tidak terlalu cepat, tapi kewaspadaan
masih terus di jaga. Maklum, kendati dua orang pengejarnya telah di hadang oleh
Kartamarma, Gardapati dan di bantu dua ratusan prajurit, rasa khawatir masih
tertanam di benak mereka. Apalagi bagi pemimpin rombongan, Aswatama dan
Rukmarata. Mereka telah menyaksikan sendiri dari tempat persembunyiannya,
bagaimana kemampuan brahmana berpakaian putih kawan Permadi bertarung dengan
sepuluh prajurit sekaligus di pinggiran telaga. Brahmana yang belum pernah
mereka kenal itu tak kalah hebatnya dengan Permadi. Hanya dengan sebatang
tongkat kayu ia meladeni sepuluh pengeroyoknya.
Untung
saja strategi untuk memisahkan Banowati dan Permadi dapat berjalan mulus walau
mengakibatkan beberapa prajurit terluka. Tujuan utama bala kurawa dan prajurit
Mandaraka hanya satu, yaitu menangkap Permadi. Akan lebih sulit bagi mereka
jika Banowati dan Burisrawa ada bersama Permadi. Selain bisa di jadikan tameng
bagi Permadi bila dalam keadaan terdesak, juga mereka khawatir jika Banowati
justru menghalang halangi penangkapan itu.
“Sampai
kapan kakak Banowati dan Burisrawa dalam keadaan begini, tuan Aswatama?” tanya
Rukmarata mengkhawatirkan keselamatan kedua kakaknya.
Kendati
tidak terlalu dekat dengan kedua kakaknya, dalam diri putra bungsu Prabu Salya itu
masih ada rasa hormat kepada mereka. Ketika Aswatama menghajar Burisrawa dengan
pukulan pukulan pada titik titik mematikan, Rukmarata merasa tidak tega.
Apalagi ketika ia melihat Aswatama dengan kasarnya mengejar Banowati dan
melumpuhkan kakak perempuannya, Rukmarata marah bukan main. Akan tetapi ia
berusaha untuk menahan diri dan berbaik sangka terhadap Aswatama.
“Racun itu tidak mematikan, raden Rukma. Dia
hanya akan tertidur selama sehari” jawab Aswatama seraya mendekat ke samping
kereta.
Di bukanya jendela kereta. Matanya yang besar
dan bulat menatap tajam pada dua sosok yang terbaring lemas di dalam bilik
kereta. Seringai tertahan terlihat dari sudut bibir sang Aswatama. Dadanya
mendadak bergemuruh manakala ia menyaksikan tubuh molek Banowati yang sudah tak
bisa bergerak sama sekali. Ada rasa puas. Setidaknya ia berhasil memberi
sedikit pelajaran pada wanita yang telah menghinanya tempo silam. Tapi selain
itu juga menyisakan rasa jengkel akan kegagalan dirinya merebut hati Banowati.
“Semua ini gara gara Permadi” pikir Aswatama
menyalahkan Permadi.
“Pria tengik itu tak ubahnya seperti manusia
yang tidak mengerti balas budi. Padahal semua ilmu kedigdayaan telah di
wariskan bapa Durna padanya. Tapi apa yang ia berikan untuk membalas budi baik
keluargaku ?”.
“Permadi….!. Urusan kita belum selesai. Aku
mungkin tidak bisa menandingi kedigdayaanmu. Tapi aku bersumpah akan membuatmu
menderita seumur hidup!!!” Aswatama membulatkan tekad.
“Banowati…!. Kamu boleh saja tidak peduli
terhadapku. Kamu boleh saja memalingkan wajah dan tidak membuka pintu hatimu
untukku. Kamu juga boleh menghinaku sesuka hatimu. Tapi ingat, Aswatama akan
terus hidup sebelum aku sanggup membunuhmu!!!”
Makin lama Aswatama memandang tubuh Banowati,
makin keras hatinya merintih. Makin kuat keinginannya untuk membalas dendam.
“Berapa lama tuan Kartamarma dan Gardapati
sanggup menangkap kedua orang itu ?” suara Rukmarata memecah lamunan Aswatama.
Aswatama menutup kembali jendela kereta.
Membetulkan ikat kepalanya dan berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Sepertinya tidak berlangsung lama” katanya,
“lihat saja, tidak terdengar lagi suara orang berkelahi”.
Rukmarata menarik nafas lega. Apa yang ia
khawatirkan, yaitu jatuhnya banyak korban di pihak Mandaraka akibat perlawanan
kedua pria itu tak menjadi kenyataan. Yang terdengar dari kejauhan hanya suara
gemuruh langkah kaki. Bukan suara senjata beradu maupun jeritan kesakitan dari
para prajuritnya.
“Jadi, kita balik arah sekarang juga ?”
Rukmarata tak sabar.
“Tunggu sebentar lagi setelah ada tanda dari
sana”.
Tak lama kemudian, dari arah belakang
terdengar serentetan suara ledakan di angkasa sebanyak tiga kali. Sontak semua
orang yang ada di situ melonjak kegirangan. Tak salah lagi, itu adalah tanda
yang di berikan oleh prajurit yang bertugas menghadang Permadi.
“Mereka berhasil menangkap Permadi, tuan!”
kata Rukmarata dengan senyum mengembang.
Remaja tanggung ini merasa sangat lega dengan
hasil yang di capai para prajuritnya. Walaupun itu semua berkat taktik para
kurawa, tapi bungsu Salya itu mulai bisa belajar seni perang yang cantik.
Sementara Aswatama hanya tampak menyunggingkan senyum tipis untuk menutupi
perasaannya. Keberhasilan Kartamarma dan Gardapati menangkap Permadi bagi
Aswatama justru akan makin cepat menjauhkan dirnya dengan Banowati. Sebab, ia
harus segera kembali ke Mandaraka.
“Andai Permadi bisa meloloskan diri, tentu aku
bisa membawa lari Banowati lebih lama lagi” pikir Aswatama kecewa.
“Ada
yang datang!!!” tiba tiba salah satu prajurit yang berada di bagian depan
berteriak kepada semua orang. Jari telunjuknya mengarah ke barat.
Dari
kejauhan tampak debu mengepul ke udara. Suara derap kaki kuda lamat lamat
terdengar mengiringi. Tanpa di komando, delapan pria yang mengawal kereta
Banowati itu serempak membentuk barikade untuk mengantisipasi kejadian yang
tidak di inginkan.
“Ada
belasan orang!” kata salah satu prajurit.
“Sepertinya
mereka sangat terlatih menunggang kuda” sambung yang lain.
“Siapa
kira kira mereka, tuan?” tanya Rukmarata pada Aswatama.
“Entahlah.
Tapi di lihat dari pakaiannya jelas bukan orang sini” jawab Aswatama manakala
rombongan itu semakin dekat.
Ada
sekitar lima belas hingga dua puluh orang. Paling depan adalah seorang wanita
dengan tubuh tinggi, berpakaian abu abu terbuat dari kain wol. Rambutnya
panjang terurai dengan jambul di atas kepala. Memakai gelang terbuat dari kulit
buaya, berkalung bulan sabit dan menyandang senjata sejenis bumerang di
pinggangnya. Di lihat dari penampilan, perempuan itu sepertinya adalah pemimpin
rombongan. Di belakangnya berjejer rapi para pengikutnya yang rata rata adalah
anak anak muda, berbadan kekar dan berlengan kokoh.
“Berhenti!!!”
Salah
satu anak muda yang berada di samping kiri wanita itu mengangkat tangan kanan
untuk memberi tanda agar mereka berhenti. Umurnya masih muda, mungkin seumuran
Aswatama. Badannya tinggi besar, berkumis melintang, berhidung pesek, mata
sipit dan alis tebal. Menyandang sebuah senjata berbentuk melengkung yang
tajamnya berada di sisi dalam. Pemuda itu kemudian melompa turun dari atas
tunggangannya dan berjalan mendekati Aswatama.
“Mohon
maaf jika kurang sopan, tuan sekalian” sapa pemuda itu sopan, “kami adalah
pengembara dari utara yang sedang mencari pengalaman. Nama saya Wigati”
memperkenalkan diri.
“Yang
duduk di sana itu majikan kami” telunjuknya mengarah pada perempuan berjambul
dengan kalung sabit yang duduk tenang di atas kudanya, “namanya Srikandhi”.
Di
awal cerita, kami pernah menyinggung nama Srikandhi. Perempuan pengembara yang
pernah menolong Permadi ketika tersesat di padang pasir Kawah Geni. Lalu siapa
sebenarnya Srikandhi ?. Dia adalah anak sulung dari penguasa negeri Pancala.
Sebuah negeri yang terletak di sebelah utara Hastinapura. Walaupun secara
genetika Srikandhi adalah seorang perempuan, namun dalam banyak hal ia lebih
berkarakter laki laki. Bukan hanya dari pakaian yang sering ia kenakan atau
penampilannya yang nyaris tanpa riasan wajah, tapi watak dan karakter Srikandhi
juga seperti laki laki tulen pada umumnya. Ia gemar berpetualang, senang
berkelahi dan mahir dalam olah kemiliteran.
“Oh,
dari negeri utara rupanya…” Aswatama, “negeri manakah ?”.
“Kami
dari Kerajaan Pancala” jawab Wigati.
“Pancala
?” Aswatama terkejut bukan main begitu nama Pancala di sebut.
Pancala.
Nama yang sudah tidak asing lagi bagi Aswatama. Bahkan dahulu kala, Aswatama
dan wadya bala Kurawa pernah datang ke Pancala untuk menagih janji yang pernah
di ucapkan Raja Pancala kepada ayah Aswatama, Resi Durna. Di kisahkan dulu
Drupada dan Durna adalah teman senasib sepenanggungan. Mereka bersahabat sejak
kecil dan saling bahu membahu dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Saking
intimnya hubungan kedua sahabat ini, Drupada sempat menjanjikan kepada Durna,
jika kelak ia menjadi raja di Pancala, maka Durna akan di beri separuh wilayah
Pancala. Namun janji itu hanya menjadi janji belaka, ketika Drupada benar benar
menjadi raja, nyatanya ia tidak segera membagi kekuasaannya dengan Durna.
Bahkan Durna malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari patih Pancala,
yaitu Gandamana. Ayah Aswatama ini di hajar habis habisan oleh Gandamana hingga
mukanya rusak. Untung segera datang Sengkuni untuk menolong Durna. Oleh
Sengkuni, Durna di bawa ke Hastinapura dan di rekrut menjadi guru keprajuritan
bagi keluarga Kurawa dan Pandawa. Di Hastina, Durna memperoleh berbagai macam
fasilitas yang tidak di dapatkan oleh siapapun. Ia sangat di hormati baik oleh
Pandawa maupun Kurawa.
Namun
demikian, dendam Durna pada Drupada tidak pernah pupus. Walaupun ia sudah di
angkat sebagai pejabat penting di lingkungan Hastina, tapi Durna masih
menyimpan asa untuk memiliki separuh dari wilayah Pancala. Dan untuk mewujudkan
keinginannya itu Durna yang di bantu Kurawa kemudian mengirim pasukan ke
Pancala guna menagih janji Drupada. Usaha pertama adalah mengirim Kurawa untuk
menyerbu Pancala. Dan Aswatama termasuk salah satu orang yang ikut ke Pancala.
Tapi sayang, usaha Durna untuk merebut paksa Pancala menemui kegagalan. Tak
kehilangan akal, Durna kemudian mengirim muridnya yang lain dari klan Pandawa.
Usaha terakhir ini akhirnya berhasil. Pancala dapat di rebut sebagian. Bahkan
patih Gandamana akhirnya tewas oleh Bima. Wilayah Pancala yang berhasil di
rebut Durna itu kemudian di beri nama Sokalima.
“Ada
perlu apa tuan datang ke Mandaraka ?”
tanya Aswatama dengan sorot mata penuh kecurigaan.
“Hai,
kaki kuda!”.
Belum
lagi Wigati menjawab, terdengar teriakan dari arah perempuan berjambul itu.
Semua mata menoleh ke arah datangnya suara. Tak terkecuali Aswatama yang geram
bukan main. Ucapan itu jelas di tujukan kepada dirinya. Dan ini untuk kali
kedua, ia di hina seorang wanita.
“Kamu
punya nama, bukan ?. Kenapa tidak mengenalkan diri ?” tanya Srikandhi dengan
nada tinggi.
Makin
dongkol sang Aswatama mendengar ucapan ucapan tidak sopan dari Srikandhi.
Pemuda Sokalima ini melompat mendekati Srikandhi.
“Keparat!!!.
Jaga bicaramu wahai nona, atau aku sobek sobek mulutmu !!!” gertak Aswatama
emosi.
“Ho..ho..ho..ho…”
seloroh Srikandhi tanpa sedikitpun merasa gentar, “makanya, kenalin dulu siapa
dirimu…”.
“Aku
Aswatama putra Begawan Durna dari Sokalima!” jawab Aswatama mengelus elus keris
di pinggangnya.
“Apa
?. Durna ?. Apakah aku tidak salah dengar ?” kali ini mimik Srikandhi mendadak
serius. Matanya mengawasi dengan seksama setiap inci tubuh Aswatama.
“Tidak!!.
Aku Aswatama putra Durna!” tegas Aswatama berharap pengakuan itu membuat nyali
Srikandhi luruh.
Tapi
sepertinya harapan Aswatama meleset. Wanita itu makin sinis menatap dirinya.
Seolah ada sesuatu yang sedang di pendam dalam benak wanita berkalung bulan
sabit itu.
“Anak
anak…!. Siapkan diri kalian. Kita bikin perhitungan dengan anak pencuri ini!!”
teriak Srikandhi memberi aba aba. Serentak belasan pria berbadan kekar di
belakang Srikandhi mencabut senjatanya.
Aswatama
terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Tapi dia di
tuduh sebagai anak pencuri.
“Pasti
ada hubungannya dengan bapa Durna” pikir Aswatama segera mundur dan menyiapkan
keris pusakanya.
“Siapa
dirimu sebenarnya, hai wanita jalang ??” bentak Aswatama.
“Aku
?”.
“Ya!!!”.
“Aku
putri Prabu Drupada. Kamu kenal, bukan ?” jawab Srikandhi.
“Oooohhh…jadi
kamu anak Drupada ?” Aswatama terpana.
Pantas
saja wanita ini langsung menuduhnya sebagai anak pencuri. Pasti yang di maksud
adalah peristiwa tempo silam dimana Drupada menderita kekalahan hebat dan
wilayahnya di rebut Resi Durna.
“Kenapa
?. Takut ?” ledek Srikandi.
“Keparat!.
Jangankan hanya seorang. Kalian semua majupun aku tidak takut!” Aswatama
percaya diri.
“Oh
ya ?. Apakah kata katamu bisa aku pegang ?” Srikandhi.
“Kenapa
tidak?” sahut Aswatama.
Srikandhi
menghela nafas. Sorot matanya tertuju pada tujuh lelaki yang ada di belakang
Aswatama.
“Kalian
semua dengar khan ?” kata Srikandhi pada tujuh lelaki yang ada di belakang
Aswatama, “temanmu ini ingin sendirian melawan kami. Jadi jangan ikut campur
kalau kalian memang ksatria”.
Aswatama
mengumpat dalam hati. Padahal ucapannya tadi hanya sekedar ingin menggertak.
Tapi wanita itu dengan cerdiknya memanfaatkan ucapannya untuk melakukan
pengeroyokan.
“Kenapa
?. Apakah kamu ingin mencabut kata katamu ?” ejek Srikandhi yang menyadari
lawannya mulai gentar.
“Ka…kalau
kalian tidak malu, silahkan maju bersama…!” Aswatama mulai gugup.
Bagaimanapun
Aswatama layak khawatir. Dari bentuk fisiknya, belasan pria berbadan tegap itu
sepertinya bukan orang sembarangan. Apalagi wanita bernama Srikandhi itu.
Memang ia hanya seorang wanita. Tapi dia anak Drupada. Raja Pancala yang
ilmunya sekelas bapak Aswatama. Sudah pasti wanita itu juga mewarisi kesaktian
ayahnya. Untuk meminta bantuan kepada Rukmarata dan prajurit Mandaraka, rasanya
tidak mungkin. Dirinya sudah kepalang basah meladeni orang orang Pancala itu
sendirian.
“Ho..ho..ho…!.
Sepertinya kamu kurang percaya diri…” ledek Srikandhi dengan senyum kecut.
“Kepung
si kaki kuda ini!!!” perintah Srikandhi.
Belasan
anak buah Srikandhi segera melompat dari atas kuda mereka. Menenteng berbagai
macam senjata lalu mengepung Aswatama dari berbagai penjuru.
selanjutnya>>>
selanjutnya>>>
Nice information, many thanks to the author. It is incomprehensible to me now, but in general, the usefulness and significance is overwhelming. Thanks again and good luck!
BalasHapusphytogreen | zell v platinum | zell v phytogreen | zell-v | zell v phytogreen | placenta domba | sabun herbal | sabun hawa | sabun herbal hawa | keceprek melinjo | Peluang usaha makanan | Peluang usaha makanan ringan