Minggu, 11 November 2012

Banowati : Asmara di Mandaraka (3)

 Sebelumnya <<<

Oleh : Komandan Gubrak


Banowati tak habis pikir, apa sejatinya yang ada dalam pikiran ayahnya. Setelah ia terpaksa mengakui bahwa dirinya mengetahui kemana dan dengan siapa Herawati pergi, justru tanggapan sang ayah teramat jauh dari harapan. Jika memang ayahnya menginginkan masalah ini cepat selesai, seharusnya dia segera bertindak dengan mengirimkan utusan ke Tirtakandasan untuk meminta pertanggungjawaban Raden Kartawiyaga yang telah membantu kakaknya lari dari Mandaraka. Tidak ada yang sulit. Apalagi mengingat antara keluarga Mandaraka dan Tirtakandasan masih ada hubungan kekerabatan. Kakek Banowati dari garis ibu, yaitu Begawan Bagaspati konon adalah saudara kandung dengan kakek Kartawiyaga yang bernama Resi Bargawa. Sementara ayah Kartawiyaga, Prabu Kurandageni dahulu kala merupakan salah satu penjabat tinggi Kerajaan Mandaraka yang karena sesuatu hal terpaksa di pindah tugaskan untuk mengelola kawasan perairan timur.

Tapi yang terjadi, ayahnya malah memilih cara lain untuk menutupi rasa malu keluarga Mandaraka pada keluarga Hastina. Yaitu dengan menjadikan dirinya dan Surtikanthi sebagai bahan pertukaran atas hilangnya Herawati. Kemudian untuk mengatasi masalah kaburnya Herawati dari Mandaraka, ayahnya justru memilih untuk pura pura tidak tahu dan berniat menggelar sayembara memburu penculik sang kakak. Aneh dan tidak masuk akal. Apa susahnya bicara baik baik dengan pihak Tirtakandasan ?. Toh mereka bukan orang lain bagi keluarga Mandaraka.

Tapi selain daripada itu, yang paling menyesakkan Banowati atau mungkin juga di alami oleh kakaknya Surtikanthi, adalah kenyataan bahwa mereka berdua telah di jadikan bahan pertukaran tanpa sedikitpun di beri pilihan apakah mereka bersedia atau tidak. Yang selalu di jadikan alasan oleh ayahnya tak lain dan tak bukan hanya demi kepentingan Mandaraka. Tentu saja ini perbuatan yang sangat mulia, tapi kenapa harus dengan mengorbankan perasaan anak anaknya ?. 

Jika nantinya Prabu Suyudana lebih memilih Surtikanthi, mungkin bagi Banowati tidak menjadi masalah. Walaupun ia sudah banyak mendengar kehebatan Suyudana dalam memerintah negeri Hastinapura, tapi Banowati sendiri merasa tidak terlalu tertarik untuk di peristri raja muda itu. Akan tetapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya ?. Misalnya, Surtikanthi menolak di jodohkan dengan Suyudana ?. Walaupun Surtikanthi ia kenal sebagai sosok yang ambisius, doyan gonta ganti pasangan, tapi belum tentu juga ia bersedia meninggalkan kekasihnya, Narotama dan memilih bersama prabu Suyudana. Yang namanya perasaan, semua orang tentu tak jauh berbeda. Itu hanya bisa timbul dari lubuk hati yang paling dalam. 

Makin pening otak Banowati memikirkan tingkah laku orang orang di sekitarnya. Semua egois, semua lebih peduli dengan kepentingan masing masing dan parahnya, tidak ada kemauan untuk sedikit memahami perasaan yang lain. Apalagi ayahnya…

“Inikah yang di sebut politik ?” tanya Banowati dalam hati.

Ya, berkali kali sang ayah mengungkapkan alasan itu. Tidak hanya ayahnya barangkali, tapi sudah menjadi kebiasaan umum para pemimpin. Bahwa salah satu cara untuk membangun persekutuan yang kuat adalah melalui perkawinan. Sebuah tindakan yang mudah tapi memberi efek yang luar biasa  besar bagi kelangsungan sebuah negara. Namun di sisi lain menafikan arti sebuah jalinan cinta dan jalinan pernikahan. Dalam politik, cinta menjadi tidak penting manakala hasil yang akan di raih dari upaya kawin paksa itu di anggap lebih memberi manfaat.

“Kamu tahu anakku” ayahnya menerangkan,”musim kemarau terlalu panjang, cadangan makanan kita tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Laut timur yang menjadi mata pencaharian pokok rakyat kita juga tak mampu lagi memberi lagi hasil maksimal. Setiap hari para bajak laut beraksi mengganggu keamanan para nelayan kita. Kita tak punya uang untuk menumpas mereka. Bahkan untuk mencukupi sekedar bertahan hidup saja susah”.

“Bano mengerti itu semua ayah” ungkap Banowati. 

“Yang Bano tak mengerti adalah kenapa ayah sepertinya diam saja ketika ayah tahu bahwa kakak Herawati berada di Tirtakandasan ?. Bukankah tidak ada yang sulit jika kita punya niat untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan paman Kurandageni ?”.

Salyapati hanya mendehem. Seolah tidak ada niat untuk  menjawab pertanyaan Banowati. Dan sepertinya ada sesuatu yang sengaja ingin ia sembunyikan dari anaknya.

“Kamu persiapkan saja dirimu. Pada saatnya nanti, ayah akan beritahu kepadamu soal itu”.

Tidak ada yang bisa di perbuat oleh Banowati selain hanya mengikuti saja apa kemauan sang ayah. Walaupun dalam hati kecil, Banowati masih merasa keberatan. Tapi mau apalagi ?.


Bagi kijang di belantara
Sorot mata harimau bukan sesuatu yang paling menggetarkan nyali
Bahkan jua seringai sang srigala lapar sekalipun
Ketakutan paling mencekam adalah
Manakala ia harus terpisah dari alamnya

Belantara adalah nafas dan juga nyawa
Ketiadaannya berarti akhir dari segala
Belantara adalah keramaian dan juga kehidupan
Di sana kijang bercengkerama
Bertahan hidup dengan berkawan bahaya

Demikian juga dengan para pecinta
Kerinduan, keputusasaan dan perpisahan
Dengan segenap haru birunya
Adalah denyut nadi dan juga aliran darah

Siksaan paling mematikan adalah kepura puraan
Menyunggingkan senyum di atas luka
Meliukkan tubuh yang  mati rasa
Menapaki hari di gelap gulita
Seraya mengubur cinta dalam cakrawala


Siang telah beranjak. Sang surya tergelincir ke sisi barat, seolah hendak jatuh menimpa mayapada. Banowati tersentak dari lamunannya. Ada sesuatu yang mengganggu petualangan batinnya. Perlahan bola matanya terbuka. Menatap liar ke segala penjuru. Mencari cari sesuatu, apa gerangan yang membuatnya harus terbangun dari lamunan. Lentik jemarinya menjulur, meraih sebuah benda kecil yang terbelah menjadi beberapa keping. Sebuah batu kerikil yang sengaja di lempar oleh seseorang. Sepertinya bukan kebetulan jatuh dari atap balai balai, sebab bekasnya masih terlihat jelas di dinding luar kecapi kesayangannya. Sudut matanya menyusuri setiap jengkal tanaman bunga yang tampak rimbun di depannya. Berharap ia temukan seseorang yang sudah berani mengganggunya. Tapi yang terlihat hanyalah binatang bersayap dengan warna mempesona tengah sibuk menghisap saripati bunga.

“Tidak mungkin ini perbuatannya”.

Wajah Banowati menengadah. Memandang jauh tepat di sebuah bukit di mana sang mentari bertengger manis di atasnya. Sebuah bukit gundul berwarna coklat kehitaman tampak berdiri kokoh di sebelah barat kota Mandaraka. Tidak ada yang istimewa dengan benda kering kerontang di ujung sana. Tapi entah mengapa seperti ada aliran misterius yang tiba tiba saja menggetarkan perasaannya. Memaksanya untuk terus menerus memperhatikan bongkahan tanah liat bercampur batu itu.

“Apakah ini berasal dari sana ?”.

Banowati menggelengkan kepala. Mustahil.

“Gusti putri….gusti putri…”.

Sebuah suara, atau lebih tepatnya sebuah bisikan terdengar lirih dari arah belakang. 

“Ada apa Ratri ?” Banowati langsung mengenali pemiliknya.

“Penting, gusti”.

“Iya, katakan saja”.

Sesosok perempuan muda yang umurnya kurang lebih sebaya dengan Banowati berjalan menaiki balai. 

“Ada dua berita untuk gusti putri” perempuan yang di panggil Ratri itu duduk dengan lutut di tekuk di sebelah Banowati.

“Mereka sudah datang ?”.

Ratri mengangguk.

“Lalu ?”.

“Ayahanda gusti putri menawarkan gusti Kanthi dan gusti putri sekaligus pada Prabu Suyudana”.

“Apa ???” Banowati terbeliak kaget.

“Tenang gusti…” Ratri menenangkan.

“Tapi Prabu Suyudana menolak”.

“Oh…syukurlah” Banowati lega.

“Trus ?”.

“Prabu Suyudana malah menawarkan bantuan untuk ayahanda gusti putri untuk mencari di mana gusti Herawati berada”.

“Suyudana akan pergi ke…. ?” sampai di sini Banowati mendadak ragu. Kendati pembantunya itu bisa di ajak kerjasama untuk tutup mulut tentang apa yang terjadii sebenarnya pada Herawati, tapi sepertinya tidak selayaknya Banowati memberitahu.

“Ratri tidak tahu gusti” sambar Ratri tegas.

“Lantas ?”.

“Gusti prabu hanya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Prabu Suyudana”.

“Lohhh…” Banowati keheranan.

Apalagi yang hendak di rencanakan ayahnya. Kenapa tidak mengatakan terus terang bahwa kakaknya berada di Tirtakandasan ?. Kenapa malah sengaja berbohong pada raja Hastinapura itu ?. Aneh.

“Trus apa berita kedua ?” gadis belia berusia tujuh belasan tahun ini buru buru mengalihkan topic pembicaraan.

“Oh iya lupa” Ratri menepok jidatnya.

“Ada utusan dari Raden Permadi di luar yang hendak bertemu gusti putri”.

“Permadi ?” Banowati mengingat ingat.

“Iya Permadi. Ksatria Amarta itu loh gusti…” Ratri menjelaskan.

“Oooh” angguk Banowati.

“Ya sudah, suruh mereka masuk” perintahnya datar.

Entah apa maksud kedatangan utusan Raden Permadi menemui dirinya, pikiran Banowati masih belum mau beranjak dari rasa penasaran akan kebijakan yang di ambil oleh ayahnya. Ada rasa lega memang. Setidaknya ia untuk sementara selamat dari rencana kawin paksa ayahnya. Tapi kalau mendengar keterangan Ratri, sepertinya ada yang mencurigakan dari sikap ayahnya. Terutama menyangkut pelarian Herawati ke Tirtakandasan. Sikap ayahnya yang relatif tenang dan menyimpan tanda tanya besar ini sungguh berbeda jauh dengan kemarahannya ketika memutuskan untuk menghukum Narotama. Lebih dari itu, juga menyimpang dari tabiat sehari hari ayahnya yang cenderung pemarah lagi gegabah dalam memutuskan sesuatu. 

Mungkinkah sang ayah merasa segan karena pelakunya adalah putra dari kerabat yang juga bekas pejabat tinggi Mandaraka yang karena suatu hal lalu di asingkan ke pulau terpencil Tirtakandasan ?. Banowati memang sempat mendengar cerita minor dari beberapa orang di lingkaran istana Mandaraka tentang perselisihan ayah dan pamannya itu di masa silam. Tapi pada kenyataannya bukankah akhir akhir ini hubungan keduanya baik baik saja. Terbukti beberapa kali ayahnya juga mengundang pihak Tirtakandasan dalam beberapa acara yang di gelar Mandaraka. Tidak mungkin Kartawiyaga bisa dengan bebas memasuki Mandaraka untuk mewakili Tirtakandasan jika kedua pihak masih berseteru. 

“Teka teki macam apa ini ?” keluh Banowati.

Dari kejauhan, tiga orang pria setengah baya tampak berjalan beriringan dengan di sertai oleh Ratri.
“Punakawan !”.

Dengan cepat Banowati mengenali siapa yang datang. Wajah ketiga utusan Permadi itu bagi Banowati memang tidak terlalu asing.  Ketiganya pernah datang ke Mandaraka mengiringi sepupunya Nakula dan Sadewa. Walaupun kejadiannya sudah berlangsung bertahun tahun lalu, tapi ingatan Banowati masih cukup segar untuk mengenali mereka.

“Salam hormat kami, ndoro Banowati” sapa Petruk mewakili kedua saudaranya.

“Waw…angin apa yang mengantar paman bertiga kembali ke Mandaraka ?. Silahkan duduk…”sambut Banowati ramah.

“Bagaimana kabar adik Nakula dan Sadewa ?. Apakah mereka baik baik saja ?” tanya Banowati tanpa basa basi.

“Berkat doa ndoro Banowati, ndoro Nakula dan Sadewa baik baik saja. Hanya saja mungkin karena kesibukannya, beliau berdua belum sempat berkunjung ke Mandaraka” Petruk.

“Oooh…” Banowati mengangguk.

“Katanya paman bertiga di utus oleh….?”.

“Ndoro Permadi!” potong Bagong serta merta.

“Oh iya. Kenapa tidak datang sendiri saja ?” tanya Banowati menatap tajam pada ketiganya.

“Mmmm….” Ketiga pelayan Pandawa itu terlihat saling pandang.

“Sebenarnya ndoro Permadi….”menata kalimat,” ndoro Permadi datang bersama kami. Tapi….”.

“Tapi apa ?”.

“Ndoro merasa tidak enak karena….”.

“Karena Mandaraka sedang ada tamu penting dari Hastina, ndoro Bano” imbuh Gareng cepat cepat.

“Betul, ndoro Bano” Petruk, “ndoro Permadi merasa tidak enak kalau kedatangannya malah merusak suasana”.

“Trus, dimana dia ?” cecar Banowati.

“Ada…ada. Ndoro Permadi ada di suatu tempat di luar kota” terang Petruk.

“Ndoro menyampaikan ini” mengeluarkan sebuah gulungan terbuat dari kulit kayu dari balik sakunya lalu di serahkan pada Banowati.

“Apa ini ?” tanya Banowati seraya membuka gulungan itu.

“Ndoro baca sendiri saja” Petruk mempersilahkan.


“Sejak aku melihatmu, manakala surya bergeser perlahan siang itu. Di saat kupu kupu di taman sedang asyiknya mencium kuntum bunga. Di saat kecapi kayumu teronggok di atas balai seraya menunggu jemari sang pemiliknya membelai. Dan di saat wajah ayumu terlihat sayu memikirkan sesuatu. Ada sebongkah tanya  yang mengganjal dalam benak dan pikiranku. Rasa penasaran yang harus di tuntaskan. Tentang siapa engkau gerangan. Wanita elok dengan sorot mata bersinar dan berwajah anggun ?.”

Sampai di sini Banowati mengerutkan dahinya. Indah sekali kalimat yang teruntai di atas kulit kayu di tangannya. Tulisan yang tidak biasa. Menandakan penciptanya adalah sosok terpelajar yang terbiasa bergaul dengan dunia sastra.

“Sepanjang perjalananku mengarungi setiap jengkal tanah di muka bumi, barangkali Mandaraka adalah tempat yang patut aku sesali. Kenapa baru kali ini aku berada di sini ?. Pesonamu, yang terpancar jelas di balik wajah ayumu adalah jawaban atas penyesalan yang tiba tiba menyeruak menusuk jantungku. Aku merasa terperangkap dalam sebuah keadaan di mana hati sudah tak bisa di bohongi, di mana rasa tak jua bisa di cegah.”

“Hemmm…” Banowati takjub. 

“Jika angin kebaikan bertiup menyapu batinmu, asaku yang terdalam adalah mengajakmu untuk sejenak meluangkan waktu. Agar aku bisa lebih dekat mengenali siapa dirimu”.

“Gila!!!” seloroh Banowati lirih. Aneh sekali orang ini ?.

“Pantai Mandaraka mungkin adalah pengiring yang paling indah jika engkau berkenan mengabulkan keinginanku. Di balik ombak yang belalainya berlarian menyentuh batu karang. Ketika fajar menyingsing menyambut datangnya pagi, ku tunggu engkau di sana. Di atas batu karang paling kokoh di pinggiran laut Mandaraka”.

“Dariku, Permadi. Pengganggu setiamu di siang itu”.

“Oooo….ternyata dia yang tadi siang melempar batu itu ?” Banowati tersadar.

“Jika ndoro Banowati berkenan, ndoro Permadi berharap bisa menemui…”.

“Ya ya ya..aku tahu” sergah Banowati.

“Tapi seharusnya kalau memang mau niat berkenalan, ya datang kemarilah” cibirnya.

“Bukan begitu” Petruk membela,” ndoro Permadi tidak ingin mengganggu suasana Mandaraka”.

“Apalagi kami dengar ada masalah besar yang sedang melanda Mandaraka” imbuh Gareng.

“Darimana kalian tahu ?”.

“Sebelum kemari, kami khan menemui gusti prabu dulu” Petruk menerangkan.

“Berarti ayahanda mengetahui dong kedatangan tuanmu Permadi ?” selidik Banowati.

Ketiganya menggelengkan kepala.

“Kok gitu ?” heran.

“Ndoro ini masak ndak ngerti juga kalau antara keluarga Pandawa dan Kurawa sudah lama berselisih. Ndak mungkin kami mengatakan keberadaan ndoro Permadi di sini, sedang balatentara Hastina masih bergentayangan di kota Mandaraka. Khan bisa runyam urusan, ndoro” ucap Petruk memberi alasan.
Banowati terdiam.

“Gimana ndoro Bano ?” Gareng.

“Apanya ?”.

“Kenalan sama ndoro kami” tambah Bagong.

“Mmmm…” sedikit ragu.

“Cuma kenalan saja kok” Petruk meyakinkan.

Banowati tidak segera menjawab. Di buka dan di bacanya sekali lagi surat dari Permadi di tangannya.

“Tapi penjagaan di sini ketat, paman…” Banowati setengah memberi alasan.

“Kalau ketahuan bisa repot” setengah merengek.

“Gimana hayo ???”.

Lagi lagi ketiga pengawal Pandawa ini saling pandang.

“Kami akan bantu ndoro Bano keluar dari sini” janji Petruk memberanikan diri.

“Yakin ?” todong Banowati.

“Yakinlah…” sambar Bagong percaya diri.

“Ya sudah…”.
*********************************************

Di hari biasa, tidak terlalu sulit bagi Banowati untuk keluar dari  keputren Mandaraka. Bahkan di waktu malam sekalipun. Akan tetapi sejak peristiwa hilangnya Herawati dari keputren Mandaraka, penjagaan di areal istana makin di perketat. Tidak saja jumlah penjaganya di perbanyak hingga dua kali lipat, akan tetapi, Mandaraka juga mendapatkan bantuan personel dari Hastinapura. Ada sekitar dua puluhan prajurit Hastinapura yang sengaja di tempatkan di kota Mandaraka. Selain sebagai komitmen Prabu Suyudana untuk membantu proses pencarian Herawati, juga untuk memastikan bahwa kejadian yang di alami kakaknya  tidak terulang lagi. Namun demikian, keberadaan satu unit pasukan Hastinapura ini tidaklah berdiri sendiri. Mereka tetap di bawah koordinasi komandan pasukan khusus istana yang di jabat oleh salah satu adik Banowati, yaitu Rukmarata. 

Larangan keluar malam terutama bagi yang tidak berkepentingan juga di terapkan. Bagi seorang putri raja seperti Banowati, untuk kemana mana mesti menyertakan dua hingga empat pengawal demi memastikan keamanannya. Itupun masih harus sepengetahuan kepala keamanan keputren. Mujur bagi Banowati, setelah Narotama di ganjar hukuman penjara sekaligus di pecat dari kesatuannya oleh Prabu Salya akibat keteledorannya, posisi putra patih Singalodra kini di gantikan oleh adik kandung Banowati yang juga merupakan kakak dari Rukmarata, yaitu Burisrawa.

Agak ganjil memang, kenapa Burisrawa yang sebenarnya lebih tua dari Rukmarata justru mendapatkan posisi yang lebih rendah dari Rukmarata adiknya. Tidak hanya untuk saat ini saja, akan tetapi sudah berlangsung lama, ketidakadilan itu harus di terima Burisrawa. Ada beberapa sebab yang nanti akan kami ceritakan, kenapa Burisrawa yang sejatinya paling berpeluang menggantikan kedudukan Prabu Salya kelak, harus menerima keadaan di mana karirnya sengaja di hambat dan kalau perlu di singkirkan. Yang jelas, posisi Burisrawa yang kini menjadi kepala keamanan keputren, bagi Banowati cukup menguntungkan.

Burisrawa tidak sekedar adik yang ia sayangi, tapi juga sahabat yang bisa di andalkan. Sejak kecil, Banowatilah yang paling banyak membantu ibunya merawat, menjaga dan menemani Burisrawa. Kepada Banowati pula segala persoalan Burisrawa di tumpahkan. Ketika semua orang memandang remeh Burisrawa dan di anggap sebagai ksatria Mandaraka yang gagal dan tak punya masa depan, Banowati biasanya yang meyakinkan Burisrawa untuk tetap optimis menatap hari esok. Ketika semua orang merasa jijik melihat wujud Burisrawa yang setengah raksasa lagi berwajah menyeramkan, Banowati malah menunjukkan diri sebagai teman yang baik bagi Burisrawa.

Burisrawa memang tidak terlalu pintar. Tidak bisa membaca, tidak mahir berkelahi dan tidak memiliki sopan santun layaknya ksatria. Bicaranya kasar, sembrono dan dan suka ugal ugalan. Walaupun tidak pandai berkelahi, Burisrawa terhitung tipe pemberani. Dia tidak pernah takut kepada siapapun, termasuk kepada ayahnya sendiri. Karakternya yang kasar dan sering membuat ulah, tak jarang malah membahayakan dirinya sendiri. Hanya karena kedudukannya sebagai salah satu pangeran Mandaraka sajalah yang membuat orang sedikit segan terhadap Burisrawa.

Pun demikian, itu semua tidak berlaku di hadapan Banowati. Burisrawa sangat menghormati kakaknya. Tidak ada yang paling di taati perintah dan ucapannya selain Banowati. Dan tidak ada yang layak di takuti oleh Burisrawa selain kakak perempuannya ini. Untuk Banowati, nyawapun di pertaruhkan Burisrawa. Inilah yang membuat Banowati merasa yakin bisa memenuhi undangan Permadi di pagi buta itu. Dia bisa meminta bantuan Burisrawa untuk melapangkan jalannya keluar dari istana Mandaraka dengan keadaan aman tanpa gangguan.

Selepas petang, Banowati memanggil Burisrawa. Meminta adiknya untuk mengawal kepergiannya, setidaknya hingga keluar pintu gerbang sebelah timur. Tentu saja tidak melewati jalan yang biasa di tempuh kebanyakan orang, karena jika itu di ketahui anak buah Rukmarata atau prajurit prajurit Hastina, urusannya bisa gawat. Banowati dan Burisrawa lebih memilih jalan rahasia yang belum banyak di ketahui oleh orang. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama, sebab di antaranya melalui lorong lorong yang panjang, berkelok dan gelap. Namun itu satu satunya cara paling aman. 

Sesampainya di pintu gerbang, Banowati di jemput oleh tiga pelayan Permadi. Petruk, Gareng dan Bagong. Sempat di ketahui oleh petugas yang berpatroli di luar benteng Mandaraka, tapi untungnya ketiga anak buah Permadi ini dengan sigap mengatasi keadaan. Petruk yang terhitung paling lincah segera tanggap dan berusaha memancing para penjaga untuk mengejarnya. Sementara Banowati dengan di kawal Gareng dan Bagong segera bergegas menuju tempat di mana Permadi sudah sejak tadi menunggu.

Menjelang pagi, Banowati telah tiba di pantai Mandaraka. Semilir angin laut di iringi deburan ombak menyapu pantai Mandaraka langsung menyambut kehadiran putri ketiga Prabu Salya ini. Menghadirkan hawa dingin yang  menyengat menusuk  pori pori. Samar samar di bawah payung cahaya rembulan sesosok manusia duduk bersila dengan gagah di atas batu karang di tepian pantai. Gemericik ombak yang menghantam karang dan menimbulkan luapan butiran butiran air, sesekali melenting dan mengguyur badannya. Tak ada reaksi. Sosok itu tetap diam membisu. Bahkan tak ada usaha untuk menghindari cipratan butir bening yang kian lama kian membasahi pakaiannya.

Perlahan Banowati berjalan mendekati sosok manusia yang sedang asik duduk bersila di atas batu itu. Kali ini tidak di sertai kedua pelayan Permadi. Mereka sengaja menjauh dari tempat itu dan tidak berani mengganggu tuannya bertemu Banowati.

“Raden…” sapa Banowati seraya menekuk lututnya dan duduk persis di samping kiri sosok yang adalah Raden Permadi itu.

“Banowati …?” sahut Permadi tercekat begitu melihat sosok yang kemarin hanya bisa ia lihat dari kejauhan, kini hanya berjarak dua jengkal di sampingnya. Sudut matanya sejenak beralih ke samping kiri. Namun tak lama kemudian kembali menatap ke depan. Memandangi deburan ombak yang bergulung gulung menuju pantai.

“Sudah lama menunggu ?” tanya Banowati.

“ Ehmmm….oohhh…!. Nggak…!” jawab Permadi sedikit gugup.

“Kenapa nggak ke rumahku saja ?. Di sini dingin tahu…” seloroh Banowati mencairkan keadaan.

“Maunya…”.

“Trus ?” potong Banowati.

“Tapi aku takut malah membuat masalah”.

“Ya nggaklah raden…”.

“Panggil Permadi. Ehmm…atau Arjuna saja” Permadi menyela.

“Itu namamu juga ?”.

“Ya!” angguk Permadi.

“Kok jelek amat ?” ledek Banowati dengan nada setengah bercanda.

Kali ini Permadi mengangkat bahu. Menoleh ke arah Banowati dengan tatapan yang cukup tajam.

“Maaf…” buru buru Banowati memperbaiki sikap.

“Ehm..nggak. Nggak apa apa. Justru kalau kamu bilang bagus, itu malah fitnah. Karena antara nama dan  kenyataan sangat berjauhan. Betul tidak ?”.

Banowati melongo.

“Ibuku memberiku nama Partha. Yang artinya putra Dewi Pritha. Kakakku Bima, punya ledekan sendiri. Menjulukiku Jlamprong. Nggak cuma itu, bahkan sebutan yang di sematkan kepadaku sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Dananjaya, Gudakesa, Janaka, Wijaya dan lain lain” celoteh Permadi mengalir deras, “Aku sendiri juga heran, kenapa orang orang memanggilku Permadi ?”.

Blarrr…

Meledak pikiran Banowati. Di sangkanya pendiam, tapi rupanya tak jauh beda dengan dirinya. Banyak bicara. Berlebihan malah. Pemuda ini seolah ingin memamerkan diri betapa ia layak mendapatkan banyak gelar gelar mulia. Sama sekali tidak sesuai dengan apa yang pernah di ceritakan orang tentang ksatria Madukara ini.

“Ada yang salah ?”.

“Ya” singkat.

“Apanya ?” menaikkan alis.

“Ehm…apa ya ?” Banowati sembari diam berpikir.

“Ah lupakan saja” kelit Banowati seperti tidak terjadi apa apa.

“Ngomong ngomong ada perlu apa mengajakku bertemu di sini, raden….eh Permadi. Ehm…kakang ?” gugup.

 “Penting di ceritakan ?” Permadi balik bertanya.

“Ya iyalah…” sambut Banowati dengan nada tinggi.

“Masak jauh jauh dari Madukara nggak ada kepentingan apapun ?. Aneh khan ?”.

Permadi membetulkan letak selendang yang melingkar di kedua pundaknya. Memutar  bokongnya ke kiri dan menghadap tepat ke arah gadis cantik di sampingnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya yang pucat menahan dinginnya udara pagi itu. Matanya yang tajam bagai elang kini mendarat di wajah wanita yang kemarin membuatnya begitu penasaran. Di saat yang sama Banowatipun tak menyia nyiakan kesempatan untuk melihat lebih dekat seperti apa pria Madukara yang banyak di puja puji orang ini. 

Kini kedua pasang mata itu saling bertemu. Ada perasaan aneh yang susah untuk di terjemahkan dengan kata kata. Berupa letupan letupan panas yang menjalar di sekujur badan. Menyelinap masuk bersama aliran darah. Lalu menerobos ke dalam jantung dan menciptakan suara gemuruh yang tak berkesudahan. Lama sekali keduanya saling pandang. Tidak ada kata yang keluar. Lidah mereka terasa kelu, tenggorokan kering kerontang, urat syaraf dan panca indera seakan tak berfungsi. Deburan ombak yang menghentak memukul karang kini tak lagi terdengar. Lantunan kokok ayam yang bertalu talu mendadak hilang dalam kesenyapan. Desir angin laut yang membawa hawa dingin menggigil juga tak lagi mereka rasakan. Semua larut dalam  keheningan masing masing. Hanya celotehan batin yang terdengar jelas mewakili suara hati mereka. 

“Sebentar…” ucap Permadi memecah keheningan.

Ksatria Madukara ini mendadak berdiri. Memandang ke sekeliling, memperhatikan satu persatu benda benda yang ada di sekitarnya.

“Ada apa ?” tanya Banowati kebingungan menyaksikan tingkah aneh Permadi.

“Sssstttt…” Permadi berisyarat agar Banowati tenang.

Permadi mencabut sebuah kain berwarna kuning dari pinggang lalu  di pakai untuk menutupi sebagian muka dan hanya menampakkan dua bola matanya. Sementara Banowati yang tak mengerti dengan apa yang akan di lakukan Permadi beringsut menjauh.

Suasana mendadak mencekam. Angin seolah berhenti bertiup. Lengan kiri Permadi kukuh memegang busur panah yang siap untuk di isi peluru. Naluri kependekarannya merasakan ada orang lain yang hadir di situ. Bukan hanya satu, tapi banyak. Bagi telinga orang biasa tentu tidak terdengar apa apa selain hanya deburan ombak dan desiran angin lirih. Tapi bagi Permadi, desahan nafas dalam jarak puluhan meterpun sanggup ia dengarkan. Dan apa yang Permadi khawatirkan perlahan mulai terbukti.

Belasan bayangan hitam tiba tiba muncul satu persatu dari pepohonan nyiur yang berbaris rapi di sepanjang pantai. Tamu tamu asing itu kemudian bergerak cepat mengepung lokasi di mana Arjuna dan Banowati berada. Gerakannya cukup rapi, cekatan dan nyaris tidak menimbulkan suara gaduh. Menandakan bahwa para pengepung ini cukup terlatih.

“Pegang ini...!” teriak Permadi seraya melemparkan selendang yang melingkar di lehernya  ke arah Banowati. Sejenak Banowati ragu ragu.

“Cepet…!” teriak Permadi setengah memaksa.

Melihat sikap Permadi yang tampaknya serius, mau tidak mau Banowati menuruti permintaan ksatria tampan ini. Dan dengan gerakan secepat kilat Permadi menarik tubuh Banowati lalu mengikatnya  erat di punggungnya. Sedetik kemudian sebuah teriakan keras terdengar dari arah depan.

“Seraaang!!!” salah satu di antara mereka memberi aba aba seraya melempar sebuah tombak berukuran satu meter ke dada Permadi.

Trang!!! 

Dengan sigap Permadi menghalau tombak itu dengan busur panahnya. Seketika tombak bermata baja itu patah berkeping keping begitu mengenai busur pusaka Permadi.

Sejenak belasan penyerang itu terkesima melihat kemampuan Permadi mematahkan tombak mereka. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa busur panah di tangan Permadi adalah pusaka sakti pemberian Indra bernama Gendewa. Konon pusaka ini memiliki keistimewaan luar biasa. Jika  di pakai untuk melepaskan anak panah, maka berapapun panah yang di lepas tidak akan habis habis. Terbuat dari kayu, akan tetapi kekerasannya lebih keras dari besi baja sekalipun.

"Serbuuuu....!" si pemberi aba aba yang kemungkinan adalah pimpinannya kembali berteriak.

Serentak belasan orang itu maju mengurung Permadi dengan menyabetkan senjata apa saja yang ada di tangan mereka.

Kilatan percik api akibat beradunya dua senjata mengoyak suasana fajar. Kendati sedang menggendong Banowati, tampak sekali putra Pandu ini tak mengalami kesulitan menghadapi musuh yang memang bukan kelasnya. Berkali kali para penyerang melengking kesakitan menahan nyeri ketika senjatanya berbenturan dengan busur Permadi. Namun hingga lima jurus berlalu, sama sekali tak ada tanda tanda mereka bakal menyerah. Justru mereka makin marah dan merasa di ejek oleh Permadi yang sepertinya tidak serius bertarung.

"Gunakan formasi Srigala Memburu mangsa !!!" teriak salah satu dari mereka.

"Formasi Sokalima ?" Permadi langsung tanggap. Ini jurus keroyokan yang biasa di gunakan untuk menghadapi musuh yang lebih kuat. Tehniknya adalah berkeliling mengitari sasaran, sesekali menyerang, lalu mundur menghindar. Kadangkala berteriak menggertak untuk melemahkan mental musuh dan sesekali maju bersamaan. Menghadapi formasi ini membutuhkan kesabaran, karena seperti halnya srigala memburu mangsanya, mereka di tuntut untuk mencari celah kelengahan dari musuhnya.

Permadi memutar otaknya. Sudah jelas para penyerangnya adalah orang orang dari Sokalima. Dan tak ada waktu untuk main main lagi.

Aaarrrrghhhh.....!!!!

Tiba tiba Permadi berteriak keras laksana macan yang mengaum. Ciut juga nyali penyerangnya. Dengan sigap mereka berlompatan mundur untuk menghindari kemungkinan yang tidak di inginkan. Kesempatan ini di manfaatkan oleh Permadi untuk meraih belasan anak panah dari kantongnya, menarik busur, lalu dengan gerakan secepat kilat, mata panah itu melesat menghajar musuh. Dan dalam hitungan detik satu persatu para pengepungnya bertumbangan dan meraung raung memegangi kakinya yang tertembus anak panah.

Permadi menarik nafas lega, lalu menoleh ke belakang dan menyunggingkan senyum ke arah Banowati yang ketakutan setengah mati.

"Sudah beres..." kata Permadi sembari menurunkan Banowati dari gendongannya. Banowati hanya bisa melongo keheranan melihat apa yang terjadi. Dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda yang di temuinya pagi ini begitu gampang menakhlukkan musuh yang padahal jumlahnya banyak.

"Siapa mereka ?" tanya Banowati penasaran.

"Entahlah" jawab Permadi pura pura tidak tahu. Di simpannya kembali busur panah kyai Gendewa ke tempat semula. Namun, belum lagi Permadi melepaskan pegangan tangannya pada kyai Gendewa, terdengar sebuah teriakan keras.

“Jangan senang dulu wahai bangsat !!!”.

Entah darimana asalnya, sekelebat bayangan hitam melompat menerjang  Permadi. Gerakannya sangat cepat dan lebih bertenaga daripada penyerang sebelumnya. Beberapa kali Permadi nyaris terjengkang dan tak bisa menguasai diri akibat di serang secara bertubi tubi dari semua sisi. Sebagai seorang pendekar yang kenyang akan pengalaman, ksatria Madukara ini segera tahu bahwa sang penyerang kali ini bukan sembarang orang. Terbukti beberapa kali adu pukul, ia seolah menghadapi gada besi yang keras dan mematikan. Mungkin jika bukan Permadi yang menjadi lawannya, sudah barangkali remuk oleh pukulan penyerang misterius ini.

“Menyerah dan lepaskan Banowati, sebelum Brahmastra mencabut nyawamu, bedebah !!!!”.

 Kali ini si penyerang melompat mundur, mencabut busur panahnya sembari komat kamit merapalkan ajian.
“Aswatama !!!” pekik Permadi segera mengenali.

Ya, siapa lagi pemilik Panah Brahmastra atau juga di sebut panah Cundamanik selain putra Begawan Durna. Senjata ini terkenal mematikan. Setahu Permadi, jarang sekali Aswatama berkenan mengeluarkan senjata pamungkasnya itu. Hanya dalam kondisi tertentu saja ia memamerkan kemampuan Brahmastra. Panah itu anugrah Brahma, jika ia mengenai musuh, akan mengakibatkan luka bakar parah dan susah di sembuhkan. Seluruh tubuh akan melepuh, sementara bagian tubuh yang terkena Brahmastra akan menghitam dan terbakar hangus. Keampuhan lain dari senjata ini adalah,  jika melesat dari busurnya, segala sesuatu yang di lewatinya akan terbakar. Kalau  melintasi samudera, menjadi mendidihlah air samudera. Bahkan pengaruh suara desingan peluru Brahmastra yang bergemuruh memekakkan telinga sanggup menggugurkan setiap janin yang terkandung dalam rahim ibu hamil. Permadi sendiri sejatinya juga di karuniai senjata jenis peluru kendali ini oleh Dewa Brahma. Dan bisa saja ia mencabutnya untuk melawan Brahmastra milik Aswatama. Akan tetapi, sepertinya adu kuat dua Brahmastra bukanlah penyelesaian yang bijak. Bukan saja akibat yang akan di timbulkan jika kedua senjata sejenis ini beradu, tetapi menurut petuah Brahma, senjata ini hanya bisa di keluarkan sekali saja. Sungguh tidak sebanding dengan kesalahpahaman yang sangat sepele ini. Brahmastra seharusnya tidak di gunakan sembarangan. Hanya karena keterpaksaan saja senjata ini layak di gunakan. Alasan lain, tentu saja karena Aswatama adalah anak kesayangan dari guru Durna yang sangat ia hormati. Jika Guru Durna tahu, ia membunuh Aswatama, tentu akibat yang akan di timbulkan tidaklah kecil. Durna akan mengutuk Permadi, menganggapnya sebagai murid yang murtad. Dan yang paling mengkhawatirkan, kematian Aswatama bisa mempercepat terjadinya perang baratayuda antara Pandawa dan Kurawa. Ini yang paling tidak di inginkan. Bagaimanapun, posisi Amarta sebagai negara baru masih teramat lemah. Belum saatnya membuat perhitungan dengan Hastina.

 “Aku tahu engkau bukan jagoan biasa, tapi aku peringatkan sekali lagi !” ancam Aswatama sembari menarik busur panahnya.

“Panah ini punya mata tapi tak punya hati. Maka sekali lagi aku peringatkan. Lepaskan Banowati !”.

Suara Aswatama terdengar menggelegar bak petir. Air mukanya memerah darah. Kedua kakinya yang sekokoh kaki kuda menghentak hentak bumi. Dalam hitungan detik pemuda akan mengirimkan panah Brahmastra. Permadi cepat cepat memutar otak. Tidak mungkin dia mengorbankan masa depan dirinya dan seluruh keluarga Pandawa hanya untuk kesalahpahaman yang sebenarnya bisa di jelaskan ini.

Perlahan Permadi menarik nafas, membuka penutup mukanya lalu berjalan perlahan mendekati Aswatama.

“Tahan amarahmu, Aswatama !!” teriak Permadi pada Aswatama.

“Aku Permadi putra Pandu !”.

“Permadi ?” Aswatama terkejut. Tapi masih belum mau percaya begitu saja.

“Hei…berani beraninya kau mengaku aku sebagai Permadi. Permadi tidak mungkin bertindak kurang ajar dengan menculik perempuan anak pamannya!” sanggah Aswatama.

“Hem…! Jadi inikah yang melatar belakangi kenapa Aswatama begitu bernafsu membunuhnya ?” pikir Permadi. Beberapa waktu lalu ia memang mendengar informasi bahwa demi membantu keruwetan yang terjadi di Mandaraka, Suyudana menempatkan setidaknya dua puluhan prajurit Hastina di sekitar ibukota. Kiranya para penyerang yang di pimpin Aswatama inilah yang di maksud.

“Turunkan senjatamu, Aswatama !” pinta Permadi seraya menghentikan langkah tepat dua meter di hadapan sang Aswatama. Cahaya Brahmastra yang kemerahan menerpa tubuh Permadi, dan menjadi tampak jelaslah bagi Aswatama siapa yang ia hadapi. 

“Oh….Permadi…?” kata Aswatama begitu menyadari bahwa lawan di depannya memang benar benar Permadi. Ciut nyali putra Begawan Durna. Raut mukanya yang semula tegang kini memuai seperti es yang tersengat matahari. 

“Kenapa tidak bilang  dari tadi ?”.

Pemuda Sokalima itu perlahan mengendurkan tali busurnya dan dengan sedikit mantra, Brahmastra di tangannya mendadak lenyap.

“Maafkan aku,  Aswatama” Permadi merendahkan suaranya.

Aswatama mengangguk anggukkan kepalanya. Sudut matanya melirik ke arah Banowati yang berdiri beberapa meter di belakang Permadi.

“Jelaskan padaku, apa maksudmu membawa dia kemari ?” tanya Aswatama mendekatkan bibirnya ke telinga Permadi.

“Bukan membawa. Tapi ?”.

“Halaah, kamu ini belum tahu atau memang pura pura tidak tahu, Permadi ?” potong Aswatama mengingatkan.

“Tidak ada niat sama sekali bagiku untuk mencampuri urusan kalian”  Permadi memberi alasan.

“Tapi tindakanmu ini benar benar tidak bisa di maafkan” Aswatama tak mau kalah, “jika bukan kamu, sudah pasti aku tak segan segan untuk  bertindak!”.

Permadi menggerutu dalam hati. Apa yang di ucapkan oleh Aswatama, baginya  terdengar sangat arogan dan bernada meremehkan. Apalagi itu di lakukan di depan mata seorang wanita yang baru saja Permadi kenal.

“Sekarang apa yang kamu inginkan, Aswatama?” tanya Permadi setengah menantang. 

“Mauku ?”.

“Ya. Katakan saja…” Permadi berusaha tenang dan tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Jemari kirinya terlihat mengelus elus kyai Gendewa yang terselip di pinggangnya. Seolah hendak mengirim pesan pada Aswatama, bahwa dirinya tidak takut menghadapi ancaman apapun.

Sementara sang Aswatama yang memperhatikan tingkah laku Permadi terlihat mengerutkan dahi. Pikirannya kini di penuhi rasa ragu. Haruskah ia bertindak tegas dengan menangkap Permadi ataukah ia harus kompromi dan membiarkan ksatria Madukara itu pergi ?. Pendekar Sokalima itu cukup sadar, bahwa ia tak mungkin mampu mengalahkan Permadi. Bahkan jika ia menggunakan Brahmastra sekalipun. Hal lain yang menyebabkan Aswatama ragu ragu, adalah kedatangan Banowati ke pantai Mandaraka yang sepertinya atas kemauan sendiri dan bukan di culik Permadi. Dia tahu persis karena sejak keluar dari keputren, diam diam Aswatama telah memerintahkan anak buahnya untuk membuntuti kepergian Banowati. 

“Ehmmm…begini Permadi” suara Aswatama merendah, “sebenarnya aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tapi, bagaimanapun kamu mesti memaklumi tugas yang sedang aku emban” lanjutnya lebih sejuk.

“Aku tahu” sahut Permadi.

“Kamu ingin aku pergi dari sini dan tidak lagi mengganggu Banowati, bukan ?” todong Permadi.

“Ha ha ha ha…..!. Tepat sekali” Aswatama tertawa puas dengan jawaban Permadi.

“Lalu, tunggu apalagi ?” imbuh Aswatama seolah menemukan kepercayaan dirinya.

“Buatku tidak masalah, tapi ada baiknya Aswatama bertanya padanya ” kata Permadi menoleh ke belakang.
Banowati yang merasa menjadi sebab persengketaan antara kedua pendekar sakti ini melangkah mendekat. Sorot matanya tertuju pada sang Aswatama. Begitu tajam dan mensyiratkan kebencian. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum sinis. 

“Memangnya kamu siapa ?. Kenapa ikut campur urusan kami ?” tuding Banowati ketus.

“Saya….saya… hanya menjalankan tugas”  sang Aswatama membela diri.

“Oh…begitu ?”.

“Dia tamuku” sembari menatap nanar pada Aswatama sementara telunjuknya mengarah pada Permadi, “aku mau menemuinya di mana saja terserah aku…”.

Pucat sudah mimik Aswatama. Pemuda Sokalima ini sama sekali tak menduga perempuan molek ini bisa begitu galak terhadapnya. Seolah dirinya bukan lagi pria terhormat putra kesayangan Guru para keturunan Kuru.


“Apa ?” Banowati makin beringas menantang, “mau melaporkan ke ayahanda ?. Mau cari muka ?. Memangnya kamu siapa ?. Hanya pesuruh bukan ?. Dasar kaki kuda!!!”.

“Lihat wajahmu. Apa pantas kamu mengawal keputren Mandaraka ?. Katakan pada majikanmu, Banowati tidak sudi menerima budi baik pertolongannya!”.

Menggelegak darah Aswatama mendengar ucapan ucapan bernada mengejek Banowati. Apa yang di ucapkan oleh putri Prabu Salya itu benar benar menohok harga dirinya. Meledek dirinya sebagai pesuruh Prabu Suyudana mungkin masih bisa di maklumi, akan tetapi terang terangan menghina fisik, adalah hal lain yang sulit untuk di terima.

“Memang” ucap Aswatama kehabisan kesabaran, “aku hanyalah anak padepokan Sokalima yang berkasta rendahan, berwajah jelek dan tidak layak menjadi pengawal istana Mandaraka”.

“Nah itu tahu…” Banowati tak juga mengendurkan ucapannya. Bahkan makin nyaring saja.

Semakin panas hati sang Aswatama. Mulutnya menyeringai, hingga gigi giginya yang sebesar jari tangan dan berwarna kekuningan terdengar menggerutuk menahan emosi. Sepasang matanya yang bulat menatap nanar Banowati, seakan hendak melahap habis wanita di depannya itu. Perlahan Aswatama melangkah mendekati Banowati.

“Aku tidak akan melaporkan kasus ini pada Prabu Salya. Tapi ingat baik baik. Aswatama tidak akan pernah membiarkanmu mendapatkan apapun yang kamu inginkan!!”  bisik Aswatama ke telinga Banowati. Dan setelah puas mengancam Banowati, tangan kanannya melambai.

“Anak anak!!!. Kita pulang ke Sokalima !!!” perintah Aswatama kepada belasan anak buahnya yang sejak tadi hanya bisa menonton dari kejauhan. 

“Dan kamu, Permadi” Aswatama mengarahkan telunjuknya pada Permadi.

“Urusan kita belum selesai” pesannya seraya melangkah pergi meninggalkan Banowati dan Permadi.

“Hemm…” jawab Permadi acuh. Perhatiannya justru tertuju pada sosok wanita ramping yang kini berdiri terpaku di sampingnya. Ada rasa kagum dalam diri Permadi. Terutama dengan sikap yang baru saja di pertontonkan Banowati. Gadis ini tidak saja cantik, tapi juga bandel dan tak punya rasa takut sedikitpun pada Aswatama. Entah karena ia tidak terlalu mengenal siapa sebenarnya Aswatama, ataukah ada sebab lain yang menjadikannya berubah galak, yang jelas perangainya kembali mengingatkan Permadi akan sosok perempuan yang dulu sempat membuatnya tergila gila. Anggraeni.

“Sudah, jangan terlalu di masukkan ke dalam hati” hibur Permadi.

“Dia mengancamku” ucap Banowati emosi.

“Memang orangnya begitu”.

“Tapi aku tidak suka dia sok ikut campur urusan orang” masih dongkol.

Permadi tersenyum tipis. 

“Iiiihhh…!. Aku serius tahu…”.

“Aku juga tidak sedang bercanda” kelit Permadi makin melebarkan senyumnya. 

“Huuuuh…dasar!!!” bentak Banowati ketika menyadari bahwa pria yang dia harapkan membela pendapatnya justru menganggap dirinya sedang bercanda.
 
“Awas ya….”.

“Awas apanya ?” Permadi mempermainkan.

“Iiiiiihhh….” sebuah cubitan kecil tiba tiba mendarat di pinggang Permadi. Kontan saja membuat sang pemuda Madukara itu melompat kesakitan.

“Sakit tahu” keluh Permadi pura pura.

“Biarin…” tak peduli.

Hanya dalam sekejap, kedua insan muda ini mulai menunjukkan keakraban. Senda gurau dan obrolan ringan kemudian mengalir deras dari bibir keduanya. Tak jarang di bumbui saling ledek, saling bantah, dan saling tukar cerita. Hingga tak terasa, sang mentari perlahan muncul di ufuk timur. Menyajikan panorama indah di atas pantai Mandaraka.

>>>Selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar