Oleh : Komandan Gubrak
Aku
tak mengerti,
Apa
gerangan sesuatu yang ada di dalam diri ini
Yang
telah membutakan hati dan nalar warasku
Sehingga
aku nyaris tak mampu mengingat lagi
Seberapa
sakit goresan luka yang menyayat tubuhku
Aku
jua tak pernah bisa tahu
Dengan
tingkah nakalmu menyandera perasaanku
Memasungku
dalam sebuah penjara asmara
Menenggelamkanku
ke dalam kubangan rawa rawa
Dan
mengikatku laksana durjana
Suamiku,
Jika
kamu menyangka
Cinta
ini akan segera padam di makan usia
Maka
aku katakan padamu
Bahwa
ia tetap bersemayam di sanubari terdalam
Yang
tak mungkin lekang oleh zaman
Suamiku,
Jika
kamu mengira
Kepergianmu
akan mengubah manis menjadi pahit
Ijinkan
aku mengingatkanmu
Bahwa
aku mampu mengubah segalanya
Bahkan
pahitpun akan berganti gula
Aku
ingin terus menjadi bayanganmu
Yang
mengawasimu dari sudut gelap cakrawala
Aku
ingin terus menjadi udara di pagi buta
Yang
akan menelusup dalam rongga nafasmu
Hidup
adalah pilihan
Antara
mengikuti kata hati atau menyerah pada keadaan
Aku
tidak katakan ini sebuah pengorbanan
Bagiku ini adalah jalan yang panjang
Yang tidak pernah aku pedulikan
Dimana ujung dan pangkalnya
“Berapa
lama lagi kita sampai Mandaraka, kakang Udawa ?”.
“Setelah
kita melewati Padang Pasir ini, kita akan segera sampai, Sati”.
Larasati
bernafas lega, menyandarkan tubuhnya di dinding. Mukanya tengadah, matanya tertutup,
sementara dari sudut bibirnya tersungging senyum bahagia. Bayangan sang suami
yang telah enam bulan pergi meninggalkan Widarakandang perlahan bermain main di
pelupuk matanya. Senyumnya yang ranum laksana mangga muda teruntai mekar dari
balik bibir sang belahan jiwa. Terasa asam memang, tapi ketika engkau
mencicipinya, rasa penasaran menghunjam bukan kepalang. Perangainya yang dingin
bagai kabut pagi di musim hujan, bukanlah alasan untuk menjadikan semua menjadi
beku. Kehadirannya yang hanya seumur jagung, atau malah seusia bianglala di
ufuk timur yang semerah saga, bukanlah sebuah ukuran pasti. Nyatanya, dalam
senyap ia tetap hadir melukis guratan guratan tak bertepi di dalam jiwa.
“Kak Lara…”.
Sebuah panggilan lirih menyelinap di telinga
Larasati. Suara yang tak asing lagi baginya. Perlahan ia membuka mata, menoleh
ke samping kiri seraya mengirim sebaris senyum manis pada gadis remaja di
sampingnya. Rara Ireng.
“Kakak memikirkan kakang Permadi ya ?”.
“Hmmm…”.
“Rara heran deh kak” Rara Ireng membuka obrolan,
“apa sih hebatnya Permadi itu ?. Sampai kak Lara rela jauh jauh mencarinya ?”.
“Apakah
kamu mengira aku sengaja mencarinya agar ia mau membawaku kemana saja ia suka
?” tanya Larasati merentangkan tangan ke pundak Rara Ireng.
“Ya”.
Larasati
menggeleng, “salah…”.
“Lalu
?”.
“Aku
hanya ingin mengantar hadiah terindah ini” meletakkan telapak tangannya di atas
perut, “memintanya untuk mengusap kepalanya dan menganugerahi sebuah nama yang
baik untuk anaknya”.
“Setelah
itu, aku akan mengemasi semua barang barangku dan kembali bercengkerama bersama
alam Widarakandang”.
Rara
Ireng tertegun. Keteguhan kakak angkatnya ini benar benar membuatnya sulit
mengerti.
“Apakah
aku akan bisa seperti kakak ?” Rara Ireng menyusupkan kepalanya ke dalam ketiak
Larasati.
“Bisa
saja”.
“Caranya
?”.
“Asal
kamu bisa berjalan seiring dengan getaran yang ada di hatimu”.
“Ooohh….”
Rara Ireng mengangguk.
“Kakang
Permadi itu orangnya setampan apa sih, kak ?” penasaran.
Larasati
mengerutkan dahi, memiringkan kepala hingga pipinya membelai rambut Rara Ireng.
“Bukan
keelokan yang membuat kita menyukai sesuatu, tapi rasa suka itulah yang membuat
segala sesuatunya terlihat elok”.
“Kenapa
bisa begitu, kakak ?” Rara Ireng masih belum dapat mencerna kata kata Larasati.
“Bukan
kenapa bisa begitu, tapi memang seharusnya begitu”.
“Bingung
nih, Rara…”.
“Dengar
adikku” Larasati menasehati, “sebentar lagi kamu akan tumbuh dewasa. Menjadi
wanita dewasa yang cantik jelita tiada tara. Semua pria akan terkesima dan berlomba
lomba untuk mendapatkanmu”.
“Kamu
senang, kamu bahagia dengan kesempurnaan yang kamu miliki. Tapi, apakah kamu
yakin ?. Kamu bisa mempertahankan segala kesempurnaan itu ?. Tidak. Manakala
usia menggerogoti tubuhmu, dan sedikit demi sedikit segala hal yang membuatmu
merasa bangga itu terkikis,maka semua orang yang mengagumimu karena paras ayumu
satu persatu akan pergi dan berpaling darimu. Dan hanya mereka yang teguh dan
mencintaimu tanpa alasan, yang akan tetap memandangmu sebagai pribadi yang
sempurna”.
“Demikian
juga sebaliknya. Jika kita mencintai sesuatu karena keistimewaan atau apapun yang
ada padanya, maka cinta itu hanya akan menjadi mainan semu. Sebab ketika
keistimewaan itu tergerus oleh waktu, kita tak lagi punya alasan untuk
meneruskan cinta kita”.
Rara
Ireng mengangguk.
“Menurut
kakak, apakah cinta itu harus memiliki ?”.
Larasati
menggeleng.
“Kenapa
?.
“Bisa
memiliki yang kita cintai itu anugerah. Tapi bisa mencintai tanpa berharap
untuk memiliki, itu ketulusan”.
“Tapi
khan sedih kalau nggak bisa memiliki, kak ?” rengek Rara Ireng nelangsa.
Larasati
tersenyum geli. Bosan juga membicarakan sesuatu yang sudah pasti belum bisa di
terima akal sehat seorang remaja seumuran Rara Ireng.
“Kalau
sedih, tinggal aduin aja sama kakang Kakrasana. Beres khan ?. Hihihihihi….”
goda Larasati seraya tertawa cekikikan.
“Tuh
khan, mulai deh mulai….” sungut Rara Ireng.
Entah
siapa yang memberi aba aba, kedua perempuan beda umur itu bersamaan tertawa
lebar. Suasana bosan karena harus menempuh jarak yang cukup panjang dan
melelahkan sejenak mencair. Ada saja yang mereka bicarakan. Mulai dari hal hal
kecil dan gampang di mengerti hingga sesuatu yang sulit di cerna pikiran. Kedua
wanita ini tak ubahnya pasangan yang saling mengisi. Larasati yang keibuan,
matang dalam berpikir dan dewasa, bertemu dengan Rara Ireng yang manja, lucu,
nakal tapi pengertian.
“Kakak….”
Rara Ireng lirih.
“Hmmm….”.
“Kakak
mau janji nggak ?” nada bicara putri Basudewa ini terlihat serius dan berharap
sekali.
“Apa
?”.
“Janji
dulu, baru aku ngomong” desak Rara Ireng setengah memaksa.
“Penting
ya ?” Larasati memperhatikan mimik Rara Ireng yang memelas.
“Banget!!!”.
Larasati
tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang di inginkan adik angkatnya itu dari
dirinya.
“Katakan
saja. Kalau aku bisa, akan aku lakukan” kata Larasati.
“Mmmm…kakak
janji ya. Kalau nanti Rara punya suami, trus kami mesti tinggal di tempat yang
baru, kakak harus ikut Rara”.
Larasati
mengernyitkan keningnya. Permintaan yang aneh dan menggelikan. Mana bisa begitu
?. Iya kalau suaminya mengijinkan Larasati untuk tinggal bersama mereka. Kalau
tidak ?.
“Kamu
ini ada ada saja Rara…”seloroh Larasati geleng geleng kepala.
“Aku
takut kak…” intonasi suaranya menurun dan tidak bergairah.
“Khan
ada suamimu ?” hibur Larasati.
“Tapi
aku lebih percaya sama kakak. Janji ya kak ?” desak Rara Ireng.
“Mmmm…”
Larasati berpikir sebentar.
Sebenarnya,
ia tak merasa keberatan dengan permintaan Rara Ireng. Toh, sudah sejak dulu
keluarga Larasati terbiasa mengabdi pada keluarga kerajaan Mandura. Ayah
Larasati, Kyai Antagopa adalah kepala rumah tangga di istana Mandura. Hanya
karena ada masalah yang melanda Mandura saja akhirnya orang tua Larasati
terpaksa harus pindah ke Widarakandang. Kakak Larasati, Udawa juga di kenal
setia pada keluarga Mandura. Kakak satu satunya Larasati ini bahkan memiliki
hubungan yang sangat dekat dengan salah satu putra Prabu Basudewa, yaitu
Narayana. Sama seperti dirinya dan Rara Ireng yang kemanapun seringkali bersama
sama baik dalam suka maupun duka, Udawa dan Narayana juga tak ubahnya dua
sejoli yang saling membutuhkan. Bahkan waktu yang di miliki Udawa, terutama
akhir akhir ini lebih banyak di habiskan bersama Narayana di banding dengan
keluarganya sendiri. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi Larasati untuk
menolak permintaan Rara Ireng. Apalagi dalam banyak hal, Larasati juga merasa
sangat cocok dengan putri bangsawan Mandura ini.
Tapi
masalahnya, status Larasati sekarang adalah istri dari ksatria Pandawa. Sudah
menjadi jamaknya seorang istri harus patuh dan taat pada suaminya. Memang,
sikap Permadi terhadap Larasati dari sejak awal pernikahan hingga sekarang
tidak terlalu mengenakkan. Walaupun selalu di bungkus dengan kata kata manis,
tapi naluri perempuan Larasati tak bisa di bohongi lagi. Di mata Permadi, ia
bukan wanita yang bisa di harapkan apalagi di banggakan. Permintaan Permadi
agar dirinya mencari pria lain saja sebagai pendamping, cukup menjelaskan apa
yang sebenarnya ada di hati suami tercintanya itu. Namun, seperti yang selama
ini menjadi pegangan hidup Larasati, bahwa cinta tak seharusnya di nodai dengan
bermacam macam alasan dan keinginan. Termasuk keinginan untuk mendapatkan
balasan yang setimpal.
“Sebenarnya
kakak nggak keberatan” Larasati menerangkan.
“Trus
?”.
“Kakak
berjanji akan memenuhi permintaanmu itu, tapi dengan syarat. Kakang Permadi
tidak merasa keberatan. Itu saja…”.
“Yaaaah…..”Rara
Ireng menggaruk garuk kepalanya.
“Kamu
mesti bisa membujuk dia”.
“Kalau
kakang Permadi nggak mau gimana ??” was was.
“Khan
Rara punya cara lain ?” kata Larasati sembari mengerlingkan matanya.
“Apa
?” tak mengerti.
“Kakang
Kakrasana” sahut Larasati lagi lagi menggoda Rara Ireng.
“Iiiiiihhh….kakak….!!!”
Rara Ireng dongkol, “aku cubit nih…aku cubit…” katanya sembari melayangkan
cubitan cubitan kecil di tangan Larasati.
Putri
Kyai Antagopa ini spontan menghindar, tapi Rara Ireng terus mengejarnya hingga
ke pojok bilik. Karena tidak ada lagi cara untuk menghindar, akhirnya Larasati
harus merelakan tubuhnya menjadi bahan pelampiasan Rara Ireng. Sesuatu yang
sudah biasa bagi keduanya. Bahkan tak ubahnya bumbu penyedap.
“Sebentar
Rara…” Larasati mengangkat jari telunjuk ke atas bibirnya. Ada sesuatu yang
sepertinya menarik perhatian istri Permadi ini.
Kereta
yang ia tumpangi bersama Rara Ireng mendadak melaju perlahan. Bahkan beberapa
saat kemudian terhenti. Lamat lamat dari kejauhan terdengar suara gaduh yang
sepertinya datang dari tempat yang cukup dekat. Suara teriakan, benturan benda
benda keras di sertai suara gedebag gedebug seperti benda jatuh.
“Ada
perkelahian…”guman Larasati waspada.
“Siapa
kak ?” Rara Ireng cemas.
“Entahlah…”
sahut Larasati sembari meraih sebuah busur panah dan sekantong anak panah yang
tergantung di pojok bilik kereta.
Larasati
membuka jendela, melempar pandangannya ke sumber suara yang telah mengusik
telinganya. Benar juga apa yang di perkirakan Larasati. Sekitar lima ratus
meter dari tempatnya berada, belasan orang terlibat perkelahian sengit dan di
tonton oleh beberapa orang yang kemungkinan juga termasuk bagian dari mereka.
Tak jauh dari medan perkelahian, sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda tampak
di jaga dengan ketat oleh empat orang pria berkuda. Sepertinya ada sesuatu yang
penting di dalam kereta itu. Setidaknya terlihat dari tingkah ke empat orang
pria itu yang tak pernah beranjak dari sisi kereta.
Mata
Larasati kembali terarah ke medan pertempuran. Tampaknya bukan sebuah
perkelahian. Tapi lebih tepatnya pengeroyokan. Seorang lelaki dengan bentuk
fisik aneh terlihat pontang panting menghadapi gempuran demi gempuran dari para
pengeroyoknya. Beberapa kali ia terjerembab jatuh mencium tanah dan menjadi
bahan tertawaan, tapi semangatnya tak pernah kendur. Ia cepat cepat bangkit dan
terus melakukan perlawanan dengan menyabetkan keris pusakanya ke setiap
penyerang. Tiga penonton yang ke semuanya adalah pria dan berdiri berjejer,
terlihat tegang menyaksikan jalannya pertempuran. Larasati menduga, ketiganya
kemungkinan besar adalah kawan dari pria berbadan aneh yang sedang di keroyok
itu. Sementara di sisi yang berlawanan, seorang wanita dengan pakaian khas
terbuat dari kain wol dan memiliki jambul di kepala terlihat menenteng busur
yang sudah terisi. Beberapa kali ia menembakkan panahnya ke arah pria bertubuh
aneh itu. Tidak terlalu mahir memanah, karena tak satupun yang mengenai
sasaran. Akan tetapi cukup membuat konsentrasi korbannya berantakan dan
akhirnya makin menjadi bulan bulanan para pengeroyoknya.
Tepat
di samping kanan kereta yang di tumpangi Larasati dan Rara Ireng, terlihat
Udawa sedang berbicara dengan beberapa anak muda Widarakandang yang turut serta
mengawal rombongan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya ada sesuatu
yang akan mereka lakukan. Tak berapa lama Udawa bergerak sendirian mendekati
arena perkelahian. Ada sedikit kekhawatiran dalam diri Larasati. Walaupun
kakaknya di kenal jago berkelahi dan lagi secara jumlah, rombongan
Widarakandang lebih banyak, akan tetapi tetap saja Larasati merasa khawatir.
Bukan apa apa. Ini daerah yang tak di kenal, segalanya bisa saja terjadi.
“Hai…siapa
kamu ???”.
Belum
juga Udawa berjalan lebih dekat, wanita dengan rambut bergaya jambul yang
menyadari kehadiran pihak lain segera mencegat.
“Mohon
maaf pada tuan semua” kata Udawa sopan, “kami rombongan dari Mandura. Namaku
Udawa. Kami tidak bermaksud untuk mencampuri urusan saudara semua. Kami hanya
sekedar minta ijin untuk lewat dan melanjutkan perjalanan”.
Wanita
berjambul itu memandang penuh selidik pada Udawa. Matanya yang berkilat
mengamati setiap inchi lekuk tubuh pemuda Widarakandang itu. Sebentar kemudian
senyum sinis merekah dari balik bibirnya.
“Hemm…”
ia mendehem.
“Sebaiknya
tuan mencari jalan lain saja sebelum kami berubah pikiran” setelah mengatakan
itu, wanita dengan senjata bumerang di pinggang yang tak salah lagi adalah
Srikandhi itu membalikkan tubuhnya dan kembali ke medan pertempuran.
Dongkol
juga sang Udawa. Mencari jalan lain sepertinya bukan perkara mudah. Dia dan
rombongannya sama sekali buta dengan daerah sekitar. Bahkan menginjakkan kaki
di tempat itupun hanya sekali. Bagaimana kalau malah tersesat atau rutenya
lebih jauh ?
“Bagaimana
kakang ?”.
Udawa
menoleh. Seorang perempuan dengan kondisi perut membuncit telah berdiri di
sampingnya. Larasati.
“Mereka
tidak bersedia memberi kita jalan” jawab Udawa seraya melangkah kembali ke
rombongan.
“Trus
?”.
“Ya
kita tunggu saja hingga urusan mereka selesai. Sebaiknya kamu istirahat saja,
Lara” saran Udawa.
Larasati
menganggukkan kepala dan bergegas menuju keretanya. Rara Ireng yang sejak tadi
menunggu dengan perasaan cemas mengulurkan tangannya untuk membantu Larasati
menaikki kereta.
“Gimana,
kak ?” Rara Ireng penasaran.
“Kita
mesti menunggu mereka selesai” Larasati menaruh kembali busur beserta kantong
panahnya ke tempat semula.
Perempuan
yang di nikahi Permadi sepuluh bulan lalu ini membuka lebar lebar jendela
bagian depan. Kusir kereta yang mengetahui Larasati sepertinya tertarik untuk
menyaksikan jalannya pertempuran buru buru menggeser duduknya guna memberi
kesempatan kepada penumpangnya.
“Kayaknya
kita mendingan cari jalan lain aja deh, kak…”.
“Emang
kenapa ?” tanya Larasati tanpa memalingkan wajahnya.
“Aku
takut”.
“Tenang
aja. Nggak akan terjadi apa apa” hibur Larasati sembari meraih pundak Rara
Ireng.
Lantas,
siapakah gerangan mereka yang sedang mengadu nyawa di tengah jalanan yang
menghubungkan Mandaraka dan Kawah Geni itu ?. Seperti yang sudah kita ceritakan,
ketika Srikandhi mengetahui bahwa Aswatama adalah anak dari Resi Durna, maka
seketika meledaklah kemarahan pendekar wanita dari Pancala itu. Bentrokan tak
bisa di hindari lagi. Aswatama yang terlanjur mengatakan bahwa ia tidak takut
di keroyok oleh musuh bebuyutan keluarganya, terpaksa harus menelan kenyataan
pahit. Belasan pengembara Pancala itu ternyata bukan petarung petarung biasa.
Dalam tempo yang tak terlalu lama, pendekar Sokalima ini mulai kewalahan
menghadapi gempuran bertubi tubi dari musuh musuhnya. Jika semula ia masih bisa
membalas serangan dengan sabetan keris dan tendangan tendangan mautnya, kali
ini Aswatama hanya bisa menangkis, menghindar bahkan sesekali ia harus
merelakan tubuhnya terpelanting akibat pukulan musuh. Beberapa luka lebam
menghiasi wajah Aswatama, darahpun mengalir dari hidungnya. Baju keprajuritan
Aswatama yang terbuat dari kulit buaya yang keras dan liatpun terlihat compang
camping akibat sabetan senjata tajam sehingga kulitnya yang kemerahan terlihat
menyembul dari balik pakaiannya.
Hingga
jurus ke dua puluh, sebuah tusukan tombak milik Wigati menghantam tepat di dada
Aswatama yang sudah tak tertutupi baju pelindung. Pemuda Sokalima ini terpental
sejauh dua meter, limbung dan akhirnya ambruk ke atas tanah tanpa mampu bangkit
kembali. Sorak sorai menggelegar dari mulut para penyerangnya begitu menyadari
musuh sudah tak punya kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Srikandhi yang
sejak awal hanya menonton anak buahnya bertarung perlahan mengayunkan kakinya
mendekati tubuh Aswatama yang terkapar tak berdaya. Dengan sigap tangan kirinya
meraih rambut Aswatama, menyeret tubuh yang sudah tak berdaya itu ke tengah
jalanan untuk di pertontonkan ke semua orang.
Semua
mata tertuju pada Srikandhi. Wanita itu mengangkat tubuh tawanannya,
mendudukkan di atas tanah dengan posisi bersimpuh. Kemudian ia berputar ke
belakang. Tangan kirinya mencengkeram rambut Aswatama erat erat, sementara tangan kanannya menggenggam senjata
berbentuk melengkung terbuat dari kayu yang ujungnya terdapat sebuah besi
lancip dan tajam layaknya mata panah. Sebuah senjata lempar khas kaum
pengembara dari utara yang terkenal dengan sebutan bumerang.
“Hem…rupanya
dadamu keras juga” guman Srikandhi ketika menyaksikan dengan kepala sendiri
dada yang tadi terkena tusukan tombak Wigati ternyata tidak terluka sedikitpun.
“Aku
ingin tahu, apakah lehermu juga kebal senjata atau tidak!”.
Dengan
raut muka dingin dan tatapan liar, Srikandhi menempelkan bagian paling tajam
dari bumerang itu ke leher Aswatama dan bersiap untuk mengakhiri hidup putra
Resi Durna. Namun tiba tiba…
Plakk!!!
Dukk!!!
Aswatama
yang rupanya hanya berpura pura pingsan bergerak cepat menangkap pergelangan
tangan kanan Srikandhi. Berbarengan dengan itu sikut kiri Aswatama meluncur
deras ke belakang menghantam paha
Srikandhi. Perempuan Pancala ini meringis kesakitan dan kehilangan konsentrasi.
Keadaan ini di manfaatkan Aswatama untuk menarik tubuh lawan dan membantingnya
ke depan. Tapi sial, tangan kiri Srikandhi seolah tak mau lepas menjambak
rambut Aswatama. Sehingga walaupun Aswatama berhasil membanting Srikandhi, namun
tak ayal lagi kepalanya juga ikut tertarik ke depan dan membuatnya jatuh
tertelungkup mencium tanah.
Brukkk!!!
Wigati
yang menyaksikan majikannya di telikung dengan mudah oleh Aswatama segera
melompat dan mengirimkan sepakan keras tepat di muka Aswatama.
Desss!!!
Aswatama
terjengkang dengan luka robek di bibirnya. Darahpun mengucur dari bibir.
Pendekar Sokalima itu meringis menahan
sakit luar biasa. Ilmu kebal Lembu Sekilan warisan bapaknya ternyata hanya mampu
melindungi dadanya hingga kaki. Tapi tidak untuk area kepalanya. Pendekar
Sokalima ini berusaha untuk bangkit, namun sebuah tendangan keras kembali
menghantam kepalanya hingga membuatnya terbanting keras dan bergulingan di atas
tanah.
“Terima
ajalmu bangsat!!!”.
Sejurus
kemudian Wigati mencabut sebuah keris yang terselip di pinggangnya dan melompat
mengejar Aswatama. Senjata kecil dengan ujung lancip itu meluncur deras
membidik leher Aswatama. Aswatama terkejut bukan main. Buru buru ia menggulingkan
tubuhnya untuk menghindari serangan. Sehingga tusukan Wigatipun hanya mengenai ruang kosong.
“Mau
lari kemana kamu!!!”.
Kembali
Wigati mengejar. Namun baru selangkah ia maju, tiba tiba…
Suittt!!!
Dukk!!!
“Ahhh!!!”
Wigati terpekik. Sebuah benda keras yang entah darimana datangnya menerjang
pergelangan tangannya. Saking kerasnya, keris pusaka yang berada di tangan
Wigati terlepas.
“Bangsat!!!.
Siapa yang berani….??” Belum sempat ia meneruskan kalimatnya, sesosok manusia
bertubuh gempal, berambut ikal dengan jambang lebat dan senjata gada di tangan
tiba tiba muncul di hadapan Wigati.
“Cepat
menyingkirlah Aswatama, biar Gardapati yang menyelesaikan urusanmu dengan
cecunguk cecunguk ini!” ucap lelaki dengan senjata gada di tangan yang ternyata
adalah salah satu ksatria Kurawa itu pada Aswatama.
“Siapa
kamu yang berani mencampuri urusan kami ?” tuding Wigati yang masih merasakan
ngilu di persendian tangannya.
“Ha…ha..ha
ha ha ha…” gelak tawa meledak dari bibir Gardapati. Bersamaan dengan itu,
ksatria Puralaya ini mengayunkan gadanya ke tanah, dan…
Buummmm!!!!
Terdengar
suara menggelegar manakala gada itu menghantam tanah di mana Gardapati berdiri.
Bumi seolah bergetar, debu tebal berwarna kecoklatan menghalangi pandangan.
Sesaat kemudian terdengar gemuruh suara kaki kuda berderap menuju tempat itu.
Wigati
bergegas mengambil kerisnya yang tadi terlempar di atas tanah lalu beringsut
mundur.
“Sepertinya
mereka mengundang bala bantuan yang lebih banyak” kata Wigati ciut kepada
Srikandhi.
Perempuan
berjambul yang hampir saja menghabisi nyawa Aswatama ini menarik nafas dalam
dalam. Matanya yang tajam menatap ke sekeliling. Tak kurang dari empat puluh
penunggang kuda dengan senjata lengkap bergerak mengepung. Tujuh orang pria
kawan Aswatama yang dari tadi nyaris tak bisa berbuat banyak terlihat bersorak
kegirangan menyambut kedatangan kawan kawannya.
“Siapkan
formasi, kita beri mereka pelajaran” perintah Srikandhi tanpa sedikitpun merasa
gentar dengan banyaknya musuh yang datang.
“Siap!!!”.
Wigati
segera melambaikan tangan pada kawan kawannya. Mereka segera bergegas menaikki
kuda kudanya dan merapatkan barisan. Tak ketinggalan, Srikandhi dan Wigati
segera memanggil kuda kudanya.
“Takdir
pengembara hanya dua. Di bunuh atau membunuh. Jika kalian merasa takut dengan
kematian, pulang saja dan menyusulah pada ibumu!!!” kata Srikandhi membakar
semangat. Tangan kanannya mengacungkan bumerang sementara tangan kirinya
menenteng sebuah tombak.
“Dewapun
kami tidak takut…dewapun kami tidak takut!!!” sahut anggotanya serentak.
Srikandhi
menyunggingkan senyum. Matanya menatap lurus ke depan. Ada sekitar lima belas
orang penunggang kuda yang berada di belakang Gardapati. Di antaranya adalah
tujuh orang yang sejak awal bersama Aswatama. Di sisi kiri dan kanan juga
terdapat belasan prajurit yang bersiap menunggu perintah.
“Ikat
kaki kalian erat erat di punggung kuda. Jangan sampai ada yang terjatuh. Kita
bikin porak poranda barisan di depan sana” Srikandhi menunjuk ke arah barisan
musuh yang berada di belakang Gardapati.
Putri
Prabu Drupada ini rupanya sangat menyadari bahwa musuh yang di hadapi jauh
lebih banyak. Terlalu beresiko jika harus menunggu musuh datang menyerang
secara bersamaan dan menjepit mereka di tengah tengah. Jika itu terjadi, maka
setiap satu orang di kubu Srikandhi harus berhadapan dengan tiga hingga empat
orang. Dan di atas kertas, barisan Srikandhi akan kalah telak. Maka jalan satu
satunya untuk meraih kemenangan adalah dengan memaksa musuh beradu cepat dan
bertarung di atas kuda.
“Seraaaang!!!”
komando sang Srikandhi menggebrak tunggangannya.
Bak
anak panah yang terlepas dari busurnya, Srikandhi dan kawan kawannya melesat
cepat menerjang musuh. Paling depan adalah Srikandhi dan Wigati. Srikandhi
membuka serangan dengan lemparan bumerangnya. Tidak seperti senjata lempar pada
umumnya yang membutuhkan ketepatan dalam membidik, bumerang lebih berfungsi
untuk menakut nakuti barisan musuh. Dan benar saja, suara bising dari bumerang
Srikandhi sontak mengacaukan lawannya.
“Kurang
ajar!!!”.
Maki
Gardapati yang sama sekali tak menyadari musuhnya menggunakan senjata aneh dan
belum pernah ia temui sebelumnya. Ahli gada dari Puralaya itu cepat cepat
melompat ke samping demi menghindari amukan bumerang Srikandhi sekaligus
menyelamatkan diri dari terjangan kaki kaki kuda yang bisa saja menabraknya.
Bumerang itupun hanya melintas persis sejengkal dari kepala Gardapati dan
selamatlah nyawa ksatria kurawa itu.
Namun
nasib baik tidak berpihak pada barisan prajurit berkuda yang ada di belakang
Gardapati. Bumerang yang di lempar Srikandhi tak ubahnya seperti angin putting
beliung yang menyambar nyambar. Beberapa prajurit yang tak ingin menjadi korban
terpaksa harus melompat turun dari atas kuda. Salah satu di antaranya yang tak
sempat menghindar bahkan berteriak kesakitan manakala senjata lempar itu
menancap di lehernya. Suasana panik di pihak lawan ini tak di sia siakan
Srikandi dan kawan kawan. Dengan lembing, tombak, parang dan pedang di tangan,
mereka membabat habis setiap musuh yang di lewati.
Belasan
orang tersungkur, beberapanya harus meregang nyawa. Dan begitu sampai di ujung
jalan, Srikandhi dan kawan kawannya memutar tunggangannya dan bersiap melabrak
lagi. Seperti yang pernah ia lakukan tadi, ia kembali melempar bumerangnya.
Kali ini ia mengambilnya dari balik pelana kuda. Lagi lagi musuh di buat panik.
Korban berjatuhan di pihak Mandaraka.
“Anjing
bangsat!!!!”.
Pria
berjambang dengan gada di tangan yang menyaksikan anak buahnya terkapar tak
berdaya menghadapi strategi lawan, marah bukan main. Di raihnya perisai kayu
berbentuk lingkaran di belakang punggungnya. Sedetik kemudian ia melompat ke
tengah tengah arena dan bersiap menghadang. Sepuluh prajurit yang selamat dari
terjangan musuh buru buru meninggalkan kuda kudanya dan berlari ke belakang Gardapati.
“Siapkan
perisai dan tombak!!!” perintah Gardapati.
Suasana
tegang menyelimuti raut wajah mereka. Yang akan mereka hadang kali ini adalah
penunggang penunggang kuda handal dan cekatan. Salah membuat formasi tentu akan
membuat mereka mati tergilas oleh kaki kaki kuda.
“Majulah
kalian semua!!!” teriak Gardapati.
Sekali
lagi sebuah bumerang melayang dari tangan Srikandhi. Namun gagal membuat
musuhnya kocar kocar. Senjata lempar itu hanya mampu menjebol perisai salah
satu prajurit dan tidak sampai melukai. Sadar musuhnya mulai mampu meredam
senjata antiknya, Srikandhi menerapkan strategi kedua. Yaitu dengan memacu
kendaraannya lebih cepat.
Braaakkkkk!!!!
Benturan
tak terhindarkan lagi. Belasan prajurit yang berusaha menghadang laju pasukan
Srikandhi terpental ke belakang. Perisai kayu yang mereka gunakan sebagai
pelindung pecah berantakan. Namun di luar dugaan, Gardapati yang sanggup
berkelit dari terjangan musuh memanfaatkan kesempatan dengan mengayunkan
gadanya. Dan…
Bukkk!!!
Brukkk!!!
Sebuah
pukulan keras menghantam perut kuda milik anak buah Srikandhi yang berada di
tengah barisan. Saking kerasnya hantaman gada Gardapati, binatang itu terhempas
dan menimpa kuda kuda di sekitarnya.
Situasi
kacau. Pasukan Srikandhi yang tercecer di belakang dan kehilangan kendaraannya
mengalami kepanikan. Puluhan prajurit Mandaraka yang mengetahui beberapa
musuhnya sudah tidak lagi bisa menggunakan kudanya bergerak cepat dengan cara
mengepung. Pertempuran jarak pendek pecah.
“Kita
naik ke bukit, kakang Wigati!!!” kata Srikandhi segera mengarahkan laju kudanya
ke atas bukit. Sementara Wigati dan sepuluh orang pengikut yang tersisa
mengikuti dari belakang.
“Jangan
biarkan bajingan itu lari…..!!!” terdengar teriakan dari arah belakang.
Belasan
prajurit Mandaraka yang melihat musuhnya berlari ke atas bukit langsung
melakukan pengejaran. Namun baru beberapa langkah mendaki bukit, mereka di
kejutkan oleh hujan panah dari pihak Srikandhi. Enam pengejar yang berada di
barisan depan tersungkur dari atas kuda dengan luka panah menembus dada.
Beberapa yang lain berusaha menghindar dengan bersembunyi di balik pepohonan
kering di kaki bukit.
Hujan
panah reda, prajurit Mandaraka yang bersembunyi di balik pohon segera keluar
dengan menuju tunggangannya. Tapi sial, belum sempat melompat ke atas kuda,
Srikandhi dan kawan kawannya berbalik arah menuruni bukit dan menerjang pasukan
Mandaraka. Korban kembali jatuh.